Sari Sudo

SARI+SUDO+ADAT

SAKURA DI PULAU DEWATA


Nama Sari Sudo tak asing lagi di Bali, kiprahnya sebagai professional kawakan di dunia pariwisata, namun tak banyak orang tahu, bagaimana pangkal kisah yang melatari terdamparnya sekuntum Sakura dari Negeri Matahari Jepang ini hingga tumbuh merekah di Bali.

Sari Sudo Lahir sebagai anak tunggal di Tokyo, 16 Agustus 1948 dengan nama ‘Sudo Kazuyo’.

Genjun Sudo ayahnya seorang pengusaha Tokyo yang sederhana, sosoknya dapat dikatakan sebagai potret pria Jepang tradisional, yang begitu menjunjung tinggi tradisi pada aturan kolot tata krama kedudukan lelaki sebagai pemimpin rumah tangga yang harus dihormati.

Adapun ‘Hideko Miyazaki’ ibunya tak lebih dari ibu rumah tangga yang santun, penyayang dan persis gambaran figur wanita Jepang yang patuh pada suami dan menjunjung kehormatan keluarga.

Sudo Kazuyo bersama
ayah ibunya

 

Tahun 1955 Sudo Kazuyo memulai sekolahnya di SD Rekisen Elementary School, Bunyo-ku Tokyo dan di kelas 4  pindah sekolah ke SD 4 Ome-City, Tokyo dan selalu menjadi ketua kelas.

Tahun 1961-1964 Sudo Kazuyo menyelesaikan SMPnya di  SMP 3 Ome-City, Tokyo dan menyelesaikan SMAnya di Kichijo Girls High School, Tokyo tahun 1967.

Di sepanjang masa sekolahnya di SMP hingga SMA, Sudo Kazuyo dikenal pemberani, ia dijuluki bos besar karena selalu tampil membela teman-temannya yang ditindas sebagai kelompok teman yang lain.

Pribadi Sudo Kazuyo memang keras dan tegas, prinsipnya berpantang mengelak dari kenyataan meski seburuk apapun masalah yang datang, akan dihadapinya dengan tegar tanpa kenal takut.

Sikap berani dengan pemikiranya yang kritis dan cenderung modern itu, tentu tak sepaham dengan falsafah ayahnya yang konvensional.

Sebagai orang Jepang yang kuno, Ayah Sudo Kazuyo tidak mengijinkan anak gadisnya untuk meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi hanya agar menjadi wanita Jepang sejati, wanita yang kedudukannya tak melebihi suaminya nanti. Ayahnya berkeras ‘Sudo Kazuyo’ harus menjadi seperti ibunya, mengurus anak dan menjadi istri yang baik bagi suami; “Anak saya tidak boleh sombong dan meremehkan laki-laki”, setidaknya begitu sang ayah menegaskan larangannya.

Namun Sudo Kazuyo terlanjur menggantungkan tinggi cita-citanya, sejak kecil ia sudah mengingini menjadi pengacara. Dan karena profesi itu dinilai tidak pantas untuk seorang wanita Jepang, maka iapun tak putus harapan, tekatnya untuk terus sekolah mendorongnya masuk di Asia Africa Linguistic Institute dan mengambil jurusan bahasa Indonesia, setamat dari SMAnya di tahun 1967.

Pilihannya pada Indonesia tak lepas dari impian Sudo Kazuyo untuk kelak dapat berpergian ke luar negeri dan menetap di luar Jepang seperti Arab, India, Malaysia, Indonesia, Afrika ataupun China.

Dan di saat ia harus memilih, maka Sudo Kazuyo mantap ingin mengenal lebih jauh Indonesia karena negara tropis ini kaya akan suku, budaya dan selera makanan yang tak jauh berbeda dengan cita rasa masakan kesukaannya.

Kuliahnya begitu menarik, Sudo Kazuyo diajar dengan sangat baik oleh guru-guru yang berasal dari Jawa dan Sumatra. Mereka begitu piawai menceritakan tentang Indonesia, hingga semakin hari Sudo Kazuyo semakin tertarik untuk datang ke Indonesia.

Ketertarikan Sudo Kazuyo makin menjadi-jadi setelah kampusnya kedatangan  dosen tamu Prof. Anas Ma’ruf dari Universitas Indonesia yang mengajar sastra, budaya, politik dan ekonomi Indonesia yang memperjelas bayangan akan Indonesia hingga seolah begitu sempurna untuk menjadi negeri impiannya dengan kultur budaya yang nyaris serupa.

Kesempatan itupun akhirnya tiba, di tahun 1969 Sudo Kazuyo akhirnya berangkat mengunjungi Indonesia dalam rangka Tour mahasiswa jurusan bahasa Indonesia, berdua bersama teman sekelasnya.

Pertama kali tiba di bumi Nusantara, Sudo Kazuyo menginjakkan kaki di Bandara Kemayoran, Jakarta dan beberapa hari kemudian setelah puas berwisata ia melanjutkan perjalanan menumpang bus Damri menuju Bali.

Sebelum akhirnya sampai ke penginapannya di Hotel Natour, selama perjalanan menuju pulau Bali, Sudo Kazuyo menyaksikan banyak hal yang mengesankan. Keramah- tamahan para penumpang dalam bus, senyum khas bersahabat dan hangat orang-orang yang ia jumpai, ditambah panorama alam Indonesia yang elok dihiasi pepohonan  kelapa dan hamparan sawah yang mempesona dan baru pertama kali dilihatnya membuat Sudo Kazuyo seketika berujar; “Kelak kemudian hari, aku harus hidup di Bali”. Sebaris kalimat yang mungkin menjadi sebuah doa.

Sekembalinya dari Indonesia, Sudo Kazuyo meneruskan kuliahnya hingga tamat tahun 1970 dan bekerja di perusahaan minyak yang bekerja sama ekspor dengan Pertamina di Osaka. Di perusahaan FAR EAST OIL TRADING CO,LTD ini Sudo Kazuyo ditempatkan sebagai sekretaris yang membuatnya berkesempatan mempraktekan bahasa Indonesia yang ia kuasai.

Belum lama di perusahaan minyak, tepatnya pada bulan Desember 1970, Sudo Kazuyo mengundurkan diri untuk bergabung dengan perusahaan biro perjalanan wisata PT. Natrabu yang memiliki jalur di Indonesia dan bermaksud membuka cabang di Tokyo.

Dari sanalah kemudian, di tahun 1971, Sudo Kazuyo diperintahkan berangkat ke Indonesia seperti impiannya untuk membuka cabang baru di Bali.

Januari 1971 Sudo Kazuyo tiba di Bali dan langsung aktif bekerja mempersiapkan pembukaan cabang Natrabu di Denpasar yang dengan tekun dijalaninya selama 6 bulan kendati harus kerap berjalan kaki karena tidak didukung sarana transportasi yang memudahkan ke mana-mana.

Cintanya pada Bali menjadi semakin sempurna, manakala jatuh hati dengan pemuda pribumi pulau Dewata asal desa Ubud yang lalu menikahinya di tahun 1972 dan memberinya nama baru. ‘Putu Sari Budha’.

Nama itu diterimanya dengan rasa ikhlas sebagai bukti kepatuhannya pada suami seperti harapan ayahnya. Namun sejatinya nama Putu Sari Budha menyimpan makna yang menunjukkan jati dirinya, seperti awalan ‘Putu’ berarti menunjukkan urutan kelahirannya sebagai anak pertama dalam tradisi Bali, dan nama ‘Sari’ adalah makna dari ‘Kazuyo’ yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai ‘SARI’ atau inti dari hal-hal baik, sedangkan Budha adalah nama dari suaminya yang sudah seharusnya tertera di belakang namanya.

Sayangnya, kendati telah memberi 4 orang anak keturunan mereka, namun perkawinan itu tak bertahan lama, tepat di tahun 1987, Putu Sari Budha memutuskan bercerai dan memilih menggunakan nama ‘Sari Sudo’  persis seperti nama kecilnya, Kazuyo atau Sari dan Sudo nama ayahnya sebagai garis keluarga yang disandangnya.

Sementara itu dalam karir kepariwisataan di Natrabu, Sari Sudo sempat di tugaskan di Natrabu Head Office Jakarta pada Januari 1972 tapi tidak lama kemudian kembali bertugas di Denpasar sebagai Operation Manager dan merangkap sebagai Guide Coordinator karena kala itu di Bali masih kekurangan guide berbahasa Jepang.

Menyadari minimnya guide berbahasa Jepang, sementara iklim pariwisata Bali tengah menggeliat dengan banyaknya tamu Jepang, maka saat itulah Sari Sudo menggiatkan diri berkosentrasi  membina, mendidik dan mencetak sebanyak mungkin sumber daya pribumi Bali untuk mahir sebagai guide  berbahasa Jepang. Bahkan tidak hanya itu, selain untuk kepentingan pengadaan pramu wisata, Sari Sudo juga mengajar sebagai guru bahasa Jepang di Akademi Bahasa Asing (ABA) pada Lembaga Pendidikan Saraswati atas permintaan Kepala Dinas Pariwisata pada tahun 1973.

Penunjukan Sari Sudo sebagai tenaga khusus pengajar itu juga ditujukan untuk memupuk persahabatan Indonesia-Jepang, yang berkat jalinan hubungan ke dua negara itu, terealisasilah bantuan dari Prof. Dr. Furusato yang berhasil didapatkan Sari Sudo berupa 200 jenis tumbuh-tumbuhan sumbangan dari Jepang untuk ditanam di desa Plaga.

Kemampuan bahasanya terbilang banyak memberikan andil dalam komunikasi budaya Jepang dan Indonesia. Hal ini selain aktif terlibat sebagai penterjemah pada acara-acara penting, Sari Sudo juga sempat tercatat sebagai penterjemah untuk research dan study tarian tradisional Kecak yang akan dipertunjukkan oleh ‘Syoji Yamashiro’ kepada masyarakat Jepang.

Kendati di tahun 1974 Sari Sudo memutuskan untuk berhenti mengajar di ABA, namun ia tidak menghentikan peran sosial sebagai penyambung lidah budaya di negeri ini. Sari Sudo justru memutuskan untuk lebih memfokuskan membuat terjemahan berbagai literatur dan keterangan tentang tari-tarian seperti Barong, Kecak dan Legong ke dalam bahasa Jepang, serta membuat keterangan tentang obyek-obyek pariwisata yang ada di Bali ke dalam bahasa Jepang, untuk mempromosikan Bali ke Jepang.

Tidak cukup dengan itu, Sari Sudo bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Konservatiori Karawitan Indonesia (KOKAR) Denpasar di tahun 1976 untuk mulai memperkenalkan kesenian tradisional Bali khususnya seni tari dan tabuh kepada wisatawan Jepang.

Upayanya tidak sia-sia, sejak program itu berjalan, dengan rentan waktu kurang dari 3 tahun, wisatawan dari negeri Sakura semakin banyak yang datang ke Bali.

Prestasi kerja Sari Sudo yang mengagumkan itu memposisikannya  pada jabatan sebagai Executive Manager pada tahun 1979.

Semenjak itulah angka kedatangan tamu Jepang meningkat drastis ke Bali yang disambut dengan penggiatan berbagai macam pagelaran seni tradisional Bali yang pada kurun masa itu kembali gencar dibangkitkan kembali seperti kesenian tradisional ‘Jegog’ melalui beraneka stimulus dan dorongan termasuk pada pendiri dan pembina Jegog Group (Suar Agung) yang popular di Bali.

Dedikasinya pada peningkatan di berbagai detail komponen kepariwisataan membuat Sari Sudo dipercaya sebagai Kepala Cabang Natrabu Denpasar di tahun 1984. Dengan karir yang terus meningkat cemerlang di dunia pariwisata, Sari Sudo semakin merapatkan dirinya pada nadi-nadi pariwisata Bali dengan aktif di dalam organisasi ASITA dan aktivitas kepariwisataan lainnya.

Lakonnya untuk menggaungkan kepariwisataan Bali sepertinya tak pernah usai dalam kiprah Sari Sudo, bahkan di tengah kesibukannya yang padat ia mengambil peran bertindak sebagai koordinator dalam proyek shooting siaran televisi NHK (TV Jepang) dalam misi acara memperkenalkan Bali secara utuh yang akhirnya berlangsung sukses.

Selain keberhasilannya sebagai koordinator penyiaran itu, Sari Sudo juga sukses luar biasa dalam koordinasi pelaksanaan training program Geino Yamashirogumi untuk 180 orang di Ubud, yang pada saat itu memang tengah banyak-banyaknya mahasiswa Jepang datang ke Ubud, dan memerlukan penginapan hotel, losmen dan rumah-rumah penduduk untuk menampung mereka.

Segala jasa dan peran aktifnya dalam mempererat hubungan budaya Jepang-Indonesia, pada tahun 1986, Sari Sudo dianugerahi penghargaan ASIA AFRICA AWARD dari Asia Africa Culture Foundation Jepang karena dinilai berhasil dan berjasa dalam memperkenalkan Culture Asia khususnya Bali di Jepang, dan menjadi jembatan penghubung untuk persahabatan antara Indonesia dan Jepang, yang pada upacara penerimaan penghargaan tersebut ‘Hayakawa’ selaku Product Manager dari Nippon TV dan ‘Iwai Hanshiro’ (Kabuki Star) memberikan ucapan selamat dan sambutan khusus untuk Sari Sudo.

Setelah bekerja dan mengabdi selama 20 tahun di PT. Natrabu, tepat pada bulan Desember 1991 Sari Sudo mengundurkan diri dengan hormat dari PT. Natrabu dan dilepas dengan perpisahan yang sangat istimewa.

Dan pasca karirnya di Natrabu, Sari Sudo membidani usahanya sendiri dengan bendera PT. Sari Gumi Bali Tours yang bergerak dalam  industri pariwisata dengan mengemban visi dan misi untuk menjembatani pertukaran budaya antara Indonesia khususnya Bali dan Jepang, dan tetap gencar dalam upaya semaksimal mungkin untuk mempromosikan khasanah dan budaya Bali di manca negara khususnya Jepang seperti upayanya melakukan jalinan kerja sama dengan berbagai televisi di Jepang  untuk melakukan siaran memperkenalkan Bali dan mengadakan serangkaian promosi bahkan Shooting Coordinate untuk  beberapa program dari NHK, TBS,  KBS Kyoto dan TV Tokyo.

Peransertanya mempopulerkan Bali menjadi sebuah konsentrasi khusus dalam jadwal kerja Sari Sudo hingga saat ini, bahkan kini iapun mendominasi kiprah sebagai  Direktur Yayasan Cipta Budaya Bali, yang semakin menegaskan betapa Tuhan telah mengirimkan sekuntum Sakura ke pulau Dewata, untuk membuka sebuah jalan pertalian budaya yang berbuah manis bagi dunia pariwisata.


family picture

DATA PRIBADI

Nama                : Sari Sudo
Tempat/
Tanggal Lahir  : Tokyo 16 Agustus 1948
Agama               : Hindu
Profesi               : Pengusaha
Alamat rumah : Jl. Bumi Ayu II/1 Sanur, Denpasar
Alamat kantor : Jl. Bajangsari Intaran Timur No.5, Sanur
Hobby               : Membaca buku novel, musik klasik, dan nonton film
Jumlah anak    : 4 orang
Semboyan
Hidup                : Konsekuen dan selalu berbuat baik dan sabar dalam menghadapi apapun

Pesan                 : Bali sangat potensial dengan pariwisata tapi kita harus kreatif dan mampu mengikuti perkembangan zaman. Industri pariwisata bisa menjadi sangat menarik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>