dr. I Wayan Retayasa, Sp.A (K)
OLAH KARYA LUAR BIASA
DOKTER MUTI TALENTA
I Wayan Retayasa tokoh kelahiran Kuta, 29 Desember 1959 lebih dikenal sebagai pengusaha property dan akomodasi sukses sekaligus pioneer gerai klinik medis ber trademark ‘Legian Klinik’, dibanding karirnya yang tak kalah luar biasa sebagai dokter anak yang telah lebih dari 20 tahun menjadi pilihan dedikasinya pada masyarakat.
Kiprah Retayasa di bidang wirausaha memang terkesan jitu, ia bahkan dalam waktu singkat mampu membiakkan satu embrio usaha pension (penginapan kecil) menjadi hotel berkelas layaknya bintang berbendera La’Walon Hotel, beberapa unit klinik, apotek, property dan terus menggurita membesarkan namanya sebagai praktisi dan profesional pribumi Bali yang santun dalam menjalankan roda bisnisnya.
Namun kendati sukses menjadi pengusaha, Wayan Retayasa juga mendulang karir dalam profesi sosialnya sebagai dokter anak yang beberapa kali mewakili Bali dan Indonesia ke kancah internasional dalam rangka pendidikan ilmu kedokteran, sekaligus hingga kini terus mengabdikan diri menjadi dosen fakultas kedokteran program strata satu dan dua di Universitas Udayana, demi tekadnya untuk meregenerasi dokter-dokter profesional yang lahir dari putra daerah Bali, sebagaimana harapannya membentuk sumber daya masyarakat Bali yang berkualitas tinggi dan mampu menjadi tuan di negeri sendiri.
Karir kedokterannya dimulai setelah ia lulus dari fakultas kedokteran UNUD tahun 1987, dan langsung ditempatkan di Sumbawa Timur kecamatan Plampang sebagai kepala Puskesmas.
Setelah usai masa tugasnya Wayan Retayasa kembali ke Bali dan meneruskan sekolah di Universitas Udayana mengambil spesialisasi anak hingga tamat di tahun 1998.
Pilihannya pada spesialisasi anak tak lepas dari riwayat masa kecil Retayasa yang sempat menderita sakit diare akut dan sudah diyakini tak akan tertolong lagi, namun untunglah ada seorang dokter dari Inggris bernama ‘dr. Ridge’ yang menyarankan agar Retayasa diminumi air kelapa sebanyak-banyaknya.
Berkat saran dr. Ridge keadaan Retayasa yang baru berumur satu atau dua tahun ini berangsur membaik dan sehat, karena itulah dikemudian hari putra Kuta inipun menggantungkan cita-citanya menjadi seorang dokter anak.
Wayan Retayasa mengawali pendidikan dasar di SDN 2 Kuta. Masa kanaknya tumbuh dalam harmoni kehidupan alam desa Kuta yang damai lengkap dengan bentang sawah tempat ia kerap munuh padi (mengumpulkan padi hasil panen yang jatuh atau terlewat diambil saat musim panen tiba) sambil selalu ceria berbaur bermain bersama kawan sebaya mengakrabi suasana pantai berpasir putih di Kuta di permulaan pariwisata baru akan mulai tumbuh menggeliat di sana.
Namun terkadang di luar waktu bermain itu, ia juga ringan tangan membantu ibunya berjualan ke pasar Badung, Denpasar, kendati harus berjalan tergopoh karena tangan kecilnya harus menjinjing seikat pelepah daun kelapa kering/saang yang lumayan berat untuk anak seusianya dari tempat pemberhentian truk angkot yang telah membawanya dari Kuta sampai tiba di pasar, di depan pabrik es Ganevo di jalan Kartini.
Beruntung bagi Retayasa, masa sulit berjualan pelepah kelapa kering itu tidak lama ia jalani, setelah keluarganya dapat mengikuti arus peluang di sektor kepariwisataan dengan mulai terjun mengambil peran dan menikmati gelimang dollar imbas berkembangnya pariwisata Kuta yang terus dibanjiri wisatawan.
Apalagi kebetulan ‘Nengah Walon’ ayahnya adalah seorang pengrajin emas dan perak sehingga karena itu dengan mudah dapat menjual kerajinan tangan yang dipasarkan oleh para art shop sebagai cendramata termasuk juga Retayasa yang tidak mau ketinggalan ikut berebut mencicipi manisnya gemerincing dollar dengan ikut-ikutan mengacung di pantai menjual berbagai asesoris perak buatan ayahnya dan juga post card atau bahkan kerajinan tangan yang sedikitnya dapat memberi keuntungan sebesar Rp. 1000,- per hari di saat harga nasi bungkus masih berkisar Rp. 25,-
Sekitar tahun 1972, kesejahteraan keluarganya semakin meningkat saat ayahnya memutuskan membuka ‘Pension Walon’ yang hanya memiliki 4 kamar berbaur dengan tempat tinggal mereka.
Saat itulah penginapan kecil ini mulai menerima tamu yang kebanyakan para hipies (wisatawan muda asal Australia) dan tinggal dalam kurun waktu lama hingga berbulan-bulan.
Karena begitu seringnya berhadapan dan menjalin komunikasi dengan para turis asing maka wajarlah bila Retayasa sudah terlihat mahir berbahasa Inggris yang ia pelajari autodidak dari lingkungannya sehari-hari.
Uniknya walau di rumah Wayan Retayasa sibuk dagang acung dari pantai sampai ke losmen-losmen hingga ia dapat membeli sepeda bahkan sepeda motor sendiri dari hasil mengacung, namun prestasi di sekolahnya tetap tidak ketinggalan, bahkan ia dapat lulus SD dengan predikat memuaskan dan langsung diterima masuk di SMP Sunariloka, Kuta.
Tidak ubahnya saat sekolah dasar, kecerdasan Retayasa semakin menonjol di SMP, bahkan ia selalu merebut juara dan mulai memiliki keinginan untuk dapat diterima di SMA favorit terbaik selepas SMP nanti.
Demi tujuannya itu Wayan Retayasa memutuskan untuk berhenti berdagang acung dan memilih konsentrasi pada sekolahnya.
Alhasil pada tahun 1976, Retayasa berhasil lulus SMP dan persis seperti cita-citanya ia diterima dengan mudah di SMA favorit terbaik saat itu, di SMA Negeri 1 Denpasar.
Sekolah di SMA berkualitas yang sarat dengan tuntutan prestasi tentu tidak sejalan dengan situasi lingkungan Kuta yang hingar bingar dengan musik dikotik, pub, bar dan pesta pora wisatawan yang suasananya tak dipungkiri menarik hasrat dan perhatian para remaja Kuta untuk ikut larut di dalamnya.
Sudah banyak pemuda lokal yang terbuai gaya hidup barat menyadur kebebasan para hipies Australia di Kuta, membuat norma tradisi, adat dan tata krama luntur disusul dengan pendidikan sekolah mereka yang berantakan terbengkali dan akhirnya pupus di jalan.
Kenyataan ini disadari Retayasa lebih awal dibanding kawan-kawannya, ia berkeras menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama demi meraih cita-cita. Untuk itulah karena alasan lingkungan, Retayasa memutuskan kos di Monang-maning Denpasar, di rumah Drs. Wayan Warna, Kepala Dinas Pendidikan kala itu yang juga sahabat ibunya yang semenjak di sana selalu memperlakukan Wayan Retayasa dengan penuh perhatian dan kasih sayang seolah menggantikan peran anak kandung mereka yang meninggal dunia.
Berkat pendidikan disiplin dan perhatian tulus dari bapak kosnya, akhirnya Wayan Retayasa berhasil menamatkan SMA dengan predikat memuaskan.
Setamat SMA, kesetiaan Retayasa pada cita-cita masa kecilnya untuk menjadi dokter ia wujudkan dengan melanjutkan ke fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang dirampungkannya tepat di tahun 1987, dan kemudian melanjutkan spesialisasi anak sekembali dari tugasnya sebagai kepala PUSKESMAS di Plampang, Sumbawa.
Sebagai dokter anak Wayan Retayasa dikenal sangat cerdas dan berdedikasi tinggi, hingga karena itu di tahun 1999 ia mendapat beasiswa dari Departemen Kesehatan sebagai dokter anak pertama di Indonesia yang ditugaskan belajar di Rumah Sakit KOBE, Jepang di bawah bendera ‘Japan Internasional Cooperation Agency’ (JICA) selama enam bulan setelah melalui seleksi yang sangat ketat.
Bukan hanya itu, beberapa tahun kemudian dengan penilaian independen yang cukup selektif, kembali Wayan Retayasa ditunjuk menjadi wakil dari seluruh dokter anak di Indonesia untuk belajar di Jeneva, Swiss selama 2 bulan di tahun 2005, atas prakarsa Parinasa Pusat (Perhimpunan Perinatologi Indonesia) dan badan kesehatan dunia WHO di bawah PBB.
Sementara di bidang lain, sekitar tahun 1992, keluarga Wayan Retayasa menyewakan sebidang lahan milik mereka di kawasan primium Kuta untuk disewa selama 20 tahun oleh investor Jepang dan dijadikan apartemen dengan sistem ‘BOT’/Build Operation Transfer yang artinya setelah masa kontrak berakhir pihak pemilik tanah mendapat kembali lahan sekaligus bangunan gedung di atasnya.
Beberapa tahun kemudian tepat di kisaran tahun 1999, sepulang Wayan Retayasa dari pendidikannya di Jepang, ia melihat areal Kuta telah berubah menjadi kawasan strategis yang memiliki nilai bisnis tinggi.
Laju pertumbuhan wisatawan dan kepadatan jalur perdagangan yang berdampak pada sirkulasi dollar yang cepat menjadikan Kuta adalah kawasan emas untuk berbisnis.
Saat itu banyak sekali para pemilik tanah yang menjalin kerja sama dengan investor asing untuk membangun kawasan pertokoan dengan sistem kongsinasi/bagi hasil yang bahkan nilai pembagiannya terkadang melampaui angka 50%.
Realitas tersebut sulit untuk diterima dalam benak idealisme Retayasa yang selalu berkeras bahwa orang Bali hendaklah menjadi tuan rumah di tanah kelahirannya.
Sebab itu demi dapat untuk mewujudkan intuisi untuk mengolah lahan miliknya di kawasan Kuta menjadi sebuah plaza pertokoan, Retayasa menggandeng agen pemasaran property ‘Prokon Indah’ untuk mengolah pemasaran yang dilakukan secara bertahap. Dengan begitu, bermodal dana sekitar 1,5 M, Wayan Retayasa dapat memulai pembangunan kompleks pertokoan dan terus mengembangkannya bersamaan dengan pemasaran yang berjalan, sehingga persis sebagaimana perhitungannya, tanpa kesulitan yang berarti Retayasa berhasil merampungkan areal pertokoan exclusive seluas 66 are berarsitektur pedestrian modern yang diberinya nama ‘La’Walon Centre’ dan dibuka secara resmi oleh Bupati Badung, ‘AA Oka Ratmadi’ pada bulan Agustus 2002.
Bersamaan dengan itu, Wayan Retayasa tidak mengesampingkan profesi kedokterannya, ia mendirikan ‘Legian Medical Clinic’ sebagai klinik kesehatan yang ditujukan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi para turis dan masyarakat sekitar yang terus ia kembangkan hingga cabangnya sampai ke kawasan Seminyak, Sanur, Nusa Dua dan Ubud dibarengi dengan pembukaan beberapa Apotek baik di kawasan Kuta dan Denpasar.
Sukses besar dalam pembangunan ‘La Walon Centre’, Retayasa mengambil alih lahan yang sebelumnya disewa oleh investor Jepang berikut membeli apartemen yang telah dibangun di atasnya.
Pengambil alihan ini ditujukan Retayasa untuk menyambung akses jalan dari areal lahan miliknya di belakang apartemen untuk dihubungkan menjadi satu kawasan.
Setelah akses jalan terbuka, kembali apartemen tersebut disewa oleh ‘Kamasutra Apartement’ dengan sistem perpanjangan tiap tahun.
Rupanya Retayasa sungguh-sungguh ingin menjadi tuan di negeri sendiri, sikap kritisnya pada investor menandakan ia tidak mudah tergiur dengan keuntungan finansial yang semu dengan menjual lahan yang bisa berdampak menjadikan pribumi Bali senasib dengan warga Betawi yang tergusur oleh kaum pendatang.
Kesuksesan yang bertaburan itu kembali disempurnakan Retayasa di tahun 2008 dengan merenovasi La’Walon Bungalow yang memiliki 37 kamar di tahun 1985 metamorfosa dari ‘Pension Walon’ yang hanya 4 kamar dengan merubahnya menjadi Hotel berfasilitas bintang berkapasitas 60 kamar dengan 5 lantai bangunan utama yang dihiasi patung Garuda Wisnu karya seniman besar Bali pembuat patung Dewa Ruci, di mana Garuda Wisnu disepakati Retayasa dan keluarga sebagai maskot Hotel La’Walon.
Kendati kuat dalam struktur imperium dagangnya, namun Wayan Retayasa tetap terus menciptakan peluang bisnis baru. Kini ia dan Dra. Ni Wayan Joni, istrinya tengah mengembangkan usaha rumah kos yang sudah memiliki sedikitnya 90 kamar hunian yang tersebar di Denpasar yang terus dikembangkan dengan membangun puluhan unit lagi mulai dari bentuk standart hingga exclusive berfasilitas sekelas hotel bertarif relatif lebih murah dibanding rumah kos pada umumnya yang harga ini memungkinkan karena terdukung oleh kwantitas banyaknya unit kamar sehingga tak heran tingkat akupansinya menembus 100% dan menjadi rebutan para pencari kos di kota Denpasar.
Untuk mengelola itu semua, Retayasa tidak banyak mengambil peran dalam operasional dan pengelolaan, semua telah rampung dijalankan sang istri.
La Walon Hotel
Di sini terlihat bahwa peran istri memberi kontribusi besar terhadap setiap kesuksesan yang berhasil diraih Retayasa. Ia sebagai entrepreneur sempurna beradu dengan pelaksana konsep dan penggerak operasional yang ulet dan tekun yang diperankan oleh Ni Wayan Joni.
Dra. Ni Wayan Joni tampil luar biasa mengendalikan dan mengelola seluruh cabang usaha yang mereka bangun bersama dengan gaya profesional demi menutupi ketidak mungkinan Wayan Retayasa untuk mengoperasionalkan seluruh cabang usaha di tengah kesibukan jadwal rutinitas yang ada.
Karena itulah tidak hentinya Retayasa mensyukuri perjodohannya bersama Ni Wayan Joni yang bukan saja telah menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anaknya namun bahkan wanita ini juga utuh menjelma sebagai mitra terbaik yang selama ini terbukti tangguh berada di garda terdepan mewujudkan gagasan dan intuisi cerdas Retayasa membangun kesuksesan masa depan yang tak mungkin dapat tergantikan perannya.
Bagi Wayan Retayasa apa yang dikerjakan dan keberhasilan yang diperolehnya baik secara pribadi dan kesuksesan keluarganya dalam kerajaan bisnis ‘La’Walon Group’ bukanlah bentuk dari ambisi yang berlebihan, ia cenderung melakoni semuanya bak falsafah air mengalir, tidak ada yang dipaksakan melampaui yang sewajarnya.
Hingga kinipun Wayan Retayasa walau dihimpit waktu yang padat, ia tetap menyediakan waktunya untuk melayani pasien di rumahnya setiap pagi mulai pukul 06.00 WITA sampai pukul 09.00 Wita dan kemudian meneruskan dharma bhaktinya sebagai tenaga medis di Rumah Sakit Wangaya dan terus berlanjut mengajar sebagai seorang Dosen di UNUD dan tidak berhenti itu saja, yadnyanya untuk berbagi pengetahuan dan ilmu ia tularkan melalui media yang lebih luas dengan mengisi acara televisi dalam program acara ‘Harmoni Bali’ dan ‘Mutiara Hati’ di Bali TV.
Meski padat aktivitas menguras hampir seluruh waktu berharganya, namun dr. I Wayan Retayasa, Sp.A (K) hingga detik ini terus mendedikasikan diri berbagi pengalaman, informasi dan ilmu termasuk sebagai seorang pakar Konsultan Perinatologi/Bayi melalui segala upaya demi satu tekad, mewujudkan generasi Bali yang sehat dan cerdas serta sekaligus membuka wawasan masyarakat Bali untuk berani tampil dalam pembangunan Bali dan mampu mempertahankan jati dirinya untuk tidak terpinggirkan sebagai orang Bali dari gerusan arus globalisasi.
family picture
DATA PRIBADI
Nama : dr. I Wayan Retayasa, Sp.A (K)
Tempat /
Tanggal lahir : Kuta, 29 Desember 1959
Agama : Hindu
Profesi : Pengusaha
Dokter Anak
Menikah : 23 Oktober 1987
Nama istri : Dra. Ni Wayan Joni
Anak : 4 orang
Aktif sebagai : – Ketua PERINASIA
- Ketua Alumni Kedokteran angkatan 1979
- Ketua Arisan Dokter
- Pengurus IDAI cab Bali
- Pelatih keterampilan Dokter Anak di Indonesia Bagian Timur.
Hobby : Jalan-jalan mengenal Indonesia dan kota-kota besar di dunia.
Semboyan Hidup : Biarlah hidup ini mengalir seperti air dan tidak dibebani oleh target.
Pesan : Janganlah menjual tanah kepada investor asing, agar kita bisa menjadi tuan rumah dan pengusaha di tanah dan rumah kita sendiri, karena Bali adalah tempat kunjungan wisata terbaik di dunia.
Leave a Reply