Pande Nyoman Radiasa | (BOBBY G-Land)

bobby

KILAS HIDUP PEMBURU GELOMBANG

 

Pantai indah dengan gelombang besar yang menggulung panjang dan kemudian pecah satu-satu mengikuti laju papan selancar yang menerobos beratraksi di dalam lorong ombak adalah sebuah keindahan yang memukau bagi para Surfer di dunia.

Tidak ada yang lebih memuaskan selain memacu adrenalin dan berkreasi dengan debut gaya bergelut melawan deru kecepatan gelombang bagi para peselancar.
Olah raga penuh tantangan inilah yang membakar semangat, kesetiaan, ketekunan dan dedikasi para pecintanya untuk berburu gelombang di berbagai lautan di seluruh belahan bumi berada.
“Surfing” begitu orang menyebutnya, olah raga ini mulai populer di Bali setelah geliat pariwisata mengundang minat wisatawan untuk mengakrabi pantai-pantai di pulau ini. Banyak turis yang kemudian datang dengan menenteng papan selancar dan memainkannya di sepanjang pantai Bali.
Seperti di pantai Kuta yang  dulu masih banyak bersandar perahu-perahu nelayan tradisional, ombaknya digemari para tamu untuk berselancar.
Bocah-bocah desa Kuta yang biasa menghabiskan waktu berenang sambil bermain papan kayu ‘serupan’  memandang orang-orang bule yang asyik menaiki papan luncur seperti mereka namun melaju menyusuri lorong ombak; “papannya besar, bersirip dan bukan dari kayu”, begitu para bocah ini mulai mengamati-amati.
Lambat laun akhirnya merekapun sudah mulai membiasakan dirinya bermain di pantai bersama para wisatawan, dan bahkan satu-dua orang tamu meminjamkan papan luncurnya untuk dipakai bermain anak-anak di sana.
Begitu juga dengan Pande Nyoman Radiasa, anak ke 3 dari 9 bersaudara pasangan Pande Nengah Jedeg dan Ni Nengah Rineh inipun juga selalu menghabiskan waktu sepulang sekolah bermain lepas di pesisir pantai Kuta.

Radiasa memang tinggal tak jauh dari sana, ayahnya seorang pengrajin emas yang juga merupakan profesi sebagian masyarakat desa Kuta selain bertani dan nelayan.
Penduduk hidup sederhana dan anak-anak mereka cukup akrab dengan suasana laut dan cukup senang hanya dengan bermain dari apa yang alam sediakan bagi mereka.
Di Kutalah waktu itu, sekitar tahun 1969 Radiasa yang memang sangat gemar berenang, bermain ‘serupan’ meluncur dengan sepotong papan kayu buatannya sendiri, terlihat tak ketinggalan ikut berbaur bersama kawan-kawannya menyaksikan para turis yang beratraksi meliuk-liukkan gerak papan surfingnya di antara gelombang ombak.
Sesekali Radiasa berkesempatan mencoba papan surfing itu dan dasar anak pantai, tidak lama belajar, Radiasa telah mulai bisa menjaga keseimbangan tubuhnya di atas papan dan melaju mengikuti irama ombak.
“Wow, asyiknya,…… sungguh menyenangkan dan sangat memuaskan, bermain surfing dikejar ombak,…… sebuah kepuasan yang sulit untuk diungkapkan”, begitu Radiasa mengenang pengalamannya mengenal permainan ini.
Keesokan harinya dan di hari-hari berikutnya, Radiasa terus ingin dan ingin kembali beraksi bermain surfing dan malah kesukaannya pada surfing semakin lama berubah menjadi cinta, apalagi kemudian, tepatnya di tahun 1970 seorang tamu asal Australia memberinya sebuah papan selancar berwarna biru sebagai kenang-kenangan. Kendati papan surfing itu sudah tidak begitu bagus, namun inilah cikal bakal kiprah seorang Radiasa sebagai pemburu gelombang.

Semenjak saat itu, Radiasa dengan hobbynya acap kali menghabiskan waktu untuknya berselancar, tidak saja di Kuta, namun juga mulai mencoba pantai-pantai yang lain di sekitar Denpasar.
Hasilnya, berkat ketahuannya pada berbagai lokasi pantai dengan gelombang yang bagus di Bali, beberapa turis kemudian memanfaatkan jasa Radiasa sebagai penunjuk jalan dengan hadiah sebuah papan surfing baru untuk setiap tempat yang ditunjukkannya.

Pada suatu kisah di tahun 1976, Radiasa yang saat itu bersahabat dengan salah seorang tamu bernama Bobby memang memiliki banyak kawan turis dari berbagai negara. Rata-rata mereka cukup kesulitan mengucapkan lafal nama ‘Radiasa’, yang mereka ingat hanyalah ‘Bobby Friend’ (teman si Bobby) dan lama kelamaan orang malah mulai memanggil Radiasa dengan panggilan “Bobby”, saja, sebuah nama yang sukarela ia sandang hanya demi memudahkan mereka untuk memanggilnya. Nama ‘Bobby’ memang ia akui terkesan lebih familiar dan mudah untuk diucapkan, sehingga sampai kinipun, orang lebih mengenal nama Bobby dibanding nama Radiasa yang sesungguhnya.

Sekian waktu berlalu, Bobby Radiasa yang mulai remaja semakin  bersemangat menekuni kecintaannya pada surfing. Saat itu ia juga telah memiliki kelompok kecil pecinta olah raga ini, yang diberinya nama Young Surfer lalu berubah menjadi Surfing Club of Bali dan kemudian berubah lagi menjadi Bali Surfing Club dan seterusnya.
Kesibukan dan asyiknya hidup dalam kesenangan sebagai surfer/peselancar, membuat Bobby banyak meninggalkan aktivitas lainya baik di rumah maupun sekolah.
Hampir penuh waktu dan hari-harinya tercurah untuk berburu gelombang di berbagai daerah. Bersama komunitas kecilnya itu Bobby telah banyak menelusuri pantai hingga kemudian berkat dedikasi dan kesetiaannya pada surfing iapun berkesempatan berkenalan dengan seorang Surfer bernama Mike Boyum.
Mike Boyum adalah seorang pegandrung surfing yang banyak menyensponsori beberapa kegiatan surfing di Bali, dan sudah sepantasnya bila Boyum kemudian disebut sosok berjasa dalam menggairahkan olah raga surfing di Bali.
Atas uluran tangan Boyum jugalah Bobby Radiasa acapkali terfasilitasi melakukan perburuan mencari gelombang.

Keluar masuk hutan, menyewa perahu boat menyisiri pantai Bali, Jawa, Lombok, Nusa Lembongan Sumbawa demi menemukan pantai dengan gelombang menawan sudah acap kali dilakukan mereka sampai pada suatu ketika sebuah peristiwa membawa mereka pada sebuah kawasan yang istimewa di dunia.

Berawal dari kisah terdamparnya 4 orang Amerika di perairan sekitar Banyuwangi, Jawa Timur. Waktu itulah mereka sempat terkagum pada gelombang ombak pantai ini yang mengesankan.
Beberapa waktu kemudian, satu di antara 4 orang Amerika ini mengisahkan pengalamannya pada Mike Boyum.
Dari sanalah bersama Boyum, ekspedisi pencarian kembali lokasi perairan ini dimulai, dan seperti biasa, Boyum mengajak Bobby Radiasa dan teman-temannya untuk menyertai perburuan yang dimulai dari pelabuhan Benoa, Denpasar Bali menuju Banyuwangi.
Dua atau tiga jam kemudian, sampailah mereka di kawasan Banyuwangi, semua mata sudah dengan awas mencari, mengawasi dan mengamati, tapi areal yang mereka cari belum juga ditemukan, dan kendati telah menyisiri berulang kali bahkan sampai memasuki ujung perairan Nusa Barung untuk yang kesekian kali, namun seluruh anggota ekspedisi tidak kenal pupus untuk terus melanjutkan misi ini.
Akhirnya 6 hari berikutnya, di tengah semangat pencaharian yang tidak lekang waktu, ditemukanlah sebuah zona pantai seperti apa yang sekian hari mereka cari.
Sebuah perairan laut di Plengkung, Grajakan, Banyuwangi yang memiliki karakter gelombang ombak yang menggulung panjang dan relatif konstan serta memiliki banyak tempat atraktif untuk surfing yang dapat dikatakan sempurna di bandingkan seluruh tempat yang pernah mereka temukan di pelosok lautan Nusantara.
Kawasan ini kemudian mereka beri nama “G-Land”, dan sejak saat itulah Bobby yang menjadi salah satu saksi mata di sana langsung jatuh cinta pada kawasan ini.
Namun kondisi tata letak zona ini berada pada bibir rimba belantara tanpa sedikitpun terlihat tanda pemukiman di sekitarnya dan juga terkesan sulitnya jarak tempuh untuk menuju areal ‘G-Land’ ini dengan menembus hutan membuat para anggota ekspedisi lainnya tidak begitu tertarik untuk mengakarabi ‘G-Land’ lebih jauh.

Akan tetapi tidak demikian halnya bagi Bobby Radiasa, rasa cintanya membuat dia merasa sangat nyaman berada di sana, benar saja, setelah kemudian mereka pulang ke Denpasar, Bobby tidak membuang waktu lama untuk bergegas kembali lagi ke Banyuwangi dan kali ini ia memilih jalan darat untuk menemukan ‘G-Land’ dengan caranya sendiri.
Dengan perbekalan yang minim dan perlengkapan seadanya, Bobby merambah hutan menelusuri belantara mengganjal rasa lapar perutnya dengan apa saja yang hutan sediakan untuknya tanpa menawar dan memilih jenisnya.
Akhirnya perjuangannyapun tidak sia-sia, setelah sekian lama, tampaklah ‘G-Land’ di depan mata dan sampailah tiba waktu untuk Bobby memuaskan diri berselancar mengakrabi gelombang ombak ‘G-Land’ sepuas hatinya.

Demikianlah terus di kemudian hari selanjutnya Bobby Radiasa menjadi sering menghabiskan waktu untuk datang kembali menembus hutan menuju ‘G-Land’ demi sekedar untuk sebuah hobby.
Bahkan karena seringnya Bobby mengunjungi ‘G-Land’, iapun mengikuti gagasan Mike Boyum untuk membuat camp sekedarnya dari beberapa tonggak bambu beratap daun alang-alang sekedar dapat dipakai berteduh setiap kali ia dan para surfer lainnya ingin bermain dengan gelombang ombak ‘G-Land’.

Kegemarannya pada surfing memang telah mendarah daging, namun kendati demikian hidup memang harus terus berjalan, Bobby yang mulai dewasa inipun akhirnya jatuh hati pada seorang gadis bernama Barka Handriani (Ani) dan menikahinya.
Di sinilah Bobby sadar bahwa ia harus bekerja, mencari nafkah untuk istri dan keluarga yang juga ia cintai, maka tidak ada pilihan lain selain  mengurangi aktivitas surfingnya dan memulai untuk bekerja.

Setidaknya berbagai macam pekerjaan pernah dicoba ia tekuni, mulai menjadi pedagang acung, pekerja pabrik, room boy di sebuah losmen, bar man, waiters, sound man BBC dan bahkan sampai sempat merantau ke Jakarta sebagai asisten guru di sekolah internasional pun pernah Bobby lakoni dengan sungguh, namun pada kenyataannya, semakin jauh Bobby meninggalkan hutan dan ‘G-Land’, semakin rindulah ia untuk kembali ke sana. Maka dengan berat hati, ia terpaksa meninggalkan semua pekerjaan itu dan lebih memilih mengikuti kata hatinya untuk berada di hutan belantara ‘Alas Purwo’ yang mendekatkannya dengan G-Land.

Beruntung Bobby memiliki istri yang tangguh dan mendukung dirinya, Ani cukup tegar berada di sisi Bobby sebagai istri yang turut setia mempercayai apa yang diyakini sang suami membawa perahu rumah tangga mereka. Berdua bersama istrinya, Bobby membulatkan tekad untuk sungguh-sungguh menekuni surfing sebagai lahan usahanya. Semua diawali dengan fokus ide untuk mengoptimalkan ‘G-Land’, dengan cara menyediakan sebuah camp penampungan bagi para peselancar.

Dengan pengalaman Bobby sebagai guide lokasi selancar dan juga jalinan hubungan luas dengan para surfer yang terbangun selama ini, memberikan gambaran cerah pada masa depan usahanya.


1.     Lokasi G-Land di Grajakan,  Plengkung Banyuwangi – Jawa Timur
2.      Gelombang Ombak G-Land
3.      Camp di G-Land tahun 1979
4.      Camp di G-Land tahun 1985
5.      Suasana G-Land yang menentramkan.
6.      Camp di G-Land  pasca  badai  Sunami  tahun 1985 yang hanya berbentuk tenda dan justru digemari dan menjadi fovorit para peselancar mancanegara.


‘Bobby Surf Camp’  di atas areal lahan 2.5 hektar,  setelah  kepemilikan  Izin  Pengusahaan  Pariwisata  Alam di Th.  2002,   berbentuk  resort  dengan fasilitas akomodasi lengkap.

 

Melalui berbagai lika-liku yang rumit, akhirnya pada tahun 1983, berdirilah sebuah camp non permanen sesuai peraturan yang ada dan mereka beri nama, ‘G-Land Surf Camp’.
Seiring waktu berlalu dan bermunculannya nama-nama serupa yang mengadopsi dari nama ‘G-land’, Bobby pun memilih merubah nama campnya menjadi ‘Tiger Surf Camp’ dan dengan alasan yang sama pula kemudian diubah lagi dengan nama ‘Bobby Surf Camp’ hingga kini.

Sebagai surf camp pertama di dunia, ‘Bobby Surf Camp’ adalah sumber inspirasi bagi camp-camp berikutnya yang muncul di berbagai daerah di dunia seperti Fiji, Tahiti dan tempat-tempat lainnya di berbagai negara termasuk di Indonesia sendiri kemudian marak camp-camp serupa.

Setelah sekian waktu berjalan independent sebagai camp profesional yang menyediakan sarana prasarana akomodasi bagi para peselancar, Bobby kemudian  memilih untuk menggandeng kerjasama dengan pihak pengelola taman nasional, mengingat letak ‘G-Land’ yang berada di dalam satu naungan areal hutan yang dikelola sebagai taman konservasi alam.
Beberapa tahun lamanya hubungan kerjasama itu berjalan cukup baik, sampai kemudian muncul sebuah kebijakan pemerintah atas bergulirnya Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) yang tidak dilewatkan oleh Bobby Radiasa.
Sebagai perintis dan pengelola camp di sana, ia menangkap dibukanya kesempatan atas adanya izin ini sebagai peluang yang sangat baik dan segera melengkapi segala persyaratan yang diperlukan termasuk mendirikan perseroan terbatas hingga persis seperti yang diharapkannya, sebuah izin usaha dan sebidang areal seluas 2.5 ha dipercayakan pada Bobby untuk dikelola secara mandiri.
Kesuksesan Bobby dan Ani istrinya dalam merintis, mengembangkan dan mengelola ‘G-Land’ menjadi moment penting bagi perkembangan dunia olah raga selancar/surfing di tanah air dan sekaligus secara praktis telah mempromosikan Indonesia kepermukaan dunia.

Selain tercatat sebagai camp pertama di dunia dan telah 9 kali berturut-turut meraih predikat ‘the best of camp’ in the world, Bobby Surf Camp dengan ‘G-Land’nya juga tidak kurang dari 4 kali dipilih sebagai lokasi penyelenggaraan event surfing berskala internasional dan juga dinobatkan sebagai the best point event yang tentu juga dalam standart dunia.

Potensi kekayaan pesona alam laut Indonesia rupanya menjadi sebuah kelebihan bangsa kita dibanding negara manapun di dunia. Dan peluang inilah juga yang ditangkap Bobby dan istrinya untuk konsentris menghidupkan dan menonjolkan potensi itu dengan mendirikan banyak camp-camp lagi seperti di Nusa Barung, Dompu NTB, Lombok dan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Kiprah dan peran mereka dalam hal olah raga selancar cukup bisa dipandang berhasil dan selalu konsisten pada profesionalitas.


G-Land Bobby Surf Camp, menjadi camp surfing terbaik di dunia bahkan setelah 30 tahun lebih ditemukannya, camp ini tetap diakui dunia sebagai yang terbaik.

 

Selain banyak terlihat terlibat pada penyelenggaraan event-event selancar baik lokal maupun internasional yang sering diadakan di tanah air, Bobby pun juga secara aktif, kreatif dan agresif berupaya membawa kepopuleran olah raga selancar/surfing yang keberhasilannya terlihat dari pertambahan jumlah penghobby surfing yang cukup signifikan di berbagai daerah di Indonesia.

Tidak banyak yang menjadi harapan Bobby Radiasa sang pemburu gelombang dikemudian hari selain “Para surfer Indonesia harus mampu berprestasi lebih baik dan baik dan terus lebih baik dari atlit manapun di dunia sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas anugrah alam laut Nusantara yang luar biasa”.

 


Pande Nyoman Radiasa (Bobby) bersama istri

DATA PRIBADI

Nama                : Pande Nyoman Radiasa (Bobby)
Tempat /
Tanggal lahir   : Kuta, 2 Mei 1956
Agama              : Hindu
Profesi              : Pengusaha
Pendidikan Formal :
- SD 22 Denpasar, Kayumas
- SMP Denpasar
- SMT Denpasar
Menikah          : 16 Oktober
Nama istri       : Barka Handriani
Jumlah Anak  : 6 orang
Hobby              : Surfing, Nonton Film, Golf

Pesan                : Lakukan segala  sesuatunya  sesuai  dengan  apa yang disenangi agar selalu bisa menikmati  semua pekerjaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>