Drs. Tjokorda Gede Putra Sukawati

cok+adat

JEJAK PANJANG SERANGKAI BAKHTI


Bumi – air tempat kita dilahirkan dan langit, saksi kita dibesarkan, tiada akan pernah terlupa hingga akhir hayat mata terpejam, indahnya, sejuknya dan segala kenangannya selalu mengisi ruang kerinduan dalam sanubari, mengusik sudut-sudut hati kita untuk berbakhti kepadanya.

Kenyataan inilah yang selalu melahirkan jiwa-jiwa luhur dari masa ke masa, dari generasi ke generasi dan sepanjang zaman ini berputar. Kisah kali inipun, tidak lepas dari sebuah dharma luhur putra Bali yang telah membangkitkan pancaran cahaya desanya hingga kini telah menjadi sebuah kawasan yang mampu memperelok Bali di mata dunia.

Ubud – Bali dalam riwayatnya dahulu, tak ubahnya sebuah desa tenang dengan paguyuban masyarakat yang ramah di tengah hamparan sawah. Di masa itulah, di dalam tatanan masyarakat Bali, tersebutlah sebuah golongan masyarakat yang begitu dihormati, disegani, bahkan menjadi panutan bagi masyarakat luas sebagai keluarga Puri yang di dalamnya mengalir darah-darah raja Bali dalam setiap sosok yang memancarkan wibawa dan kharisma sebagai kodrat hidupnya.

Namun justru darah biru yang mengalir inilah yang menjadikan mereka memiliki tanggung jawab lebih besar sebagai seorang pemimpin yang berkewajiban membawa suatu pencerahan, kemajuan dalam menata tangga kemakmuran bagi masyarakatnya.

Inilah yang menjadi tongkat bagi Tjokorda Gede Agung Sukawati, yang telah membawa Ubud memboyong predikat pusat kesenian Bali dan menggaungkannya di seluruh dunia.

Di kala pendudukan pemerintah Belanda, Ubud hanyalah dipandang sebagai desa kecil yang tiada berbeda dengan desa-desa lainnya di pelosok kolong jajahannya.

Akan tetapi tidaklah demikian bagi Tjokorda Gede Agung Sukawati, Ubud baginya menyimpan rona dan pesona kedamaian yang tiada ternilai harganya.

Dan meski demikian kenyataannya, walau juga telah banyak pelancong berkunjung ke Bali, namun hanya segelintir orang saja yang mengenal keindahan Ubud desanya.

Maka, sebuah jalan dirintisnya sebagai pemandu wisata. Beliau mengawali dengan mengajak para wisatawan yang telah menunggu jadwal keberangkatan di pelabuhan Benoa Denpasar, untuk mengadakan perjalanan singkat menikmati desa Ubud yang nyaman.

Ternyata hal ini sangatlah mujarab, banyak dari para wisatawan yang terkesan dan bahkan betah untuk tinggal lebih lama lagi dalam masa liburannya, walau Ubud di saat itu tidak memiliki satupun hotel, namun bukan menjadi sebuah kendala, jalan keluarnya adalah kerelaan Tjokorda Gede Agung Sukawati menjadikan Puri sebagai tempat persinggahan dan peristirahatan para wisatawan itu.

Keramah tamahan raja Ubud ini tentu memberikan kesan mendalam bagi para tamu asing yang dijamu dengan pemandangan asli yang asri di desa Ubud. Maka tentu saja, semakin lama Ubud menjadi tempat yang diminati para wisatawan untuk menikmati kedamaian alam desa Bali. Keberhasilannya ini begitu membesarkan hatinya, maka dengan kewibawaannya, Tjokorda Gede Agung Sukawati membuka diri dan merangkul seluruh masyarakat untuk membangkitkan kesenian dalam segala bidang budaya hingga terbentuklah berbagai kelompok seniman, baik dari seni tari, seni pahat dan juga seni lukis yang tergabung dalam perkumpulan Pitamaha tahun 1934 yang di dalamnya tercatat nama-nama seniman lukis sohor seperti, Rudolf Bonet, Walter Spice, WG.Hofker, I Gusti Ketut Kobot, Ida Bagus Made Poleng, I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gede Sobrat, Ida Bagus Togog dan banyak lagi seniman lukis lainnya.

Memahami akan kentalnya suasana seni di Ubud, maka dibuatlah sebuah wadah pengabdian karya seniman kita oleh Tjokorda Gede Agung Sukawati dalam sebuah Museum yang diberi nama Museum Puri Lukisan.

Itu semua adalah bukti akan pengabdian beliau dan bukan sekedar himbauan atau pemikiran saja yang cukup untuk membangun sebuah tujuan besar bagi desanya namun kiprah dan terjun langsung dalam masyarakat merupakan hal yang nyata akan kepeduliannya kepada masyarakat Ubud. Salah satu lainnnya yang memiliki kandungan arti begitu besar di masa itu adalah manakala beliau (Tjokorda Gede Agung Sukawati) mendirikan sebuah klinik yang merupakan klinik satu-satunya di desa Ubud dan desa – desa di sekitarnya yang kemudian menjadi pusat pengobatan terdekat bagi masyarakat.

Namun tidak hanya itu yang menarik untuk dipaparkan dari dharma yang telah dilahirkan Tjokorda Gede Agung Sukawati yang merupakan pencerminan pemikiran modern sang raja.

Di mana beliau melihat banyak anak – anak desa yang putus sekolah dan membiarkan masa depannya terpasung kebodohan hanya karena kesempatan untuk dapat bersekolah sangat terbatas jumlahnya, hingga  sangat disayangkan keterbatasan itu akhirnya menghambat kesempatan belajar dan pencerdasan anak desa Ubud di masa itu, maka muncullah keinginan besar Tjokorda Gede Agung Sukawati untuk mencerdaskan anak – anak desa Ubud dan membebaskan mereka dari kebodohan dengan mendirikan dua buah sekolah setingkat SLTP sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak desa Ubud, hingga setidaknya, tidak ada lagi  anak desa Ubud yang berniat melanjutkan sekolah menjadi pupus harapannya karena terbentur dengan kapasitas muat sekolah negeri yang sudah pasti tidak mampu menerima mereka semua.

Seiring waktu berlalu, terwujudlah sebuah kesan akan Ubud sebagai pusat seni Bali yang memiliki daya tarik lain di dunia ini yang ditunjang kedamaian nuansa pedesaan yang asri dan alami hingga kini dapat memayungi ratusan ribu masyarakat Ubud dalam kemakmuran dan kesejahteraan abadi.

Tjokorda Gde Agung Sukawati

Kini, setelah Tjokorda Gede Agung Sukawati tiada, beliau bukan saja patut untuk dikenang dan diakui setiap jasa dan dharma bhakti luhurnya, namun lebih dari itu, semua harapan, perjuangan, dan semangatnya harus terus dan terus mengisi ruang di hati kita untuk dapat memberikan kiprah berarti bagi Bali.

Tjokorda Gede Putra Sukawati, ialah salah satu putra dari perkawinan Tjokorda Gede Agung Sukawati bersama Anak Agung Rai, yang secara langsung telah menerima tongkat estafet dari ayahnya guna membangun Ubud dan citra desanya.

Tjokorda Gede Putra Sukawati adalah anak kedua dari empat bersaudara. Ia adalah anak laki-laki pertama di dalam keluarganya.

Sejak usianya baru menginjak empat belas tahun, ia telah di kirim ke Sydney, Australia. Memang pada mulanya kedatangannya ke negeri Kangguru hanyalah untuk berlibur dan berobat gegar otak yang dideritanya akibat kecelakaan.

Akan tetapi kemudian Tjok Putra menyadari akan gelagat maksud lain di balik semua itu yang tidak lain adalah arahan baginya untuk melanjutkan pendidikan di sana dan duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Pertama.

Tjok Putra pun akhirnya mau tidak mau mengikuti perintah ayahnya, walaupun ia merasa telah dipisahkan dari segala macam kebahagiaan kesehariannya di Bali.

Memang bila ia mengingat-ingat kembali, pada kala itu ia tergolong anak yang cukup energik, didukung pergaulan yang begitu luas yang selalu menjadikannya pemimpin dari setiap teman-temannya yang tentu saja hal demikian tidak selalu berdampak positif bagi masa depan dan kemajuan Tjok Putra sendiri, terlebih lagi, ia merupakan harapan dari orang tuanya untuk melanjutkan pengembangan desa Ubud di masa yang akan datang.

Satu tahun sudah Tjok Putra menyelami kerinduan Bali dan desanya dan bukan Tjok Putra bila ia tidak memiliki cara untuk mensiasatinya agar ia dapat kembali ke sana.

Di saat mulai liburan sekolah, ia minta ayahnya agar dapat pulang berlibur ke Bali, tentu saja maksud Tjok Putra segera dikabulkan sang ayah. Setibanya di Bali, Tjok Putra dengan yakin menyampaikan maksudnya untuk tidak mau lagi kembali ke Australia dan ingin melanjutkan sekolahnya di SMA Swastiastu Denpasar dan benar saja, sesuai dengan perkiraan Tjok Putra, rencana ini berhasil seratus persen. Ia akhirnya diijinkan untuk kembali bersekolah di Denpasar.

Dengan wajah ceria, Tjok Putra kembali memasuki pintu gerbang sekolahnya, dan dengan cepat ia disambut kembali oleh teman-temannya yang juga telah satu tahun lamanya ia tinggalkan.

Meriahnya masa remaja Tjok Putra dikenangnya sebagai masa muda yang penuh warna-warni, tidak satupun yang ditakutinya di saat itu, kelantangannya mewakili sekian banyak suara kawan-kawannya di sekolah, menjadikannya untuk menjabat sebagai ketua OSIS.

1974 Selepas dari bangku SMA, Tjokorda Gede Putra Sukawati melanjutkan pendidikannya di Universitas Udayana Fakultas Ekonomi, namun itu hanya berlangsung selama tiga bulan karena ia harus berangkat ke Belanda untuk bersekolah di sana.

Namun ia tidak lama berada di Belanda, karena di sana ia kesulitan untuk mendapatkan ijin tinggalnya dan bahkan Tjok Putra sempat pula menggelandang untuk menghindari petugas setempat. Menyikapi kondisi yang kurang menguntungkan ini, Tjokorda Gede Putra Sukawati bertolak ke Swiss mengingat di sana ia masih memiliki  salah satu saudara yang menjadi duta besar RI di negara itu.

Setibanya di Swiss, Tjok Putra tidak langsung dapat menempuh pendidikan yang diinginkannya, melainkan ia harus menunggu dan menunggu dari sekian banyak daftar antrian untuk menempuh pendidikan.

Mengisi waktu kosong-kosong itu, Tjokorda Gede Putra Sukawati menyibukkan diri dengan mengikuti kursus bahasa Jerman dan juga turut dalam kegiatan anak-anak Indonesia di Swiss. Dalam perjalanan panjang hidupnya, di negara inilah ia kemudian merasakan kebenaran sebuah kemauan keras, keyakinan diri dan keinginan mewujudkannya. Keyakinan ini bermula manakala ia diminta untuk mengisi acara tari dalam perayaan 17 Agustus di Swiss, pada mulanya iapun sangsi, “Mana mungkin membuat sebuah baju tari Bali sendiri tanpa persiapan apa-apa di sini…” begitu keraguan tersirat dalam pikirannya. Namun kemudian muncul kemauan untuk turut menyukseskan terselenggaranya peringatan ulang tahun Negara Indonesia.

Oleh karenanya, dengan keyakinan dan kemampuannya itu, Tjokorda Gede Putra Sukawati mulai merancang sebuah baju tari Bali ala Tjok Gede yang akhirnya jadi pula terwujud dan dapat digunakan meski di balik rancangannya itu, tersembunyi ikatan-ikatan kawat untuk pengikatnya yang hasilnya, mengiringi keberhasilannya menampilkan tari Bali di acara tersebut. Dua setengah tahun di Swiss, Gede Putra kembali lagi ke Belanda untuk bekerja di Atace bidang Kebudayaan untuk Kedutaan Besar Republik Indonesia pada bagian perpustakaan. Beberapa masa di sana, Tjokorda Gede Putra Sukawati mendapat kabar tentang kondisi ayahnya yang sedang sakit, dengan berjuta rasa galau dan gundah berkecamuk di dadanya, Tjok Putra memutuskan untuk pulang ke Bali dengan tiket keberangkatan yang diperoleh secara kolektif atas simpati teman-temannya.

Setibanya di Puri Ubud, di tengah temaramnya malam, Tjok Putra seakan disadarkan pada apa yang telah terjadi di saat itu. Seluruh lapis masyarakat telah bertafakur duduk bersila memenuhi halaman Puri, wajah-wajah mereka begitu mudah dimengerti memantulkan kedukaan yang dalam.

Maka dengan kepasrahan yang lapang, Tjok Putra telah siap menerima kenyataan ini, setegar masyarakat Ubud melepas kepergian Tjokorda Gede Agung Sukawati sebagai sosok tokoh mereka yang ia cintai, Tjok Putra pun menabahkan diri atas kehendak Sang Maha Pencipta.

Di balik itu semua, setelah wafatnya Tjokorda Gede Agung Sukawati, kemudian muncul beraneka tatapan dari segala harapan, cita-cita, rintisan dan perjuangan yang seakan-akan memandang tajam menembus sanubari Tjok Putra untuk dapat meneruskan jejak panjang rangkaian bhakti ayahnya yang kini berada di pundaknya.

Demikian banyak yang harus dikerjakannya, dan ia sendiri tidak tahu harus mengerjakan yang mana, adapun kedua adiknya menumpukan keyakinan mereka pada Tjok Putra sebagai figur kakak di mana kini payung pengayoman itu telah berpindah tangan di genggamannya.

Dalam kebingungan inilah, Tjokorda Gede Putra Sukawati menemukan sebersik kadamaian dalam kesejukan hati dengan menempuh jalan pertama yaitu menikahi seorang gadis Bali yang telah sekian lama mengisi ruang hatinya dan memutuskan pada tanggal 28 Oktober 1983, untuk melangsungkan upacara pernikahannya bersama Tjokorda Istri Candrawati yang seakan menjadikan tanda untuk memulai meneruskan pengabdian luhur ayahnya.

Langkah penting yang dilakukanya kemudian adalah mengurus Museum Puri Lukisan yang merupakan hal terpenting yang ditanamkan Tjokorda Gede Agung Sukawati ayahnya dalam terus menjaga karya seni seniman Bali meskipun museum itu sendiri merupakan wadah sosial yang tidak berunsur komersial.

Selanjutnya, ia bersama kedua adiknya merambah pada sektor-sektor lain, seperti pengelolaan Pita Maha Hotel dan yayasan-yayasan lainnya dengan sekaligus berkonsentrasi mengembangkan kepariwisataan di kawasan desa Ubud.

Segala aspek dan sisi budaya tidaklah lepas dari pantauannya. Dengan segala daya Gede Putra berupaya mempertahankan citra desanya, hal ini kerap digerakkan dengan mengadakan berbagai pagelaran seni, pameran-pameran kesenian keluar negeri dan lomba-lomba, seperti lomba penjor yang ditujukan untuk membiasakan masyarakat desanya menampilkan seni keindahan yang selaras dengan penampilan desa Ubud yang bernuansa seni.

Seruannya untuk tetap menjaga kelestarian desa Ubud ini tiada pernah usai digaungkan, namun tahun demi tahun yang dilaluinya dengan kiprah luar biasa itu akhirnya harus menyongsong perubahan demi perubahan yang dengan cepat memenuhi dan mewarnai Ubud.

Begitu pesat kemajuan Ubud yang kini merobek sebuah kesan alam pedesaan dalam keheningan dan kedamaiannya, “Ubud telah dibanjiri dengan hiruk pikuk kendaraan dan persaingan dagang. Sawah – sawah satu persatu menjadi bangunan dan karya seni menjadi lahan murah perdagangan”.

Namun meski demikian, Tjok Putra tidak pernah berhenti untuk merangkul masyarakat, bahwa Ubud tidak boleh kehilangan pesona seni dan desanya, di mana pesona itulah yang menjadi daya tarik di mata dunia.

Seribu cara untuk menyelimuti kehakikian desa Ubud ia akrabi, yang telah ditumpahkan untuk tetap menampilkan kelestarian citra seni tinggi Ubud, demi Bali, masyarakat Ubud sendiri dan seluruh akar-akar generasi di masa yang akan datang.

Tjokorda Gede Putra Sukawati sendiri menyadari bahwa ia hanya berlaku untuk melakoni sebuah dharma akan bhakti yang ditanamkan sejak terlahir dan dibesarkan sebagai pewaris Puri yang memiliki tanggung jawab luhur, dan seluruh didikan ayahnya di dalam perjalanan hidupnya di masa kanak-kanak dan remaja, hingga ia dikirim keluar negeri di saat ia masih begitu muda, semata-mata dimaksudkan untuk dirinya, agar dapat melihat desanya jauh dari luar sana dan kemudian dari apa yang ia terima, sepenuhnya ditujukan untuk membangun kembali desanya.

family picture

DATA PRIBADI

Nama                     : Drs. Tjokorda Gede Putra Sukawati
Tempat
Tanggal lahir        : Ubud, 5 November 1955
Agama                    : Hindu
Alamat Rumah     : Puri Saren Agung – Ubud
Alamat Kantor      : Tjampuhan Hotel Ubud
Profesi                     : Tokoh masyarakat, Pengusaha dan Seniman
Pend. Formal        : – SDN 2 Ubud
- SMP Swastiastu
- SMA Swastiastu Denpasar
- Universitas Udayana
- ASMI (S-1)

Riwayat
Organisasi                : – Ketua PHRI Gianyar (2 periode) 1984-1992
-   Wakil Ketua KADIN-PUTRI Bali (1 periode)
-   Ketua KADIN – PUTRI Bali  (1 periode)
-  Ketua LKMD Kelurahan Ubud

Menikah                : 28 Oktober 1983
Nama Istri             : Tjokorda Istri Candrawati
Jumlah anak         : 2 Orang
Hobby                    : Berkesenian dan Tenis
Tokoh Idola          : Orang Tua
Warna Favorit      : Hitam
Semboyan Hidup : Melalui hidup tanpa merusak yang ada

Pesan                      : Memelihara pariwisata yang sudah ada agar terus dapat dinikmati sampai anak cucu dan  membuat lebih banyak…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>