Dr. I Ketut Putra Suarthana, Ph.D, MM

suartana+1

CAHAYA BARU PENERANG KEHIDUPAN


Sejenak kita coba membayangkan, berjuta anak terpasung citanya hanya karena tergilas roda kemiskinan, dan sebagian dari mereka yang telah tertampung dalam lorong-lorong panti asuhan sudah begitu bersyukur atas harapan baru bagi sebuah masa depan untuk menyudahi kemalangan hidup yang tidak terbayangkan di dalam kandungan.

Bak pepatah jawa kuno “Tunggak Jati Mati- Tunggak Jarak Mranjak” (bakal tunas  Jati mati – bakal tunas Jarak tumbuh menjalar dengan suburnya atau jelasnya, pohon Jati itu ibarat pohon yang paling mulia, sedang pohon Jarak tidaklah berharga, namun apa yang terjadi, setelah pohon induk mati, justru dari sisa batang pohon Jaraklah yang tumbuh subur pohon baru, sedang dari sisa batang pohon Jati tidak muncul tunas baru) yang maksudnya adalah, bahwa banyak anak dari kalangan berada yang tidak dapat memanfaatkan kesempatannya hingga mereka akhirnya harus menerima kegagalan dan kandas dari cita-cita hidupnya, namun begitu pula sebaliknya, tidak jarang anak-anak yang terlahir dari keluarga miskin-papa dan hanya karena mereka begitu gigih berjuang di segala kesempatan, tanpa memandang dan mengeluhkan di mana ia tumbuh dengan segala keterbatasannya, kemudian di suatu masa mampu hidup dalam kemakmuran.

Pameo di atas hanyalah sekilas bayangan yang setidaknya merupakan lembar-lembar kisah dan laku hidup nyata seorang Dr. I Ketut Suarthana MM.

Gianyar, 5 April 1950, lahirlah I Ketut Linggih dari ayah bernama I Wayan Genjir dan ibu bernama Ni Nengah Meling, sepasang petani di desa Madangan.

I Ketut Linggih yang kini lebih dikenal dengan nama I Ketut Suarthana adalah anak terakhir dari dua belas bersaudara dari keluarga yang sarat dengan kesederhanaan dan keterbatasan kehidupan seorang petani.

Fenomena demikian adalah hal yang wajar dan biasa dijumpai dalam komunitas masyarakat Bali di masa itu. Keadaan tersebutlah yang kemudian memaksa Ketut untuk berhenti sekolah di kala ia baru saja duduk di kelas dua sekolah dasar. Namun sungguhpun demikian, Ketut menyadari keadaan ayahnya yang seorang petani dengan beban keluarga yang demikian berat, apalagi ditambah dengan bencana meletusnya Gunung Agung di tahun 1963 yang semakin meluluhlantakkan seluruh desanya yang tentu saja menjadi sebab utama semakin terpuruknya keadaan ekonomi keluarganya.

Dalam usianya yang baru tiga belas tahun itu, Ketut telah harus merasakan pahitnya sebuah keprihatinan, dengan kesadaran seorang bocah, ia berusaha membantu apa saja yang bisa ia lakukan, seperti menggembala itik dan sapi di sawah yang ia kerjakan sekedar demi meringankan pekerjaan orang tuanya, walaupun terkadang dalam hati kecil Ketut begitu merindukan duduk di dalam bangku sekolah dan turut belajar sebagaimana anak-anak seusianya.

Dua tahun sudah berlalu, keadaan keluarganya tidak membaik, perjuangan bertahan hidup tiada pernah surut diwujudkan dalam kerja keras, namun semua itu tidak mampu merubah apapun dan kemiskinan yang ada tetaplah menjadi kemiskinan.

Sampai dengan di suatu hari, sebuah harapan datang dari salah seorang kakaknya yang mengajak Ketut untuk turut tinggal di sebuah panti asuhan, demi melanjutkan pendidikan yang sempat terputus sedemikian lama. Tiada pilihan lagi bagi Ketut, ia rela harus berpisah dari ayah, ibu, dan saudara-saudaranya untuk selanjutnya menetap sebagai penghuni di dalam panti asuhan Kristen Giri Asih Bali. Hari-hari pertama di dalam panti begitu berat I Ketut Linggih rasakan. Segala kegiatan termasuk pekerjaan dalam panti telah ditentukan jadwal dan waktunya, dari bangun tidur, makan, belajar hingga kembali lagi tidur di malam hari, yang semuanya begitu disiplin dan terprogram.

Namun seberat apapun itu, Ketut terlajur bertekad untuk terus dapat melanjutkan sekolah dan yang lebih mendasar dari semua itu adalah rasa syukur atas hadirnya sebuah kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan begitu saja.

Maka dengan sungguh I Ketut Linggih mematuhi/ mengikuti segala peraturan dan ajaran yang diperolehnya di dalam panti. Kepatuhan inilah yang menjadikannya begitu menonjol sebagai anak yang dikenal cerdas dan pandai, adapun Ketut sendiri merasa telah memperoleh hal paling berharga dalam hidup ini, yaitu sesuatu yang membuatnya hidup berdisiplin, berdoa dan mengenal kitab suci.

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan dasarnya dengan hasil memuaskan, I Ketut Linggih melanjutkannya di SMP Blimbing Sari yang masih juga di bawah naungan panti asuhan tempat ia ditampung di sana. Dan manakala ia baru duduk di kelas satu sekolah menengah, ayahnya tercinta meninggal dunia, peristiwa mengharukan inilah yang menjadikan Ketut memperoleh sebuah jalan keyakinan untuk memeluk agama Nasrani, dan dalam kesadaran inilah, I Ketut Linggih merubah namanya menjadi I Ketut Putra Suarthana, yang baginya berarti datangnya sebuah cahaya baru dalam kehidupan.

Tahun 1971, I Ketut Suarthana, dipindahkan dari Panti Asuhan Giri Asih ke Panti Wisma Harapan di Untal-Untal untuk dapat melanjutkan pendidikannya di SMA Widya Pura di Untal-Untal dan seperti biasa, Ketut selalu menunjukkan prestasi belajar yang membanggakan, hingga setelah berhasil menamatkan SMAnya, ia mendapatkan dukungan pembiayaan untuk melanjutkan kuliah di Akademi Pariwisata Bali dari keluarga Henry Berg, yang nyata-nyata dengan penuh menyokong segala kebutuhan pendidikan I Ketut Putra Suarthana hingga ia berhasil diwisuda. Dengan berbekal segala pendidikan yang ditimbanya di dalam panti asuhan, dilengkapi pendidikan formal yang memadai, maka saatnya Ketut menjadi sosok mandiri yang siap untuk mengamalkan segala ilmu pada dirinya. Mulailah I Ketut Putra Suarthana bekerja sebagai tenaga pembersih kolam renang di sebuah hotel di kawasan Sanur pada sore hari, adapun pagi harinya, Ketut yang diam-diam bercita-cita menjadi seorang guru ini mulai merayap mencapai harapannya dengan kuliah di IKIP Maha Saraswati Denpasar, mengambil pendidikan umum di dalam bagian  kurikulum.

Beberapa tahun kemudian, sesudah menyelesaikan program S-1 dengan baik, Ketut memutuskan untuk bekerja secara penuh sebagai bell boy di sebuah hotel di kawasan Sanur, tidak lama kemudian meningkat pada tingkat reservation manager di Nusa Dua Beach yang juga sering menjadi pramuwisata bagi para tamu asing yang berkunjung di Bali.

Setelah 12 tahun lamanya bekerja sebagai karyawan hotel, barulah cita-cita I Ketut Suarthana terwujud dengan menjadi seorang tenaga pendidik pada Balai Pendidikan dan Latihan Pariwisata Bali-Nusa Dua dan pada tahun 1983, karena  peranannya dalam turut merintis BPLP dan juga prestasi kerja yang luar biasa, Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, mengirimnya ke Denhaag Belanda dalam rangka Summer Course.

Karirnya dari tahun ke tahun semakin meningkat, selain sebagai dosen, Ketut dipercaya menjabat sebagai ketua jurusan di BPLP. Semangatnya untuk turut mengambil peran dalam membagi ilmu telah mendarah daging dalam dirinya, segala hal tentang pendidikannya merupakan hal utama dalam hidup I Ketut Putra Suarthana, meskipun kesibukan kerja dan usaha lainnya mulai menghampiri dan menyita waktunya, namun I Ketut Putra Suarthana merasa tidak pernah kehilangan waktu untuk terus dapat menjalankan dharmanya sebagai seorang guru.

Begitu waktu membawanya ke tahun 1992, di saat Ketut kini juga bekerja sebagai konsultan pada Hotel Dyana Pura yang merupakan hotel yang dikelola oleh gereja dan PPLP Dyana Pura,  di mana ia di sini harus dengan cermat membagi waktunya sedemikian rupa untuk sekedar dapat tetap mengajar demi menuruti gelora nuraninya agar dapat terus berbhakti di dalam dunia pendidikan yang tetap tidak pernah luntur semangatnya, meskipun kemudian ia telah mampu mendirikan sendiri sekolah pelatihan pariwisata yang ia beri nama MAPINDO di tahun 1992, dan kemudian disusul pendirian usaha pariwisata dalam bentuk perusahaan Travel dan pembuatan usaha akomodasinya dalam bentuk hotel di Pulau Lombok dan juga dibuka usaha kayu miliknya, yang semua itu bagi I Ketut Putra Suarthana hanyalah sarana usaha penunjang kehidupannya, karena yang merupakan fokus utama adalah melebarkan sayap untuk dapat lebih berkiprah di bidang pendidikan Pariwisata. Upaya yang diwujudkannya dalam nyata adalah dengan dibukanya Akademi Pariwisata lainnya di berbagai daerah seperti pada tahun 1995 di Mataram, kemudian tahun1999 didirikan di daerah Tabanan dan Singaraja. Selainnya itu, I Ketut Putra Suarthana juga mendirikan Akademi Pariwisata Tri Atmajaya di tahun 1998 dan (STIE) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi/ Pariwisata Tri Atma Mulya di tahun 1999 yang juga diharapkannya dapat menjadi wadah belajar generasi-generasi bangsa untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Dan inilah, sebuah perjalanan panjang, dari seorang yang telah mampu membiaskan seluruh anugrah, berkat Tuhan dan apa yang pernah diterimanya di sepanjang perjalanannya sebagai seorang anak panti asuhan hingga kini telah berdiri di antara tokoh-tokoh pembangunan Bali lainnya, khususnya di bidang pendidikan dan kemajuan generasi-generasi penerus Bali dan bangsa Indonesia.

Mungkin beberapa puluh tahun silam, seorang I Ketut Linggih, tidak pernah menduga, bahwa nama I Ketut Putra Suarthana yang dibuatnya dengan kandungan arti sebagai Putra dengan cahaya baru dalam hidupnya, ternyata di masa kini telah mampu memberikan beribu-ribu cahaya bagi orang lain, yang telah ia rintis dengan kesetiaan akan cita-citanya, perjuangan, pemikiran dan segala pengorbanan luhur tanpa pernah berharap rangkaian bintang jasa di dadanya.


family picture

DATA PRIBADI

Nama                   :    Dr. I Ketut Putra Suarthana Ph.D, MM
Tempat /
Tanggal lahir       : Gianyar, 5 April 1950
Agama                 : Kristen
Pekerjaan            : Dosen & Pengusaha Pariwisata
Alamat Kantor     : MAPINDO
Jl. Kubu Gunung -Tegal Jaya-Dalung Kuta
Alamat Rumah    : Jl. Kubu Gunung -Tegal Jaya-Dalung Kuta

Pendidikan Formal :
-    SD Maranatha Blimbing Sari – Blimbing Sari
-   SMP Widya Pura Blimbing Sari-Blimbing Sari
-   SMA Widya Pura – Untal-untal
-   Akademi Pariwisata Denpasar
-   IKIP Maha Saraswati -Denpasar
-   STIE GANEZA Jkt (S-2) Magister Management
-   Doctor Business Administration (S-3)
-   American Institute Management Studies (AIMS)

Bidang Lainnya    :    – Travel Gloria Bali Wisata
- Hotel Puri Saron – Lombok
- Perusahaan Kayu
- Akademi Pariwisata Triatmajaya
- STIE Tri Atma Mulya
- MAPINDO Surabaya – Jawa Timur
- MAPINDO Mataram
- MAPINDO Tabanan – Bali
- MAPINDO Singaraja – Bali
- MAPINDO Bali

Aktif dalam
bidang                 : -    Ketua Himpunan Lembaga Latihan Seluruh Indonesia
- Ketua Himpunan Lembaga Pendidikan Tinggi Pariwisata  Bali
-  Anggota Majelis Synoda GKPB
-  Presiden Chafter Kuta Full Gospel Busnes Man

Menikah              : 20 Desember 1976
Nama Istri           : Ni Made Rai Srigunanti
Jumlah Anak        : 3 orang
Kegemaran /
Hobby                   : Sepak Bola & Tenis
Warna Favorit     :    Abu-abu

Pesan                   : Takut akan Tuhan adalah permulaan segala pengetahuan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>