I Gusti Agung Prana

prana+1

MEMAKNAI HIDUP BAGI KEHIDUPAN

 

Beragam peristiwa dalam laku kehidupan silih berganti menandai perjalanan hidup kita. Terkadang penderitaan menghampiri membiaskan tangis, ratap dan kesedihan, namun tidak jarang pula kebahagiaan menghiasi hidup hingga meninggalkan kenangan manis yang medamaikan untuk di kenang. Namun sesungguhnya, penderitaan maupun kebahagiaan itu adalah laku yang wajar yang tidak mungkin untuk terelakkan, semuanya tergantung bagaimana kita menyikapi kehadirannya dengan rasa syukur, mawas diri dan kelurahan jiwa sebagai manusia.Kilas pandangan inilah yang mungkin dapat menjadi ilustrasi dari serangkai perjalanan hidup seseorang lelaki asal Desa Uma Abian, Mengwi, yang seolah begitu santun mencerna hidup dalam rasa syukur.

I Gusti Agung Pranamia, sebuah nama yang dipilihkan I Gusti Agung Ketut Rai ayahnya untuk bayi kelimanya mereka yang lahir dari rahim I Gusti Ayu Ngurah. Sejak mula kelahirannya, bayi laki-laki ini telah menampakkan tanda-tanda unik yang mengiringi kedatangannya ke alam dunia. Ia lahir begitu saja sebelum ibunya sempat terbaring di tempat tidur persalinan, beberapa saksi mata juga melihat kilas berkas sinar kuning mencuat dari ubun-ubun sang bayi yang terlahir sehat sempurna di hari Senin Umanis tepatnya tanggal 12 Juli 1948. setelah kemudian diamat-amati, rupanya bayi Pranamia juga menampakkan keunikan yang nyata lainnya, di kedua tangan mungil Pranamia ditumbuhi rambut tipis berwarna kekuning-kuningan yang beberapa orang tua kemudian memperkirakan pertanda peruntungan dan kepribadian yang baik akan selalu menyertai si bayi hingga kelak ia dewasa.

Tanpa terasa, seiring waktu berlalu Pranamia pun telah memulai kanak-kanaknya. Ia terlihat cerdas dan tanggap pada segala sesuatu dan dilihat atau didengarnya. Walaupun dikala itu tumbuhnya cukup mungil dan cenderung kecil untuk ukuran anak-anak sebayanya namun semuanya itu tidaklah mengurangi kelincahannya bermain.

Kisah tanda-tanda keunikan kelahirannya lambat laun seolah mulai menunjukkan kebenaran. Pranamia yang belum lagi pantas untuk sekolah menjadi bocah yang istimewa dengan talenta kecerdasan dan daya ingat yang luar biasa bila dibanding manusia pada umumnya, apalagi bila dibanding teman seusianya. Bagaimana tidak, dengan hanya satu kali mendengar, Pranamia sudah mampu menirukan mengucap hitungan bilangan dari satu hingga seratus dengan sempurna, bahkan bukan hanya itu, daya tangkapnya pada tiap petuah, nasehat dan pesan orang tua secara wajar dipatuhi dan diturutinya begitu saja.

Karena kemampuan kecerdasannya itulah Pranamia kemudian cepat dikenal di kampungnya, sampai-sampai sewaktu ia berniat untuk sekolah namun tangannya yang melintas diatas kepala belum juga dapat membuat jarinya menyentuh telinganya, orang-orang yang mengenalnya meyakinkan guru penerimaan siswa baru di sekolah itu bahwa Pranamia adalah anak yang sangat pintar. Hingga akhirnya pun ia diterima sebagai salah satu murid sekolah di sana. Tidak lama kemudian salah seorang guru mulai mencatat data diri Pranamia sebagai murid baru, dan ketika ditanya nama lengkapnya, Pranamia menjawab dengan menyebut namanya; “I Gusti Agung Prana”, yang berarti tanpa sengaja ia telah menghilangkan akhiran “mia” dari “Pranamia”. Mungkin semuanya memang telah diatur Sang Pencipta, atau barangkali nama “Prana” menyimpan makna tersembunyi di kehidupannya atau merupakan pesan awal yang dititipkan Tuhan akan misi mulia yang disiapkan untuknya beberapa puluh tahun kemudian di masa yang akan datang.

Hari-hari lewat berlalu, kehidupan yang sederhana, kebersamaan dalam lingkungan keluarga besarnya yang rukun diantara segala keterbatasan yang umum bagi warga desa di masa itu, sepenuhnya Prana syukuri dan terima sebagai anugrah tiada banding untuknya. Meskipun ia terbilang belia namun tidak sekalipun ia melainkan apa yang telah dipercayakan orang tuanya untuk menyesuaikan beberapa pekerjaan rumah yang sudah menjadi tugas rutinnya. Di saat pagi buta, sekitar pukul lima, Agung Prana sudah mulai menyapu rumahnya, lalu ia bergegas ke sungai mengangkat perangkat belut yang telah dipasangnya kemarin sore untuk lauk sarapan pagi keluarganya. Biasanya perangkap Pranalah yang paling banyak memperoleh tangkapan belut dibandingkan perangkap-perangkap saudaranya.

Kegiatan pagi itu belumlah berakhir, bila bebek-bebek peliharaan ayahnya belum diurusnya. Untuk yang satu ini, Prana melakukannya di sekitar pukul enam, dan iapun harus lebih teliti dalam pekerjaan ini, meski tanggung jawab untuk mengeluarkan bebek dari kandang terlihat mudah, namun ia tidak dapat begitu saja membiarkan bebek-bebek itu meninggalkan kandang tanpa memastikannya satu-persatu dari delapan ekor bebeknya telah bertelur di dalam kandang. Usai dengan tugas paginya ini, barulah Prana melenggang ringan berjalan menuju sekolah.

Sepulang sekolah, rasa lapar sudah tak tertahan, maklum anak petani seperti Prana memang tidak mengenal bekal uang atau jajan saat sekolah, namun keadaan itu bukan sebuah catatan penderitaan bagi Prana, bahkan sebaliknya hingga kinipun Agung Prana justru mengenangnya dalam rasa rindu akan masanya dan rasa syukur untuk keindahan masa kanak yang mendamaikannya.

Siang itulah, Prana mengisi waktu bermainnya dengan mencari sayur-mayur di sawah, hasil yang didapat ia serahkan pada orang tuanya dengan rasa bangga akan apa yang diperolehnya. Setelah sore menjelang datang, Prana meneruskan tanggung jawabnya untuk kembali seluruh rumah, menyiram tanaman dan membakar sampah, lalu menuntaskan tugasnya dengan menghidupkan lampu minyak tanah sebagai penerangan di kala malam.

Rutinitas yang indah baginya, sesuatu yang bagi anak lainnya adalah beban, namun Prana menjalaninya dengan kesadaran yang seolah telah menjadikannya menyatu dengan kebersahajaan dari tokoh-tokoh dalam kisah kepahlawanan atau pewayangan yang mengisi relung imannya melalui dongeng-dongeng ayahnya sebelum Prana lelap dalam mimpi. Disisi lain jarang ia memperoleh pujian dari orang-orang tua dan para tetangga atas perilaku rajin dan penurut yang mencolok dan sangat berbeda dengan bocah seusianya. Aneka pujian itu semakin menyemangatinya untuk terus bersikap patuh pada orang tuanya. Sepertinya, Agung Prana memang nyaris sempurna, ia pandai, cerdas, taat dan berbhakti pada orang tuanya. Di sekolah, dengan kemampuan otaknya Prana handal dalam semua mata pelajaran. Bahkan dalam hal berhitung juga perkalian, kebisaannya cukup mengesankan, ia mampu melebihi kecepatan berhitung dari guru yang mengajar.

Namun tidak lama kemudian, tepatnya disaat Prana duduk di bangku kelas lima SD, sebuah musibah terjadi. Prana terpelanting jatuh di saat bermain bersama temannya di sekolah dan sialnya, kepala Prana terbentur keras di bibir tangga, hal ini memang tidak membahayakan nyawanya, namun sejak saat itulah, daya ingat dan keserdasan Prana dirasakan jauh sekali menurun, meski demikian bukan berarti Prana tidak lagi berprestasi di sekolahnya, sisa-sisa bakat cerdasnya tetap menjadikannya lulus memuaskan.

Setelah menamatkan pendidikan dasarnya Prana melanjutkan di SMP yang jaraknya empat kilo dari rumahnya. Tidak ada transportasi atau fasilitas yang memudahkannya untuk sampai disekolah selain ia harus lalui dengan berjalan kaki. Di zaman itu, anak-anak desa yang sekolah memang tidak ada yang memakai sepatu, semua bertelanjang kaki tanpa alas. Di pagi hari, disaat berangkat sekolah, perjalanan jauh itu memang tidak terlalu berat untuk dilalui, apabila sebelum sekolah, Prana sebelumnya telah mengisi perutnya dengan sarapan pagi yang cukup. Hal ini akan berarti sebaliknya di saat pulang sekolah tiba, dimana tengah terik-teriknya ditambah rasa lapar terus mengusik perut menuntut haknya, dan perjalanan masih jauh menuju rumahnya, apalagi tidak serupiahpun bekal ia punya. Sambil berjingkat-jingkat kaki menahan panas mencari tapak jalan yang teduh, tidak jarang Prana dan teman-teman terpaksa memetik apapun yang ditemui di jalan untuk sekedar mengganjal lapar. Begitulah setiap hari, tidak ada yang terlupa dalam kenangan Prana, semua begitu alami dan penuh keceriaan sampai tibalah saatnya Prana dinyatakan lulus dari SMP dan memutuskan untuk bersikeras melanjutkan sekolah ke SMA.

Niatan Agung Prana meneruskan sekolahpun terlaksana, namun tidak didesanya, melainkan ia harus menempuh pendidikannya di Jembrana karena saat itu di Mengwi belum memiliki sekolah setingkat SMA. Di sanalah ia akhirnya tinggal bersama kakak dari ayahnya, dasar memang anak yang ringan tangan, di rumah pamannya pun Prana tidak kalah rajin untuk membantu dalam urusan pekerjaan rumah. Menjaga keponakan, membersihkan rumah dan mencuci bajupun sudah bukan hal ganjil lagi untuk dilakukannya, bahkan tidak jarang pekerjaan di dapurpun ia tangani apabila bibinya tidak ada di rumah. Semua berjalan lancar dan wajar, aktivitas belajarpun dengan tekun dan sungguh-sungguh Prana Jalani, apalagi disaat itu ia sudah bertekad dengan cita-citanya menjadi dokter.

Sampailah saat yang ditunggu-tunggu, tahun 1967, I Gusti Agung Prana lulus dari Sekolah Menengah Atas dan negara bergegas pulang untuk menyampaikan berita keberhasilannya. Gambaran untuk menjadi seorang dokter sudah dipelupuk mata, semuanya kini tinggal restu dan bagaimana keputusan orang tuanya mewujudkan cita-citanya, mengingat sesungguhnya cita-citanya menjadi dokter ini telah berulang kali ia sampaikan kepada ayahnya.

Setibanya di rumah, Prana duduk menemui kedua orang tuanya, dengan nada penuh harap, ia berucap; “Saya Lulus,……”. Seketika suasana berubah baru, ditangkapnya kilat butir air mata mengalir diguratan wajah ayahnya, tidak ada suara hanya kata-kata hati yang didengarnya, sontak saat itu juga, Prana meneruskan ucapannya; “tidak jadi dokter pun tidak mengapa, saya bisa menjadi yang lain”. Betapapun cita-citanya yang ingin menjadi dokter pupus, namun jauh didasar hatinya ia lebih tidak menginginkan menjadi orang tuanya larut dalam kesedihan atas sebab keadaan ekonomi yang tidak mampu mewujudkan harapan anaknya.

Bagaimanapun didikan orang tuanyalah yang mendewasakannya mampu memahami situasi demikian dan faham untuk dapat mengerti inti permasalahan. Lengkap sudah teladan itu telah dilakukan Prana dengan sebaik-baiknya, hingga tidak lama kemudian ia telah kembali bersemangat dengan cita-cita barunya, Guide”. Sosok Guide juga akrab di dalam bayangannya, apalagi di setiap hari raya tiba, tamu-tamu bule datang dengan di dampingi para Guide yang berbicara dengan bahasa asing dan ekspresi yang mengesankan.

Meskipun tidak terbayang akan bercita-cita sebagai guide (Pramuwisata) Prana menjadi bersemangat dan tertantang menekuni pelajaran bahasa Inggris sejak duduk di bangku SMP, dan pantaslah bila sebab ketekunannya belajar, nilai pelajaran bahasa Inggris Prana selalu memuaskan, bahkan sejak kelas 2 SMA, bila guru mengajar bahasa Inggris berhalangan datang, maka Pranalah yang dipercayakan untuk menggantikan mengajar di kelasnya.

Dengan bekal kemampuannya berbahasa Inggris inilah Prana memutar haluan cita-citanya menjadi guide, dan untuk menjadi seorang Guide, Prana hanya perlu tahu bagaimana sebenarnya aktivitas kerja pramuwisata sebenarnya. Maka dengan maksud itulah Agung Prana meminjam sepeda milik tetangga untuk pergi ke kota Denpasar tanpa alamat tujuan yang pasti. Sesampainya di Denpasar ia teringat pada salah satu kakaknya yang berada di sana. Dan mungkin itu adalah alamat tujuan satu-satunya yang bisa ia datangi waktu itu. Maka berangkatlah Agung Prana ke sana. Syukurnya, sampai juga Prana di rumah kakaknya, hingga ia kemudian menyampaikan maksud dan keinginannya untuk dapat melihat kegiatan pramuwisata di Denpasar. melihat semangat yang menggebu itu, akhirnya di malam hari itu, Prana diajak untuk ke Pasar Sengol Tampak Ganggul yang biasa dikunjungi turis dan wisatawan asing, dan di sana mulailah Prana melihat banyak sekali para wisatawan asing dan guide-guide yang berlalu lalang. Tanpa terasa semangatnya seketika menjadi menyala, ia mengejar turis-turis itu dan berusaha ia ajak bercakap-cakap semampunya. Tidak kenal lelah di malam itu Agung Prana mencari-cari orang asing untuk ia gunakan menjajal ilmu bahasa Inggrisnya. Melihat kebisaan Agung Prana, beberapa orang memuji dan menilai potensinya untuk menjadi guide cukup bagus bila ditambah latihan percakapan yang rutin.

Dengan bekal pelajaran lapangan dan pendapat orang-orang di malam itulah, Prana benar-benar merasa yakin bahwa ia mampu menjadi guide yang baik. Keesokan harinya Prana kembali ke Mengwi, dan telah membulatkan tekad menjadi seorang guide.

Tepatnya pada tahun 1968, karena tekad dan harapannya yang telah bulat itulah, Prana menghabiskan harinya di Puri Taman Ayun yang selain tempat persembahyangan juga menjadi salah satu objek pariwisata di sekitar Pariwisata di sekitar desanya yang banyak dikunjungi turis. Di sanalah Prana kemudian mengamati para tamu asing dan para guide yang berkunjung di sana, sampai disuatu ketika, tampak dilihatnya seorang wisatawan asing yang tengah mencoba menanyakan tentang pelaksanaan ngaben, kepada seseorang yang tidak lain adalah Raja Mengwi (Djokorda Mengwi) yang kebetulan berada di sana untuk sembahyang. Melihat tidak ada jawaban yang diberikan si raja, Prana bangkit dari jongkoknya dan menghampiri tamu asing tersebut. Dengan segala kemampuan yang ia bisa, Prana mencoba menjawab semua pertanyaan tentang dimana dan kapan berlangsungnya upacara Ngaben di desanya. Melihat kesantunan Prana dengan lancar menerapkan dan menjawab apa yang ingin di ketahui turis itu, Tjokorda Mengwi tampak terkesan dan spontan menawarkan Prana untuk menjaga kawasan Pura Taman Ayun yang disambut gembira dan antusias oleh Agung Prana. Sejak itulah Prana menjadi penjaga Pura Taman Ayun yang berarti kemauannya untuk belajar menjadi Pramuwisata kini terbuka lebar. Sampai pada suatu ketika, datanglah rombongan Perjalanan Wisata dari Australia, dan seperti pengunjung-pengunjung lainnya, Agung Prana menyambut tamunya dengan antusias dan ekspresi yang hanyat. Tidak disangka pemilik travel perjalanan wisata tersebut memperhatikan Prana dan menyampaikan kesannya untuk mengajak Prana bekerja di Travel Pacto miliknya. Tawaran itu diterima Agung Prana dengan semangat dan syukur. Maka di tahun 1969 Prana telah resmi bekerja di Travel Pacto dan sekaligus cita-citanya sebagai guide menjadi terwujud. Hari-hari kerjanya di Travel Pacto dijalaninya dengan sungguh-sungguh. Bahkan disamping bekerja, akhirnya Agung Prana juga berhasil untuk melanjutkan pendidikan di Akademi Pariwisata. Pekerjaan sebagai Guide benar-benar telah sesuai harapannya, Agung Prana menghabiskan waktunya sehari-hari berkeliling bersama para tamu mengunjungi tempat-tempat Pariwisata diseluruh Bali. Salah satu rute kunjungnya adalah di Sekolah Seni Tari, dimana para tamunya dapat melihat para anak yang tengah belajar Tari Bali. Namun tidak disangka, di sinilah kemudian Agung Prana tertambat hatinya pada I Gusti Ayu Arini, sang guru tari yang acapkali dilihat Prana tengah mengajar murid-muridnya dengan gemulai gerak tarian yang membuat Prana jatuh cinta. Sekian lama perkenalan bersama Ayu Arini, akhirnya suara hati Prana diterima juga oleh Arini dan dengan uang hasil menjual satu-satunya sepeda motor miliknya, akhirnya Prana melangsungkan upacara pernikahan dan sisa uangnya ia gunakan untuk membeli sebuah Radio merk Thoshiba, menyewa rumah kecil tanpa penerangan lampu listrik di kawasan Sanur, kemudian membeli satu stel kursi bamboo, dua tempat tidur dan satu buah lemari dari kayu kamfer yang untuk semuanya masih menyisakan sedikit uang untuk disimpan. Sejak hari itulah, Prana telah memiliki keluarga kecil sendiri yang membuatnya semakin bersemangat untuk bekerja, meskipun kali ini Prana harus kembali berjalan kaki menuju Pacto kantornya. Prana yang dikenal sebagai Pramuwisata khusus bagi guide-guide penting dan tamu Negara itu, semakin tampil bersemangat, semua tamu selalu memperoleh perhatian penuh oleh Prana, ia bukan saja sungguh-sungguh mencerminkan sikap teladan dari sosok orang Bali yang ramah dan bertanggung jawab, namun juga dianggap oleh para tamunya sebagai seorang teman yang bisa dipercaya. Hal itulah yang membuat tamu-tamunya berkesan dan menyenangi figure Prana. Tidak sedikit dari para turis kemudian selalu mengingat sosok dan nama Gusti Agung Prana sebagai pribadi yang menyenangkan dan dipercaya. Bahkan karena itulah seorang tamu yang mengetahui Prana tidak memiliki kendaraan untuk bekerja, kemudian dengan senang hati memberi sejumlah uang kepada Prana yang diwujudkannya menjadi sebuah kendaraan Kawasaki seharga sekitar Rp. 9.000,- di waktu itu. Bukan hanya itu, karena kesan mendalam dan kejujuran yang demikian menghampirinya. Kepercayaan itu datang dari seseorang tamu travelnya yang meminta Prana mencarikan kain sarung dalam jumlah cukup banyak. Lambat laun pesanannya meningkat, bahkan semakin besar dan berkesinambungan. Melihat peluang ini, Prana akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Travel Pacto dan membuka usaha garmen di tahun 1975 dengan nama; “Taman Busana”.

Dalam waktu singkat, Prana telah menjadi pengusaha besar dengan order yang melimpah ruah. Bahkan untuk dapat menangani semua pesanan dari pembelinya, Prana harus membagi pekerjaan itu di perusahaan-perusahaan garmen lainnya di Bali.

Dalam kesuksesan yang luar biasa tersebut, Prana tetap tidak kehilangan jati dirinya sebagai manusia Bali, yang dididik dengan norma agama, dibesarkan dengan pekerti dan kepekaan nurani pada lingkungan dan sesama. Tiga jalan ia lakoni untuk membelanjakan risky yang ia terima; yang pertama adalah untuk biaya hidup, dan yang kedua ia gunakan untuk kepentingan sosial dan agama, serta yang terakhir ia sisihkan untuk masa depannya kelak kemudian hari.

Di masa-masa itulah, I Gusti Agung Prana semakin mendekatkan diri pada Tuhan Sang Pencipta, ia senantiasa menjaga rasa mawas diri sebagai manusia, dan semakin mengkuatkan komitmennya untuk dharma sosial terutama bagi hal-hal yang bersifat spiritual dan kemanusiaan. Sehingga terciptalah keseimbangan antara kiprahnya dalam mengelola perusahaan garment yang ditekuninya dengan kehidupan spiritualnya yang dengan sungguh dibangun atas refleksi dari rasa syukur dan bentuk kepasrahan manusia pada Tuhan untuk memohon berkat, pekerti dan karunia-Nya.

Kepekaan nuraninya bagi sesama dan jiwa darmawan serta komitmen spiritual yang kuat terbentuk dari lingkungan yang mendewasakannya, menjadikan I Gusti Agung Prana cepat terkondisi dan diberkati-Nya untuk jauh mendalami kehidupan spiritual, mengkaji rasa, melatih kesadaran pikiran dan jiwanya untuk senantiasa menempatkan Sang Pencipta sebagai sumber segala sumber kekuatan, penolong dan petunjuknya di dunia. Pengalaman-pengalaman gaib yang luar biasa dan mengagumkanpun berulang kali dialaminya, hingga semakin dalam spiritualnya, kehidupan Prana seolah kemudian berjalan mengikuti pesan-pesan niskala yang mulai menuntunnya. Di situlah pencerahan, perlindungan dan cahaya Sang Pencipta sungguh-sungguh telah menerangi pikiran Prana untuk melangkah, bahkan sebuah energi baru kemudian dengan lambat laun tersusun menjadi kemampuan ‘tenaga Prana’ yang secara magis semakin mempertajam indra-indranya. Rupanya dari sanalah sebuah makna dari nama “Prana” mulai tersingkat tabirnya, makna yang menjadikannya hidup seorang I Gusti Agung Prana sebagaimana sekarang ini.

Sebuah intiusi akan adanya persaingan yang ketat di dunia garment kemudian mendadak menghinggapi indra dagangnya yang tersirat dengan munculnya pesaing dari India dan Cina yang mulai mempengaruhi geliat pasar dunia. Maka sebelum semuanya terlambat, Agung Prana memutuskan untuk kembali beralih ke sektor Pariwisata di tahun 1987. Bermodal keyakinannya, Prana mencoba menghubungi group-group wisatawan di luar negeri yang dulunya pernah ia layani di Bali. Di luar dugaan, seketika itu juga mereka antusias dengan ajakan Prana untuk melayani tamu-tamu mereka. Itu semua tak lain karena kesan dan nama baik Prana yang seolah dapat menjadi jaminan bagi pelayanan yang sudah pasti memuaskan. Sehingga dalam waktu hitungan hari saja, Prana sudah harus langsung menyambut kedatangan group-group tamu dari para agent perjalanan wisata di berbagai Negara. Apa boleh buat, Prana terpaksa harus meminjam izin usaha salah satu rekannya untuk dapat menerima tamu-tamu tersebut sementara waktu, seraya ia menunggu pengurusan izin usahanya selesai.

Pada masa itulah petunjuk spiritual kembali diterimanya. Namun kali ini jelas dalam bentuk makna yang sangat mendalam yang sekaligus menyiratkan makna dan tugasnya sebagai manusia di dunia. Sebuah petunjuk telah mendorongnya untuk berkiprah ke Bali Barat yang gersang dan nyaris tiada denyut laju pariwisata yang menjanjikan untuk dapat berkembang. Namun petunjuk itu begitu mengukuhkan niat Prana untuk mengolah sesuatu yang dirinya sendiri belum lagi penuh memahami. Hanya sebuah petunjuk suci yang tidak bisa tidak harus ia lakukan meski dalam pikiran sehatnya semua itu jelas sebuah investasi yang tidak masuk akal untuk dapat berkembang.

Akhirnya dengan kepatuhannya dan seluruh sisa dana dari garment dan beberapa asetnya, Prana membeli 7 hektar tanah di Desa Pemuteran Singaraja. Di hamparan tanah yang gersang tanpa pohon dengan lingkungan masyarakat yang miskin dan potensi keindahan alam yang nyaris tanpa harapan. Setelah semuanya di depan mata, kini Prana harus berpikir keras untuk pengembangannya dan sekali mencoba-coba menerka maksud dari pesan suci yang diterimanya.

Kala itulah sebuah cahaya dengan sinar yang terang dan kuat menebarkan kharisma agung mendadak menyelimuti alam sadar Agung Prana. Seberkas sosok terbentuk dari relung cahaya yang membias tajam. Prana terdiam tafakur, ia mengerti ada sesuatu yang penting dan menjadi pesan berikutnya yang harus didengar dan harus dimengertinya. “Uang yang di dalam lautan itu, jangan kau biarkan berkarat”, belum usai Prana terpaku akan pesan yang didengarnya, sebaris penegasan kembali menggema “bila kau kebingungan dan dalam keragu-raguan datanglah padaku, Aku di sana” sosok itu menunjuk laut yang terhampar di muka Prana, dan terdengar lagi petunjuk suci; “Andai kau ingin berkonsultasi, pergilah engkau ke sana, ke Pura Segara”.  Seketika itu kilat-kilat cahayanya memudar, bias terang perlahan redup dalam kegelapan, keheningan mulai datang membawa kembali ke alam sadar, namun kehangatan kharismanya masih lama menyelubung rasa dalam benak Agung Prana. Iapun sontak sadar akan misi di balik semua petunjuk itu baginya. Sebuah tugas besar di balik keberadaannya kini di tengah alam gersang dan lingkungan masyarakat miskin di sekitar tanah miliknya.

Agung Prana mendapat penghagaan dari PATA

 

Di sisi lain, usaha Tour dan Travelnya dengan cepat dan pesat berkembang, keadaan ini semakin menguatkan Prana untuk dapat menunaikan misi mulia dari petunjuk yang kemudian telah mulai terungkap artinya.

Agung Prana meyakini, bahwa maksud dari uang di dasar laut adalah kekayaan alam dan potensi luar biasa akan ekosistem kehidupan laut termasuk terumbu karang.

Sebuah rencana kerja besar dan penelitian mulai di telusuri, hasilnya, Prana mencatat bahwa di desa Pemuteran diketemukan adanya potensi alam yang sudah terlanjur rusak cukup parah, baik di darat maupun di laut, sehingga hal itulah yang menjadikan masyarakat hidup dalam keterbatasan dan kondisi ekonomi yang memperhatinkan. Pepohonan habis ditebang, curah hujan yang sangat rendah, terumbuh karang yang hancur akibat penangkapan ikan yang brutal oleh para nelayan dengan bahan peledak, ikan laut yang sangat minim dan dasar pendidikan serta pengetahuan yang sangat kurang seolah menyempurnakan penderitaan masyarakat dalam lilitan lingkaran kemiskinan.

Namun walau begitu, di balik kehancurannya, pemuteran jelas memiliki potensi besar yang tersembunyi, yang menuntut Agung Prana untuk menyelamatkannya. Ia melihat desa Pemuteran terletak di tengah pusat energi spiritual antara gunung dan laut utara, dimana di wilayah tersebut banyak berdiri pura-pura penting umat Hindhu Bali.

Akhirnya desa Pemuteran menjadi pilot project yang dicetuskan Prana untuk program penyelamatan dan pengelolaan desa pesisir dan kelautan dengan mengadobsi konsep kearifan budaya lokal yang berbasis kerakyatan dan eco friendly.

Jadwal penyelamatan alam inipun kemudian ia bagi dengan beberapa tahapan pengembangan. Dan dengan sigap Prana kemudian mulai menjalankan jadwal kerjanya setahap demi setahap. Langkah yang pertama diambil adalah melakukan pendekatan kepada para tokoh, pimpinan adat maupun dinas dan pemuda, untuk diajak memikirkan tentang potensi desa yang mereka miliki, agar dapat dipahami dengan ikut bersama-sama menyelamatkan dan mengembangkan potensi alam yang ada bagi kepentingan di masa depan. Di sini Agung Prana berupaya menumbuhkan keyakinan masyarakat tentang keunggulan yang terkandung di dalam samudera yang telah mereka miliki yang di dalamnya antara lain menyimpan kekayaan dan keindahan aneka ragam hayati tropis bawah laut sebagai potensi marine Tourism; tanah laut dan juga akan berdampak bagi bangkitnya potensi industri perikanan dan petani nelayan di desa Pemuteran yang berarti memungkinkannya terbentuk kemajuan pesat dalam hal Perkapalan dan perdagangan lokal maupun internasional.

Dalam konteks penyadarannya pada masyarakat, Agung Prana juga menyinggung akan penyebab potensi itu tidak tergarap secara optimal, yang dalam pandangannya disebabkan karena kurangnya pemahaman mengenai potensi lingkungan itu sendiri, ditambah ketidak berdayaan sosial ekonomi masyarakat pesisir, minimnya insfrastruktur dan dukungan peralatan modern serta kualitas SDM yang rendah di dalam koridor penegakan sebagai sangsi yang lemah. Keterbatasan inilah yang menurut Prana menjadi sumber penyebab perilaku para pihak-pihak yang mengambil manfaat potensi alam di desa Pemuteran menjadi destruktif bahkan menjadi lebih parah dengan munculnya konflik kepentingan. Perilaku destruktif dan konflik kepentingan di lapangan akhirnya bermuara pada kehancuran pada potensi unggulan yang sesungguhnya adalah milik mereka sendiri.

Adapun untuk menghentikan keadaan yang mengancam kelangsungan keberadaan potensi kelautan itu, Agung Prana memberikan langkah jalan keluar yaitu dengan menuntut adanya kebersamaan semua pihak/para stakeholder untuk membuat komitmen dan langkah strategis guna membalikkan konflik menjadi kerjasama strategis yang saling mendukung dan saling menguntungkan sebagai tindakan awal untuk mereposisi kebijakan pengembangan kelautan.

Kerja kerasnya ia tekankan untuk dapat menyadarkan masing-masing pihak yang mengandalkan potensi laut ini sebagai sumber kehidupan untuk terlihat dalam komitmen reposisi ini, di mana sebagai rujukan masing-masing bermuara untuk mengadopsi berbagai kearifan lokal, yang menuntut setiap pihak wajib ramah dan peduli serta bertanggung jawab terhadap lingkungan dalam menjalankan perilaku kehidupan dan swadharma pengabdiannya sebagai makhluk hidup.

Tekadnya untuk menjalankan misi mulia merintis penyelamatan potensi kelautan dan desa pesisir telah mulai dilaksanakannya. Kunci awal yang diterapkannya memang merangsang keterlibatan Stakeholder dalam konservasi terumbu karang. Karena dengan berbasis pemberdayaan partisipasi masyarakat setempat pengembangan desa Pesisir Pemuteran bukan tidak mungkin menjadi kenyataan. Oleh sebab itulah sosialisasi tanpa kenal lelah di masyarakat ditempuh sebagai langkah pertamanya, menciptakan sejarah pelestarian alam.

Langkah ke dua yang dilakukan Prana adalah mengundang beberapa pakar antara lain, pakar Aman Resort yang dilibatkan dalam perencanaan visibility resort, untuk memberikan masukan dan pemahaman tentang potensi yang bermanfaat di masa mendatang dan dapat dijadikan pegangan yang meyakinkan,

Langkah ketiga adalah melakukan community education dalam bentuk pengenalan pengetahuan dasar kepariwisataan pada masyarakat berikut pelatihan bahasa asing terutama bahasa Inggris. Selanjutnya dalam langkah ke empat, Prana mengajak para tokoh dan pimpinan masyarakat melakukan studi banding ke beberapa daerah Kabupaten di Bali yang kepariwisataannya telah maju. Kemudian di langkah kelima, Prana mempersiapkan wadah desa untuk menjadi lembaga pengembangan kepariwisataan yang bersifat alternatif dengan menggandeng pemerintah daerah melalui cara tatap muka bersama masyarakat setempat. Sehingga sampailah kini pada keberhasilan Prana mengikutsertakan peran aktif masyarakat desa Pamuteran bersama para perintis pengembangan melalui kerjasama yang dilandasi dengan kesepakatan sebagai berikut :

  1. Masyarakat diberdayakan dan dilibatkan secara total dalam proses pengembangan mulai dari perencanaan hingga pembangunan fisik.
  2. Penggunaan SDM lokal, optimal memprioritaskan tenaga kerja lokal.
  3. Konsep pembangunan fisik mutlak mengadobsi konsep kearifan budaya lokal (arsitektur yang ramah lingkungan).
  4. Merencanakan tata ruang desa yang menetapkan zonasi peruntukan.
  5. Berbagai peluang bisnis yang muncul di dalam pengembangan ini diprioritaskan untuk dikelola oleh masyarakat setempat seperti semua kegiatan di laut; snorkeling, boating, tiket, supply bahan baku, hingga presentase dari kegiatan diving, dialokasikan untuk masyarakat.
  6. Segenap anggota masyarakat wajib dan tunduk terhadap berbagai butir-butir kesepakatan yang dimaksudkan untuk upaya penyelamatan dan pelestarian potensi lingkungan desanya, yang dicantumkan di dalam awig-awig desa.
  7. Recruitment tenaga kerja untuk pengembangan pariwisata diselenggarakan oleh para perintis dengan mengutamakan tenaga kerja desa setempat.
  8. Berbagai kesempatan di atas, dimaksudkan untuk menciptakan mekanisme yang bersifat self encouragement (apabila mereka sudah mendapatkan manfaatnya, mereka wajib memeliharanya).

Sesungguhnya manfaat langsung sudah dinikmati masyarakat sejak awal pengembangan pariwisata di desa Pamuteran mulai Agung Prana rintis, dan manfaat itu terus sampai sekarang tetap diterima masyarakat dengan nilai manfaat yang semakin besar, antara lain dengan tertampungnya tenaga kerja lokal yang sudah cukup banyak, di mana di masing-masing fasilitas pariwisata rata-rata 70% tenaga kerjanya berasal dari tenaga kerja lokal. Kemudian dampak positif lainnya yang terlihat adalah perkembangan kepariwisataan yang sudah mulai maju mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat desa yang cukup drastis, seperti nilai ekonomis tanah menjadi melambung drastis, peternakan, pertanian, dan perikanan mendapat tempat penyaluran dalam industri pariwisata. Di samping itu dari masing-masing kegiatan kepariwisataan juga telah tercipta sumber pendapatan yang sangat mendukung sumber dana pembangunan desa, baik adat maupun desa dinas. Dan dalam hal pelestarian lingkungan, terumbu karang, potensi laut yang diunggulkan mengalami perbaikan dan perkembangan yang sangat mengagumkan dikarenakan kesadaran masyarakat yang cukup baik dalam pemeliharaan dan menjaga keberadaannya. Seperti karang laut yang berkembang dan hasil tangkapan ikan yang jauh lebih meningkat.

Keindahan desa pemuteran yang kaya akan potensi alam, yang terabaikan dan ditinggalkan dengan tekun digarap dan dikembangkan Gung Prana dengan merangkul seluruh masyarakat & menggugah kesadaran mereka melalui berbagai cara, hingga mengajak seluruh masyarakat desa Pemuteran dengan puluhan bus, mengunjungi berbagai daerah wisata di Bali hanya untuk memberi ilustrasi  tentang limpahan potensi & peluang emas yang tersembunyi yang mereka miliki di desa Pemuteran.

 

Manfaat besar lainnya akan mekanisme yang efektif dalam pemberdayaan masyarakat dalam upaya restorasi dan koservasi potensi laut, telah mengundang para pakar dan peneliti untuk mengaplikasikan teknologi transplantasi karang (bio rock) yang dapat mempercepat pertumbuhan dan sekaligus menjaga karang dari ancaman stress karena berbagai polusi dan meningkat suhu global. Adapun lingkungan di sekitar desa dan gunung mengalami proses penghijauan walaupun masih cenderung lambat, dan masyarakat mulai sadar tidak lagi menebang pohon untuk kayu bakar karena sudah mampu membeli bahan bakar minyak dan gas.

 

Kerja keras Gung Prana mengembangkan penerapan BIO ROCK  / Teknologi Transplantasi Karang Laut di Pemuteran kini telah berhasil dan  terpelihara dengan baik berkat keterlibatan dan kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terlebih lagi setalah secara nyata masyarakat juga menikmati langsung manisnya buah pariwisata yang dihasilkan dari pesona  alam  desa Pemuteran yang bersama kembali mereka pulihkan.

 

Setelah lingkungan hidup makin baik, berdasarkan pengamatan, curah hujan di daerah Pemuteran juga mengalami peningkatan. Sedangkan kehidupan di sana juga tumbuh bergerak maju dengan kualitas yang lebih baik, di mana telah terjadi sinergi yang terpadu antara praktisi pariwisata dan masyarakat nelayan di dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi andalan yang sama-sama dimiliki. Pariwisata berkembang dengan konsep ramah lingkungan yang menguntungkan nelayan. Nelayan memanfaatkan pertumbuhan potensi laut dengan baik dan benar, tidak lagi dengan cara-cara destruktif, sehingga potensi ini bisa dimanfaatkan secara kelanjutan. Sementara pemerintah daerah maupun pusat turut serta terlihat aktif mendorong inisiatif yang muncul dari bawah dengan berbagai bantuan dan penghargaan untuk memancing publik secara umum melakukan hal yang sama. Akhirnya duniapun melihat keberhasilan Agung Prana membangkitkan potensi Bali Barat. Hal ini ditengarai dengan berbagai perhatian dan penghargaan yang mulai berdatangan bukan saja dari Pemerintah Indonesia namun juga dari lembaga-lembaga lingkungan hidup dunia. Terlebih lagi pancaran potensi pesona alam di desa Pemutaranpun mulai tampak bersinar dan memberikan peningkatan pemulihan ekosistem alam yang drastis mengembirakan. Sedangkan dari sisi bisnis, di daerah itupun telah tampak pergerakan yang mulai berani menanamkan investasinya dengan mendirikan berbagai usaha mengimbangi gairah pariwisata yang juga mulai menghemat di sana. Melihat antusiasme wisatawan mengunjungi desa Pemuteran, sebuah fasilitas akomodasi Gung Prana dirikan dengan nama “Taman Sari Resort”  yang juga melibatkan keikutsertaan masyarakat sekitar sebagai hampir dikeseluruhan tenaga kerjanya, dan bahkan  proses seleksinya dilakukan bersama-sama pengurus desa setempat tanpa mempertanyakan pengalaman kerja dan sepenuhnya hanya  menilai pada kesungguhan dan kecakapan kepribadian untuk kemudian dididik secara intensif sesuai posisi mereka masing-masing.

Di sektor lain, dunia perikanan meningkat pesat, setelah terpeliharanya potensi laut dari perusahaan karena tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem laut, maka bantuan teknologi modern yang mempercepat pertumbuhan terumbu-terumbu karang dapat optimal menjadikan kehidupan laut mulai terbentuk seimbang sebagaimana ekosistem alami yang berdampak melimpahnya ikan-ikan di pesisir laut desa Pemuteran.

Kesejahteraan yang kini terus mengiringi hari-hari masyarakat desa Pemuteran, memang sebuah bukti keajaiban yang tidak mungkin lagi untuk dipungkiri akan adanya kekuasaan Tuhan yang telah memberikan misi mulia pada Agung Prana untuk menyelamatkan potensi dan keseimbangan alam agar dapat memberi manfaat bagi kehidupan manusia dan memberikan inspirasi bagi semua pihak dan kalangan bahwa upaya-upaya seperti yang dilakukan seorang Agung Prana dengan tahapan-tahapannya di desa Pemuteran bisa juga dilaksanakan dan diterapkan untuk penyelamatan potensi laut di daerah lainnya, sehingga ekosistem kelestarian alam di planet bumi ini akan terhindar dari kehancuran.

Bahkan Prana sendiri dalam perenungannya tidak mengira sedemikian luar biasa campur tangan Tuhan telah merubah keadaan alam yang kering, gersang dan tanpa harapan yang dihadapinya dulu menjadi apa yang terlihat kini. Maka tidak salah bila sebuah logika mulai ia rangkai, yang mempertemukannya pada makna demi makna kehidupan yang akhirnya ia sadari telah membentuk mata rantai yang saling berterkaitan. Semuanya telah diatur Tuhan untuknya, sejak mula pertama ia lahir dalam kehidupan di dunia. Sejak ia menyandang nama Prana, sejak dari keberadaannya di desa Pemuteran yang dikemukakan melewati sebuah proses perjalanan spiritual. Sejak semuanya itu bermula, Tuhan telah menyiapkan misi baginya untuk memaknai hidupnya bagi kehidupan lainnya di dunia.


family picture

DATA PRIBADI
 
Nama                : I Gusti Agung Prana
Tempat/
Tanggal Lahir  : Mengwi, 12 Juli 1948
Agama               : Hindu
Profesi               : Pengusaha
Pendidikan Formal :
-  SDN Mengwi
-  SMP Mengwi
-  SMA Jembrana

Aktif dalam Organisasi  :
-  Ketua Karang Lestari 2004
-  Ketua DPD Asita Bali 2003-2005
-  Wakil Ketua Bali Tourism Board 2001-2005
-  Dewan Pengurus PUTRI 2000-2004
-  Kelompok Ahli Kodya Denpasar 2003-2005
-  Dewan Pengurus Bali Heretage Trust 2004
-  Dewan Pertimbangan JPPI 2005
-  Kelompok Pengkaji Pariwisata Bali 2005
-  Dewan Pertimbangan Pengembangan Taman Ayun Mengwi
-  Ketua Lembaga Otoritas Pengembangan Bali Barat/Pemuteran.

Penghargaan yang Diterima :
1.   Kalpataru 2005
2.   PATA Gold Award, Mei 2005
3.   AFTA–ASEANTA Award, Januari 2005
4.   SKAL Internasional, 2003

Menikah               : 19 Juli 1971
Nama Istri            : I Gusti Ayu Arini
Jumlah Anak       : 3 Orang
Lagu Favorit        :
-  Titiang Mula Tampa Dasar (Sinom)
-  Dong Ngaden Awak Bisa
-  Dewa Dabdabang
Tokoh Idola         : Orang Tua
Semboyan
Hidup                   : Diam dan menyadari diri kita, Pandai Menempatkan diri kita

Pesan                    : Bila ingin maju ambilah pelajaran dari setiap pekerjaan kita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>