I Made Mudarta, S.Sos

MUDARTA

BARA SEMANGAT
TAKKENAL PADAM


Lao Tzu berkata “Kenalilah dirimu sendiri, maka kau akan menang di setiap pertempuran”, sepintas memang sulit dimengerti ucapan filosof China ini, namun perkataan Lao Tzu menjadi mudah dipahami jika dikaitkan dalam kisah perjalan hidup I Made Mudarta, S.Sos, tokoh politik di pucuk pimimpinan Partai Demokrat Bali yang siapa sangka disepanjang hidup masa lalunya mengalami ribuan getir dan kerasnya perjuangan.

I Made Mudarta lahir di dusun Nusamara, Desa Yeh Embang Kangin, Mendoyo, Jembrana Bali, 28 November 1969, sosoknya adalah bagian dari keajaiban kehidupan yang langka dialami kebanyakan orang.Semenjak bayi Mudarta sudah mengalami berbagai peristiwa luar biasa yang penuh makna.  Menyatir kisah pewayangan ‘Bima Bungkus’,  di mana Dewi Kunti  ibu Bima menerima takdir petunjuk Dewata untuk membuang Bima ke hutan demi membedah bungkus si jabang bayi yang tengah memenuhi karmanya untuk terlahir sebagai ksatria utamayang kelak akan mendapat wahyu jati, seperti apa yang dikatakan Begawan Abyasa dalam kisah lahirnya Bima, rupanya tak berbeda dengan latar cerita lahirnya Mudarta.

Mudarta lahir dari rahimNi Wayan Kari, sebagai anak ke 2 dari 8  bersaudara, namun sayang saat Mudarta lahir, ibunya hilang ingatan. Tak ada yang tahu persis apa yang terjadi, apakah dalam ketidak sadarannya sang ibu juga mendapat pawisik Dewata seperti halnya Dewi Kunti, namun yang pasti, tak ubahnya Bima, Mudarta yang masih bayi merah ini dibuang juga ke tengah hutan oleh ibunya.

Peristiwa itu tak tercegah oleh  I Ketut SuelaAyah Mudarta, yang saat kejadian tak ada di rumah karena masih terus berupaya mencari pengobatan keberbagai tempat untuk menyadarkan kembali ingatan istri dan juga ibu dari kedelapan orang anak-anaknya.

Ajaib memang, bila bayi ini keesokan harinya masih bisa diketemukan hidup dan selamat oleh penduduk yang kebetulan melintas di hutan di tepi kuburan, padahal  binatang pemangsa,  ular berbisa atau anjing liar bisa saja menyerangnya, apalagi kononselain masih sering didapati berbagai binatang buas, hutan tempat Mudarta dibuang juga dikenal tenget atau angker, banyak cerita gaib di luar nalar yang kerap diperbincangkan warga mengisyaratkan tempat itu banyak dihuni makhluk kasap mata penunggu hutan yang dipercaya memiliki kekuatan luar biasa.

Entah apa yang terjadi dan dialami Mudarta bayi yang baru berumur beberapa hari ini di tengah hutan seorang diri, seolah ada pelindung atau memang hendak disusupi berbagai kedigdayaan seperti kisah Bima yang diberi berbagai kesaktian oleh Betari Durga.Di balik semua misteri itu, akhirnya Mudarta ditemukan selamat. Namun meski dapat kembali pulang, tak menjadikan ‘Mudarta’ bayi dapat terpelihara sebagaimana mestinya. Karena kondisi si ibulah, terpaksa Mudarta yang masih memerlukan asupan air susu ibu ini  harus dibawa menggilir menetek ibu-ibu muda dikampungnya demi mendapat ASI dari sedikitnya 7  ibu yang tulus ikhlas menyusui Mudarta semasa bayi.

Bersyukur kejadian itu tak berlangsung berlarut lama, karena tepat ketika Mudarta berusia satu bulan, tujuh hari, Ayahnya menerima wahyu lewat mimpi dari Dewata, untuk menyembuhkan istrinya dengan cukup meminum setetes getah jarak, yang langsung membuat ibunya seketika sadar kembali mengenali suami dan semua anaksembari menangis haru penuh syukur.

I Made Mudarta | usia 5 tahun

Lengkap sudah keluarga Mudarta, ayah, ibu, kakak dan kemudian hadirnya adik semakin menyempurnakan keluarga kecil ini. Hanya saja selain kasih sayang dan keutuhan keluarga yang saling manjaga, Mudarta tak memiliki lagi yang lainnya selain kemiskinan dan kenyataan hidup sebagai anak petani desa yang memaksa nalarnya untuk mawas diri lebih awal dari anak-anak seusianya.

Pada nyatanya Mudarta memang masih kanak-kanak, namun caranya berpikir jauh lebih dewasa dari usianya, kemampuannyapun melampaui kewajaran anak-anak sebaya di desa. Ia cepat paham pada situasi dan keadaan orang tua akan kesulitan yang dihadapi keluarga. Persoalan apa yang akan dimakan esok masih selalu menjadi pokok bahasan kerumitan yang mewarnai kehidupan keluarga Mudarta.

Sebagai anak, tak perlu bagi Mudarta untuk dimintai bantuan untuk terlibat membantu, ia dengan sendirinya telah sigab mengerjakan apapun yang mampu tangan mungilnya kerjakan dan mengagumkan, seumur Mudarta ia telah mampu membuat  nasi singkong, mulai dari memetik, mencuci, mengupas, merajang kecil-kecil menjadi seukuran bulir nasi, memeras, menyaring dan memasak, hingga siap untuk disantap dimana semua itu dilakukannya hanya karena rasa mawas  diri yang membuat Mudarta menyadari perannya sebagai anak dibutuhkan untuk meringankan beban keluarga.

Mudarta kecil memang tak pernah mendengar filosofi Lao Tzu untuk mengenali dirinya sendiri, namun itulah yang telah terbentuk alami dalam benak Mudarta yang di usia belia sudah cerdas menimbang rasa, mematutkan diri dalam sikap dan mensyukuri atas sedikit apapun keadaan yang ia dan keluarganya miliki.

Namun siapa sangka, justru karena rasa mawas diri ini, Mudarta jadi kemudian menangkap potensi-potensi yang tersembunyi. Ia mampu mengenali dirinya dengan sangat baik, sisi – sisi kelemahan seperti kemiskinan yang menjadi hambatan bagi sebagian orang justru dijadikannya cambuk untuk mengembangkan kecerdasan yang dirasakan ia miliki dapat mengungguli anak-anak yang lain.


I Made Mudarta saat duduk di Sekalah Dasar

Benar saja kendati Mudarta sedari pagi sudah harus bangun lebih awal untuk membantu pekerjaan ibunya sebelum berangkat sekolah yang ditempuh dengan berjalan kaki sejauh lebih kurang17 kilometer, namun itu tak pernah menyurutkan niat  Mudarta untuk terus sekolah. Bahkan sepulang sekolah meski ia juga harus pontang panting  berusaha keras mencari bahan keperluan pangan seperti, singkong, buah, sayur atau ikan di sungai atau apapun yang didapati untuk dapat dimakan seluruh  keluarganya nanti, Mudarta tak lantas menyerah dengan rasa letih dan lapar,  malahan setelah rampung dari semua tugasnya, bocah yang baru beranjak masuk di sekolah dasar ini  tetap saja semangat belajar, mengulang membaca dengan suara lantang yang keras mengulang  semua mata pelajaran di sekolah.

Begitu setiap hari Mudarta kecil melewati hari-harinya, menjelang sore pasti saja terdengar suara lentingnya tengah membaca buku pelajaran memecah keheningan desa. Suara Mudarta itu jugalah yang menjadi pertanda waktu bagi ibu-ibu di desa untuk saatnya menyuruh anak-anak mereka berhenti bermain dan mulai belajar seperti Mudarta.

Ketekunan Mudarta dan keyakinannya untuk unggul dalam pelajaran akhirnya mulai terlihat di setiap kenaikan kelas, Mudarta selalu menjadi bintang sekolah, bahkan kemudian ia menjadi Juara umum.

Prestasitersebut bukan saja membuat 7 ibu-ibu yang pernah menyusuinya waktu bayi ikut bangga pada capaian Mudarta, namun juga membelalakkan mata orang-orang yang selama ini mengejek kemiskinannya,  menertawakan penampilan Mudarta yang hanya memakai baju dan celana itu-itu saja dari tiap Galungan ke Galungan menjadi ikut terpukau mengetahui rupanya si anak miskin itu adalah bintang pelajar.

Tapi walau sudah menjadi juarapun, bukan berarti Mudarta berhenti dari ejekan orang-orang yang setiap  pagi-pagi buta dan siang hari bolong selalu melihat Mudarta berangkat dan pulang sekolah bertelanjang dada, mengikatkan baju sekolahnya di pinggang, dan terkadang juga memanggul barang dagangan ibunya ke pasar dengan sepasang sepatu  satu-satunya yang ia jinjing agar tak cepat rusak dipakai menempuh perjalanan berkilo-kilo ke sekolah.

Mereka melihat penampilan Mudarta yang demikian, dekil dan berpeluh keringat namun berjalan semangat menuju sekolah dengan tatapan aneh dan geli, bahkan Mudarta selalu tak pernah absen menjadi bahan olok-olok tukang ojek yang berkelakar meski memberi tarif satu sen pun pada Mudarta tetap saja tak akan mampu menumpang ojek mereka.

Sakit hati memang tak dipungkirinya, namun Mudarta tetap menelan kesabaran, ia tahu persis potensi dirinya, ia mawas akan kemiskinannya saat ini, namun ia juga sadar ada kelebihan luar biasa yang mereka semua tidak mampu lihat dalam diri bocah yang mereka tertawakan itu.

Keyakinan akan kemampuan diri itulah yang selalu menjadi penyemangat Mudarta untuk selalu optimis maju terus membangun pola pikir positif bahwa kemiskinan tidak akan dapat mengekang kecerdasan yang telah Tuhan anugerahkan kepadanya. Berbekal itulah Mudarta melalui kesehariannya belajar, sekolah merampungkan sekolah dasar dengan predikat juara, melanjutkan SMP dan menamatkannya sebagai bintang pelajar hingga menyelesaikan pendidikan SMAnya juga dengan prestasi utama sebagai juara umum.

Semangatnya untuk mencetak prestasi tertinggi melampaui anak-anak dari keluarga berada di sekolahnya tak pernah padam, karena hanya dengan puncak prestasi, Mudarta merasa dapat menebus tuntas semua perasaan minder  karena predikat miskin dan penampilan dekilnya.

I Made Mudarta remaja
cerdas, tekun dan pekerja keras

Sebagai juara umum, Mudarta mulai merangkai cita-cita, ia ingin menjadi dokter dan mulai memberanikan diri merantau ke Denpasar untuk kuliah di fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Untuk menjadi dokter ia sadar bahwa tentu pendidikan yang bakal ia tempuh kali ini pasti akan memerlukan biaya yang besar, padahal saat itu Mudarta sudah sepenuhnya dituntut mandiri sejak ayahnya meninggal kala ia masih duduk di bangku kelas dua SMA.  Namun Mudarta tak pernah surut semangat, bayangan biaya besar ia tepis dengan tekat akan bekerja keras setibanya di Denpasar.

Di  Denpasar Mudarta menyewa sebidang tanah bekas kandang babi lalu mendirikan bedeng bambu untuk tempat tinggal. Dalam gubuk beralas tanah itulah sang siswa teladan pemegang predikat juara umum ini mencoba mengakrabi kerasnya perjuangan hidup seorang diri dengan bekerja sebagai buruh cuci perlengkapan cetak di sebuah usaha offset milik pengusaha kayayangcukup keras dengan banyak larangan memperlakukan karyawannya.

Sehari Mudarta dan seluruh pekerja hanya mendapat jatah makan dua kali dengan lauk ¼ telor dan kuah sayur, tidur beramai-ramai dalam satu kamar sempit tanpa kasur, di atas plester semen yang kasar.

Mudarta sendiri yang mengawali karir sebagai buruh cuci mesin tanpa gaji selama 3 bulan semasa training ini tentu gelisah karena sempit baginya ruang untuk naik jabatan karenalarangan belajar bidang lain di percetakanitu.

Namun semangat Mudarta yang terus menggebu untuk maju menjadikannya tak habis akal, ia dekati para operator mesin dan menawari mereka ¼ telor satu-satunya lauk dipiringnya, demi ditukar izin belajar mengoperasikan mesin dari operator secara diam-diam.

Rupanya cara kursus operator mesin dengan modal ¼ telor ini berhasil. Para teman-teman operator mesin malah merasa senang, mereka menganggap mendapat keuntungan double, selain ekstra lauk tiap kali tiba jatah makan, tugas mereka menjadi ringan karena dikerjakan Mudarta yang sedang antusias belajar.

Akhirnya, satu persatu mesin tuntas Mudarta pelajari, mulai dari mencetak plat, mengoperasikan mesin offset dengan berbagai ukuran cetak, mesin potong, mesin jilid dan semua mesin yang ada di sana secara keseluruhan berhasil dikuasai. Di tambahlagi sepulang bekerja, selain mengikuti kursus bahasa Inggris dan perpajakan, Mudarta juga giat mengikuti kursus komputer yang kemudian menjadi penunjang kemampuan Mudarta untuk mengerjakan layout menggunakan perangkat komputer yang biasanya hanya boleh dioperasikan oleh boss pemilik percetakan.

Lengkap sudah kebisaan Mudarta buruh cuci mesin ini mengusai seluruh perangkat cetak sekaligus mendalami desain dan manajemennya dalam kurun waktu kurang dari 1,5 tahun.

Hinggasuatu ketika, di saat libur lebaran Idul Fitri tiba, seperti tahun sebelumnya karyawan dan operator yang mayoritas berasal dari jawa pun mudik ke kampung halaman masing-masing. Praktris sederet order cetak yang tertulis di papan tulis kantor tak terselesaikan, padahal hanya tersisa Mudarta si tukang cuci pribumi Bali yang dianggap tak bisa apa-apa, maka tutuplah kantor cetak itu selama libur lebaran.

Kesempatan ini tak Mudarta sia-siakan, dengan penuh keberanian, dia kerjakan satu-persatu order mulai dari desain, membuat plat, cetak, lipat, jilid, kemas, kirim, tagih dan membukukan administrasi seorang diri.
Ulah Mudarta ini jelas mengejutkan boss pemilik percetakan yang tak menduga Mudarta mampu menyelesaikannya.
Dengan kemampuannya perusahaan memberikan posisi strategis kepada Mudarta, namun itu tidak membuat Mudarta bertahan lama di perusahaan itu, akan tetapi memilih keluar untuk meningkatkan potensi diri.

Setelah keluar dari tempat kerjanya, Mudarta bekerja pada perusahaan percetakan yang baru berdiri di kawasan Denpasar Selatan.
Bisa dikatakan Mudarta adalah poros penggerak utama perusahaan yang  sungguh-sungguh menguasai sektor percetakan, ahli dalam desain dan peka terhadap selera pasar bahkan sekaligus menjadi marketing yang memiliki daya pikat membangun kepercayaan dan meyakinkan konsumen, hingga dalam kurun waktu 2 tahun di bawah pengelolaan Mudarta, perusahaan tersebut berkembang pesat.

Di tengah kesuksesan karirnya itulah, Mudarta yang religius di suatu malam sempat bermimpi bertemu seorang nenek yang memberinya sebuah labu. Labu itu kemudian dibelahnya dan muncul sekilas bayangan membentuk rupa seraut wajah gadis cantik yang tak ia kenal.

Keesokan harinya Mudarta mencoba menafsirkan arti mimpi itu, namun tak juga dapat ia uraikan arti dibalik mimpi yang menurutnya menyimpan makna khusus.

Belakangan setelah beberapa hari berlalu barulah Mudarta terperanjat manakala ia saling bertatap mata dengan Ni Wayan Sumayanti salah seorang karyawan baru di tempatnya bekerja yang saat itu dibantu Mudarta menstarter sepeda motor tua Ni Wayan Sumayanti.

Dari mata bertemu mata itulah kemudian mengingatkan Mudarta pada raut wajah gadis cantik di dalam labu. “Ini lah jodohku”, begitu spontan Mudarta yakin dalam hati, bahwa Ni Wayan Sumayanti adalah wanita yang telah ditunjukkan oleh leluhurnya sebagai bakal ibu dari anak-anaknya kelak.

Semenjak kejadian malam itu, Mudarta dan Sumayanti semakin akrab dan bertambah dekat, keduanya sungguh saling jatuh cinta. Kisah percintaan mereka ternyata tak berjalan mulus begitu saja. Sosok Mudarta yang bersinar, cerdas, penyabar dan menarik ternyata telah memikat hati salah seorang gadis yang memiliki andil pengaruh di perusahaannya. Saking jatuh cintanya, sampai-sampai Mudarta menjadi tersudut di antara dua pilihan besar, ‘karir dan cinta’.

Bila cinta yang dipilihnya, maka Mudarta jelas harus meninggalkan perusahaan percetakan yang telah dirintisnya dengan susah payah selama dua tahun lebih, namun bila memilih karir, ia harus melepaskan cinta dari jodoh yang telah ditunjukkan oleh leluhur melalui isyarat mimpi buah labu.

Dua dilema ini yang berkecamuk dalam pikiran Mudarta, dan lagi-lagi Mudarta kembali mawas diri menenangkan hati, ia mulai mengukur kemampuan dirinya, mengenali diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sejenak ia merenung dan akhirnya memutuskan; “Sudah saatnya aku tampil dan berdiri sendiri”, Mudarta pun memutuskan mengundurkan diri dengan keyakinan penuh untuk membela cintanya. Semua telah melalui perhitungan yang cermat dan detail  bagai menata strategi di medan pertempuran, meski harus merangkak kembali dari nol dengan modal satu mesin sablon milik sendiri, namun Mudarta yakin, berbekal semangat kerjanya yang terus berkobar, ditambah pemahaman medan pasar yang ia kuasai, ditunjang segala keahlian, ia yakin pada akhirnya cinta yang diperjuangkannya akan menang.
Dari keyakinan tersebut, Mudarta membuka usaha percetakan yang diberinya nama “Inter Grafis”, menyewa sebuah bangunan di Sanur dan mulai menjalankan bisnisnya sendiri.
Tak perlu waktu lama, Mudarta segera mendapat kepercayaan pasar dari perusahaan besar di Bali.

Dari keuntungan itulah Mudarta seketika mampu membeli mesin offset dan segala keperluan cetak bagi perusahaan ‘Inter Grafis’, yang sekaligus menjadi gerbang awal kesuksesan I Made Mudarta yang seketika bertengger dijajaran pengusaha muda yang sukses di Bali.

Banjir order datang tak terbendung, Mudarta yang kemudian menikahi Ni Wayan Sumayanti inipun semakin semangat memacu bisnisnya, bahkan merambah sektor pertanian dengan berinvestasi beberapa hektar lahan kelapa sawit. Iaingin anak-anak dari pernikahan bersama Wayan Sumayanti tidak mengalami nasib yang sama sepertinya saat masih kanak, “Biarkan saya saja yang mengenyam dan mengakrabi kemiskinan di saat kecil dulu, anak-anak nanti harus menjadi generasi yang lebih baik”.

Pernikahan I Made Mudarta bersma
Ni Wayan Sumayanti.

 

 


Dalam kebersamaan, I Made Mudarta bersama
istrinyta Ni Wayan Sumayani membangun masa depan.

Sukses diberbagai bidang usaha, Mudarta yang bara semangat juangnya terus membara tak bisa tinggal diam hanya menikmati kesuksesan dan menautkan diri pada kesibukan yang bertalian dengan simpul-simpul matrialistis semata.

Mudarta dengan kesuksesannya tetap tak pernah bisa melupakan liku perjuangan hidupnya yang tumbuh dalam keluarga miskin di pelosok desa dan harus berjuang susah payah memetik mimpinya sendiri. Kenangan tinggal di kandang babi, pahitnya nasib buruh yang ditindas dan derita kemelaratan yang bertahun-tahun telah ia akrabi.

Perjalanan panjang kisah getir kemiskinan begitu miris melekat diingatannya, ia sangat mengenal kemiskinan dan iapun tahu jalan serta langkah untuk mengatasinya, ia kenal betul apa yang dibutuhkan kaum miskin dan ia memahami suasana hati mereka, itu semua karena seolah melihat potret, meraba dan memutar rekaman masa lalu diri sendiri.

Karena itulah Mudarta kemudian berpikir untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat, ia lalumemantapkan sikap untuk menyerahkan hati, pikiran dan tenanganya pada gerakan pengentasan kemiskinan, namun hal itu tidak mungkin dilakukannya seorang diri.

Bila masih jumlahnya satuan atau puluhan masyarakat saja, seperti yang sudah-sudah Mudarta masih sanggup menopangnya, namun bila sudah menunjuk angka ribuan, ratusan ribu, hingga jutaan manusia yang perlu dientaskan dari kemiskinan, harus ada peran kekuatan regulasi kelompok, partai atau pemerintah di dalam perjuangan ini.

Menyadari akan hal itu, Mudarta mantap memilih mengawali langkah besarnya dengan bergabung dalam partai Demokrat, sebagai Wakil Ketua DPC Demokrat Jembrana, partai yang didirikan dan dipimpin SBY (Dr. H. Bambang Susilo Yudhoyono), di manasosok tokoh SBY yang bersih, cerdas dan santun, sangat tepat dijadikannya teladan, terlebih lagi SBY ia anggap memiliki visi yang sama dengan berbagai arah pemikiran Mudarta dalam pengentasan kemiskinan.

I Made Mudarta tak pernah setengah-setengah melakoni apa yang ia tekuni, semangatnya tak pernah meredup, ia giat bekerja melakukan berbagai trobosan dan langkah-langkah fungsional di bawah naungan partai Demokrat, berbagai kerja besar partai Demokrat yang melibatkannya sukses terselenggara.

Kinerja Mudarta yang luar biasa, energik dan kepribadiannya yang menyenangkan mendaulatnya duduk sebagai Ketua Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Provinsi Bali 2004 dan berlanjut pada Pemilu pemilihan Presiden,Mudarta dipercaya sebagai Sekretaris Kampanye Tim Pemenangan SBY-JK yang menghasilkan kemenangan pasangan SBY-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI ke-6.

Pasca itu semua, dalam Musda 2006 Partai Demokrat, ditetapkan Made Mudarta sebagai Wakil Ketua I Partai Demokrat dan Ketua Umum Partai Demokrat Provinsi Bali dipimpin I Gusti Bagus Alit Putra.

Dalam jabatannya ini, Made Mudarta mendapat tugas untuk selalu terlibat memimpin diberbagai forum musyawarah cabang (Muscab I) DPC dan forum musyawarah anak cabang (Muscab I) DPAC Partai Demokrat seluruh Bali. Kiprahnya berhubungan dengan para kader di seluruh Bali secara langsung ternyata semakin memperluas jaringan persahabatan dan networking yang sekaligus dapat melakukan dorongan pergerakan dalam pendidikan politik dan demokrasi pada rakyat.

Dengan koordinasi yang mantap, akrab dan terpadu, maka dalam pesta demokrasi tahun 2009, di mana Mudarta duduk sebagai Ketua Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Provinsi Bali, yang berujung pada kemenangan telak partai Demokrat di tingkat nasional. Dan berikutnya dalam Pemilu Presiden yang mengusung SBY-Boediono, Mudarta memegang peran sebagai Sekretaris Pemenangan Pemilu Presiden yang hasilnya berujung pada kemenangan SBY-Boediono.

Semangat dan langkah lurus Mudarta dalam waktu singkat secara gamblang dapat terbaca oleh siapapun yang berkesempatan bertemu, berbincang atau berdiskusi dengannya, niat tunggal Mudarta untuk mengabdi pada bangsa dan negara begitu menonjol dalam perkataan dan perbuatannya, hal inilah rupanya yang kemudian membuat nama Mudarta muncul dalam pusaran bursa pemilihan ketua Partai Demokrat Propinsi Bali.

Dalam Musda II Partai Demokrat Bali  yang mengusung dua calon antara IGB Alit Putra dan Made Mudarta, akhirnya dari 11 suara, Made Mudarta unggul 9 suara yang berarti menempatkannya pada posisi Ketua Umum Partai Demokrat Provinsi Bali sampai masa bakhti 2011-2016.

IGB Alit Putra bersama
I Made Mudarta pada Musda II
Partai Demokrat Bali 2011

Di pucuk tertinggi kepemimpinan partai Demokrat provinsi Bali yang juga merupakan partai pemenang pemilu 2009, sekaligus menjadi partai terbesar di Indonesia, Made Mudarta tidak kemudian terlilit hasrat pribadi pada kekuasaan pragmatis, namun ia cenderung menempatkan diri sebagai motivator, fasilitator dan konseptor yang turut aktif dalam rembuk-rembuk penting pembangunan, serta giat mendesak upaya percepatan pertumbuhan kemakmuran masyarakat yang sistematis sesuai jalur mekanisme yang berlaku.

Sebagai tokoh politik panutan, Made Mudarta memang kerap melontarkan gagasan-gagasan visioner berkaitan dengan tata pemerintahan seperti yang belakangan santer diperbincangkan tentang “one island one management”, di mana Mudarta lah sosok di balikgagasan keharusanotonomi untuk Bali. Menurutnya Bali dengan kabupaten-kabupatennyasemestinya dikelola dengan satu manajemen saja, di mana manajemen Bali berada di tangan provinsi dengan para pemimpin pemerintahan kabupaten dan kota ditetapkan demi untuk terciptanya sinergi pembangunan, atau bisa diartikan pembangunan Bali dalam satu arah komando yang jelas. Dengan demikian Mudarta meyakinkan bahwa Bali ke depan dapat di urus dengan baik dan pembangunannya juga diharapkan lebih merata, tidak ada bupati yang tidak mengindahkan kebijakan pembangunan hanya disebabkan ideologi politik berbeda dengan pemerintah pusat atau berbagai kendala lainnya dikarenakan sebab dan alasan serupa, di mana pada ujungnya rakyat Bali secara keseluruhanlah yang dirugikan dan menjadi korbannya.

Pemikiran-pemikiran cerdas Mudarta dan strategi politiknya yang bertumpu pada semangat memakmurkan dan mencerdaskan masyarakat telah banyak memotivasi para kader Demokrat yang duduk di kursi pemerintahan maupun legeslatif dalam menggulirkan kebijakan strategis pro rakyat yang nyata, memangkas birokrasi yang berbelit dan memberikan dampak langsung pada sasaran yang tepat.

Maka benarlah, bila dirangkai kisah perjalanan hidup Made Mudarta dalam satu ringkasan cerita, akan tampak bagaimana sosok ini dipersiapkan Sang Hyang Widhi Wasa, untuk menjadi Ksatria pilih tanding layaknya sang Bima yang kuat, jujur, teguh dan berani, tak mudah menyerah pada kesulitan, yang hidup dengan bara semangat yang terus menyala hingga akhirnya mampu dengan dayanya sendiri memberi arti besar bagi bangsa dan negara, Indonesia.

I Made Mudarta
Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Bali

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>