Tjokorda Raka Kerthyasa
CATATAN DI BALIK SINGGASANA
Tjokorda Raka Kerthyasa, Ubud, SIWA LATRI, 2009-01-29
KENANGAN TELOR BEBEK
Semua telah terjadi di masa yang lalu,
waktu yang aku bisa ingat di kala dulu.
Ya yang lalu, saat aku bisa mengingat,
saat itu tinggiku hanya baru 90 cm, beratku mungkin hanya 30 kg, aku pakai baju kaos putih yang panjang hingga menutupi lututku,… saat itu belum banyak orang pakai celana dalam, apalagi aku yang masih kecil dan masih ingusan,….. ya tidak pakai celana dalam juga.
Pada saat itu mengalir dari hidungku tenges (ingus) meleleh yang terkadang aku bersihkan dengan memakai lengan tanganku,…gresssss,….. yakkhh
Pagi itu,.. aku sedang mengantarkan bebek-bebek yang aku pelihara dari kecil, jumlahnya ada lima ekor, empat ekor perempuan dan seekor laki-laki.
Lima ekor anak bebek itu dibelikan ibu saat pasaran di Ubud untuk ku pelihara.
Aku sangat senang bermain dengan mereka. Bersama ibu, aku membuatkan mereka rumah dari tanah dan bebatuan beratapkan alang-alang. Sehari sudah selesai,….yang ukurannya dua kali satu setengah meter dan tingginya hanya lima puluh satu meter. Sampai lupa makan,… seharian bermain lumpur dan tanah dicampur air dan bebatuan,.. dari pagi sampai sore,.. membuat rumah untuk bebek-bebekku.
Sementara menunggu kering rumah bebek itu, mereka kami taruh dan amankan dalam sangkar ayam jago, diisi tempat makan dan air secukupnya.
Setelah temboknya kering barulah kami tempatkan anak-anak bebek di rumahnya yang disebut kandang, aku juga buatkan kolam kecil di samping kandang untuk mereka mandi.
Setiap pagi, siang dan petang aku menghapiri mereka sambil memberi makanan atau kadang-kadang biah-biah yang aku carikan di sawah. Sering aku ngobrol dengan mereka, terkadang mereka bisa juga nakal,.. dengan berbasah di kolam kemudian mengibaskan sayapnya hingga aku kepercikan air lumpur dan ikut jadi sedikit basah.
Pagi-pagi aku biasa membukakan pintu rumahnya, yang terbuat dari bambu,… mengeluarkan mereka dan membiarkan mereka bermain di dalam kandang yang pagarnya juga terbuat dari bambu, dengan bentuk lingkar mengelilingi rumah mereka. Kusiapkan makan, minum, kemudian aku bermain dengan teman-teman sambil mencari capung atau,…. kalau lagi musimnya,.. kami bermain layang-layang di lapangan Ubud yang sekarang sudah menjadi pasar Ubud di depan Puri Ubud.
Tiada halangan,… waktu berlalu… tak terasa bulu mereka sudah tumbuh dengan sehat, suara mereka tidak lagi ‘ngik-ngik-ngik’, tapi sudah ‘kwek-kwek-kwek’, berarti mereka sudah dewasa. Umurku kala itu tujuh tahun dan aku mulai masuk sekolah dasar kelas satu, di SD 1 Ubud. Mulailah ku sekolah setiap hari dari jam tujuh pagi sampai jam 12 siang, mulai hari Senin sampai Sabtu.
Dalam kesibukan sekolah, aku juga sempatkan waktuku untuk menjaga dan bermain dengan bebek-bebekku, sebelum aku pergi ke sekolah aku antarkan bebek-bebekku ke sungai kecil (telabah) di dekat Pura Taman Kemuda Saraswati Ubud, 200 meter dari Puri, dan aku tinggalkan mereka di sana sampai aku jemput mereka untuk diajak pulang sore harinya.
Kini mereka sudah sangat dewasa, sering aku melihat bebek yang laki menunggangi bebek-bebek yang perempuan. Gugakekgugagek gugakggekgugekgekgekeeeegekgekgekgekgekgekgekkkkkkkkkkkkkkkkkk.
Aku tersenyum dan kadang-kadang tertawa
memperhatikan mereka bercinta di mana-mana,
di air, di darat, di kandang,…. maupun di semak belukar,….
Lakinya dengan ekor yang indah
melingkar di atas pantatnya,
mentekur-tekur bertengger di atas punggung bebek wanita, paruh bebek yang laki memegang erat
bulu kepala bebek wanita,
melengkungkan ke atas punggungnya dan menarikan paruhnya dengan memegang bulu kepala bebek wanita,…
…………………………………………………………………………….
‘hahahahaha’ setelah sekian menit bergumal bebek yang laki mendekes, bebek wanita berteriak guekguekkguekguek,……
Terguling bebek yang laki ke tanah
dan bebek wanita berlari sambil mengipaskan sayapnya Gekegek,..bebek laki berjalan selimpungan,.. terasa berat badannya sambil menoleh kepada bebek-bebek wanita,……
Hari sudah mulai petang aku antarkan mereka pulang,… dengan penyisih kecil, di pinggir jalan dengan sangat hati-hati,…….
karena banyak kendaraan, sepeda motor di jalanan.
Di suatu subuh yang sejuk dan cerah, aku bangun dari pembaringan, badanku terasa sangat segar, sambil mengusap-ngusap mata,.. aku pergi menghampiri kandang bebek-bebekku. Dengan hati-hati aku membuka kandangnya serta mendekati rumahnya, di mana saat itu aku disambut dengan suara gugagekgugagekgugagek, gekgegkegekgek,.. berlima mereka menyambut kedatanganku dengan irama dan senandung paginya musik bebek,..hahahah ada juga yang membuat suara lantang geeeeeeeeeeekkkkkkkk,geeeeeeeeeeeeekkkkkkk,gekekekekekek……aku jadi ketawa mendengarkan dan menyerukan suara ‘shuuttttuuttuutu’, maksudku; “Jangat ribut orang-orang masih tidur”.
Kubuka pintu rumahnya dan mereka berlarian keluar, muter-muter dikandangnya,……. namun ada sesuatu yang membuat aku ternganga, … aku tahan nafas sejenak, sambil menggumam,.. ‘ahhh, ahhhhh’, ada sesuatu berkilaun di dalam rumah bebek-bebekku,…… warnanya putih,…. ada tiga butir,….. di atas rumput padang ilalang, bertengger,… menyambut mataku dengan penuh keheranan,………….. ‘wahhh’
Setelah aku pandangi sejenak,.. aku julurkan tanganku yang kanan mendekati benda tersebut,… makin mendekat…….. dan akhirnya jari jemariku menyentuh benda tersebut,… ‘ah, masih terasa hangat’,…….. ku ambil,… kudekatkan ke mataku,… hidungku mulai mencium sesuatu,.. seperti baunya tai bebek,… setelah dekat,… ‘wahhhhhhhhhh’…
Ternyata,…..inilah yang disebut,……TELOR BEBEK ?
Hening sejenak…. dengan mata memblalak,…………. ‘Wahhh’
Kemudian aku bertriak,.. memanggil ibuku; “Wai,……. Wai,.. Wai,.. !!!”, (panggilan untuk ibuku),….
“Bebeke metaluh,….., bebeke metaluh tiga butir,…. tiga butir,…. !!”
Ibuku bangun kemudian memungut dua telor lagi dan mengambil telor yang aku genggam untuk ditaruh di tempat beras.
Setiap pagi berikutnya aku selalu bangun pagi-pagi,… memungut telur…. kemudian dikumpulkan ibu, dan setiap tiga hari aku diberi uang saku sekolah oleh ibuku dari menjual telor-telor bebek-bebekku tersebut.
Dengan tekun aku memelihara bebek-bebekku
bertahun-tahun,….
Sampai aku kelas 6 SD aku terus memelihara
bebek-bebekku,.. yang memberikan aku bekal uang sekolah saat itu.
TERIMAKASIH BEBEK ATAS JASA DAN KEIKHLASAN MU.
Tak terhitung berapa banyak telormu telah membantu dan mendorong semangatku untuk mendapatkan pengetahuan.
Kalian bekerja keras, sabar dan tulus, telah mempersembahkan hidupmu, sampai telormu untuk membantu hidupku.
Akupun demikian, sangat menyayangimu,memelihara,melindungi dan menghormati dengan meluangkan waktu,tenaga dan kerja agar kalian senang dan sehat.
__________________________________________________________________________________
Kutipan suara hati Tjokorda Raka Kerthyasa di atas adalah ungkapan kenangan masa kanaknya yang berkesan.
Sebuah latar yang mengkisahkan bagaimana tokoh yang dikenal di Bali sebagai bangsawan, politikus handal yang juga seorang sastrawan, seniman dan budayawan ini, hidup di masa kanak-kanaknya di Puri Ubud, Gianyar di mana ia dibesarkan sebagai seorang pangeran putra; Tjokorda Ngurah bersama Anak Agung Niang Rai, yang begitu dihormati masyarakatnya hingga kini.
Wibawa Tjokorda Raka Kerthyasa bukan saja dipandang dari dalam darah yang mengalir di tubuhnya, namun kharisma itu juga tumbuh dengan alami di hati masyarakat Ubud karena welas dan kepeduliannya terhadap siapa saja dari golongan apapun di dalam masyarakat yang datang dan memohon bantuannya dan mendapatkan uluran tangan sang pangeran hingga menemui jalan keluar dari segala permasalahannya.
Meski setiap hari silih berganti masyarakat menemuinya untuk berdialog baik tentang permasalahan adat, agama hingga urusan pribadi dan keluarga, semua itu bukanlah hal yang dianggap menjenuhkan baginya, justru ia dapat mengembangkan senyum manakala apa yang ia lakukan dapat bermanfaat bagi orang lain, karena menurut Tjokorda Raka Kerthyasa, akan menderita seseorang yang tidak dapat menolong orang lain.
Filosofi sederhana ini seakan telah mengakar di hati pria kelahiran Puri Ubud, 29 September 1954 ini, yang sejak kecil merasa tidak pernah memilih dan membedakan teman bermainnya, meski orang lain selalu mengkhususkan dia sebagai keluarga Puri.
Pada tahun 1967, di tengah suasana tahun baru, kala usia Tjok Raka menginjak dua belas tahun, Tjokorda Ngurah ayahnya meninggal dunia dan upacara pelebonnya dilangsungkan pada tanggal 2 Agustus 1967.
Sebagai anak yatim, Tjokorda Raka Kerthyasa semakin bertambah dewasa dari segala hal pada dirinya, ia memilih melanjutkan sekolah di Denpasar pada tahun 1968 di SMP Swastiastu. Dan selama di Denpasar, Tjok Raka Kerthyasa tinggal di salah satu rumahnya di jalan Gadung No. 59 A bersama Tjokorda Gede Budi Suryawan.
Di rumah inilah kemandirian dan kebersamaan terbentuk, ia melakukan apa saja pekerjaan rumah yang ada bersama-sama, dari mengepel, menyapu, mencuci dan apa saja yang menjadi pekerjaan sehari-hari, adapun pada hari Sabtu, Tjok Raka dapat melepas kerinduan dengan keluarga Puri setelah menempuh perjalanan dengan sepeda dari Denpasar ke Ubud dan di hari Senin, ia harus pagi-pagi sekali menempuh perjalanan kembali ke Denpasar untuk berangkat sekolah.
Di tahun 1970, Tjok Raka melanjutkan pendidikannya di SMA Swastiastu, juga masih di kota Denpasar.
Selepas SMA, Tjokorda Raka Kerthyasa masuk sekolah di perhotelan KKDP yang dijalaninya tidak lebih dari satu tahun dan pindah pada Fakultas Hukum Udayana yang juga hanya satu tahun ia ikuti.
Tjok Raka Kerthyasa yang sejak kecil begitu gandrung pada dunia seni dan budaya Bali, akhirnya mencoba untuk mengikuti bakatnya dengan memilih Fakultas Teknik Seni Rupa di Universitas Udayana.
Ketertarikannya pada dunia seni bukanlah hal aneh yang tak beralasan, mengingat ia dibesarkan di pusat kesenian Bali; Ubud. Apalagi Tjok Raka merasa memiliki talenta seni yang terus mendorongnya mengenal lebih dalam rupa dunia seni. Hal itu dibuktikan dengan kemahirannya menguasai hampir seluruh olah budaya Bali, dari menulis berbagai karya sastra, melukis, menari bahkan memainkan gender wayang dan bermain gamelan berikut kemampuannya di dalam seni patung dan drama.
Selama duduk di bangku kuliah inilah Tjok Raka dipercaya untuk menjadi seorang kurator dan bekerja di Puri Lukisan Ubud di bawah Yayasan Ratna Warta.
Tahun 1976, sebagai putra Ubud, dengan dorongan dan kesadaran dirinya sendiri untuk melestarikan dan melanjutkan tradisi Ngelawang, ia menghimpun anak-anak desa Ubud dalam Sakaa Barong Anak-anak, rintisan ini dengan sungguh ia galakkan hingga hasilnya kegiatan tersebut berkembang ke wilayah-wilayah lain di Ubud.
Setelah dua tahun di Fakultas Teknik Seni Rupa, Tjok Raka memutuskan berhenti dari Udayana dan merantau ke Australia untuk belajar bahasa Inggris di sana selama satu tahun.
Merasa telah mahir dalam bahasa, saatnyalah Tjok Raka bersungguh menyelami pendidikan seni pada Akademi Seni Rupa di Australia dan berhasil menyelesaikannya dalam waktu lima tahun, walaupun aktivitas belajarnya banyak terbagi dengan bekerja dan masih aktif dalam konsistensinya sebagai ketua Sakaa Barong Anak-anak Ubud yang membuatnya harus beberapa kali pulang balik ke Bali untuk mengurus berbagai kegiatan di dalamnya.
Tahun 1978, di saat ia pulang ke Bali, merupakan masa dan tahun paling berarti bagi Tjokorda Raka Kerthyasa, karena di tahun inilah ia telah meyakinkan diri untuk mengakhiri masa sendirinya dengan menikahi Jane Gillespey seorang guru warga Australia yang dijumpainya di Bali saat Tjok Raka sedang mengajar anak-anak gamelan di Pura Taman Saraswati Ubud.
Jodoh memang kehendak Yang Kuasa, tiada yang dapat mencegahnya.
Pangeran Ubud ini telah memenangkan cintanya, dengan mempersunting Jane Gillespey yang lalu mendapat nama Bali; ‘Jro Asri Kerthyasa’, dan menikah dalam kemegahan adat kebesaran Puri.
Setelah menikah, Asri istrinya banyak mendorong Tjok Raka untuk terus melanjutkan pendidikannya. Maka kembalilah Tjokorda Raka Kerthyasa ke Australia untuk memulai kehidupannya kembali di sana.
Di Australia, ia bukan saja memperoleh pendidikan formal yang ditempuhnya, namun di negeri Kangguru inilah ia meyakinkan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan adalah mulia, tidak ada pekerjaan yang tidak terhormat atau hina asalkan dikerjakan dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan penuh tanggung jawab.
Itu semua ditemukannya karena ia mencoba menjalani semua pekerjaan termasuk menjadi tukang potong rumput, cuci piring, masak dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang semua itu dilakukannya juga dengan sungguh-sungguh meskipun di saat itu Tjo Raka telah menjabat sebagai direktur Museum Puri Lukisan Ubud.
Masa-masa dalam rantauan adalah masa penuh kerinduan bagi Tjok Raka Kerthyasa. Rindu pada keluarga, sahabat, kampung halaman yang kaya budaya di Bali. Menyiasati rasa rindu akan paguyuban dalam keakraban budaya Bali, ia menggalang sebuah banjar Bali di Australia dan mengadakan kegiatan-kegiatan kesenian Bali.
Kegiatan-kegiatan itu ia lakukan secara rutin di Australia Museum, Sydney.
Ia dan rekan-rekannya acap kali mempertunjukkan kesenian Bali baik menari ataupun memperkenalkan alunan musik gamelan Bali.
Aktivitas demikian bukan saja bermaksud untuk mempertunjukkan dan memperkenalkan seni Bali di Australia namun juga mengajarkan tari-tarian Bali dan kesenian lainnya kepada anak-anak sekolah di Australia yang ternyata cukup menarik minat dan menggugah niat mereka dapat lebih mengenal kebudayaan Bali.
Dan dari kesibukan aktivitas itulah, Tjokorda Raka Kerthyasa merasa mendapatkan kembali hidup di dunianya untuk berkesenian dan menumpahkan segala kreativitas seninya sebagai orang Bali.
Tahun 1993 Tjok Raka Kerthyasa kembali pulang ke Bali. Bersama istrinya, ia mulai berniat untuk melanjutkan dan mengelola sebuah usaha yang telah dibangun pada tahun 1978, dengan mengurus penginapan atau pondok wisata di salah satu kawasan di bilangan Ubud, di luar lingkungan Puri dengan nama Cicak Inn dan mengembangkannya membangun pondok kecil untuk tempat tinggal keluarganya.
Dalam kerajaan kecil miliknya inilah Tjok Raka menuangkan kreativitas dan kemampuan yang begitu kaya tumbuh dalam dirinya dengan bebas dan cerdas.
Bagi Tjok Raka, suatu pohon akan dapat tumbuh subur bila tidak ada pohon atau tanaman lain di sekitarnya. Hal inilah yang mengokohkan niatnya untuk terus menuangkan segala daya cipta kreasi dalam dirinya untuk mengembangkan usaha yang ia kelola di luar dinding istana.
Hasilnya, iapun dapat merubah penginapan kecil miliknya menjadi sebuah hotel melati kelas tiga dengan nama IBAH Hotel yang populer disebut boutique hotel yang dikerjakan sepenuhnya oleh orang pribumi Bali, baik dari arsitek, design hingga tenaga profesional yang menangani pembangunan hotel dengan konsep Tri Hita Karana; Parahyangan, Pawongan dan Palemahan, yang mengatur seluruh posisi bangunan beracukan pada Tri Mandala sedangkan konsep bangunan struktur hotel Ibah ini, menerapkan konsep Sapta Resi yang berarti lebih banyak menitikberatkan pada kenyamanan ke tujuh indera manusia, yaitu telinga yang diperdengarkan suara-suara kedamaian alam, mata yang mempertampilkan keindahan alam berikut design dan relief berkelas seni tinggi di seputar kawasan areal hotel.
Adapun hidung yang mewakili makna indera penciuman akan dengan mudah mencium aroma segar, wewangian asli yang dihembuskan alam.
Dan lidah tentu berkaitan dengan citarasa akan merasakan sajian makanan ataupun minuman yang diolah dari bahan-bahan terbaik alami.
Sedang untuk indera perasa lainnya seperti kulit yang merasakan rabaan dan sentuhan akan diperoleh dengan setiap interaksi dengan kelembutan dari segala macam detail sarana kenyamanan yang ada di sana. Dan yang terakhir dalam pencapaian ketentraman, kedamaian budi dan pikiran, diwujudkan oleh Hotel Ibah dengan membuat tata ruang minimalis, yang sederhana dengan konsep-konsep khusus yang lekat dengan balutan suasana tentram yang dapat membawa pikiran manusia ke sisi positif.
Semua itu merupakan perwujudan dari pengalaman dan ilmu yang diperoleh Tjokorda Raka Kerthyasa selama di Australia dipadukan dengan keindahan budaya dan nuansa Bali, hingga akhirnya hotel Ibah ini berhasil diwujudkan dan berdiri serta mampu memberikan dukungan baginya untuk dapat berbuat lebih banyak bagi masyarakat Ubud.
Karena bagaimana mungkin ia akan bersosial sebagaimana tuntutan hati nuraninya bila tidak memiliki usaha yang kuat untuk menopang itu semua.
Ibah Resort
Dan benar saja, Tjokorda Raka Kerthyasa selalu setia pada ikrar dan niatnya. Banyak waktu ia habiskan untuk berkiprah dalam masyarakat dan menggairahkan kembali citra pariwisata.
Gagasan, karya dan peranannya dalam bidang pariwisata menjadikannya mendapat kepercayaan menjabat sebagai ketua PHRI Gianyar sampai dengan tahun 2003, ataupun sebagai Anggota Dewan selama 2 periode, dan ketua di berbagai organisasi seni budaya seperti Ketua Yayasan Bina Wisata Ubud yang ia terima dan emban dengan tulus sebagai perwujudan tanggung jawab moral sebagai putra Bali.
Bukan sekedar saran dan pendapat yang diutarakannya, namun ia mewujudkan gagasan-gagasannya secara nyata, seperti diadakannya parade Beleganjur di Ubud dan pawai Ogoh-ogoh yang baru pertama kali ini terjadi di Ubud, yang paling mengesankan, parade luar biasa ini bukan hanya diadakan sekali saja, namun telah diselenggarakannya sebanyak tiga kali dan juga akan terus diadakan secara rutin setiap tahun.
Usaha mulianya ini memberikan dampak positif bagi dunia pariwisata, setidaknya menjadikan rangsangan baru bagi para wisatawan untuk berkunjung ke desa Ubud untuk menikmati kekayaan budaya Bali.
Semua itu Tjok Raka lakukan, bukan untuk membangun citra dirinya, namun semata-mata sebagai bhakti kepada leluhur yang telah mewariskan sedemikian eloknya sebuah budaya, serta menjadi bagian dari laku dharma kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
family picture
DATA PRIBADI
Nama : Tjokorda Raka Kerthyasa
Tempat/
Tanggal lahir : Puri Ubud, 29 September 1954
Agama : Hindu
Alamat
Rumah : Puri Tjampuhan Ubud
Profesi : Pengusaha dan Seniman
Aktif di dalam :
- Ketua DPD TK II Golkar 2003, 2005-2009
- Ketua Dewan Pendidikan Kab.Gianyar 2002-dua periode sampai sekarang.
- Ketua Yayasan Tri Hita Karana Ubud (Kegiatan Sekolah Suta Dharma TK & SD)
- Ketua Yayasan Bina Wisata Ubud (Operasional bersama LKMD & membuka Tourist Information). Yang sekarang beroperasi di Kantor Lurah Ubud.
- Superviser Hotel IBAH, Ubud, Bali
- Ketua Umum Pelestarian Warisan Budaya Bali (Bali Heritage Trust)
- Ketua Umum Kricket Gianyar periode 2004-2009
- Ketua Umum Pengda Kriket Bali 2009-2014
- Anggota Rotary, Ubud, Bali 2002 sampai sekarang
- Penasehat Museum Arma, sampai sekarang
- Ketua kegiatan-kegiatan festival Ubud 1999
- Kurator Museum Puri Lukisan (tahun 1976 s/d 1980)
- Director Museum Puri Lukisan (tahun 1991 s/d 1997)
- Ketua PHRI Kab. Gianyar (tahun 1999 s/d 2003)
- Ketua Umum Panitia Peace & Unity dalam Rangka Recovery Bom Bali 2002
- Ketua LKMD, Kelurahan Ubud (1999 s/d 2003)
- President of Rotary Club Bali Ubud 2002-2003
- Petron, Ubud Writer Festifal (2006 sampai sekarang)
- Penasehat Layang-layang RARE ANGON UBUD 2007, dan Layang-layang PELANGI GIANYAR
- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Kab. Gianyar, Wakil Ketua 2004-2009
- Bendesa Adat Desa Adat Ubud mulai th 2009- sampai sekarang
- Presiden KRIKET INDONESIA mulai Januari 2009.
- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Provinsi Bali 2009-2014
- Anggota Dewan Pertimbangan KADIN Provinsi Bali 2010
- Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar Kabupaten Gianyar 2009
Kegiatan Berkesenian dan Budaya :
- Tahun 1976 menghimpun anak-anak Desa Ubud di dalam melanjutkan tradisi ngelawang dan sampai sekarang bahkan berkembang di wilayah-wilayah lain di Ubud, sebagai dasar bakti kepada leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi.
- Tahun 1982 ikut serta di dalam menghimpun Banjar Bali dan membuat kegiatan Kesenian Bali di Sidney Australia.
- Mulai Tahun 1986 mengikuti pameran-pameran lukisan di Sidney Australia, Jakarta, Bali dan Jepang bersama ARMA MUSEUM.
- Pencetus Ide Pembuatan Uang Kepeng Bali melalui pelestarian warisan Budaya Bali Tahun 2001.
- Menulis dan mengarang Buku Saksi Tinta (Penerbit Pustaka Nayottama), Peluncuran buku tanggal 17 Juli 2005
- Membuat Barong dan Topeng untuk kepentingan kegiatan adat dan agama dibeberapa Desa di Bali.
- Menulis dan mengarang Buku, Revolusi Rasa (Penerbit Pustaka Nayottama), dan pameran lukisan peluncuran buku Tanggal 21 Maret 2007.
- Membuka dan mengoperasikan Tourist Information pertama di Desa Ubud, melalui Yayasan Bina Wisata Ubud, sekarang dioperasikan oleh LPM Ubud di Kantor Lurah Ubud sebagai asset Kelurahan Ubud.
- Menulis dan mengarang Buku, Suara Di Atas Kertas, 2009. (Penerbit Pustaka Nayottama)
Penghargaan yang diperoleh :
- Piagam penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atas terselenggaranya “Seni Topeng Tradisional Nusantara”. 30 Oktober 1977.
- Piagam penghargaan dari Ikatan Sosial Masyarakat Indonesia (ISMI) – Indonesian Social Society of NSW – Australia dalam rangka peringatan ulang tahun ISMI yang pertama.
- Thank you letter from Indonesian Consulate in Sydney for his participation in “Malam Indonesia” in Sydney 20 November 1992
- Piagam penghargaan dari Wakil Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta atas partisipasi aktif di “1993 Sidney Holliday & Travel Show and Jakarta Beyond Your Imagination”
- Penganugerahan “PAUL HARRIS FELOW” dari The Rotary Foundation of Rotary International.
- Piagam penghargaan dari Jend.TNI Purn.Soesilo Soedarman dalam peresmian “UBUD SARI” Health Resort, 27 Desember 1996.
- Piagam Penghargaan dari YPNLP’45 (Yayasan Penerus Nilai-Nilai Luhur Perjuangan 1945, atas keikutsertaannya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sektor Pendidikan. 24 Nopember 1997
- Piagam Penghargaan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nusa Tenggara atas partisipasinya sebagai panitia dalam Pameran Lukisan dalam peringatan Ulang Tahun emas bhayangkara ke-50. 1 Juli 1996
- Piagam Penghargaan dari Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar dalam keikutsertaannya dalam Pameran Lukisan Bersama “Seniman Lukis Gianyar Timur”. 23 Agustus 1998
- Piagam Penghargaan “Rotary International District 3400”. 8 Juni 2002
- Piagam Penghargaan Rotary International District 3400 sebagai participant pada acara Membership Development Retention and Extension Seminar 2002. 3 Agustus 2002
- Sertifikat ucapan terima kasih dari Yayasan Citra Baru Cab.Denpasar untuk sumbangan lelang lukisan.
- Piagam Penghargaan dari Bali Peace Unity atas partisipasinya dalam “The Tribute for Peace and Unity Committe”.
- Piagam Penghargaan dari Gubernur Bali sebagai Panitia Pembentukan Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali (Bali Heritage Trust).
- Piagam Penghargaan dari Pusat Pelestarian Pusaka Arsitektur atas partisipasinya sebagai peserta aktif. 30 September 2003
- Piagam Penghargaan dari Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI) dan ICOMOS Indonesia atas partisipasinya sebagai peserta lokakarya Nasional Tonggak Tahun Pusaka 2003. 12 Desember 2003
- Piagam Penghargaan dari Bali Heritage Trust (Konservasi Warisan Budaya) atas partisipasinya sebagai Instruktur. 7 Mei 2004
- Penghargaan dari Panitia Penyelenggara Pesta Kesenian Bali XXVI atas partisipasinya sebagai Pengarah. 17 Juli 2004
- Piagam “Wija Kusuma” dari Pemerintah Kabupaten Gianyar sebagai Budayawan.
- Piagam Penghargaan dari Menteri Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia, Aburizal Bakrie, 6 Januari 2006
Menikah : 12 Mei 1978
Nama Istri : J. Asri Kerthyasa
Jumlah anak : Tiga orang
Hobby : Melukis, menulis, berenang
Semboyan : “Merdeka Mahardika”
Mencoba membebaskan diri dari keterikatan
dan ketergantungan tanpa mengurangi arti dari perjalanan hidup ini.
Warna Favorit : Putih dan Kuning
Lagu kenangan : lagu-lagu karya Koes Plus & Bengawan Solo
Pesan : Prinsip dasar pokok kita sebagai orang Indonesia umumnya menjaga persatuan dan kesatuan.
Leave a Reply