Anak Agung Oka Kartini

kartini+adat

KARTINI BALI
MEMBANGUN NEGERI

 

Sosok pahlawan nasional ‘R.A. Kartini’ sebagai pejuang bagi nasib kaum wanita, telah meninggalkan goresan sejarah membawa harapan datangnya masa depan yang cerah bagi seluruh perempuan di Nusantara.        Kiprah, semangat, kegigihan dan keberaniannya sungguh merupakan cerminan wanita Indonesia yang tangguh dan berprinsip untuk maju.

Kartini memang cerdas, berdarah biru, berkepribadian teguh, namun ia tiada pernah mengingkari akan kodratnya sebagai wanita.

Ia tetap menjadi istri yang patuh menunaikan tugas dan kewajibannya, tuturnya tetap lembut dengan perilaku yang terjaga tanpa pernah ingin dianggap lebih tinggi dari apa yang sudah menjadi kodrat hidup seorang wanita.

Segala keperkasaan, kegigihan dan keberaniannya ia curahkan dengan dedikasi luar biasa untuk memberikan kesempatan bagi kaumnya untuk dapat sedikit mencicipi buah pendidikan yang sebelumnya hanya hak bagi kaum bangsawan semata.

Kini seabad lebih sudah perjuangan R.A. Kartini tetap tiada pernah usang dikenang seluruh lapis anak bangsa. Perjuangannya telah menjadikan wanita Indonesia seutuhnya dapat berkiprah, berprestasi dan bahkan memimpin negara.

Dan di masa kini jugalah, jauh di lubuk pulau Bali, bersinar lagi sosok seorang Kartini, Kartini yang juga mendedikasikan hidupnya untuk sebuah perubahan.

Suatu masa di tanggal 28 November 1941, di balik kokohnya dinding Puri Kaleran, Peliatan lahirlah bayi perempuan dari rahim Desak Alit, istri Anak Agung Gde Putu seorang bangsawan Bali dari kasta Ksatria. Bayi inipun diberi mereka nama “Anak Agung Oka Kartini”.

Di usia Kartini yang ketiga tahun, ibu kandungnya meninggal dunia dan itu membuatnya nyaris tidak sempat mengenal figur seorang ibu.

Tak lama setelah Desak Alit meninggal, datanglah ‘Ida Bagus Nyoman Cim’, suami dari Anak Agung Raka saudara Anak Agung Gde Putu yang  memohon untuk dapat mengasuh Kartini.

Kendati berat rasanya melepaskan Kartini, namun mengingat Ida Bagus Nyoman Cim dan Anak Agung Raka istrinya tidak memiliki satupun keturunan, ibalah juga hati ayah Kartini pada mereka.

Di sinilah segalanya bermula, Kartini yang piatu kemudian dibawa serta paman dan bibinya ke desa Ubud, tinggal bersama di dalam Griya (kediaman kaum Brahmana di Bali).

Dari paman dan bibinya, Kartini seolah mendapatkan kasih sayang berlimpah yang sangat luar biasa, tidak pernah sekalipun perlakuan atau perkataan kasar pernah ditujukan padanya, bahkan tidak terkecuali di saat Kartini berpolah nakal sekalipun. Segala tutur dan nasehat selalu terucap dengan santun dan penuh sayang menjadikan Kartini merasa tenteram, damai dan bahagia dalam asuhan mereka.

Tak terasa waktu berlalu begitu saja dan Kartini tumbuh dewasa menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Ia cerdas, pemberani serta begitu mudah bergaul dengan siapa saja.

Di sekolah ataupun di lingkungan desanya, Kartini akrab berkawan tanpa pernah memandang kasta dan golongan mereka. Hal inilah yang menjadikan Anak Agung Oka Kartini memiliki banyak kawan dan sahabat, termasuk juga para seniman-seniman di sekitar wilayah desa Ubud.

Dan sebagai anak yang tumbuh besar di kawasan seni lukis seperti Ubud, Kartini jelas tak asing pada dunia seni lukis berikut senimannya, bahkan di saat ia duduk di bangku sekolah setingkat SLTP, pelukis Antonio Blanco sempat berulang kali menjadikan Kartini model objek lukisannya.

Kesukaan Kartini pada dunia lukis tanpa ia sadari telah menjadi bekal yang sangat berharga di kemudian hari. Hal ini terbukti di saat Kartini mulai beranjak remaja dan mendapat kesempatan dari Tjokorda Gde Agung Sukawati untuk bekerja di Museum Puri Lukisan Ubud.

Anak Agung Oka Kartini
saat berusia 17 tahun

Selama bekerja di museum lukisan ini, Kartini banyak bertemu dengan manusia dari berbagai negara, dan di kala itulah untuk pertama kali ia bersinggungan langsung dengan beraneka macam masyarakat dunia yang menggugah wawasannya untuk memperdalam bahasa asing sebagai sebuah jembatan penjalinan persahabatan global.

Dari berbagai perjumpaannya dengan banyak tamu, tidak sedikit para wisatawan yang terkesan pada sosok Oka Kartini, bahkan seseorang bernama ‘Tarquin Olivier’ secara khusus menulis kesan khususnya pada sebuah buku yang ditulisnya berjudul ‘The Eye Of The Day’.

‘Tarquin Olivier’ memang sempat cukup akrab mengenal Kartini selama ia mengunjungi desa Ubud.

Kartini memanfaatkan persahabatannya bersama ‘Tarquin Olivier’ untuk belajar lebih lancar berbahasa Inggris dan Tarquin mendekati Kartini untuk mengenal bahasa Indonesia dan beraneka ragam kesenian Bali.

Kartini yang cerdas tidak mengalami banyak kesulitan untuk mempelajari bahasa Inggris dari ‘Tarquin Olivier’, ditambah lagi dengan seringnya ia mendengar dan menyimak percakapan para tamu asing yang berkunjung ke museum menjadikan kemampuan berbahasa asingnya berkembang pesat.

Aktivitas Kartini sebagai pemandu museum lukisan demikian ia nikmati, banyak pengetahuan dan wawasan yang ia peroleh di sana. Namun walau merasa betah dan merasa menyenangi profesinya, sebuah peristiwa membuatnya harus rela mengundurkan diri setelah tiga tahun mendedikasikan diri di Museum Ratna Warta ini.

Peristiwa itu tak lain adalah di saat Kartini harus menerima perjodohan dengan seorang laki-laki pilihan paman dan bibinya.

Tidak sedikitpun Kartini mengenal lelaki bakal suaminya ini. Rasa suka atau cinta rupanya tidak menjadi pertimbangan para orang tua.

Dan luar biasa, tanpa semua itu jugalah, dengan ikhlas, Kartini menerima perjodohan ini demi sekedar menunjukkan rasa bhakti kepada orang tua yang telah merawat, mengasihi dan mendidiknya.

Memasuki tahun 1961 akhirnya Kartini menikah. Seorang  prajurit TNI AD bernama ‘Ida Bagus Putu Rai’ kemudian resmi menjadi suaminya.

Setelah menikah, Kartini turut tinggal di Lombok mengabdikan dirinya sebagai istri dan turut ke manapun suaminya bertugas.

Jauh dari Bali menjadikan benak batin Kartini tersiksa, setiap kali ia selalu membayangkan paman dan bibinya yang telah lanjut tinggal sendiri di Griya Ubud tanpa ada yang mengurus.

Di sisi lain, sebagai istri iapun memegang teguh untuk dapat selalu mendampingi dan melayani suaminya.

Dua dilema ini membangkitkan keberanian Kartini untuk melayangkan sepucuk surat tertuju kepada salah seorang komandan suaminya.

Surat itulah yang akhirnya membuka jalan kepindahan Kartini dan suami kembali ke Bali dua bulan kemudian.

Setibanya di Bali Kartini yang telah memiliki seorang anak menghabiskan setiap waktunya sebagai seorang ibu, sekaligus sebagai seorang anak yang hormat dan kasih merawat paman dan bibinya, serta sebagai seorang istri yang tak pernah lalai dalam mengurus seluruh keperluan rumah tangga.

‘Berat memang’, namun semua itu ia lakoni dengan ikhlas akan kesadarannya pada kodrat hidup yang memang harus ia jalani.

Kendati demikian padat kesibukan di kesehariannya, Kartini yang ingin maju dan tanggap memanfaatkan peluang, mencoba membuka butique kecil di rumahnya dan tak lama kemudian, iapun juga menyewakan sebidang lahan pekarangannya selama 3 tahun untuk dijadikan gallery lukisan oleh seorang pengusaha Jakarta keturunan Tionghoa  bernama ‘Jim’.

Jim kemudian membangun lahan itu dan mengisinya dengan berbagai lukisan, sedangkan Kartini dipercayai untuk bekerja menjaga gallery tersebut.

Tiga tahun lamanya Kartini sebagai pekerja di atas lahan tanahnya sendiri, namun semua itu ia jalani dengan tekun sampai tiba masa kontrak gallery Jim diujung penghabisan.

Di saat itulah, Kartini mengutarakan maksudnya untuk mencoba mandiri pada Jim dan bermaksud untuk memulai usaha gallery lukisannya sendiri dan Jim pun menyepakati dengan tidak melanjutnya sewa kontraknya lebih lama lagi dipekarangan rumah Oka Kartini.

Sejak hari itu Kartini telah menjadi pemilik dan pengelola sebuah gallerynya sendiri. Beberapa lukisan dari para seniman Ubud ia pilih dan dipajang rapi untuk menarik minat pengunjung.

Semua itu ia lakukan seorang diri, mulai dari membeli, mengatur ruang, memajang dan kemudian menunggui gallerynya.

Tidak sepatah kata keluhpun terucap dari bibir wanita perkasa ini, segala yang ia kerjakan dilakukan dengan gembira demi untuk dapat turut membantu menopang kebutuhan rumah tangganya.

Benar saja, tidak berselang lama ‘Oka Kartini Gallery’ mulai mendatangkan hasil, yang terbilang cukup besar baginya di kala itu.

Semakin lama, gallery Oka Kartini semakin ramai dikunjungi wisatawan yang berbelanja aneka barang seni di sana. Hingga jadilah Kartini maju dan bahkan mampu berkembang membangun sebuah penginapan berjumlah 5 kamar yang diberinya nama ‘Oka Kartini Home Stay’.

Dengan adanya penginapan, kesibukan Oka Kartini pun bertambah, mulai dari mengurus rumah berikut dengan permasalahan yang timbul silih berganti, mengurus belanja para tamu di gallerynya sampai dengan mengelola penginapan yang dipenuhi wisatawan.

Kartinilah yang berdiri di garda depan menghadapi itu semua, lalu mencurahkan hasil yang diperoleh untuk keluarga dan komunitas sosial di desanya.

Kemandirian dan ketangguhan wanita Bali inilah yang mendesak hasrat ‘Gerard Couperus’ seorang wisatawan dari Belanda untuk bersahabat dengan Kartini.

Karena alasan kekaguman itulah, Gerard  Couperus menjembatani tawaran hubungan kerja sama dari sebuah perusahaan Belanda di bidang produksi rambut palsu kepada Oka Kartini.



1. Oka Kartini Art Gallery, cikal bakal kerajaan dagang Kartini.
2. Kartini dan bibinya ‘Anak Agung Raka’, di tengah suasana penginapannya yang mulai ramai dikunjungi tamu manca negara.

Kartini pun mulai dapat membayangkan seandainya ia menyanggupi tawaran kerja sama ini, maka dari sana akan banyak wanita di desa Ubud yang terlibat bersamanya untuk maju, mandiri dan memberikan hasil kerjanya bagi kesejahteraan keluarga mereka.

Hal demikianlah yang selalu menjadi harapan Kartini pada setiap wanita. Dalam pendiriannya, ia selalu keras dalam prinsip; ‘Bahwa wanita sebagai seorang istri tidak sepatutnya hanya bisa mengeluh dan meminta, mereka harus mampu berperan aktif membantu, meringankan beban suami dengan kerja nyata dengan tetap menjunjung tinggi martabat kehormatan wanita’.

Setegas tekadnya, Kartini kemudian menerima dan menandatangani tawaran kerja sama perusahaan Belanda ini.

Hingga tak lama kemudian Oka Kartini mendirikan sebuah perusahaan dengan nama PT. Rambut Indah yang dimulai dengan melatih 10 orang wanita desa Ubud untuk membuat rambut palsu dengan team pengajar langsung dari Belanda.

Selama belajar membuat rambut palsu itu, Kartini dengan tekun turut mempelajarinya. Kesungguhan, kesabaran, kerapian dan ketelitian adalah modal dasar yang diperlukan untuk membuat sebuah rambut palsu yang berkualitas. Dan semua kriteria itu jelas dimiliki oleh setiap wanita Bali yang sejak masih kanak-kanak terdidik untuk terampil mejejaitan/ membuat canang atau bahkan di Ubud semua dari mereka telah tidak asing bersinggungan dengan barang kerajinan yang juga menuntut ketelitian yang sama.

Hasilnya, karya olah tangan wanita-wanita Bali ini jauh lebih rapi dan teliti dibanding dengan hasil yang mampu dibuat oleh para pengrajin di asalnya ‘Belanda’.

Hingga dalam waktu singkat roda usaha ini sudah dapat berputar dan mengalirkan keuntungan bagi semua komunitas di dalam kerja sama tersebut, bahkan di sisi lainnya, selain perkembangan pesat perusahaan rambut palsu yang Oka Kartini dirikan,  pada sektor lain ia juga berhasil merubah penginapannya menjadi sebuah hotel berkapasitas 20 kamar lengkap dengan gallery lukisan di dalamnya.

Kendati sebagai seorang wanita, tapi Kartini tidak sedikitpun terlihat lebih lemah dibanding kepemimpinan seorang Pria. Ia bahkan mampu tampil cekatan dan tanggap mengambil keputusan, termasuk keberaniannya menolak kursi anggota dewan rakyat yang disodorkan kepadanya hanya untuk tetap konsentris terhadap pemberdayaan wanita-wanita di desanya.

Ia berdiri sebagai pemimpin yang selalu fokus dan maksimal mendedikasikan diri dalam segala hal yang telah menjadi komitmennya untuk maju. Hal inilah yang tidak membuatnya mudah terombang-ambing oleh iming-iming kedudukan ataupun jabatan.

Setelah menolak sebagai anggota DPRD, Oka Kartini terlihat sangat aktif mengembangkan usaha kemitraan yang bahkan kemudian menyerap lebih dari 300 orang wanita yang turut bergabung berkarya bersamanya.

Kiprah, keberanian, kegigihan dan keteguhan Kartini Bali ini mengingatkan kita pada sosok R.A. Kartini dalam membangun negeri melalui pendidikan bagi kaumnya.

Dan di masa ini, sosok Kartini inilah yang kemudian menggugah kembali segala hal tentang semangat seorang wanita Indonesia yang luar biasa mewujudkan cita-cita mulia dengan segenap kemampuannya dan ketulusan hati membangun apa yang dahulu tidak ada, menciptakan apa yang dianggap tidak mampu dilakukan oleh seorang wanita.

Karena sebab itulah, kiprah Oka Kartini seketika tersohor mengundang ketertarikan para pejabat penting negara untuk meninjau langsung ke tempat di mana Kartini Bali ini berhasil memberikan wadah bagi kaumnya untuk berkarya.
Karya yang lahir dari seorang Kartini Bali untuk membangun negeri.

 
DATA PRIBADI

Nama                         :  Anak Agung Oka Kartini
Tempat /
Tanggal lahir            :  Peliatan, 28 November 1941
Agama                       :  Hindu
Profesi                       : – Pendiri & Pengelola Oka Kartini Hotel & Gallery
- Pendiri & Pengelola PT. Rambut Indah
Aktif dalam             : – Rotary Club
- IWAPI (Ikatan Pengusaha Wanita Indonesia)
- IWATA (Ikatan Wanita Pariwisata)
- BIWA (Bali International Woman Asosiation)
- Kegiatan Sosial kemasyarakatan /yang bersangkutan dengan bisnis dan sosial.

Menikah                 :   1961
Suami                      :   Ida Bagus Putu Rai
Anak                        :   5 orang
Warna
Favorit                    : Warna-warna cerah
Hobby                     : Traveling

Pesan      : -    Sebagai kaum wanita jangan pernah menyerah sebelum
mencapai cita-cita, karena kehidupan akan lebih baik
bila kita tidak menyerah.
-    Ingat selalu untuk berucap syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>