I Made Ferry Astawa, Bsc

RODA HIDUP SANG PEMBALAP
Mungkin bila kita melongok sejenak kembali membuka agenda olahraga balap di era tahun 70-an hingga pertengahan tahun 90, pastilah nampak sebaris nama seorang jagoan crosser putra daerah yang bertaraf nasional, bukan saja sekitar 800 piala yang telah membuktikan keperkasaannya di arena balap, namun lebih daripada itu, sejarah telah mencatatnya sebagai salah satu pembalap motor handal yang pernah Bali miliki.
Seorang yang kini lebih dikenal sebagai pengusaha motor di Bali ini masih menyisakan sebagian kenangan masa mudanya dalam kantor yang sekaligus dealernya di mana sebagian simbol kejuaraannya berjajar rapi di ruangan kerja tempatnya mengisi masa pensiunnya dari dunia balap dengan aktivitas bisnis yang juga menghantarkannya dalam puncak kesuksesan.
Made Ferry Astawa anak kedua dari tujuh orang bersaudara yang sudah pasti bukan berasal dari keturunan keluarga pembalap itu entah mengapa begitu gandrung memacu cepat motornya sejak ia masih duduk di bangku SLTA.
Memang bila ditilik dari kemampuan finansial kedua orang tuanya, Made Ferry dapat dikatagorikan beruntung dibesarkan di tengah keluarga yang cukup mampu sebagai anak seorang Dirut PTP perkebunan teh di Sumatra.
Made Ferry dilahirkan di kota Pematang Siantar dan menghabiskan masa kanak-kanaknya di sana sampai dengan dia tamat dari pendidikan Menengah Pertamanya yang di sepanjang karir sekolah itu tidak pernah surut dari posisi rengking ke dua atau ke tiga di kelasnya. Setelah lulus SLTP dengan prestasi yang cukup memuaskan, ia kemudian mengikuti jejak kakaknya, merantau jauh menuju kota Yogyakarta dan melanjutkan sekolahnya di sana.
Di sinilah awal segalanya terjadi, Made Ferry di usianya yang belum lagi genap 18 tahun, di mana di sekolah sempat mendapatkan juara pertama di kelasnya, ternyata dalam pergaulannya sudah mulai mengenal trek-trek-an istilah anak Yogya yang artinya kebut-kebutan motor di jalanan.
Lambat laun, ia mulai ikut terjun langsung di balapan liar itu, dan tak lama kemudian kebut-kebutan di jalan raya yang penuh resiko tinggi ini telah menjadi hobby tersendiri yang menantang darah mudanya, meskipun tidak sekali-dua kali ia terjatuh dan luka-luka, akan tetapi sudah dapat dipastikan hal demikian tidak membuat Made Ferry menjadi jera, malah sebaliknya, ia semakin tertantang untuk lebih mahir menunggangi motor Suzuki GP yang sehari-hari ia pakai ke sekolah.
Inilah mungkin gambaran sejujurnya dari semangat para remaja yang memang selalu ingin lebih menonjol di kalangan teman-temannya, setidaknya bagi Made Ferry yang merasa bebas untuk mengekspresikan gelora muda di setiap tantangan yang mengusik untuk menguji keberaniannya dan bila kemudian ia menjadi keterusan itu semua mungkin telah garis hidup yang harus dilakoninya.
Selama menjadi pembalap liar itulah, nama Made Ferry telah cukup dikenal sebagai tukang kebut yang disegani dan dapat dibilang ia menjadi jawara balap motor liar di kala itu.
Sampai dengan suatu hari, di tahun 1978, di mana tanpa disengaja, Made Ferry melihat sebuah kecelakaan kendaraan bermotor berkecepatan tinggi yang kemudian menabrak sebuah pedati dan pengendara motor itu di dalam luka parah hingga muntah darah menjelang ajalnya ternyata tidak mendapatkan pertolongan dari siapapun, semua hanya terpaku, menonton bahkan ada di antara penonton itu yang hanya mengacungkan lampu senter menerangi betapa tersiksanya orang itu tanpa ada yang mempedulikan nasibnya. Sejak saat itulah, Made Ferry sungguh-sungguh kapok (jera) untuk terjun balap liar di jalanan, ia ingin menjadi pembalap yang sesungguhnya di arena resmi, aman, tidak dikejar-kejar polisi lalu lintas, malah mungkin ditonton para polisi.
Dan kebetulanlah tidak lama setelah kejadian itu ia mendengar diadakannya lomba gestrek (balap motor) yang sudah pasti menggugah niat Made Ferry untuk mengikutinya,
Hasratnya untuk menjadi pembalap di dalam sirkuit ini kemudian dengan jujur ia sampaikan kepada orang tuanya dan sudah barang tentu dengan tegas keinginan Made Ferry tidak mendapatkan dukungan seperti yang diharapkannya, namun tekad sudah bulat, Made Ferry tidak menyerah untuk terus membujuk dan menunjukkan keseriusannya mengikuti lomba ini, sampai akhirnya turunlah restu yang susah payah ia peroleh hingga ia diberikan perlengkapan yang memadai untuk keamanan mengikuti balap motor.
Dalam lomba pertamanya di tingkat kelurahan Demangan baru ini, Made Ferry mendapatkan juara pertama dan dengan kemenangannya itu semakin menyemangatinya untuk meningkatkan prestasinya di sirkuit balap yang selanjutnya mendorong Made Ferry untuk mulai menyisiri setiap Tournamen balap motor yang kemudian mengakhirinya dengan rangkaian kemenangan.
Bagi dunia balap sepertinya tidak pernah ada istilah waktu sibuk dalam keseharian Made Ferry Astawa yang di saat itu tepatnya pada tahun 1978 telah memulai kuliah di UII pada Fakultas Teknik Sipil.
Dalam dirinya seakan telah terselip inang pembalap yang selalu siap sedia untuk menancap habis gas motornya tanpa secuilpun rasa takut demi sebuah kejayaan yang terukir di setiap piala kemenangan sang juara.
Kesibukan balap yang banyak menyita waktunya, membuat Made Ferry banyak tertinggal pada pelajaran kuliahnya, hingga akhirnya di tahun 1980 ia memutuskan untuk pindah kuliah di Universitas Atmajaya dan kali ini mengambil jurusan Fakultas Ekonomi, di mana kali inipun Made Ferry tetap tidak bisa meninggalkan dunia balap, bahkan jadwalnya semakin padat untuk tidak absen mengikuti lomba-lomba balap motor.
Tahun 1982 adalah tahun penting dalam kehidupan Made Ferry. Di tahun inilah hatinya sungguh-sungguh tertambat di hati gadis asli Yogya kakak dari rival tandingnya di arena balap.
Kesungguhan hatinya pada Wiwik Budi Rohani ini ternyata membuahkan pandangan hidup di masa depan bagi Made Ferry. Maka mulailah ia mencoba berwiraswasta dengan membuat usaha ternak ayam yang diharapkan dapat menunjang kehidupannya kelak, karena ia sudah memastikan untuk menerjuni dunia balap motor secara total yang juga ia sadari tidak dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan yang menjanjikan masa depan.
Namun bagaimanapun juga, seperti kata pepatah, bahwa manusia boleh berencana namun Tuhanlah yang menentukan.
Di tahun ini jugalah, pasti sudah niatnya untuk memutuskan mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Wiwik Budi Rohani dan memastikan cinta mereka untuk menghadapi hidup bersama.
Dan memang benar, istrinya seakan menjadi sumber semangat bagi Made Ferry di saat itu. Setelah menikah, karir balap Made Ferry bak anak panah lepas dari busurnya, ia makin melejit dan bahkan hampir di setiap Tournamen dan perlombaan dapat dimenangkannya, hingga ia dikenal sebagai pembalap Nasional yang cukup diperhitungkan di tanah air hingga pada tahun 1985, Made Ferry telah memegang predikat juara umum.
Istrinya dengan setia mendukung karir balap Made Ferry, kebanggaan dan kebahagiaan menerima kejutan piala-piala kemenangan yang hampir di setiap kompetisi balap dibawanya pulang, seakan mengikis kekhawatiran Wiwik Budi Rohani untuk melepas suaminya berlaga di arena balap. Namun meski demikian, setidaknya tidak kurang dari lima kali, Made Ferry kembali pulang dengan luka patah tulang baik di jari, rusuk dan tiga kali di bahunya.
Sudah dapat dipastikan keadaan itu tidak mengurangi keyakinan Wiwik kepada suaminya, ia mengerti benar bahwa Made Ferry adalah pembalap handal, luka demikian tidak akan dan tidak boleh mematahkan dukungannya. Karena bagi Wiwik, Made Ferry adalah pesona, terlalu indah menyaksikan manakala kekasihnya itu melesat jauh memimpin di depan mendahului lawan-lawannya, hingga muncul sebuah rasa luar biasa yang menggetarkan segala perasaan tentang bahagia.
Dan di sinilah Made Ferry merasa mendapatkan anugerah pasangan hidup yang sungguh-sungguh mengerti dan dapat merasakan hidup di dalam jiwa seorang pembalap.
Di antara aktivitas padat balap motor dan aneka kemenangan yang diperolehnya, di tahun 1987, akhirnya Made Ferry Astawa berhasil menyelesaikan kuliahnya dan memperoleh sarjana muda dalam katagori waktu cukup lama, karena ditempuhnya selama tujuh tahun, maklumlah, ia hanya kuliah manakala ada ujian di kampusnya dan selebihnya, Made Ferry lebih senang menghabiskan waktu di lapangan balap bersama motornya.
Pada tahun 1989, ia mulai mendapatkan kontrak untuk bergabung dalam Team Yamaha, namun di luar rencana Made Ferry harus kembali ke tanah asal leluhurnya di Bali, ini semua atas permintaan kakeknya yang berada di Seririt desa Tunju, Bali, mengingat usianya yang sudah lanjut dan Drs I Wayan Nika, ayah Made Ferry adalah keturunan laki-laki satu-satunya, maka Made Ferry sebagai cucu merasa berkewajiban menemani sang kakek dan memulai merintis kembali semuanya yang dulu pernah ia geluti di Bali.
Namun kali ini, Made Ferry yang memang juga menguasai bongkar pasang mesin motor ini, menemukan gagasan untuk mencoba membuka usaha bengkel motor di Bali.
Bagi Made Ferry kemampuannya menyetel motor yang juga kerap kali mengubah dan mengotak-atik mesin motor balapnya hingga mampu berjaya di sirkuit balap dapat ia jadikan modal utama sebagai suatu kelebihan atau bahkan keistimewaan yang tidak dimiliki bengkel-bengkel motor lainnya.
Dan memang benar, motor-motor garapan bengkel Made Ferry mendapatkan sambutan puas dari para pelanggannya, dan sebentar saja bengkel yang baru dirintisnya itu telah dikenal dan dipercaya sebagai bengkel unggulan yang mendapatkan keyakinan di masyarakat.
Dalam aktivitas balapnya yang selalu mengisi hari-harinya, di tahun 1991, Made Ferry terpaksa harus berhenti Balap untuk sementara waktu, karena ia harus konsentrasi pada bidang-bidang usaha yang ditekuninya, namun hal itu justru membuatnya tertekan dan mengalami stres berat dalam sejarah hidupnya. Jiwa balapnya menuntutnya untuk terjun kembali ke arena dan semakin Made Ferry menahannya, semakin ia tak kuasa untuk mengekangnya, bahkan ia merasakan jantungnya mulai berdebar-debar, sebuah rasa yang menurutnya tidak dapat dibiarkan terus berlanjut.
Dan memasuki tahun 1992 ia akhirnya memutuskan untuk terjun kembali di dunia balap dan seketika itu pula semua rasa sakit yang dialaminya hilang seiring bangkitnya kembali semangat pertarungan yang berkobar di hatinya.
Di tahun ini jugalah, tepatnya pada bulan Maret, ia dipercaya untuk menjadi dealer motor Yamaha di Bali yang didirikannya dengan nama Made Ferry Motor.
Pelan tapi pasti, usaha dealernya mulai berkembang maju, dan pelan-pelan pula Made Ferry mundur teratur dari dunia Balap motor, ia memang tidak mematok kapan ia harus berhenti total dari balap, ia hanya mengikuti kata hati dan berjalan sesuai irama hidup mengalunkan langkahnya.
Roda kehidupan terus berputar, dan Made Ferry Astawa pun sudah mulai jarang terjun di sirkuit balap, namun bukan berarti ia menutup mata dari dunianya, akan tetapi ia memulai mengumpulkan para pembalap-pembalap pemula berbakat putra daerah untuk diarahkan dan dididik menjadi pembalap handal setidaknya untuk meneruskan membawa nama Bali dan Indonesia kekancah balap Nasional maupun Internasional di masa yang akan datang.
Pada bulan Juni 1997, melihat peluang usaha pada dealer motor dengan merk dagang Honda lebih menjanjikan, maka Made Ferry memutuskan untuk beralih sebagai dealer motor Honda dengan tetap memakai nama Made Ferry Motor pada tokonya yang terletak di jalan Patimura, Denpasar.
Rupanya balap motor di sirkuit Sentul pada tahun 1998 merupakan sirkuit terakhir bagi Made Ferry dalam karir balapnya, karena sejak saat itulah hingga kini, Made Ferry sudah tidak lagi turun ke arena sebagai pembalap.
Namun meski demikian nama Made Ferry tidak pernah terhapus dari dunia otomotif, terlebih lagi dengan makin suksesnya dealer motor miliknya yang sekurang-kurangnya telah mampu menjual sekitar 350 unit motor perbulan yang juga menandakan besarnya keyakinan dan kepercayaan masyarakat Bali kepadanya.
Satu hal yang begitu unik dalam kehidupan Made Ferry Astawa, di mana sebuah jalan hidup di dunia balap motor yang pada mulanya begitu meragukan dapat memberikan kepastian masa depan yang menjanjikan, namun karena kesetiaannya dan keyakinannya tanpa berharap apapun selain mengikuti dorongan kata hatinya, maka kebesaran Tuhan berlaku kepadanya, dari jalan balaplah ia menjadi besar dan dikenal sebagai seorang Made Ferry.
DATA PRIBADI
Nama : I Made Ferry Astawa, Bsc
Tempat /
Tanggal lahir : Pematang Siantar, 20 Februari 1960
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jl. Noja No. 18 Denpasar
Profesi : Pengusaha
Menikah : 4 September 1982
Nama Istri : Wiwik Budi Rohani
Jumlah anak : 3 (tiga) orang
Hobby : Naik motor dan mancing
Semboyan : Santai – santai saja
Lagu kenangan : Still God (the blues)
Penghargaan : - ± 800 piala / tropi & piagam penghargaan balap
motor
- (Menteri Koperasi) Perusahaan kecil menengah
untuk tingkat Kotamadya.
- (Menteri Koperasi) Perusahaan kecil menengah
untuk tingkat Provinsi.
Pesan : Bagi anak muda yang suka balap / kebut-kebutan
carilah kegiatan balap / road race yang resmi
dan menggunakan pakaian balap lengkap, jangan
ngebut di jalanan dan pentingkan keamanan diri.
Leave a Reply