Paulus Edmundus Talo, S.Sos, MBA

talo+adat

SAAT  BALI MEMANGGIL

 

Lebih dari setengah abad silam, sepulang Jepang dari tanah jajahannya Indonesia, di tengah rona merah mentari pagi, di tanah kampung adat (=Nua) Boloji, Flores-Nusa Tenggara Timur, ‘Uge Isabela Kawe Mano’ istri dari ‘Ema Nikolaus Lidju Talo’ kepala suku Seso, tengah terbaring bersiap melahirkan bayi dalam prosesi bersalin sebagaimana adat yang berlaku di suku Seso. Kaum wanita rumpun keluarga dalam suku ini berkumpul turut membidaninya, sementara para lelaki berada di luar di balik pintu menunggu suara tangis kehidupan bayi. Di pagi itulah, lahir bayi bungsu laki-laki kepala suku Seso, yang langsung diteruskan dengan ketentuan adat untuk menawarkan beberapa nama keluarga dan leluhur laki-laki kepada bayi ini.

Dimulailah menyebut satu persatu nama keluarga dan moyang mereka di hadapan si bayi. Setiap nama yang disebut, ekspresi dan reaksi bayi menjadi sangat penting sebagai penentu nama apa yang dipilih sendiri oleh sang bayi.

Beberapa nama dilantunkan berulang-ulang, hingga sampai pada nama almarhum ayah kepala suku Seso, Talo Moi”, …… di mana tiba-tiba terdengar suara bersin lirih dari mulut bayi. Bersin itulah sebuah pertanda, bahwa nama “Talo” yang disebutkan disetujui oleh sang bayi untuk dipakai menjadi namanya.

Maka sejak hari itu, lahirlah ‘Talo Kawe’, paduan nama bayi itu dengan nama ibunya, sebagai bagian dari suku adat Seso yang matrilinial di Nua Boloji yang rukun, tenang dan damai.

Kendati kemudian tak lama setelah Talo Kawe dilahirkan, di seluruh muka tanah Nua Boloji dan sekitarnya dirundung bencana kelaparan yang sangat mematikan.

Seluruh bayi seusianya mati  mengenaskan karena lapar dan kekurangan gizi yang parah.

Namun ternyata masih ada dua bayi yang bertahan hidup dalam tragedi ini, satu bayi tersebut adalah Talo Kawe yang tubuhnya hanya berbalut tulang dan kulit, dengan mata cekung meregang hidup dalam kelaparan yang teramat sangat.

Dan satu bayi lagi dilarikan orang tua mereka jauh dari Nua Boloji untuk terhindar dari kematian masal yang mengerikan.

Entah rencana apa yang dipersiapkan Tuhan bagi Talo Kawe di masa yang akan datang, hingga dalam keadaan itu, ia masih diberikan nafas untuk hidup dengan kepasrahan tubuhnya untuk menerima air rebusan dari jagung yang ditumbuk halus ayahnya menjadi tepung sebagai satu-satunya asupan makanan yang menahan nyawanya untuk tetap tinggal di raga.

Sekian waktu berlalu, kurang lebih tiga tahun kemudian setelah bencana kelaparan berangsur berlalu, Talo Kawe yang bertahan hiduppun menjalani prosesi penting pembabtisan dirinya oleh seorang Pastor Katolik yang memberinya nama babtis ‘Paulus’. Sejak itu orang tuanya memanggilnya “Polu” yang maksudnya adalah Paulus.  Kadang-kadang dia dipanggil “Ema” yang artinya ayah, karena namanya adalah nama dari ayah kandung ayahnya sendiri dan mertua ibunya. Kakak-kakaknya dan anggota keluarga besar Seso kadang-kadang memanggilnya “Talo” saja, sedangkan paman, tante dan tua-tua adat memanggilnya “Talo Kawe”.

Paulus Talo hidup layaknya anak suku Seso lainnya, ia juga dididik berangkat ke ladang untuk sekedar ikut membantu orang tua mereka bercocok tanam sebisa tangan-tangan mungil itu bekerja.

Sepulang dari ladang, tangannya tak pernah kosong melenggang begitu saja, pastilah selalu ada benda yang harus ia bawa dalam perjalanan pulang ke rumah, entah itu hasil bumi atau kayu api dalam ikatan kecil yang khusus dipersiapkan untuk bocah kecil seusianya.

Sebagaimana telah menjadi kebiasaan pola didik adat di masa-masa terdahulu, ‘Polu’ pun mendapat perlakuan yang sama dirutinitas kesehariannya.

Di pagi buta, saat ayam jantan usai berkokok membangunkan seluruh penduduk desa, sang ayah akan memanggil-manggil anak-anak yang mulai terjaga dari tidurnya. Saat itu berbagai dongeng, filosofi hidup, petuah dan ajaran religius dikisahkan mengisi relung  anak-anak di suasana pagi yang merayap terang.

Usai mendengar wejangan, tibalah tugas bagi “Polu” untuk mengambil air di sungai desa dengan berbekal selongsong bambu yang dipanggul di pundaknya.

Paulus ternyata telah mengerti benar akan kewajiban dan apa-apa saja yang seharusnya ia kerjakan tanpa perlu lagi menunggu perintah dari orang tuanya.

Tuntas dari tugas mengambil air, Polu duduk dengan tenang menikmati sarapan jagung goreng atau ubi bakar yang juga telah disiapkan ibunya untuk bekal di bawa ke sekolah.

Jagung goreng dan ubi bakar yang sisa dimasukkan begitu saja ke dalam tas anyaman daun lontar bercampur baur dengan kaye (buku tulis), batu tulis dan alat tulis lainnya.

Paulus Talo pun lalu bergegas mengenakan sarung yang diikat seadanya, mencangklongkan tas sekolah melintang di kening kepalanya atau kadang juga dilehernya dan masih dengan bertelanjang dada bergegas menuju Sekolah Rakyat Katolik Wolowio yang berjarak tak kurang dari 2 km ditempuh dengan berjalan menembus lorong setapak di rimbunnya hutan tanpa alas kaki yang melindunginya dari duri. Memang persis seperti apa yang tampak, kehidupan waktu itu di Nua Boloji, demikian juga dengan desa-desa di sekitarnya begitu sulit, keras dan apa adanya. Tidak ada penerangan listrik untuk belajar, perpustakaan, angkutan kota, angkutan desa atau fasilitas umum seperti jalan dan penerangan di jalan-jalan seperti di era kini.

Bahkan bagi anak-anaknya, tidak ada kesempatan waktu belajar yang cukup selain apa yang mereka terima di sekolah. Akan tetapi dalam kesempatan itu, Paulus Talo tetap mampu menunjukkan prestasi, ia menonjol dalam berbagai pelajaran dan cerdas menyerap ilmu seketika guru mengajarkan kepadanya.

Ketika Paulus duduk di kelas lima, anak-anak Katolik di kelas ini diterimakan sebuah Sakramen baru, Sakramen Penguatan atau Sakramen Krisma di mana upacaranya langsung ditangani oleh seorang Uskup dan didampingi  dua orang saksi, laki-laki dan perempuan. Saksi laki-laki pada waktu itu bernama ‘Edmundus’, lalu setiap anak laki-laki boleh menambah namanya sendiri dengan nama Edmundus, boleh juga tidak. Paulus memilih untuk mempergunakannya. Sehingga Paulus Talo melengkapi namanya menjadi ‘Paulus Edmundus Talo’.

Selama  6 tahun di Sekolah Rakyat Wolowio yang nama sekolahnya diambil dari nama desanya, ia sering kali memperoleh predikat juara dan menjadi salah satu dari 3 siswa yang lulus dari Sekolah Rakyat itu sesuai  papan pengumuman di Kantor P & K yang mencantumkan ‘5593’ sebagai nomor urut Paulus Talo dengan komposisi nilai kelulusan untuk Bahasa Indonesia; 7, Berhitung; 8 dan Pengetahuan Umum dengan nilai: 8.

Berita kelulusannya ini sempat disangsikan kakaknya Dominikus Wasi yang dengan  rasa tak percaya turun tangan langsung memastikan kembali ke pejabat P & K bahwa nomor 5593 adalah benar nomor Paulus Talo adiknya yang lulus sekolah rakyat.

Setelah mendapat kepastian bahwa benar nomor tersebut milik Paulus Talo, kabar inipun disampaikan kepada ayah dan ibu mereka di rumah yang menyambut dengan bangga warta luar biasa ini.

Bagaimana tidak, di saat itu dalam Nua Boloji hanya terhitung 2 orang saja yang mengenyam pendidikan SMP; yang pertama Kae Dominikus Doi Resa yang adalah  kakak misan Paulus dan telah bekerja di instansi pemerintahan, sedang yang kedua adalah Josef Go yang tengah menjalani pendidikan di SMP.

Maka seharusnyalah, Polu yang berprestasi ini pantas menjadi putra suku Seso yang ke tiga yang bakal masuk pendidikan SMP.

Tapi jauh panggang dari api, kisah ini tidak sesempurna itu bagi kehidupan si Polu. Sehebat apapun prestasinya di sekolah bukan berarti menjadi alasan ia dapat melanjutkan ke SMP, apalagi ayahnya terlebih dulu menyerah  dan menyampaikan bahwa ia tidak memiliki apa-apa yang dapat dijual demi sekolah Polu lebih jauh lagi.

Seketika pupus sudah mimpi menjadi siswa SMP dalam benak Paulus Talo, dan sebagai gantinya iapun menurut ketika diajak gurunya Aloysius Bere yang juga kerabat ibunya untuk menemani tinggal di desa lain, di Sekolah Rakyat ‘Pape’, di mana ia dipindah tugaskan, kurang lebih 12 km dari SR Katolik Wolowio.

Bersama kakak misannya ini, Polu bertugas, memasak, mencuci baju dan juga berkebun. Pekerjaan ini bukanlah hal berat bagi Paulus yang ringan tangan, apalagi untuk urusan berkebun yang sejak kecil sudah terbiasa ia lakukan dengan mencangkul di ladang. Tapi kali ini sungguh berbeda, Paulus sungguh merasa tidak sanggup tinggal dalam suasana tanpa ruang perubahan. Ia memberontak.

Kejemuan dan rasa bosan tak lagi dapat ia tahan setelah 6 bulan lamanya terkungkung dalam rutinitas itu dan itu saja.

Alasan jenuh ini akhirnya mendorong Paulus melarikan diri dari rumah kakak misannya menuju kota ‘Bajawa’ yang berjarak 3 km dari Nua Boloji.

Setibanya di Bajawa, tanpa sengaja Paulus bertemu seseorang yang ia panggil ‘Om Titus’, saudara dari ‘Mama Sina Hurint’ kawan ibunya yang lalu mengajak Paulus tinggal bersama dan mengajarkan cara menggunakan gergaji, memakai tatah dan pahat hingga Paulus lambat laun dapat membantu sebagai tukang kayu yang lumayan mahir dan pantas mendapat upah kerja. Dan di dalam kurun masa itu, di suatu hari, Om Titus menanyakan mengapa Paulus tidak mau melanjutkan pendidikan ke SMP. Setelah mendapat penjelasan tentang kesulitan biaya, Om Titus meminta agar kakak-kakak kandung Paulus datang untuk bertemu dengannya.

Ternyata dari pertemuan itu, Om Titus menyarankan kepada kakak-kakak Paulus  untuk mencoba meminjam kuda kepada salah satu keluarga yang ada di desa dan kemudian dijual demi dapat membiayai kelanjutan sekolah Paulus di SMP. Ide itupun sungguh-sungguh diikuti oleh keluarga Talo; mereka meminjam kuda, menjualnya dan lalu hasilnya dipergunakan mendaftrakan Paulus ke SMP Sanjaya di Bajawa.

Di luar dugaan, postur tubuh Paulus yang gelap kurus kerempeng dan terlihat seolah bukan anak bertampang cerdas serta riwayatnya telah satu tahun putus sekolah menjadi alasan Kepala SMP Sanjaya Herman Goru menolak Paulus sebagai murid di sekolahnya.

Kepala sekolah ini beranggapan Paulus Talo tidak akan mampu menerima pelajaran SMP dengan penampilan bodohnya, dan itu akan sia-sia saja karena pasti hanya akan membuang-buang biaya dengan percuma.

Namun kakak Paulus, Dominikus Wasi, tetap memaksa, bahwa adiknya harus sekolah apapun yang terjadi, apalagi keluarga di desa telah menjual kuda pinjaman untuk mewujudkan harapan Paulus dapat sekolah kembali.

Apa boleh buat, melihat kesungguhan Dominikus, akhirnya kepala sekolahpun menerima Paulus sebagi siswa di SMP Sanjaya, Bajawa.

Mulailah hari-hari Paulus Talo bersekolah dan iapun membuktikan bahwa kecerdasan tak seharusnya dilihat dari penampilan fisik saja.

Paulus tetap mampu menonjol di segala mata pelajaran, khususnya bahasa Inggris, dan Aljabar walaupun sehari-hari seusai sekolah ia padat waktu membantu pekerjaan rumah apa saja di tempat ia tinggal menumpang di kota Bajawa.

Setiap pagi, tepat pukul 04.00 Talo sudah harus mulai menggoreng pisang goreng dan onde-onde hingga siap untuk dijual sampai pukul 05.00, lalu ia berangkat ke sungai untuk mengambil air diteruskan dengan menyapu seisi rumah dan dilanjutkan pergi ke gereja untuk berdoa sampai waktu ia berangkat sekolah.

Dan sepulang sekolah, Paulus Talo langsung sigap untuk mencari kayu bakar sampai sore hari tiba di mana waktunya kembali ke sekolah lagi untuk belajar sampai pukul 18.00, dan sampai di rumah diteruskan dengan tugasnya meracik membuat onde-onde, pisang, untuk digoreng keesokan harinya. Begitulah terus aktivitas Paulus selama menumpang di rumah keluarga Jakobus Sina Hurint seorang sipir lembaga pemasyarakatan di zaman itu.

Baru beberapa  bulan di SMP Sanjaya, tak terduga Kepala Sekolah bertemu dengan kakak Paulus di jalan tak jauh dari lokasi sekolah, saat itulah Kepala Sekolah yang dulu menganggap sia-sia menyekolahkan Paulus, kemudian mengacungkan kedua ibu jarinya ke arah Dominikus Wasi, menunjukkan bahwa prestasi adiknya di sekolah terbilang jempolan.

Rasa bangga tentu pantas untuk mewakili keberhasilan Paulus Talo membuktikan bahwa ia mampu mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik bahkan beberapa kali tampil sebagai juara.

Tiga tahun tak terasa berlalu begitu saja, hingga tiba saatnya Paulus Talo lulus dengan nilai memuaskan dan langsung didukung penuh oleh keluarga untuk meneruskan di SMA ‘Syuradikara Ende’.

Belum lama di Ende, tepatnya tahun 1966, setelah meletus peristiwa Gestapu yang meninggalkan dampak gejolak politik hingga bangsa dalam kondisi krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat, berimbas pula menimpa nasib keluarga Paulus Talo yang telak tersungkur dalam krisis hingga menyerah membiayai kelanjutan sekolah Paulus di Ende.

Memahami situasi yang kurang menguntungkan itu, Paulus Talo memilih pulang ke kota Bajawa menempuh perjalanan sekitar 125 km selama 3 hari berjalan kaki ditemani hatinya yang selalu penuh harap bahwa akan datang perubahan nasib yang membuatnya dapat bersekolah kembali.

Setiba di Bajawa, Paulus Talo mengetahui bahwa masyarakat desa di sana tengah sibuk mengumpulkan kayu manis untuk dijual dikoperasi tentara di kota Bajawa, termasuk masyarakat Desa Wolowio desa asalnya.

Melihat peluang itu, Paulus yakin akan mampu membiayai sekolahnya dan langsung mendaftarkan diri meneruskan sekolah di SMA Ki Hajar  Dewantara di Bajawa.

Selama sekolah di sini, Talo memanfaatkan waktu  luangnya untuk mencari kayu manis di hutan dan juga mengumpulkan dari para saudaranya di desa untuk kemudian di jual ke koperasi tentara.

Hasil dari penjualan kayu manis itulah yang ia pakai untuk membiayai sekolah di SMA selain tentu saja tambahan bantuan dari orang tua dan seluruh keluarga besar di desa yang tak tinggal diam mendukung pendidikan Paulus Talo di Kota, serta  uluran tangan yang tak henti-hentinya dari  Saudara-saudara misannya yaitu keluarga Kae Domi Doi Resa & Keluarga Kae Leo Soba Doi yang memberikan rumah mereka untuk ditempati selama masa sekolah dan selalu meminjamkan celana panjang dan kemejanya untuk dipakai Paulus ke sekolah maupun ke Gereja.

Setelah semua pengorbanan yang dilakukan keluarganya, dan upayanya untuk tetap sekolah dengan menelusuri hutan, mengumpulkan kayu manis dan bekerja keras pontang-panting tak kenal waktu dan hari ini, akhirnya setelah tiga tahun sekolah di SMA, Paulus Talo harus mengalami kejutan dan menerima kenyataan bahwa ia gagal dalam ujian akhir Nasional.

Dari seluruh siswa di sekolahnya hanya ada tiga siswa yang lulus ujian Negara, dan yang lain dinyatakan gagal termasuk Paulus Talo di dalamnya.

Kenyataan ini menjadikan Paulus menjerit, menangis sejadi-jadinya seolah langit telah runtuh menimpanya.

Nyaris satu bulan Paulus Talo menguras air mata penyesalannya, hatinya sakit sesakit rasa yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Kegagalan ini adalah bencana yang luar biasa besar meremukkan segala harapan dan cita-citanya.

Di tengah isak tangis tanpa harap itulah, terdengar suara kakak sulung Paulus, Dominikus Wasi didampingi kakaknya nomor dua Petrus Doi menggugah semangatnya kembali; “Jangan menyerah,….. ulang sekolahnya sampai kau lulus dari SMA’, suara ini seolah merupakan pengharapan baru bagi Paulus Talo yang seketika bangkit dan bertekad menebus kegagalanya di tahun yang akan datang. Kembalilah Paulus Talo mengulang  sekolah di bangku kelas 3 SMA dan kembali mencari kayu manis dan menjalani rutinitas perjuangannya untuk sekolah sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sampai kemudian iapun di tahun pengulangan ini berhasil lulus dari Ujian Negara, sekaligus  menutup lembar pendidikannya di SMA.

Setamat SMA, sesungguhnya Paulus  telah menyimpan cita-citanya sendiri, ia telah jauh-jauh hari bahkan sejak duduk di bangku SMP, mulai terpikat dengan kisah tentang keindahan Bali. Kisah itu dibacanya dari sebuah novel berjudul’ ‘Sukreni Gadis Bali”, di mana di sana tergambarkan betapa keindahan Bali adalah daya cipta penuh pesona yang menggelitiknya untuk datang dan melihat pulau seribu pura ini.

Apalagi setiap kali Paulus menyanyikan bait lagu “Kala Senja di Pantai Sanur” yang dipopulerkan Rahmat Kartolo, seolah Bali memanggil-manggilnya untuk segera datang ke tanah surga yang indah yang menantinya dalam buaian keelokan alam Bali. Disamping itu orang-orang  tua pun bercerita bahwa leluhur mereka datang  berperahu dari Sina One, Paulus membayangkan bahwa pasti perjalanan itu leluhurnya mampir dan tinggal di tanah Jawa, Bali, Dima, Wio, Roja, Nangalili dan kemudian tiba di pantai selatan pulau yang kemudian diketahui bernama Flores itu.

Dorongan hatinya untuk ke Bali semakin hari dirasakannya semakin kuat, apalagi semenjak ia lulus dari SMA. Benaknya selalu merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk menentukan nasibnya sendiri, mengikuti suara hatinya untuk datang ke Bali.

Atas desakan hati itulah akhirnya tanpa ragu lagi Paulus Talo mengutarakan maksud keberangkatannya untuk merantau ke Bali kepada orang tuanya.

Persis seperti dugaannya, iapun dicegah dan bahkan dihardiknya karena bermimpi terlalu jauh setelah sekian besar pengrobanan orang tua menyekolahkan hingga tamat SMA.

Maka tidak ada pilihan lain bagi Paulus selain harus mau tetap tinggal dan bekerja sebagai juru tulis Pastor A.J. Wetzer, SVD seorang Deken yaitu Pastor Kepala dari para Pastor di sebuah wilayah bernama Dekenat yang sama dengan wilayah sebuah Kabupaten. Sang Pastor asal Belanda itu memberikan pelajaran  surat menyurat  kepada Paulus lalu dia ditugaskan membalas surat-surat dari para guru yang dikirim Pater Deken ini ke seluruh wilayah  Indonesia bagian Timur.

Tidak sampai satu tahun bekerja di Gereja, lagi-lagi hatinya telah penuh sesak dengan lambaian pesona Bali yang memenuhi kepala, hati dan keinginannya.

Maka kali ini tanpa pertimbangan lebih lama lagi, Talo memutuskan keluar dari pekerjaannya, pamit dari Pastor itu, memohon restu orang tua dan keluarga besarnya, dan memilih menumpang kapal laut menuju Surabaya dan berlanjut menuju surga impiannya di Bali.

Desember 1970, setiba di Bali, Paulus Talo menumpang di rumah kelurga kakak misannya  ‘Agustinus Muga D’one’ di kawasan Kayumas Denpasar dan mulai menyebarkan lamaran di berbagai kantor dan instansi.

Tak kurang dari 4 lamaran surat perhari ia buat tanpa kenal henti hingga lebih dari satu bulan lamanya bahkan sampai sempat beberapa kali mendapat panggilan namun kemudian urung diterima bekerja di sana, baik mulai dari tukang las, tukang aspal, tukang mencari karang hingga tukang binatu, sempat ia datangi, namun semua itu ternyata tak sesuai dengan perawakanya yang kurus dengan tenaga yang diperkirakan tak seberapa kuat untuk model pekerja seperti yang diharapkan para pemilik usaha.

Sembari menunggu dan mencari terus peluang kerja, beberapa kali Paulus sempat diajak pamannya ‘Letnan  Simon Rebangula’ salah seorang perwira polisi di Denpasar melancong berkeliling sekedar melihat-lihat kota Denpasar.

Kala itulah, mata Paulus yang juga disapa Paul itu menangkap pemandangan di dalam sebuah bus yang ditumpangi penuh sesak orang asing berkulit putih.

Yang menarik perhatiannya adalah sosok laki-laki pribumi yang berdiri seolah-olah tengah menerangkan sesuatu sembari tangannya memegang microphone dan mimik gayanya  menjadi pusat perhatian seluruh penumpang bus yang kesemuanya orang asing itu.

Wah hebat sekali orang itu,…… Bagaimana caranya bisa menjadi seperti dia?”, kekaguman Paul itu seketika terjawab dari keterangan pamannya yang menjelaskan bahwa pria yang dilihatnya itu berprofesi sebagai pramuwisata atau guide, di mana untuk menjadi seperti itu dapat ditempuh dengan pendidikan di Sekolah Pariwisata.

Usai mendengar keterangan ini, Paul melihat adanya setitik harapan baginya untuk dapat menjadi seperti sosok yang baru saja dilihatnya tadi, dan saat itu jugalah Paulus Talo mulai menggantungkan cita-citanya untuk menjadi guide kelak dikemudian hari.

Beberapa waktu kemudian, atas jasa pamannya, Paul diterima bekerja sebagai tenaga administrasi di Gazebo Bar & Restaurant, namun belum genap dua minggu di dipindahkan sebagai waiters karena dianggap tidak sesuai dengan kemampuanya. Rupanya pihak pengelola menyadari bahwa bekal bahasa Inggris yang dikuasai Paul lumayan dan dapat dimanfaatkan untuk melayani tamu dibanding dengan memposisikannya di bagian administrasi yang kurang Paul kuasai.

Dan benar saja, sebagai waiter, Paul kemudian tampil sebagai waiter yang baik dan mampu diandalkan. Meski bahasa Inggrisnya hanya sepotong-potong saja, bekal ilmu dari pendidikan sekolah SMP dan SMA di Flores, namun Paul mempunyai keberanian untuk menyapa dan becakap-cakap dengan para tamu asing yang dijumpainya.

Dengan adanya sedikit penghasilan ditambah dari kiriman ayahnya dari kampong sebesar Rp. 7.250,- hasil menjual babi di desa sebagai jawaban atas surat Paulus yang bertekad melanjutkan sekolah, akhirnya Paulus Talo berhasil membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 2.500,- dan SPP sekolah Rp. 25.000 di APPD (Akademi Pariwisata dan Perhotelan Denpasar) di jalan Melati.

Pada sudut lain, pak Sjachrum Jahja pemilik Gazebo Bar & Restaurant melihat sisi loyalitas Paul dan dedikasinya dalam mengemban tanggung jawab selama bekerja padanya yang dinilai cukup baik dan tergolong sebagai pribadi terpercaya. Apalagi Sjachrum Jahja juga mendengar bahwa Paul sepulang kerja mengisi waktunya dengan kuliah kepariwisataan, hal ini menambah keyakinan Sjachrum Jahja kepada potensi Paul, hingga kemudian atas pertimbangan itu Paul dipercaya untuk menjadi mandor pengawas pada pembangunan Hotel Gazebo miliknya.

Benar saja, Paul yang menerima kepercayaan sebagai mandor ini berusaha penuh dedikasi menjalankan tanggung jawabnya tanpa mengabaikan pendidikannya yang sedang ia jalani, situasi ini berbuntut pada semakin besarnya rasa simpati Sjachrum Jahya pada kegigihan Paul dalam bekerja dan menekuni kuliahnya. Simpati itupun lebih nyata terwujud dengan kebiasaan Sjachrum Jahja yang selalu bergegas membuka dompet dan memberi uang tambahan kepada Paul baik yang Rp.1.000,-,  Rp 5.000,- atau berapapun jumlahnya di setiap kali Sjachrum Jahja bertemu dengannya. Kemudian Sjachrum Jahja merekomendasi Paul ke Bank Desa Sanur agar dapat meminjam di sana untuk membayar uang sekolah.

Uluran tangan Sjachrum Jahja ini sungguh dirasakan Paul sebagai kebaikan luar biasa yang membantunya melalui masa-masa sulit sebagai anak rantauan di tanah surga Bali.

Bekerja sebagai mandor pengawas pembangunan hotel Gazebo, ternyata tak membuat Paul kehilangan keramahannya pada para wisatawan asing yang kebetulan ia jumpai.

Seperti biasa Paul selalu mengumbar keramahan dengan menyapa siapa saja yang lewat termasuk salah satunya Mr. Lawrence Sutherland, tamu asing yang kemudian berhenti dari sepeda hanya untuk berkenalan dengan Paul setelah mendengar sapaan ramah Paulus Talo yang bersahabat.

Perkenalan tersebut kemudian berlanjut dengan pertemuan makan siang di mana Larry dan istrinya bermaksud meminta tolong Paul untuk mengirimkan paket ke Yokohama Jepang melalui Cargo, sambil menyelipkan uang sejumlah £20 pounsterling dengan pesan lisan bahwa sisa dari uang paket itu boleh Paul gunakan sebagai tambahan uang sekolah.

Keesokannya uang sejumlah £20 dari Larry tersebut ditukarkannya di Bank Negara Insonesia dan mendapatkan uang rupiah sejumlah Rp 26.000,- sedangkan paket yang dikirimkan melalui Cargo hanya memerlukan biaya RP. 4.000,- jadilah sisa yang diterimanya sejumlah Rp. 22.000,- yang lebih dari cukup untuk hanya membayar uang sekolah.

 Paulus Edmundus Talo

Karena gemetar menerima uang sebanyak itu, Paul segera melayangkan surat kepada Larry menanyakan hendak ke mana uang kembalian ini dikirimkan mengingat jumlahnya terlalu besar untuk membayar uang sekolah.

Setelah 4 minggu menunggu, akhirnya surat balasan dari Larry pun ia terima, di mana dalam surat itu Larry memberikan semua uang kembalian tersebut untuk membayar uang sekolah Paulus selama satu tahun.

Rupanya anugerah ini tidak hanya diterima Paul di saat itu saja, melainkan di tahun-tahun berikutnya, Larry kembali mengirimkan uang sekolah kepada Paul melalui berbagai cara, baik lewat kurir, surat ataupun dititipkan pramugari yang datang ke Bali.

Berkat bantuan Larry dan uang gajinya selama bekerja di Hotel Gazebo sebagai Chief of Front Office,  pendidikan Paul lancar hingga berhasil sampai di semester akhir perkuliahannya, di mana ia kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Travel Biro Trinefo, lalu free lance di Satriavi Travel, Sanmichel yang sering dipercaya memimpin berbagai perjalanan wisatawan  di Bali, Jawa-Bali, Bali-Komodo-Bali dan Bali-Flores-Bali.

Selama di Trinefolah, Paul mengenal Syamsuarni Sjam yang kemudian mengajaknya untuk bergabung di Trinefo pusat Jakarta.

Kesempatan ini disambut Paul dengan ikut berangkat ke Jakarta dan bertemu langsung dengan Dr. John Riupassa pucuk pimpinan Trinefo Tours & Travel.

Saat itulah Paulus Talo langsung dipercaya sebagai Tour Planner yang bekerja membuat perencana paket perjalanan wisata dan mengharuskannya untuk berpergian ke seluruh objek wisata diseluruh pelosok penjuru tanah air Indonesia, dan kemudian menyusunnya dalam paket wisata lengkap dengan harga yang akan ditawarkan kepada pasar konsumennya.

Perusahaan ini maju dengan pesat, namun di tahun 1977 bangkrut karena salah satu pemegang sahamnya terlibat korupsi sebesar Rp. 7 milyard rupiah di kala menjabat sebagai kepala Dolog di Kalimantan Timur.

Praktis Trinefo Tours & Travel dinyatakan pailid karena harus turut menopang penggelapan uang itu, bahkan gedung dan semua barang kemudian di jual dan semua karyawan diberhentikan.

Kini tinggalah Paul Edmundus Talo dan sang pimpinan John Riupassa yang tersisa untuk menjalankan roda usaha biro perjalanan wisata.

Dengan mengandalkan pengalaman dan sejumlah tamu yang masih mengalir, mereka mencoba bertahan bergabung dengan beberapa Biro Perjalanan Umum lain di Jakarta.

Dalam situasi demikian, pada akhir tahun 1979 Paul masih sempat melayani kunjungan group exclusive dari Amerika selama 23 hari keliling Indonesia di mana antara lain Cargil MacMillan pemilik perusahaan Cargil Amerika  dan Dr. Leonard Rubin, PhD Pimpinan sebuah Klinik kesehatan terkemuka  turut serta di dalam rombongan.

Usai melakukan Tour beserta Paul, rupanya rombongan ini merasakan puas terhadap pelayanan selama di Indonesia dan berbalik mengundang Paul ke Amerika dengan seluruh biaya penerbangan dan akomodasi dipersiapkan oleh seluruh rombongan sebagai hadiah bagi Paulus Talo.

Sepulang dari Amerika, Paul disambut berita pengunduran diri John Riupassa dari dunia bisnis pariwisata.

Keadaan ini mengharuskan Paulus Talo yang masih meyakini bahwa dunia pariwisata tetap dapat diandalkan sebagai pegangan hidup kemudian bergabung dengan ISTA Tour & travel pada tahun 1980.

Baru satu tahun bergabung bersama ISTA, Paul mendapatkan penawaran untuk menjabat sebagai Manager di Melati Tour, dan pada tahun 1981 tawaran sebagai manager itu diterimanya.

Namun setelah 9 tahun mengelola Melati Tour, dan juga karena terjadi pergantian pemilik perusahaan, Paul merasa mekanisme operasional dalam biro perjalanan ini tidak  sesuai dengan pengalaman dan kelaziman yang selama ini diterapkan pada travel biro pada umumnya.  Perbedaan pendapat ini akhirnya berujung pada pengunduran diri Paul dari perusahaan Melati Tour pada tahun 1989.

Di hari keputusannya untuk mengundurkan diri dari Melati Tour, tanpa sengaja ia bertemu salah seorang kawan yang menawarinya untuk bergabung dengan Puri Tour.

Mendengar penawaran ini, Paul mengajukan beberapa syarat, yaitu tidak bersedia untuk bekerja di Jakarta selain memimpin kantor perusahaan di Bali dan yang kedua adalah kesanggupanya di mulai setelah ia menikmati berwisata keliling Indonesia selama sebulan. Semua syarat itu diterima oleh pimpinan Puri Tour dan bahkan menghitung masa kerja Paul mulai hari itu juga meskipun Paul  akan masuk kerja kapanpun ia suka.

Menerima begitu banyak kemudahan, menjadikan Paul akhirnya memilih hanya menikmati satu minggu liburannya dan langsung menuju Bali untuk memimpin Puri Tour sebagai Manager di sana. Kedatangannya ke Bali ini sesungguhnya telah ia nanti-nantikan sejak tahun 1982, bahkan ia sempat mengatur rencana bersama Drs. Frans Seda mantan Menteri Perkebunan, Menteri Pertanian, Menteri  Keuangan dan Menteri Perhubungan RI, untuk bekerja sama membuka usaha biro perjalanan di Bali yang karena menunggu beberapa hal hingga wacana itu belum sempat terwujud.

Setelah hampir setahun kepemimpinanya di Puri Tour Bali, Drs. Frans Seda menghubungi Paul untuk segera memulai rencana kerjasama yang telah sekian lama diperbincangkan. Tapi demi profesionalitas, Paul tidak dapat seketika menerima tawaran Drs. Frans Seda dan meninggalkan Puri Tour begitu saja. Melainkan setidaknya ia memerlukan waktu satu tahun untuk mengabdikan diri pada perusahaan yang telah mengembalikannya ke Bali itu.

Setelah satu tahun berlalu, Paulus Talo memenuhi janjinya keluar dari Puri Tour dan mulai merintis perusahaan yang disediakan Drs. Frans Seda berbendera PT. Floressa Wisata dengan komposisi saham 67,50% milik Drs. Frans Seda dan 32.50% milik Paul Edmundus Talo.

Berawal dengan modal satu mesin ketik Olimpic dan sebidang rumah kontrakan, Paul mulai merintis membuat surat pengurusan operasional perusahaan di Bali.

Kemudian iapun mengawali dengan menghubungi seluruh relasi dan rekanan baik di Bali, di Jakarta hingga ke luar negeri untuk memberitahukan bahwa kini Paul Edmundus Talo telah memimpin perusahaaan Floressa Wisata di Bali.

Mendengar keberadaan Paul di Bali, beberapa rekananpun menyambut gembira, bahkan Ibu Syamsuarni Sjam yang membawa Paul ke Jakarta pertama kali untuk bergabung dengan Trinefo Tours & Travel kemudian memberikan tamu group perdana bagi perusahaan Floressa Bali pimpinan Paul.

Tak disangka Bali memang tanah impian yang tak pernah mengecewakannya, hal ini terbukti dengan Floressa Bali yang berkantor pusat di Bali kemudian meningkat pesat dan mendulang keberhasilan yang menggembirakan.

Bila diingat baik-baik, sesungguhnya Bali telah memanggil-mainggil Paulus Talo untuk kembali pulang ke Bali menjemput kesuksesan ini sejak tahun 1982, melalui bahasa pesan yang dibawa para relasinya ketika mereka mencari-cari biro perjalanan wisata yang berkantor di Bali.

Tetapi kala itu jelas Paul tidak memiliki peluang untuk meninggalkan pekerjaannya di Jakarta dan melangkahkan kaki  menyambut panggilan ini.

Namun meski bagaimanapun, Paulus Edmundus Talo kemudian mampu dengan tepat menempatkan dirinya untuk berada di tempat di mana ia setiap saat merasa harus kembali.

Kini dengan segenap keyakinan dan didukung staf profesional dalam komandonya, Paul Edmundus Talo mengusung PT. Floressa Wisata Bali melaju menyongsong kembalinya kegairahan dunia pariwisata yang ia yakini tak akan pernah usai hingga akhirnya zaman tiba.

Dan dalam keberhasilan hidupnya, Paulus Edmundus Talo mensyukuri limpahan karunia rezeki yang diberikan Tuhan kepadanya dengan tampil berbagi. Ia demikian mudah tergerak hatinya melihat kesulitan anak-anak dalam hal pendidikan.

Suasana akrab, manakala Paulus Edmundus Talo
memberikan santunan pendidikan
bagi anak tidak mampu.

Kurangnya biaya juga ketiadaan prasarana dan sarana yang mendukung pendidikan bagi anak-anak, akan seketika mengingatkan pada masa kecilnya di mana ia dan keluarganya berjuang untuk menjadikan seorang Talo memperoleh ilmu.

Sehingga bukan hal aneh bila Paulus Talo kini menjadi sangat senang dalam dharmanya memberi santunan bagi anak kurang mampu sekaligus membangun sarana, prasarana sekolah seperti perpustakaan atau kamar mandi sekolah yang ia tujukan untuk mematahkan mata rantai kesulitan dalam mendapat pendidikan, baik di tanah kelahirannya di  Flores maupun di bumi Bali yang telah memanggilnya untuk mengabdi.

family picture

DATA PRIBADI

Nama                     :  Paulus  Edmundus Talo, S.Sos, MBA.
Tempat/
Tanggal lahir      :  BOLOJI – Bajawa, Ngada, Flores,  27  Desember 1949
Alamat                 :  Jalan  Penyaringan I/19 Sanur -Denpasar – BALI
Jenis Kelamin     :  Laki-laki
Agama                  :  Katolik
Menikah              :  14 Juli 1987
Istri                        :  MTH.  Karmelita Fernandez
Anak                     :  1 (orang) Nikolaus Lizu Tallo
Pekerjaan            :  Wiraswasta / Pengusaha Biro Perjalanan Wisata
Pendidikan         :
-   Akademi Pariwisata 1972-1975
-   S-1, Fakultas Administrasi Niaga
-   S-2, Master of Business Administration
-  Menempuh study sebagai Mahasiswa S2 Kajian Pariwisata
Universitas  Udayana.

Riwayat Pekerjaan :
-   1971-1975 Bekerja pada Hotel di Bali
-   1976-1989 Bekerja pada Travel Biro di Jakarta
-   Sejak 1989 bekerja pada Travel Biro di Bali
-   1987-1993 Instruktur Kursus Tour Leader Indonesia-Direktorat

Jenderal Pariwisata – Jakarta.
-   1989-Sekarang Dosen Akademi Pariwisata Denp-Bali.

Dedikasi Profesi :
-   1971  mulai terjun di bidang Pariwisata (Perhotelan).
-   1974-1975 sebagai Tour Guide di BALI (berlisensi).
-   1975 mengadakan survey dan mulai memperkenalkan NTT
kepada Tour Operators, Wholesalers dan wisatawan internasional.
-   1976 Mengadakan survey dan mulai memperkenalkan Kalimantan Timur kepada Tour Operators, Wholesalers dan wisatawan  internasional.
-   1976 menjelajahi pulau Jawa dari Ujung Kulon – Jawa Barat
sampai Baluran – Jawa Timur.
-   1979 mengadakan survey dan mulai memperkenalkan Sumatera  Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya kepada wisatawan internasional.
-   1979-Tour Guide- Jakarta (berlisensi).
-   1980 sampai sekarang menjual potensi pariwisata pada
bursa-bursa pariwisata International setiap tahun (2-3 kali) dalam event-event sbb:  Asean Travex, PATA Mart, Pata Eco Tourism, Pata Table Top Show, Pata Road Show, ITB Berlin, ITIX-USA, Japan Diving Expo dan Marine Expo & Sea Trade-USA, Tourism Expo Darwin.
-   1989 sampai sekarang menjadi pembicara pada seminar,
loka karya, pelatihan tentang pariwisata.

Hobby                        :    Adventure; naik gunung, berenang, rafting
Semboyan Hidup     :    Kerjakan segala sesuatu sampai tuntas.
Lagu Kenangan         :    Kala surya senja di pantai Sanur.

Pesan        :        Tekunilah bidang pariwisata dengan penuh dan total,
karena Pariwisata adalah bidang yang dapat dipercaya
mampu untuk menjadi tumpuan hidup yang tidak
akan pernah ada habisnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>