Ir. Jero Wacik, SE

jw+adat

MANUSIA PILIHAN TUHAN

 

Hidup dan mati adalah rahasia Tuhan, manusia hanya perlu memaknainya dengan melakoni swadharma hidup dengan laku sebaik-baiknya.
Namun di balik segala rahasia kehidupan itu, ada sekupas kisah luar biasa dari sosok yang luar biasa pula di negeri ini. Sebuah kisah yang juga menggambarkan betapa kebesaran dan kemurahan Tuhan kepada bangsa Indonesia atas dipersiapkannya manusia yang dipilih dari lubuk pulau Bali bagi bangkit dan lestarinya budaya serta kehidupan pariwisata di bumi pertiwi.

Lebih dari setengah abad yang silam, tepatnya Minggu Paing, 24 April 1949  lahirlah bayi laki-laki  yang bersamanya turut serta kecemasan, harapan dan sekelumit kebahagiaan yang tiada berani tuntas tercurah dari Guru Nyoman Santi dan Ni Nyoman Sudiri, kedua orang tua si jabang bayi.

Semua karena semenjak mereka menikah, sudah enam kali Ni Nyoman Sudiri sempat mengandung dan melahirkan, namun tidak seorang bayipun  dapat dipertahankannya hidup. Segala macam sebab terjadi, yang pada akhirnya berujung pada kematian menjemput sang bayi.

Namun agaknya harapan untuk tetap hidupnya bayi ke tujuh ini, mulai diyakini pasangan  Guru Nyoman Santi dan Ni Nyoman Sudiri.

Semua harapan ini datang sejak Mangku Tantra kawan Guru Nyoman Santi yang memiliki kepekaan spiritual bersedia turut campur berupaya menyelamatkan nasib si bayi dari maut.

Dalam pandangan niskala, Mangku Tantra menganggap  Guru Nyoman Santi dan Ni Nyoman Sudiri tidak berjodoh untuk memiliki anak, jadi tak heran bila semua anaknya  mati. Maka demi untuk menghindari rentetan maut menjemput anak berikutnya, Mangku Tantra lah yang akan mengangkat anak bila kelak bayi dalam kandungan Ni Nyoman Sudiri lahir.

Karena alasan ini, begitu saatnya Ni Nyoman Sudiri telah hamil tua, Guru Nyoman Santi mengajak istrinya meninggalkan rumahnya di Kintamani menuju kediaman Mangku Tantra di Peguyangan, Singaraja.

Di desa Peguyangan itulah, melalui bantuan bidan, akhirnya lahir bayi lelaki dari rahim Ni Nyoman Sudiri yang sehat dan gagah seperti ayahnya.

Sesuai dengan rencana, Mangku Tantra kemudian mengangkat bayi ini sebagai anaknya dan memberi nama ‘Nyoman Santra’.

Hari berganti hari, minggu berganti bulan dan waktu terus berlalu bigitu saja, selama itulah di Peguyangan, Nyoman Santra terlihat sehat dan tumbuh seperti wajarnya bayi pada umumnya, bahkan Mangku Tantra pernah berujar bahwa dalam penglihatannya membaca mistery palmistry (rahasia garis tangan) “kelak bayi ini akan menjadi manusia luar biasa”.

Sekian kurun waktu di Peguyangan dengan kesehatan Nyoman Santra yang menggembirakan, membesarlah keyakinan Guru Nyoman Santi dan Ni Nyoman Sudiri untuk membawa pulang bayinya ke Kintamani dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

Sesampai di Kintamani, entah apa sebabnya Nyoman Santra terlihat tidak sesehat hari-hari kemarin, kaki dan badannya mulai ditumbuhi koreng, ditambah lagi, iapun menjadi sering sakit-sakitan tanpa dapat dimengerti sebab musababnya.

Puncaknya, di saat Nyoman Santra baru akan berumur 9 bulan, mendadak tubuhnya panas tinggi, kejang-kejang dan tak lama kemudian ‘mati’!.

Selesailah sudah kisah Nyoman Santra sampai di sini, pupus tuntas segala harapan Guru Nyoman Santi dan Ni Nyoman Sudiri, rasa kecewa menggelanyut dari tatapan duka mereka. Sungguh tidak dapat dimengerti oleh keduanya, semua upaya telah coba mereka tempuh, dari melahirkan di Peguyangan, memakai jasa bidan yang dianggap lebih baik dari dukun, bahkan sampai menyerahkan bayi ini untuk diangkat anak oleh Mangku Tantra yang berilmu spiritual linuwih juga sudah dipenuhinya, namun mengapa kematian masih saja mengakrabi jengkal hidup anak-anak mereka.

Di tengah isak tangis kepedihan, sedih dan kehilangan tampaklah datang Guru Titib seorang pemuka agama desa yang turut di antara para pelayat berkunjung untuk menyampaikan rasa belasungkawa.  Namun setibanya di hadapan jasad Nyoman Santra, raut wajah Guru Titib seketika berubah galau, matanya menangkap adanya keganjilan yang ia sendiri tidak yakin pada apa yang dilihatnya. Sekedar untuk memastikan, Guru Titib meraba nadi pergelangan tangan Nyoman Santra, ……. “tolong ambilkan bawang dan minyak”, begitu tiba-tiba suara Guru Titib memberi perintah memecah kedukaan menjadi seutas harapan.

Tanpa banyak bertanya, seseorang segera menyiapkan apa yang diminta sang Guru.
Dengan pandangan penuh harap, Guru Titib meminta izin ibu si bayi untuk membawa Nyoman Santra pergi ke Pura Bukit Mentik.
Melihat upaya Guru Titib yang meyakinkan, Ni Nyoman Sudiri mengizinkan jasad anaknya dibawa ke suatu tempat yang dimaksud itu.

Atas izin dari Ni Nyoman Sudiri, Guru Titib dengan sigap mengambil bawang dan minyak untuk dilekatkan di pergelangan nadi Nyoman Santra dan terus memegangi dengan tangannya seraya membopong lari menuju Pura Bukit Mentik.

Tidak kurang dari 5 kilometer Guru Titib telah tergopoh meninggalkan kampungnya, dan kini ia tengah menuruni bukit menuju Pura Bukit Mentik yang sudah terlihat tidak jauh lagi.
Di sinilah Guru Titib semakin yakin bahwa bayi dalam dekapannya ini benar-benar masih di berikan hidup oleh Sang Kuasa.

‘Nyoman Santra mulai bergerak’, semakin dekat langkah Guru Titib menuju Pura,  semakin terasa gerak bayi ini menunjukkan pertanda kehidupan.

Akhirnya tibalah Guru Titib di dalam Pura Bukit Mentik dan tanpa ragu lagi, Nyoman Santra dibiarkan berangsut turun dari bopongannya.

Sekian pasang mata penduduk desa menyaksikan keajaiban Tuhan ini, Nyoman Santra dengan lincahnya merangkak di pelataran pura seperti halnya bayi usia 9 bulan umumnya. Ia hidup dan sungguh-sungguh hidup, sulit dipercaya namun inilah kenyataan gembira yang telah dipilih Tuhan untuk menghidupkan kembali Nyoman Santra.

Sejak saat itu Nyoman Santra sementara tinggal di lingkungan Pura Bukit Mentik,  di sebuah rumah berkamar satu di salah satu sudut Pura tak jauh dari danau di sisi lereng Gunung Batur. Di sanalah ayah ibunya menunggu waktu yang tepat untuk dapat membawa anak semata wayang ini kembali pulang ke Kintamani.

Ternyata selama tinggal di lingkungan Pura, Nyoman Santra tumbuh sehat melalui hari-harinya hingga tumbuh beranjak memasuki masa kanak-kanak yang ceria.

Namun aneh….., setiap kali ayah ibunya akan membawanya pulang kembali ke Kintamani, meski sudah memastikan keadaan fisik Nyoman Santra sangat sehat, mendadak saja anak ini jatuh sakit tanpa ada sebab yang jelas.

Akhirnyapun percaya tak percaya, mau tak mau,  demi untuk dapat tetap meneruskan hidup anaknya, tidak ada jalan lain yang dapat mereka tempuh selain harus mengasuh dan membesarkan Nyoman Santra di lingkungan Pura Bukit Mentik.

Jadilah keseharian dilakoni keluarga kecil Guru Nyoman Santi di sana, karena keinginan mempertahankan hidup anaknya, kedua orang tua inipun terlihat mulai terbiasa dan perlahan aktivitas hiduppun kembali berjalan seperti biasa.

Guru Nyoman Santi di hari berikutnya sudah kembali sibuk dalam aktivitas sosialnya sembari membesarkan Nyoman Santra. Sementara istrinya, Nyoman Sudiri yang lebih terkesan sebagai penopang hidup keluarga, juga telah kembali lagi giat menekuni usaha dagang kain keliling sampai ke luar Kintamani.

Enam tahun sudah terlewati, sampailah pada suatu babak, di mana Pura Bukit Mentik mencari calon-calon Pemangku. Saat itulah melalui upacara adat dan ritual magis sebagaimana kepercayaan masyarakat setempat, terlontarlah penunjukkan calon Pemangku melalui trans kesadaran dari salah satu pemuka agama yang menjadi medium sarana komunikasi secara niskala.

Ditunjuklah 3 anak yang berusia sekitar enam tahunan, untuk dipilih mengemban penobatan sakral ini. Kesemua pilihan itu kemudian mendapat gelar masing-masing,  “Jero Ras”,  “Jero Ardhi” dan  “Jero Wacik” untuk Nyoman Santra.

Setelah pembaitan itu, nama Nyoman Santra berganti menjadi ‘Jero Wacik’, sebuah komitmen batin yang diterima dengan ikhlas Nyoman Santra sebagai tanda kesanggupan dan penghormatan atas kepercayaan akan tanggung jawab spiritual yang diberikan pada dirinya.

Belum lama Jero Wacik menyandang gelar penobatan dari Pura Bukit Mentik, ayah ibunya berselisih dan berujung pada perpisahan.
Karena keadaan itu, terpaksa Jero Wacik menurut saja di asuh oleh neneknya (bibi dari ayahnya) dan tinggal di dusun ’Yeh Mampeh’, tak jauh dari Pura Bukit Mentik.

Jero Wacik didampingi mendiang ayahnya; Guru Nyoman Santi (alm)
dan Ibunya; Nyoman Sudiri (alm)

Di Yeh Mempeh, seperti umumnya bocah desa, Jero Wacik yang berumur 7 tahun, mulai terampil menyabit rumput, memberi pakan sapi dan memelihara ayam. Namun bila di bale banjar kampungnya sedang berlangsung program Pemberantasan Buta Huruf (PBH), Jero Wacik selalu terlihat turut tekun belajar mengenal huruf, menulis, membaca dan berhitung di antara orang-orang dewasa.

Berkat dari sanalah kemudian, Jero Wacik dapat lancar membaca dan cekatan berhitung, maka tak heran bila ketika ayah ibunya telah akur dan menjemputnya kembali ke Kintamani, Jero Wacik dapat langsung diterima menjadi siswa kelas 2 di Sekolah Rakyat tanpa harus menjalani belajar tulis dan membaca di kelas satu lagi.

Dasar anak cerdas, kemampuannya dalam segala mata pelajaran jauh mengungguli kawan-kawannya, bahkan terkadang membuat guru tak percaya pada daya tangkap Jero Wacik yang luar biasa.

Malah pernah suatu ketika, di kelas tiga, saat kepala sekolah memberi soal ilmu hitung (matematika), Jero Wacik mengacungkan jari menanyakan apakah boleh menulis jawaban langsung tanpa melalui penjabaran jalan urai perhitungan perkalian dan penjumlahan sebelum mendapat angka jawaban.
Dari pertanyaan itu, gurunya hanya menjawab; “terserah kamu”,… dan karena merasa mampu cepat dalam hitungan, Jero Wacik pun langsung menjawab tanpa lagi menguraikannya.

Sial tak terelakkan, karena angka jawaban langsung itu, Jero Wacik dituduh mencontek. Dan anehnya, kendati terbukti hanya Jero Wacik yang benar dalam jawaban soal dan tak satupun siswa lain menjawab dengan benar, namun tetap saja kepala sekolah itu berkeras pada tuduhannya dan menghukum Jero Wacik berdiri di muka kelas sambil mengangkat satu kakinya hingga melewati jam sekolah usai.

Dan yang paling menjengkelkan, ia baru dipulangkan setelah mendapat izin guru sekolah sore yang menemukannya masih berdiri di kelas yang sudah kosong.

Merasa tidak salah dihukum, Jero Wacik marah dan kesal; “Pokoknya, kalau masih kepala sekolahnya itu, aku tidak mau sekolah”, begitu Jero Wacik mengawali aksi mogok sekolahnya dan memilih bermain apa saja di rumah.

Untunglah setahun kemudian, wakil kepala desanya membawa kabar, bahwa Kepala Sekolah di SR itu sudah berganti, malahan wakil kepala desa itu juga yang mengantar Jero Wacik sekolah lagi dan kembali duduk di kelas 3.

Sejak masuk sekolah lagi, posisi juara kelas selalu diperolehnya, malahan Jero Wacik merasa tidak puas bila harus menamatkan sekolah dasarnya di Bangli. Ia ingin lulus di sekolah terbaik di ibu kota Sunda Kecil ‘Singaraja’.

Biarpun masih terbilang kanak-kanak, namun Jero Wacik sudah tanggap menganalisa bahwa, untuk mendapatkan sekolah SMP favorit di ibu kota yang menjadi kota pelajar terbaik di Bali kala itu, ia harus mampu bersaing dengan pelajar kota Singaraja yang dididik dengan metode pengajaran lebih maju dibanding sekolah kampung seperti di Bangli.

Karena daya analisanya ini, ia berkeras untuk mendapat pendidikan terbaik dengan memilih melanjutkan kelas enamnya di SD 2 Teladan Singaraja yang menjadi sekolah unggulan di kala itu.

Tapi sesungguhnya, kursi untuk kelas VI di SD2 Teladan yang ia tuju daya tampungnya sudah penuh, namun melihat deret nilai sembilan di rapor Jero Wacik, dan menyadari sangat langka sekolah yang memiliki siswa berbakat cerdas di atas rata-rata, maka tanpa banyak persyaratan lagi, Jero Wacik langsung diterima sebagai murid di sana.

Jero Wacik memang anak istimewa, bayangkan saja; di usia yang jauh dari dewasa, Jero Wacik sudah berani merantau, tinggal di rumah kecil di jalan Jambu, banjar Bali tanpa didampingi orang tua dan langsung menjadi kepala rumah tangga yang mengatur keperluan hidupnya sendiri, dari mengatur uang bekal, memasak, mencuci, belanja, mengurus rumah, belajar serta waktu bermain yang terjadwal dengan tertib dan dipatuhinya dengan tanggung jawab yang melampaui nalar bocah seusianya.

Suasana belajar akrab mewarnai waktu-waktu di rumah itu, selain teman-teman yang ikut menumpang di rumahnya turut terbawa pola tekun Jero Wacik, kawan-kawan dari sekolah juga silih berganti datang untuk belajar bersama, atau tak sedikit yang hanya sekedar menanyakan soal-soal sulit pada Jero Wacik yang selalu memiliki jawaban dengan gaya menerangkan yang mudah dimengerti oleh mereka.

Meski banyak ditemani kawan-kawan seusia, tetap saja rasa rindu pada ibunya terkadang hinggap begitu saja di benaknya. Untunglah, sesekali rasa rindu itu terobati manakala ibunya menyinggahi seusai berdagang kain di pasar Panjahan, Pupuan atau di saat liburan tiba yang membuat Jero Wacik bisa berlama-lama bersama sang ibu sambil membantu berjualan di pasar tempat ibunya memasarkan kain-kainnya.

Semua masa itu begitu ceria, tidak ada kesedihan di sana, semua menyenangkan dan bahagia, cenderung bila dikenangnya, lebih banyak hari diisi dengan macam-macam urusan sekolah, belajar, mengajar les teman-teman, dan juga yang tak terlupakan, di penghujung masa kelulusan siswa kelas 6, ia belajar pidato dibimbing ‘Pak Dharma’ guru yang juga si pembuat naskah pidatonya.

Naskah itu dihafalkan setiap hari bolak-balik sembari mempraktekkan gaya pidato yang santun ala ‘Pak Dharma’, hingga pada akhirnya, setelah dinyatakan lulus dengan nilai terbaik, Jero Wacik dengan sempurna membawakan pidato itu mewakili siswa kelas 6 yang telah lulus dari SD 2 Singaraja, sekaligus menjadi awal bagi Jero Wacik yang sejak saat itu menjadi cakap berpidato.

Namun sesungguhnya di kemudian hari, di balik kisah ini, beberapa puluh tahun kemudian, di Jakarta pada saat ’Pak Dharma’ meninggal dunia, keluarga almarhum menunjuk ’Jero Wacik’ berpidato mewakili keluarga untuk menerima jenazah di hadapan Gubernur DKI dan menghantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhir.

Mungkin beginilah rahasia Tuhan telah mengaturnya, Pak Dharma dahulu mengajar Jero Wacik sampai pintar berpidato, agar kelak setelah dewasa dapat berpidato dengan baik dalam upacara pelepasan jenazahnya, … hanya Tuhanlah yang tahu.

Di lain kisah, di masa sekolah dasar itu, Jero Wacik sempat mengalami moment istimewa saat duduk di kelas IV, manakala ia berkesempatan bertemu dengan Presiden Ir. Soekarno yang sedang berkunjung ke desa Penelokan tak jauh dari sekolahnya.

Di hari itu, sebelum bapak Proklamator bangsa ini beranjak bersama rombongan untuk makan siang, sebuah pesan agar selalu tekun belajar, di tinggalkan kepada anak-anak, termasuk Jero Wacik yang berada di antara puluhan anak di sana.

Pesan singkat itu ternyata memotivasi Jero Wacik untuk mengikuti jejak Sang Putra Fajar dan menggantungkan cita-citanya menjadi seorang insinyur seperti ’pak Karno’.

Setamat SD, Jero Wacik masuk ke SMPN 1 Singaraja hingga lulus dan melanjutkan ke SMAN Singaraja. Dan sepanjang masa sekolahnya itu, baik di SMP maupun SMA, Jero Wacik tak pernah absen merebut posisi juara dan selalu didaulat sebagai ketua OSIS oleh teman-temannya yang terkesan pada pribadi Jero Wacik yang bersahabat dan bakat kepemimpinannya yang menonjol.

Keberadaan Jero Wacik di sekolah tak henti-hentinya membuat bangga keluarga, teman dan gurunya. Apalagi saat di SMA, Jero Wacik lulus terbaik seluruh Bali dan menjadi bintang pelajar Bali hingga pada upacara inagurasi kelulusannya dihadiri Bupati Buleleng yang turut merasa bangga atas prestasi belajar Jero Wacik sebagai siswa di kabupatennya.

Selesai inagurasi, ’Hartawan Mataram’, Bupati Buleleng waktu itu menanyakan ke mana sekolah yang diingini Jero Wacik.

Tanpa ragu iapun menyebut sekolahnya Bung Karno di ITB yang diinginkannya, namun untuk dapat ke sana, kendala biaya menjadi persoalannya, sehingga karena alasan itu ayahnya bermaksud memasukkan Jero Wacik ke IKIP Singaraja saja.

Mendengar keluhan Jero Wacik, Bupati Buleleng  berujar; bila sekolah yang diingini Jero Wacik tidak dituruti, bangsa ini akan rugi, karena sangat sulit mendapatkan bibit seperti Jero Wacik dikemudian hari.

Meski tidak membantu ongkos keberangkatannya ke ITB Bandung, namun setidaknya, Bupati Buleleng memberinya memo untuk menemui Surya Penawa adik pak bupati, yang menjadi  dosen seni rupa di ITB kala itu.
Berbekal sepucuk surat dan sedikit uang bekal dari ibunya, Jero Wacik berangkat meninggalkan Bali menuju kota Parahyangan.

Tepat pada tanggal 15 Desember 1969, untuk pertama kalinya Jero Wacik menginjakkan kaki di tanah Jawa, di Ketapang Banyuwangi sambil mengambil segenggam tanah di sana seraya mengkhusukkan doa; ”Mudah-mudahan langkah pertama di Jawa ini akan membawa berkah”.  Setelah itu barulah, Jero Wacik meneruskan perjalanannya ke Bandung.

Setiba di Bandung Jero Wacik menyerahkan memo kepada adik Bupati Buleleng, dan langsung mendapat banyak pengarahan, bimbingan dan informasi tentang perkuliahan di ITB serta gambaran singkat tentang kota Bandung yang sama sekali asing baginya.

Di ITB, Jero Wacik diterima di jurusan mesin yang merupakan jurusan terfavorit dan dikenal paling sulit seleksi masuknya.
Selama kuliah di sana, meski pada umumnya para mahasiswa dari Bali tinggal mengumpul dalam satu asrama Bali, namun Jero Wacik memilih hanya dua minggu saja tinggal di arama, selanjutnya ia memutuskan pindah tinggal di tengah perkampungan, mengontrak rumah kecil tak jauh dari kampus ITB, agar dapat berbaur dengan masyarakat setempat, beradaptasi mengenal budaya Bandung dan menggalang pergaulan luas di luar tidak terkelompok dengan orang-orang Bali saja.

Baru satu tahun kuliah, Jero Wacik sudah menyambi mengajar anak-anak SMA pada salah satu bimbingan tes, untuk menambah uang sakunya selama kuliah di ITB.

Di lain waktu kuliah dan mengajarnya yang padat, Jero Wacik juga aktif sebagai Ketua Senat Mahasiswa ITB dan juga terjun mengomandoi berdirinya Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Bali se Bandung (KPMB).

Sebagai Ketua KPMB Bandung, Jero Wacik meminta kepada seluruh pelajar dan mahasiswa Bali di Bandung, agar setiap kali pulang ke Bali untuk menyempatkan diri ceramah di sekolah almamater masing-masing, menceritakan tentang situasi kota Bandung dan mutu dunia pendidikan di sana.

Jero Wacik ingin generasi pelajar di Bali yang ingin sekolah ke Bandung mendapat gambaran awal tentang bumi Parahyangan secara lebih jelas.
Himbauan itu dimaksudkan untuk mematahkan kekhawatiran kebanyakan pelajar dan orang tua akan kehidupan negatif di Bandung seperti dikisahkan dalam novel fiksi di zaman itu.

Dengan informasi yang benar maka, desas-desus  dan dongeng-dongeng fiksi itu tidak lagi menjadi menghambat peluang generasi Bali untuk menimba ilmu di perguruan tinggi yang banyak mencetak orang-orang hebat di negeri ini seperti Bung Karno.

Semenjak saat itu, di tahun-tahun berikutnya, mulailah banyak berdatangan pelajar asal Bali yang menempuh pendidikan perguruan tingginya di kota Bandung. Ini adalah indikator sukses program Jero Wacik untuk turut mencetak kader Bali berkualitas.

Walau sibuk dalam organisasi, namun Jero Wacik tercatat sebagai mahasiswa ITB yang lulus tercepat dan langsung diterima bekerja di Astra pada tahun 1974.

Dan di kurun masa itu, di kota Bandung, Jero Wacik bertemu dengan ‘Triesna’ gadis Parahyangan, putri seorang saudagar yang belakangan dinikahinya pada tahun 1976.

Memasuki tahun 1978, Jero Wacik melanjutkan kuliah ke Universitas Indonesia mengambil jurusan ekonomi, sambil terus bekerja sebagai Customer Service Manager di Astra, Jakarta.

Sambil kuliah dan bekerja, konsentrasi Jero Wacik pada kemajuan dunia pendidikan di Indonesia rupanya mengilhaminya untuk membuat buku-buku pelajaran, seperti Matematika dan Fisika untuk SMA yang lalu karyanya ini menjadi kurikulum di seluruh Indonesia pada tahun 1979.

Lulus dari Universitas Indonesia tahun 1983, Jero Wacik terus meniti karir di bawah bendera Astra Group. Namun kendati padat waktu dinasnya, sebagai pecinta dunia pendidikan rupanya Jero Wacik tidak dapat lepas dari aktivitas belajar dan mengajar.

Bahkan meski telah diketahui Jero Wacik memiliki kesibukan yang luar biasa sebagai pejabat penting di perusahaan multi nasional, tetap saja pihak yang terlanjur mengenal kemampuan dan wawasan Jero Wacik sebagai sosok brilliant,  silih berganti mingirimkan undangan sebagai penceramah, pembicara, narasumber, mentor dan berbagai hal sekisaran aktivitas mengajar, baik di kampus atau di berbagai perusahaan yang selalu saja berusaha dipenuhi Jero Wacik kendati ia sendiri kesulitan mengatur waktunya.

Untuk ceramah di kampus, Jero Wacik menggratiskannya, ia tidak mencari keuntungan material karena tekadnya menuruti falsafah ajaran Dewi Saraswati untuk selalu menyebarkan ilmu pengetahuan.

Kesenangannya berbagi ilmu ekonomi mengupas strategi bisnis, ilmu manajemen, pemasaran, entrepreneurship, hingga ceramah religius, motivasi, kepribadian diri, falsafah hidup dan berbagai topik lainnya yang menjadi keahlian Jero Wacik itu ternyata tak bisa leluasa tersalurkan karena harus terbatasi dan terbentur waktu kerja yang mengikat.

Hingga karena loyalitas dedikasi tanggung jawabnya sebagai pegawai di perusahaan Astra yang tak ingin dikesampingkannya, maka Jero Wacik kerap terpaksa menolak undangan ceramah di berbagai kampus, instansi, perusahaan, bank atau seminar-seminar karena berbenturan dengan waktu dinasnya yang tak bisa ditinggalkan.

Tak mau mengkorupsi waktu dan enggan selalu meminta izin atasan untuk meninggalkan jam kerja agar dapat menjadi pembicara atau penceramah, membuat Jero Wacik gelisah; “Mengapa untuk membagi ilmu saja kok susah”……..  begitu diucapkannya tiap-tiap kali harus menolak permintaan berceramah yang datang di luar hari-hari libur atau waktu bebasnya.

Alasan dapat memiliki waktu bebas dengan jadwal kerja sendiri ini disambut cepat oleh dorongan jiwa entrepreneur­ Jero Wacik yang sedari lama ingin mengejawantahkan ilmu ekonomi yang dipelajarinya untuk menembus kesuksesan angka finansial dari usahanya sendiri.

Maka dengan berbekal kepakaran pada ilmu bisnis, Jero Wacik mundur dari Astra dan resmi menerjuni bisnisnya sendiri di bidang property.

Bisnis property ini rupanya cepat melesat maju di tangan Jero Wacik yang memiliki reputasi tinggi dan jaringan pergaulan luas yang kebanyakan ia akrabi dari hobbynya menjamu para tamu dari daerah yang sedang berkunjung ke Jakarta.

Siapa sangka kesukaannya menjamu kenalan, kawan termasuk para petinggi seperti Bupati dan pejabat di Bali yang datang atau dalam tugas di Jakarta, kemudian berbuah manis.

Salah satunya datang dari Bupati Tabanan yang memberinya informasi lebih dini tentang dibukanya ratusan hektar lahan areal prestisius tak jauh dari kawasan wisata Tanah Lot. Sehingga dari informasi ini Jero Wacik  dapat leluasa memilih posisi strategis dan membeli 15 hektar tanah yang lalu dijualnya kembali dengan harga jauh lebih tinggi.

Kipiawaian Jero Wacik mengelola bisnis property menjadikannya melesat cepat sebagai pengusaha sukses setelah pengunduran dirinya dari Astra tahun 1992. Di awali dengan pembangunan sebelas villa di Taman Mumbul yang dilabeli nama “Gria Batu Bersinar”, Jero Wacik terus mengembangkan usaha propertynya berikut tiga perusahaan lain yang bergerak di bidang jasa pariwisata yang turut maju dengan pesat.

Sebagai entrepreneur di perusahaannya sendiri, Jero Wacik kini dapat mewujudkan keinginannya untuk dengan bebas mendharmakan ilmunya dengan memenuhi undangan sebagai pembicara atau narasumber di berbagai tempat.

Sementara itu, aktivitas pergaulan Jero Wacik yang luas membawanya pada sebuah pertemuan akrab bersama 4 orang alumni ITB dalam perbincangan santai di tengah lapangan golf yang  memprediksikan nanti di suatu waktu, pasti akan tiba titik akhir masa kekuasaan orde baru yang sekaligus menjadi tanda dimulainya babak baru percaturan politik Indonesia.

Dengan keyakinan itu dan didorong idealisme untuk dapat terlibat dalam pembangunan dan pengabdian pada bangsa di kemudian hari, maka Jero Wacik dan empat kawannya memutuskan untuk masuk ke kancah politik dengan mencari bentuk partai sesuai ideologinya masing-masing untuk diterjuni.

Kendati telah bersama sepakat, namun saat itu Jero Wacik belum menemukan gambaran partai yang tepat dan juga tengah disibukkan dalam pembangunan proyek besarnya berbendera ‘Bali Hills’ yang baru sampai pada tahap pondasi di Nusa Dua.

Alhasil pasca reformasi bergolak, di tangan pemerintahan yang baru, ke empat alumni ITB kawan Jero Wacik, tiga di antaranya telah menempati posisi sebagai menteri dalam kabinet dan satu duduk sebagai anggota DPR.

Sementara Jero Wacik tanpa diusung partai, tak pernah lolos dalam bursa politik baik dalam pemilihan anggota dewan juga dalam kancah seleksi calon Gubernur Bali.

Rupanya rumus politik berlaku adil padanya, kendati dikenal berkualitas dan memiliki integritas tinggi, namun tanpa kendaraan partai, popularitas dan reputasi Jero Wacik belum cukup dapat menariknya ke pusaran elit pemerintahan negeri ini.

Dalam situasi itulah, tepatnya di tahun 2003, akhirnya Jero Wacik menemukan figur yang ‘pas’, sosok SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) yang baru saja membidani lahirnya Partai Demokrat.

Saat itu, figur SBY lah yang dipandang Jero Wacik sebagai teladan dan diyakininya memiliki kepribadian unggul dan tulus sebagai pemimpin bangsa.

Dengan keyakinannya tersebut, Jero Wacik merapatkan diri, menyelaraskan nafasnya pada perjuangan Partai Demokrat bersama SBY dan seluruh kader partai di kancah pemilu untuk mencari pemimpin terbaik bagi Indonesia.

Persis yang diyakini Jero Wacik, ternyata sebagian besar penduduk Indonesia perpendapat yang sama dengannya. SBY mendapatkan kepercayaan rakyat Indonesia untuk menjadi Presiden masa bhakti 2004-2009 di mana dalam jajaran kabinetnya terebut posisi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dipercayakan kepada Jero Wacik seorang pribumi Bali yang santun dan praktisi pariwisata yang dinilai Presiden sebagai orang yang mumpuni menggarap sektor kedua terbesar penyumbang PDB Tanah Air yang juga ditugaskan mengelola pelestarian dan pengembangan kebudayaan Indonesia.

Sekelumit tabir kehidupan Jero Wacik pun mulai dapat terbaca; rupanya dahulu saat Jero Wacik bayi dan mati, Tuhan memilihnya untuk hidup kembali, melalui tangan Guru Titib yang membopongnya lari ke Pura Bukit Mentik, agar kelak setelah bayi ini dewasa dapat mengabdi pada negeri, menggaungkan kemegahan dan kemolekan bumi pertiwi dalam ragam budaya yang memerlukan sosok ksatria untuk melindungi.

Manusia pilihan Tuhan ini kini terbukti, Jero Wacik dalam jabatannya sebagai menteri, mengambil langkah cepat dan berani mencatatkan produk seni budaya dan kekayaan intelektual negeri ke UNESCO, khususnya untuk Batik Indonesia, Keris dan Wayang sebagai warisan budaya asli Indonesia untuk menghindari penjarahan budaya dari negara-negara asing yang tak canggung lagi menyerobot identitas budaya Indonesia untuk diakui.

Keberpihakan Jero Wacik pada dunia budaya Nusantara, berhasil degan pengukuhan batik sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia oleh UNESCO, setelah Wayang dan Keris dikukuhkan UNESCO terlebih dahulu sebelumnya.

Selanjutnya Jero Wacik tetap bertekad akan terus memilih karya-karya budaya Indonesia lainnya yang menasional untuk didaftarkan ke UNESCO sebagai budaya hak milik bangsa.

Kebanggan seluruh rakyat Indonesia pada keberanian dan sikap tanggap Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik tak terbendung lagi, pujian dan terimakasih mengalir bukan saja atas  jasa perlindungan budaya yang dilakukannya, namun lebih hebat lagi, Jero Wacik berhasil membangkitkan pesona budaya menjadi gerakan nasionalis seperti, merubah kesan konvensional pada pakaian batik, yang menyulut kesadaran masyarakat akan batik sebagai produk berkelas hingga melambungkan trend mode berbatik menjadi mode kebanggaan rakyat Indonesia di segala usia.

Di samping prestasinya yang menonjol itu, di tangan Jero Wacik, dengan slogan Ultimate in Diversity, angka pertumbuhan kunjungan wisata ke Indonesia terus meningkat, di samping minat berwisata masyarakat dalam negeri/domestik untuk mengunjungi kawasan wisata lain di Indonesia juga melonjak dinamis menuruti seruan; ‘Kenali Negerimu, Cintai Negerimu’ yang berhasil menggairahkan kembali industri pariwisata Indonesia.

Peningkatan arus kunjungan wisata itu tak henti digiatkannya, termasuk mencanangkan kembali Visit Indonesia Year yang sukses mencetak rekor kunjungan wisata yang belum pernah dicapai pendahulunya selama ini.

Sebut saja pada tahun 2008, jumlah kunjungan wisata mancanegara (wisman) ke Indonesia mencapai lebih dari 6,4 juta dengan total devisa melampaui angka 7,5 juta dollar AS, di mana angka itu merupakan jumlah kunjungan wisman terbesar dalam 20 tahun terakhir.

Sedangkan pada tahun 2009, target kunjungan yang ditetapkan 6,4 juta wisman berhasil terlampaui hingga tutup tahun 2010. Dan kemudian ia teruskan kembali dengan membidik bandrol lebih tinggi di titik target 7 juta wisman di sepanjang tahun ke depan.

Melihat rentetan prestasi yang mengagumkan itu, tak salah bila kemudian setelah Presiden SBY kembali memimpin Indonesia untuk kedua kalinya, pada masa bhakti 2009-2014, Jero Wacik mendapat kepercayaan lagi, menduduki posisi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang langsung disambutnya dengan mendeklarasikan ”Visit Museum Year” disusul dengan kiprah nyata pengembangan destinasi pariwisata, dengan melakukan peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Destinasi Pariwisata di 104 desa di Indonesia berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

Jero Wacik mendapatkan ucapan selamat
secara spontan dari Presiden SBY

Maka jelaslah sudah, Ir. Jero Wacik, SE merupakan sosok yang dipilihkan dan dipersiapkan Tuhan untuk bangsa Indonesia, sosok pilihan yang tepat di waktu yang tepat pula, the right man on the right place, di mana keberadaannya membawa kebangkitan budaya Nusantara yang luntur di tangan generasinya untuk kembali berjaya.  Di mana ia bekerja untuk menunjukkan anugrah Tuhan akan keindahan alam Indonesia pada dunia, dengan mengelola pariwisata tanah air kita, Indonesia Raya.

 

 

 

family picture

DATA PRIBADI

Nama              :           Ir. Jero Wacik, SE
Tempat /
Tanggal Lahir :           Singaraja, 24 April 1949
Agama             :           Hindu
Profesi :           Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Republik Indonesia

Menikah          :           25 April 1976
Nama istri       :           Triesna Wacik
Anak                :           4 orang

Riwayat Pekerjaan :
1992 Present   -  President Director, PT. GRIYA BATU BERSINAR,
Tourism and Hospitality Company, Jakarta
President Director PT. PESONA FBOGA SUARA,
Tourism and Hospitality Company, Jakarta
-          President Director PURI AYU, Interior and
                                Textile Design Production Company, Jakarta

1990-1992    – Director, PT. SURYA RAYA IDAMAN, Hotels, Travel
                                Agent and Golf Course Company, Jakarta

1983-1988    -  Lecture in Marketing, Faculty of Economy
                             University of Indonesia

1983-1990    -  Government Sales Manager PT. UNITED
                               TRACTORS (ASTRA GROUP)

1981-1983    -  ASTRA Manufacturing Team

1980-1983    -  Secretary of Manufacturing Team,
                              PT. UNITED TRACTORS (ASTRA GROUP)

1979-1983    -  Sales Manager of Reconditioned Machines
                             PT. UNITED TRACTORS (ASTRA GROUP)

1976-1979    -  Customer Service Manager PT. UNITED TRACTORS
                             (ASTRA GROUP)

1975-1976    -  Jakarta Brach Service Manager,
                              PT. UNITED TRACTORS (ASTRA GROUP)

1974-1975    -  Assistant Service Manager, PT. UNITED TRACTORS
                           (ASTRA GROUP)

1973                 – A Member of Research Team for Small Textile
                            Industries in West Java
1973-1974    -  Assistant in Fluid Mechanics and Thermodynamics,
                           Mechanical Engineering Department,
                           Bandung Institute of Technology (ITB)
 

Pengalaman berorganisasi :
1.   Member of Success Team for Presidential Election (SBY-JK), 2004
2.   Member of Democratic Party Election Success Team, 2004
3.   Member of Association of Indonesia Sugar Cane Technologist, Since 1982
4.   member of Association of Young Indonesian Businessman Since 1982
5.   Committee of ITB’s Alumni Association (3 periods)
6.   Chairman of Marketing Management Club, FE-UI 1978
7.   A Member of the Indonesian Institute of engineers (PII) 1974
8.   Chairman of Mechanical Engineering, Student, ITB, Bandung 1973
9.   Chairman of Balinese Art Group, ITB, Bandung 1971
10.    Chairman of Planning & Research of Student in Senior High
        School 1968
11.         Chairman of Student in Junior High School 1965

Hobby              : Baca, Traveling
Tokoh Idola     :           Kresna (tokoh pewayangan)
Semboyan       :           Sahabat adalah harta yang paling penting

Pesan   :           Jangan Malas, minder dan sombong. Dan jangan
menjadikan kemiskinan sebagai alasan untuk tidak
maju

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>