Drs. Made Mangku Pastika, MM

gub

BUKAN SEKEDAR HIDUP

 

Rasa tenteram, bahagia dan damai terkadang hadir di kala kita mengenang masa kanak atau suka ria di masa remaja.
Sebaris rasa indah yang ditinggalkan dari kenangan – kenangan yang terekam pada masa yang penuh keceriaan, kehangatan dan kasih sayang orang tua.

Perasaan sebahagia itu, memang tidak semua dari kita mengalaminya, sebagian orang melalui masa kanak dengan cara berbeda.  Mereka hidup di alam kanak – kanak yang akrab dengan kewajiban bekerja dan upaya bertahan hidup di atas kedua kaki kecil mereka.

Keindahan bermain, bermanja dan menikmati kehangatan sebuah keluarga mereka cicipi hanya di kala mata telah terpejam dan mimpi berpihak membawanya ke sana.

Rasa kanak yang demikian inilah yang kemudian mengubah kenangan menjadi nalar,  mengganti hasrat bermanja menjadi kerja, upaya dan usaha untuk menjadikan nyata masa depan yang selalu dipendam di dasar hatinya.

Dan siapa sangka, perjalanan masa kanak – kanak yang getir inilah yang beberapa puluh tahun yang lalu telah menjadi warna kehidupan seorang Made Mangku Pastika.

Sebuah perjalanan panjang yang berawal dari salah satu desa kecil di Singaraja, Bali. Di mana di sanalah I Ketut Meneng seorang pemuda dari desa Patemon kecamatan Seririt yang telah mengabdikan hidupnya sebagai guru dan juga pejuang kemerdekaan terpaksa harus lari dari kejaran Belanda.

Pelariannya yang bermula dari desa Sangket – Sukasada akhirnya ia hentikan setelah tiba  di desa Sanggalangit kecamatan Grokgak, Singaraja. Di sana ia kembali mengajar sebagai guru SR dan tetap terus melanjutkan perjuangannya menentang penjajahan Belanda.

Semangat perjuanganlah yang kemudian mempertemukan I Ketut Meneng dengan seorang gadis asal desa Pengastulan, Seririt bernama Ni Nyoman Kinten yang dikenal juga  sebagai tokoh pejuang wanita di sana.

Pertemuan kedua pejuang itu berakhir dengan pernikahan dan tak lama kemudian, enam tahun setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 22 Juni 1951, lahirlah bayi laki – laki yang diberi nama Made Mangku Pastika.

Dan di zaman itu pulalah, I Ketut Meneng dipercaya pemerintah untuk mendirikan sebuah Sekolah Rakyat (SR)  di desa Musi.

Seiring waktu berlalu, Made Mangku Pastika mulai beranjak kanak – kanak dan mengawali masa belajarnya di SR Musi, di tempat di mana ayahnya menjadi guru tunggal dan kepala sekolah di sana.

Meskipun masih terbilang anak-anak, namun bakat rajin, cerdas dan ketekunannya telah mulai tampak, bagaimana tidak, bagi anak yang masih sekolah setingkat kelas 3 SD, Made Mangku Pastika sudah tertarik untuk membaca dan merampungkan bacaan buku yang berisi kisah dalam tulisan tanpa gambar yang berjudul Ramayana dan Bharata Yudha yang terbilang cukup tebal.

Apalagi di samping itu, bacaan yang menjadi pilihannya adalah “Sket Massa”, sejenis majalah politik di era tahun enam puluhan, yang tentu gaya  bahasa cukup berat untuk dipahami anak seusianya.

Sampai memasuki kelas lima setingkat sekolah Dasar, ayah Pastika berpindah tugas di Kantor Pemilik Sekolah di kota Seririt – Singaraja dan mendapat kenaikan jabatan menjadi Wakil Pemilik Sekolah.

Jadilah Pastika melanjutkan sekolahnya di SR No 3 Bubunan sampai dengan tamat di tahun 1963 dan mengantongi predikat Bintang Pelajar seluruh Bali dengan nilai 9, 9 dan 10 untuk ketiga mata pelajaran pokok, Berhitung, Bahasa dan Pengetahuan Umum.

Pada tahun yang sama, sebuah bencana alam meletusnya Gunung Agung menjadi cikal bakal petualangan hidup yang panjang.

Musibah besar inilah yang kemudian membuka peluang bagi penduduk yang tercatat sebagai Korban Gunung Agung (KOGA) untuk bertransmigrasi.

Sebenarnya kawasan Singaraja, terutama di mana Pastika dan keluarganya tinggal, tidak merasakan dampak berarti dari meletusnya gunung Agung.

Hanya abu tebal yang tampak menyelimuti jalan dan rumah – rumah  sebagai tanda sampainya pesan  yang dibawa oleh angin tentang  kedasyatan letusan Gunung Agung dari sebagian keperkasaan alam.

Ribuan masyarakat terutama dari desa Karangasem terdaftar sebagai transmigran menuju daerah impian baru, begitu juga keluarga I Ketut Meneng dan kelima anaknya.

Namun yang diingat oleh Pastika, keberangkatan keluarganya ke Bengkulu ini hanya karena keinginan ayahnya yang menerima dengan sukarela himbauan dari pemerintah bagi guru yang bersedia untuk mengabdi sebagai tenaga pengajar bagi anak – anak korban gunung Agung di daerah  transmigrasi.

Akhirnya tibalah mereka di Bengkulu Utara tepatnya di desa Rama Agung sebuah tempat yang  lebih pantas disebut hutan (sekarang telah berkembang menjadi kota Arga Makmur, ibu kota Kabupaten Bengkulu Utara).

Di tengah hutan yang baru ditebang inilah, sebuah harapan hidup lebih baik tergambar di balik wajah – wajah transmigran yang usai didera kemalangan musibah Gunung Agung. Namun penderitaan dan kemalangan belumlah usai, sebuah kawasan tanpa sekolah, tanpa pasar, tanpa sarana kesehatan dan tanpa fasilitas yang cukup untuk bertahan hidup, harus dibangun, dicangkul dan ditanami oleh mereka sendiri.

Demikian berat, pahit dan getir perjuangan hidup di tanah impian ini. Tidak kurang dari 3000 orang dari 8000 transmigran mati karena kelaparan dan wabah penyakit ataupun karena malaria.

Jatah bantuan dari pemerintah ternyata tidak selalu sampai ke daerah transmigran, hingga kondisi ini memaksa penduduk memakan apa saja hasil hutan untuk bertahan hidup.

Yang kuat dan mampu untuk menjinakkan lahan dengan bertani ataupun berkebun dapat terhindar dari kelaparan, namun merekapun belum tentu terselamatkan dari malaria ataupun penyakit lainnya.

Sebuah kondisi di mana hidup demikian sulit dan bahan pangan menjadi hal yang utama dibandingkan apapun di sana yang rupanya telah membuat keberadaan sekolah dan kegiatan belajar – mengajar menjadi sesuatu yang sudah tidak lagi dipikirkan, bahkan cenderung diabaikan untuk batas waktu yang tidak menentu.

Bulan demi bulan telah Pastika lalui di antara irama keprihatinan yang teramat sangat berat untuk dilaluinya.  Lapar dan haus, ataupun bekerja keras bukan menjadi masalah yang membebaninya, namun Sang Bintang Pelajar ini begitu tersiksa batinnya melawan rasa kerinduannya pada bangku sekolah dan hausnya akan ilmu pengetahuan  dan pelajaran di dunia pendidikan.

Lambat laun baginya sudah tidak ada lagi yang perlu ditunggu, keinginannya untuk sekolah lebih besar daripada keinginannya untuk hidup. Hidup yang diinginkannya bukanlah sekedar untuk dapat hidup tanpa sekolah, tanpa ilmu tanpa masa depan pasti, namun ia ingin menjadi yang terbaik dan hidup dari anugrah kecerdasan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya.

Sebuah tekad telah merubahnya menjadi berani, ia putuskan untuk menjemput masa depannya sendiri.

Tibalah di saat digelarnnya Pasar atau Pekan mingguan di desa Lubuk Saung, di mana di saat itu Pastika  diminta ibunya untuk menukarkan satu kaleng besar ketela dengan segelas garam ke pasar.

Seperti biasa, Mangku Pastika yang patuh ini segera bergegas melaksanakan perintah ibunya, namun kali ini ia bukan saja membawa ketela dalam kaleng yang telah disiapkan sang ibu, namun ia juga membawa semua surat – surat penting dan ijazah sekolahnya untuk sebuah rencana besar yang telah sekian lama dipendamnya.

Jarak yang cukup lumayan ditempuh Pastika dengan berjalan kaki hingga akhirnya berhasil tiba di pasar di desa Lubuk Saung. Segeralah ia menukarkan ketela yang ia bawa dengan garam pesanan ibunya. Namun kali ini garam itu tidak dibawanya sendiri pulang ke Rama Agung (kampung pemukiman para transmigran), melainkan ia titipkan pada seseorang untuk diserahkan kepada ibunya.

Dengan berbekal keyakinan dan ijazah sekolahnya, Made Mangku Pastika bocah yang baru saja menginjak usia 12 tahun nekad menumpang truk pengangkut karet mentah menuju kota Bengkulu yang ditempuh selama hampir 5 hari perjalanan hanya untuk memulai petualangannya mencari sekolah.

Akhirnya tibalah Pastika di kota Bengkulu, tanpa arah dan alamat yang akan ditujunya, ia kini sebatang kara, rasa lapar dan dahaga mulai mengusik di tengah terik panas yang menyengat. Namun bocah ini terus berjalan mengikuti ke mana langkah kaki membawanya. Dalam benaknya hanya ada “sekolah – sekolah – sekolah, … aku harus sekolah“,…… sampai kemudian semuanya menjadi gelap.

Rupanya ia terkapar pingsan ketika kakinya yang lemah telah jauh membawanya sampai di pemukian warga keturunan Cina, tepat di muka toko Gemilang, milik Oei Thian Hin pedagang kecil yang menjual makanan dan es serut.

Beberapa saat kemudian Made Mangku Pastika sadar dari pingsannya, tubuhnya masih terbaring lunglai, tapi matanya menelusuri mencoba mengenali keberadaannya. Sudut-sudut toko ia pandangi hingga semua kisah perjalanan petualangannya kembali ia ingat seutuhnya.

Selanjutnya setelah mendengar kisah Pastika hingga sampai di kota Bengkulu, pemilik toko yang menolongnyapun tidak sampai hati membiarkan Pastika menggelandang tanpa tujuan. Ia menawarkan Pastika untuk bekerja sebagai pembantu di keluarga Oei Thian Hin dan sebagai upahnya, ia mendapatkan makan dan tempat tinggal.

Tidak ada pilihan lain yang lebih baik dari apa yang dihadapinya, maka dengan senang hati dan rasa syukur, Pastika menerima tawaran itu. Meski ia harus menjadi pembantu, namun ia yakin ini adalah awal dari jalan yang ditemukannya untuk dapat kembali bersekolah.

Sayang di tahun itu Pastika harus kembali menahan keinginannya untuk sekolah karena pendaftaran dan penerimaan siswa baru sudah terlambat dan Pastika hanya bisa mengikuti sekolah di tahun ajaran berikutnya.

Selama masa menunggu tahun yang dinanti tiba, Made Mangku Pastika tetap bekerja dengan giat, mengabdi sebagai pelayan di keluarga Oei Thian Hin, dari menimba air, menyapu, mencuci piring dan mangkok di warung makan majikannya. Hingga iapun kemudian menjadi mahir membuat sirup untuk pemanis es serut yang juga menjadi pekerjaan  rutin yang tidak pernah ia tinggalkan.

Bila malam tiba, kenangan masa lalu di desa Grokgak Singaraja, di kala ia begitu dihormati dikampungnya sebagai anak seorang guru dan pejuang yang disegani senantiasa datang tak diundang, dan selalu saja kenyataan keadaanya kini membuat hatinya menjadi berdesir getir, air matanya meleleh satu persatu membasahi bantal tidurnya.  Bayangan wajah lembut sang ibu dan kebersahajaan ayahnya acap kali menyelinap di pelupuk matanya dan mengkristal menjadi derai isak tangis dan ratapan yang seolah telah menjadi doa hati sehari – hari dalam bahasa bocah petualang ini.

Kemudian setelah malam begitu larut dan Pastika telah terlelap tidur meringkuk beralaskan tikar menjumpai mimpinya semuanyapun kembali menjadi hening dan sepi hingga pergantian hari tiba di pagi buta dan antrian pekerjaan rutinpun sudah menunggu sentuhan tangan mungilnya.

Penantian panjang itupun membuahkan hasil, di tahun yang ditunggu-tunggu akhirnya Made Mangku Pastika pun diterima sekolah di SMP Negeri Pasar Minggu dengan beasiswa pemerintah bagi anak miskin dengan prestasi belajar seperti Pastika. Sebuah masa depan seolah telah berhasil digenggamnya, tinggal usaha dan kerja yang lebih keras lagi harus sanggup dijalaninya, bila ia ingin hidupnya memiliki arti dan bukan sekedar hidup saja.

Meskipun ia sudah harus sekolah, namun pekerjaannya seperti biasa tidak satupun boleh terlupa. Oleh sebab itulah, di kala matahari belum lagi menampakkan sinarnya Made Mangku Pastika harus sudah menyiapkan segala keperluan majikannya, termasuk juga kesiapan perkakas dan sirup untuk keperluan warung makan.

Bila semuanya telah tuntas, barulah dengan sekuat tenaga, Pastika berlari menuju sekolah dan selalu saja tiba terlambat dan terpaksa menerobos masuk di tengah berlangsungnya pelajaran.

Meskipun guru–guru telah memaklumi keadaan Mangku Pastika namun olok–olok kawan-kawannya memanggil  “tukang es lewat, …..  hai, ….. tukang es lewat”  selalu mengiringi langkahnya masuk ke dalam kelas hingga ia duduk dikursinya.

Sepulang sekolah pekerjaan telah menantinya, namun ada kalanya ia dapat sedikit kesempatan belajar manakala salah satu anak majikannya yang sekolah setingkat dengannya di SMP Sint Carolus, sekolah swasta favorit di Bengkulu meminta Pastika menyelesaikan Pekerjaan Rumah (PR) dari sekolahnya dan sebagai gantinya pekerjaan Pastika menimba air memenuhi bak mandi digantikan dengan sukarela oleh anak majikannya.

Kesempatan berharga ini digunakan sebaik – baiknya bagi Pastika untuk belajar dengan sungguh – sungguh, dan berusaha keras menjawab satu persatu soal pekerjaan rumah yang kesemuanya adalah pelajaran yang belum pernah diajarkan di sekolah Pastika di SMPN Pasar Minggu.

Berkat kesempatan belajar dan mempelajari pelajaran dari sekolah anak majikannyalah, Made Mangku Pastika menjadi semakin tampak menonjol di sekolahnya. Maka  tidak heran bila setiap penerimaan rapor Pastika selalu menjadi juara satu di kelasnya dan untuk prestasinya itu, ia mendapatkan hadiah buku tulis dari gurunya.

Buku tulis hadiah yang diperoleh karena prestasinya ini ia simpan baik – baik dan hanya dipergunakan Pastika untuk kepentingan ujian atau ulangan sekolah saja.

Maklumlah harga buku tulis di saat itu memang sangat mahal bagi Mangku Pastika, oleh sebab itulah untuk sekedar  catatan pelajaran di sekolah sehari – hari, Pastika memanfaatkan lembar sisi putih dari  balik kertas bekas bungkus rokok yang dikumpulkan dengan rapi dari warung  Oei Thian Hin dan kumpulan kertas – kertas itu dijadikannya buku catatan.

Begitu cermat dan setia Pastika menjalani tekadnya untuk dapat sekolah dan menjadi yang terbaik di sekolahnya. Semua hal rela ia lakukan asalkan itu semua dapat menunjang pendidikannya. Seperti di masa pasca G30S di mana di sana – sini terjadi demonstrasi luar biasa dari para mahasiswa dan pelajar di lapangan berkumpul meneriakkan yel – yel silih berganti, di saat itulah Pastika dengan bergegas berlari menuju ke pabrik pembuatan es lilin dan membawa dua termos penuh es lilin untuk kemudian dijual kepada para demonstran yang telah kehausan setelah berteriak – teriak membacakan orasinya.

Hasil menjual es itulah yang kemudian dikumpulkannya sedikit demi sedikit sampai dapat digunakan untuk membeli sepatu alat tulis dan keperluan sekolah lainnya.

Dua tahun lebih lamanya ia melakoni hidup sebagai pembantu di keluarga  Oei Thian Hin, sementara I Ketut Meneng ayahnya rupanya juga tidak tahan pada kehidupan sebagai transmigran dan memilih pindah bekerja di Palembang sebagai tukang kebun dan tenaga kebersihan (cleaning service) di Akademi Pemerintah Dalam Negeri.

Selama menjadi tenaga kebersihan itulah, I Ketut Meneng mendengar perselisihan mahasiswa APDN pada sebuah materi pelajaran tertentu, di saat itulah tanpa ada maksud menggurui Ketut Meneng memberikan jawaban yang benar dari apa yang tengah mereka debatkan. Tentu hal ini membuat kedua mahasiswa itu tercengang dan menelusuri latar belakang si Tenaga Kebersihan yang tidak lain adalah mantan kepala sekolah di Bali itu.

Berbekal informasi itulah, salah seorang mahasiswa yang memiliki relasi di Dinas Pendidikan di Palembang membantu mengurus status kepegawaian I Ketut Meneng.

Untunglah status I Ketut Meneng tercatat sebagai pegawai yang cuti di luar tanggungan Negara,  dan tidak lama setelah status kepegawaiannya di urus kembali, I Ketut Meneng kembali diangkat menjadi Kepala Sekolah di SDN 47, Sekojo, 2 Hilir, Palembang yang jumlah guru pengajarnya mencapai puluhan orang.

Adapun tempat tinggal untuk sang kepala sekolah, sementara dibangun di bekas lahan tempat parkir sepeda di sekolah itu  yang di rombak menjadi sebuah rumah sederhana.

Mendengar kabar baik itu, Made Mangku Pastika memutuskan untuk pindah dari Bengkulu ke Palembang menemui ayahnya yang kini telah memiliki alamat tetap yang dapat dituju. Apalagi sebelumnya ia juga telah mengetahui bahwa dirinya  telah memiliki adik perempuan yang lahir di saat ayah ibunya masih di kampung transmigran di desa Rama Agung.

Setelah penerimaan rapor kenaikan kelas dari kelas II ke kelas III SMP,  tibalah saatnya bagi Pastika untuk memenuhi rasa rindu pada keluarganya dengan berniat pindah ke Palembang.

Akhirnya dengan segenap rasa terimakasihnya, ia berpamitan dengan keluarga  Oei Thian Hin dan para tetangga di sekitar kediamannya yang dalam perpisahan itu salah satu di antara mereka memberi kenang – kenangan Pastika sebuah sepeda.

Berangkatlah  Pastika yang baru berusia 14 tahun, dengan sepedanya dari Bengkulu menuju Lubuk Linggau.  Perjalanan jauh yang kedua dan dilakukannya seorang diri. Setibanya di Lubuk Linggau iapun melanjutkan perjalanannya dengan kereta api dan turun di Kertha Pati, namun sebelumnya Mangku Pastika sempat membeli durian di Baturaja yang digantungkan di batang sepeda untuk sekedar buah tangan bagi keluarganya nanti.

Kertha Pati yang posisinya berada di seberang hulu sungai Musi yang dihubungkan jembatan Ampera untuk menuju ke hilir memang lumayan jauh bila ditempuh hanya dengan berjalan kaki hingga sampai ke Palembang.

Namun melihat ramain lalu lintas di sana, Made Mangku Pastika tetap memilih menuntun sepedanya sambil menelusuri jalan di kesegaran pagi yang mengiringi pencahariannya mencari alamat tujuan.

Setelah bertanya – tanya di sepanjang jalan, akhirnya di kala matahari mulai beranjak terbenam, dan langit mulai meredup gelap Mangku Pastika berhasil sampai memasuki gerbang SDN 47 Palembang. Pelukan hangat keluarganya dan tangisan rindu sang ibu membuatnya sadar dan bersyukur bahwa ia telah sungguh – sungguh berada di rumah.

Kembali utuh dalam sebuah keluarga adalah masa yang begitu indah dalam kenangan Pastika.

Di kota inilah Made Mangku Pastika semakin bersemangat untuk memulai kembali mengejar prestasi di sekolah dan melanjutkan pendidikannya di SMP 4 Palembang yang lokasinya berada di jalan Duku yang berjarak 6 km dari tempat tinggalnya,  namun kali ini jarak sejauh itu ia tempuh dengan mengendarai sepeda kenang-kenangan yang dibawanya dari Bengkulu.

Di masa itulah Made Mangku Pastika juga mengikuti Ujian Persamaan Sekolah Guru Bawah (UPSGB) dan berhasil lulus berijazah. Sehingga setelah lulus SMP dan duduk di bangku SLTA, Made Mangku Pastika sudah mulai mengajar sebagai guru honorer menggantikan guru – guru wanita yang cuti hamil atau melahirkan. Jadilah kesibukan yang sangat padat mengisi hari – hari Pastika. Di pagi hari ia sekolah sebagai siswa SMA, di sore hari ia mengajar sebagai guru SD di SDN 47 dan di malam hari ia kursus bahasa Inggris di Sailendra English Institution dan pada hari minggunya ia memilih memberi les seorang anak tentara, tetangganya yang masih menjadi siswa SMP.

Dasar memang punya bakat cerdas, Mangku Pastika hanya mengikuti kursus bahasa Inggris selama satu tahun saja, karena tahun berikutnya, tepatnya di saat ia sudah duduk di kelas dua SMA, Made Mangku Pastika telah diangkat sebagai guru pengajar di tempat kursusnya, dan salah satu muridnya dahulu yang ia masih ingat sampai kini adalah Tantowi Yahya yang sekarang telah menjadi presenter  terkenal di Indonesia.

Karena kesibukannya yang cukup padat dan juga kecerdasan serta kepandaian Mangku Pastika yang menonjol di sekolah yang kemudian membuat ia dipercaya untuk bebas  tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) dari sekolah oleh para gurunya. Akan tetapi walau demikian Mangku Pastika tidak pernah salah bila ditunjuk di muka kelas sewaktu – waktu untuk mengerjakan soal – soal PR yang manapun ditugaskan oleh para gurunya.

Begitu kesibukannya terus menerus dilalui dari hari ke hari hingga tamat SMA dengan predikat sangat memuaskan.  Kala itulah Mangku Pastika berhasrat untuk melanjutkan sekolah ke Jenjang Perguruan Tinggi di Universitas Kedokteran. Sepertinya ia telah menentukan arah hidupnya untuk menjadi seorang dokter.

Namun kali ini cita – citanya urung ia teruskan setelah ayahnya menyadarkan betapa besarnya biaya kuliah untuk menjadi dokter. Dengan arif, ayah yang dikagumi Pastika sebagai laki – laki serba bisa itu menyarankan untuk melanjutkan sekolah di IKIP dan kelak mungkin akan menjadi dosen atau guru besar.

Sesungguhnya bayangan menjadi seorang guru juga merupakan cita – cita yang  diingini Made Mangku Pastika. Sebuah profesi yang sungguh menggambarkan wujud wibawa dan kepandaian sebagaimana sosok ayahnya yang begitu pandai menguasai berbagai bahasa dengan pengetahuan umum yang demikian luas dan kebisaan – kebisaan lainnya yang begitu saja dapat dikuasai sang ayah, termasuk kemampuan ayahnya sebagai Dukun Beranak (orang yang membantu persalinan di desa – desa) yang biasa menolong warga kampungnya bila ada yang hendak melahirkan, termasuk ke empat saudara Pastika yang semuanya lahir dengan penanganan ayahnya sendiri.

Dan kekagumannya pada figur sang ayahlah yang menjadikan tujuan citanya menjadi guru semakin ia yakini sebagai tujuan hidupnya kini.

Sampai pada suatu hari, datanglah Izzadin teman satu bangku di SMA yang meminta tolong Pastika untuk mengantarkan ke tempat pendaftaran AKABRI Kepolisian di kantor Komando Daerah Kepolisian (KOMDAK, sekarang disebut POLDA) untuk sekedar mengambil formulir pendaftaran.

Berangkatlah Pastika dan Izzadin ke KOMDAK yang letaknya tepat bersebelahan dengan  Sailendra English Institution tempat Mangku Pastika mengajar kursus bahasa Inggris.

Setibanya di sana lagi – lagi Izzadin meminta tolong Mangku Pastika untuk mengambilkan formulir untuknya. Rupanya petugas di bagian pengambilan formulir itu adalah seorang laki-laki berpangkat Kapten bermarga Sihombing. Dari kejauhan raut wajahnya memang tampak garang lengkap dengan kumis tebal melintang yang menambah seram penampilannya.  Namun dengan ramah Pastika menghampirinya dan menyampaikan maksudnya untuk mengambil formulir pendaftaran untuk temannya dan sekaligus dirinya.  Tanpa berbelit-belit formulir pendaftaran itupun telah berada ditangannya dan dengan maksud hanya sekedar menemani Izzadin mengisi formulir pendaftaran di AKABRI Kepolisian, Made Mangku Pastika pun turut mengisi butir – butir dalam format pendaftaran dan turut mengumpulkannya.

Sesampainya di rumah, Pastika menceritakan perihal pendaftaran dirinya untuk mengikuti test  ujian AKABRI Kepolisan kepada ayahnya. Diluar dugaan, mendengar apa yang dituturkan Mangku Pastika, sang ayah menjadi sangat gembira dan bersemangat melengkapi surat – surat keterangan sebagai syarat kelengkapan peserta pendaftaran.

Satu minggu kemudian, melihat antusias ayahnya, Made Mangku Pastika pun meneruskan langkahnya dengan mengikuti ujian fisik yang sebenarnya hanya sekedarnya saja ia lakukan.

Satu per satu test fisik ia jalani dan selama itulah Pastika semakin hari semakin tidak yakin dirinya dapat diterima di AKABRI Kepolisan mengingat dalam rangkaian ujian fisik yang dilaluinya ia merasa tidak sebaik para peserta lainnya dan meski pada akhirnya nanti ia tidak diterima, Pastika sama sekali tidak akan merasa kecewa, mengingat cita – cita yang ditujunya adalah menjadi seorang guru besar atau dosen di sebuah Universitas terkenal.

Namun penilaian belumlah berakhir,  serangkaian test kemudian  dilanjutkan dengan uji otak melalui ujian tertulis tentang ilmu pengetahuan yang semuanya dapat dilewati Pastika dengan sempurna. Bahkan di ujian bahasa Inggris, Mangku Pastika telah selesai menjawab semua pertanyaan dalam lembar ujian di saat ujian baru saja di mulai. Tidak satupun soal dalam ujian baik yang bersifat Pasti Alam termasuk segala macam ilmu ukur yang tidak dikuasai oleh Pastika, semuanya mampu ia jawab dengan tepat dan benar.

Dan diluar dugaan, meski rangkaian test fisik Made Mangku Pastika kurang memuaskan namun dengan nilai ilmu pengetahuan yang termasuk sempurna, akhirnya iapun lolos sebagai salah satu 33 wakil dari Sumatra Selatan yang berhasil lulus ujian daerah untuk  berangkat ke Sukabumi menempuh Ujian Nasional dengan seleksi lebih ketat dan jumlah pesaing yang lebih banyak karena datang dari seluruh Indonesia yang dari kesemuanya hanya dipilih 300 orang yang terbaik.

Serangkaian Ujian kembali ia lalui dengan sungguh – sungguh dan hasilnya dari 33 wakil Sumatera Selatan hanya tinggal 10 orang yang lulus ujian dan  itu di dalamnya tercantum nama Made Mangku Pastika yang berhasil menjadi salah satu  Calon Taruna AKABRI dan diberangkatkan ke Magelang tepatnya di tahun 1970, untuk menempuh masa pendidikan selama satu tahun untuk kemudian di tingkat 2,  semua calon taruna mulai ditempatkan sesuai jurusannya masing – masing, sedangkan Made Mangku Pastika yang memilih jurusan Kepolisian, harus melanjutkan pendidikannya di Sukabumi.

Pendidikan di dalam Akademi Kepolisian (AKPOL) memang cukup keras dan disiplin, banyak para Taruna yang merasa tidak betah dan tersiksa melaluinya, namun hal ini berseberangan rasa dengan Mangku Pastika. Ia menganggap pendidikannya di AKPOL ini seolah surga baginya.  Selain pasokan makanan yang bergizi dan segala kebutuhan hidup yang juga total dipenuhi dan dibiayai Negara, serta kesehatan yang dijamin ditambah mendapat uang saku yang seolah-olah merupakan kenikmatan luar biasa dibanding apa yang telah dialami, dijalani dan dilaluinya di kala ia rela menjadi pembantu keluarga Oei Thian Hin hanya untuk dapat sekolah di  SMP Pasar Minggu Bengkulu.

Kepandaian Mangku Pastika di kalangan senior – senior AKPOL di asrama pun mulai cepat menyebar. Hingga kemudian para seniornya meminta Mangku Pastika untuk memberikan les privat pada waktu – waktu tertentu khususnya dalam bidang bahasa Inggris, namun untuk yang satu ini dilakukannya dengan cuma – cuma tanpa tarif.

Di lain kesempatan Mangku Pastika juga aktif dan menyibukkan diri sebagai pengasuh majalah para Taruna dan dalam kesibukannya inilah ia acapkali mengisi jatah waktu libur pesiarnya dengan menulis untuk artikel – artikel  majalah Taruna.

Akan tetapi memang adakalanya Made Mangku Pastika memanfaatkan libur pesiarnya dengan mengunjungi rumah sahabatnya sesama Taruna yang tengah pulang ke Jakarta.  Di rumah temannya inilah Pastika kemudian mengenal Ni Made Ayu Putri, adik kandung  Made Suardana yang selanjutnya dari beberapa pertemuan di waktu-waktu libur pesiar lainnya telah menjadikan keduanya berubah akrab.

Pada tahun 1975, setelah dinyatakan lulus dari Akademi Kepolisian, Mangku Pastika yang kemudian berpangkat Letnan Dua Polisi ditugaskan sebagai DANTON & DANKI BRIMOB di Jakarta.

Tidak lama kemudian, Pastika membulatkan niat untuk meminang Ni Made Ayu Putri dan kemudian segera melangsungkan pernikahan.

Setelah menikah, tepatnya di tahun 1977, Pastika mengikuti beberapa test untuk di pilih sebagai Ajudan Menhankam Pangab, dan seperti biasa Pastikalah yang keluar dengan hasil terbaik dan segera mengemban tugas sebagai ADC MENHANKAM / PANGAB sampai dengan tahun 1981.  selanjutnya sederet jabatan – jabatan penting pernah dipercayakannya hingga sampai pada suatu cerita, tepatnya di hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2002, sebuah tragedi besar terjadi dengan meledaknya dua Bom di Bali.

Kala itu ia tengah berada di Timika, Papua Barat  dalam rangka penanganan kasus tewasnya beberapa karyawan Free Port. Di sanalah, pada tanggal 16 Oktober 2002 ia kemudian dihubungi oleh KAPOLRI  Dai Bachtiar untuk memimpin tim investigasi.

Terpilihnya Inspektur Jendral Polisi Drs Made Mangku Pastika MM sebagai pemimpin tim investigasi ini memang berdasarkan dari tiga pertimbangan yang antara lain adalah yang pertama di sebabkan karena ia adalah orang Bali yang tentu memiliki komitmen yang tinggi untuk membongkar para pelaku pengeboman dan yang kedua dikarenakan Pastika adalah seorang reserse yang handal dalam melakukan tugas investigasi, adapun yang ketiga adalah karena ia pernah bersekolah di Australia di mana dalam kasus Bom Bali banyak korban  yang berasal dari Australia di mana diharapkan dapat membangun opini positif bagi rakyat Australia dan masyarakat dunia pada umumnya bahwa Made Mangku Pastika akan bergerak cepat dan bekerja sungguh – sungguh mengungkap peristiwa bom Bali.

Akhirnya pada tanggal 17 Oktober 2002 tibalah Made Mangku Pastika di Bali, dan laki – laki terbaik ini segera menyatukan tekad untuk dapat mengungkap para pelaku di balik tragedy ini meski apapun yang akan terjadi.

Bagi diri Mangku Pastika tugas ini adalah suatu Swadharma kehidupan yang juga kehormatan dan kepercayaan yang sangat tinggi yang harus dapat dituntaskan tanpa alasan apapun, mengingat kasus ini telah menjadi sorotan dunia dan juga membawa citra Negara.

Dengan strategi penyelidikan yang professional  dan optimalisasi metode Scientific Crime Investigation (Penyidikan Pidana Secara Ilmiah), dan juga tidak terlepas dari doa dan dukungan seluruh masyarakat, akhirnya Mangku Pastika dan tim berhasil menangkap satu persatu pelaku pengeboman di Bali dalam waktu relative singkat, dan kini mereka telah diadili dan di jatuhi hukuman oleh pengadilan.

Sontak keberhasilan sosok Made Mangku Pastika menjadi sohor di seluruh pelosok negeri bahkan namanya menghiasi hampir di seluruh media di Dunia yang menceritakan kesigapannya dengan metode cerdas yang juga tidak mengesampingkan dan tetap menghormati upaya dan bantuan negara – negara sahabat dan dunia internasional.

Kepiawaian dan kebersahajaannya inilah yang kemudian disyukuri segenap masyarakat Bali karena kemudian di tahun 2003, Irjen Polisi Drs Made Mangku Pastika MM dilantik sebagai Kepala Kepolisian Daerah (KAPOLDA) Bali.

Saat menjabat sebagai KAPOLDA di Bali, selain Pembangunan Kapasitas Keamanan di Bali, Made Mangku Pastika telah membuat tiga titik utama yang menjadi fokus utama yaitu pemberantasan Judi, termasuk  juga tajen (sabung ayam), kemudian pemberantasan prostitusi dan perang terhadap Narkoba.

Ketiga rumusan inilah yang kemudian berhasil ia sampaikan kepada tokoh–tokoh dan masyarakat Bali hingga bersama bersatu melangkah serius memberantas ketiga titik penyakit masyarakat ini (Judi, Prostitusi dan Narkoba).

Sebagai pemeluk ajaran Hindhu yang taat dan aparat penegak hukum, Mangku Pastika menyerukan kepada masyarakat bahwa ia tidak menginginkan Bali menjadi pulau judi, dan juga pulau prostitusi ataupun pusat peredaran Narkoba, sehingga apapun yang terjadi, Mangku Pastika akan berada di garda terdepan memberantasnya, dan tidak lagi segan bertindak tegas pada siapapun yang tetap membiasakan diri pada tiga maksiat; judi, prostitusi, Narkoba dan tindakan-tindakan melanggar hukum lainnya.

Kepemimpinannya yang tegas dan keberhasilan Mangku Pastika dengan kesantunannya merangkul krama Bali untuk bersama memelihara kelestarian Bali pada titik ketentraman, aman dan kesakralan religius yang hakiki jelas sekali menunjukkan komitmen pribadinya pada kejayaan Bali.

Cinta, perhatian dan kepemimpinan luar biasa KAPOLDA Bali ini pada bumi pertiwinya, ternyata berbekas meninggalkan kesan mendalam bagi masyarakat pulau Dewata, di mana dalam kancah PILKADA Bali 2008, Drs. Made Mangku Pastika, MM dipilih masyarakat Bali menjadi Gubernur pilihan rakyat pertama di Bali.

Sebagai seorang Gubernur dengan jargon Bali Mandara yang menghidupkan bara semangat membangun Bali, Made Mangku Pastika, menyempurnakan bhaktinya, memakmur sentosakan rakyat Bali dan membawa Bali menuju lestari, aman dan sejahtera di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dan memasuki tahun 2013 dalam sebuah pesta demokrasi secara langsung, Made Mangku Pastika kembali terpilih sebagai Gubernur Bali yang menandakan bahwa kecintaan dan kepuasan rakyat Bali terhadap kinerja dan kepemimpinannya cukup tinggi. Kemenangannya sebagai Gubernur Bali dalam dua perioda ini memang terkesan luar biasa, mengingat Made Mangku Pastika yang mengusung icon PASTI KERTA berhasil unggul dari pasangan AA Puspayoga dan Sukrawan yang diusung partai terkuat di Bali PDIP.

Pada Pilkada kali ini, Made Mangku Pastika yang berpasangan dengan Ketut Sudikerta yang duduk sebagai wakil Gubernur juga berhasil memenangkan pergulatan opini di tengah bombardir pemberitaan miring yang dilakukan salah satu media di Bali secara terorganisir dan terus menerus.

Made Mangku Pastika (Gubernur Bali 2013-2018)
bersama Ketut Sudikerta (Wakil Gubernur Bali 2013-2018)

Kemenangan Made Mangku Pastika ini menunjukkan masyarakat Bali cerdas dan tidak terprovokasi fitnah yang secara jelas mengesankan arogansi pribadi pemilik media yang merasa mampu menggiring pola pikir rakyat Bali pada ambisinya untuk menjatuhkan dan merusak citra pemimpin yang sesungguhnya dicintai rakyatnya.

Sebagai Gubernur Bali sampai perioda 2018, Made Mangku Pastika menegaskan bahwa ke depan program-program kesehatan dan pendidikan gratis bagi rakyat akan terus ditingkatkan dan masyarakat Bali akan terus berjalan menuju kemakmuran Bali seiring dengan pembangunan dalam program Bali Mandara yang dirasakan dampak nyatanya oleh masyarakat.

Semua itu dengan keras Mangku Pastika wujudkan untuk memberikan arti besar dari perjalanan hidupnya, menorehkan sejarah bagi kemakmuran Bali yang madani, sejahtera, tidak ada lagi kemiskinan, dan semua anak dapat sekolah tanpa harus mengenyam pahitnya hidup seperti yang ia jalani sewaktu kecil demi dapat bersekolah.

Dengan keberadaannya kini di pucuk kepemimpinan pemerintahan di Povinsi Bali, Made Mangku Pastika ingin totalitas mengabdikan hidupnya untuk memberi arti yang sempurna.

Sebuah teladan, petuah dan himbauan yang dititipkan seorang Made Mangku Pastika, kepada rakyatnya tidak lain hanya tumbuh dan terketuklah seluruh insan di Bali untuk membangun jati dirinya sebagai orang Bali yang melakoni swadharma kehidupannya dengan sebaik-baiknya dan hidup BUKAN HANYA SEKEDAR HIDUP.

 

DATA PRIBADI

Nama           : Drs. Made Mangku Pastika, MM
Tempat/
Tanggal lahir   :          Sanggalangit, 22 Juni 1951
Jenis Kelamin  :                                     Laki – laki.
Agama          :  Hindu
Profesi          :              GUBERNUR BALI

Riwayat Pendidikan :
-   SR th 1963 (SR No. 3 Bubunan, Seririt)
-   SMP 1967 (SMP Negeri 4 Palembang)
-   SMA 1970 (SMA Negeri 2 Palembang)
-   Magister Manajemen 1997 (Jakarta)

Riwayat Pendidikan Tambahan/ Pendidikan Kursus Singkat :
-   AKABRI  Kepolisian 1974
-   PTIK 1984
-   SESKOAD 1991
-   SESKO ABRI 1997
-   International Criminal Investigation, Jepang 1987
-   Counter Disaster Training Course, UK 1992
-   Management of Serious Crime, Australia, 1993

Ketrampilan bahasa Asing     :           Inggris, Cina

Riwayat Pangkat :
-   Letnan Dua Polisi (1974)
-   Letnan Satu Polisi (1977)
-   Kapten Polisi (1981)
-   Mayor Polisi (1984)
-   Letkol Polisi (1990)
-   Kolonel Polisi (1997)
-   Brigjen Polisi (1999)
-   Irjen Polisi (2001)

Riwayat Jabatan :
-   DANTON & DANKI BRIMOB (1975– 1977)
-   ADC MENHANKAM PANGAB (1977– 1981)
-   RESERSE POLDA METROJAYA (1984– 1986)
-   KAPOLSEK TAMBORA (1986 – 1988)
-   KASAT IDIK VC MABES POLRI (1992– 1994)
-   KAPOLRES JAKARTA BARAT (1994– 1995)
-   WAASRENA KAPOLDA METROJAYA (1995 –1996)
-   KADEP KERSIN NCB / INTERPOL (1997)
-   DIR SERSE EKONOMI MABESPOLRI (1997 – 1999)
-   DIR SERSE TIPITER MABES POLRI (1999 – 2000)
-   SES NCB INTERPOL (2000)
-   KAPOLDA NTT (2000 – 2001)
-   KAPOLDA IRIAN JAYA (2001 – 2002)
-   WAKABARESEKARANGIM POLRI (2002 – 2003)
-   KAPOLDA BALI (2003 s/d 2008)
-   GUBERNUR BALI (2008 s/d 2013)

Data penugasan
Keluar negeri  :           Australia, USA, Japan, Singapore, Korea, UK, PNG
Germany, Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar,
Namibia New Zealand, Hongkong, Cina.
Bintang Jasa/
Tanda Kehormatan :
-   Satya Lencana Seroja
-   Satya Lencana Satria Tamtama
-   Satya Lencana Santi Darma
-   United Nation Peace Medal
-   Bintang Bhayangkara Nararya
-   Bintang Bhayangkara Pratama
-   Bintang Bhayangkara Pratama Prestasi
-   Jana Utama
-   Australian Order

Menikah                      :           23 Februari 1977
Nama istri    : Ni Made Ayu Putri
Jumlah Anak : 3 orang

Pesan                  :        Bangun jati diri sebagai orang Bali dan lakoni
swadharma kehidupan dengan sebaik-baiknya
untuk membangun bangsa dan negara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>