Cahaya Wirawan Hadi

CAHAYA+WH+1

LAHIR KARENA CINTA

 

Cinta adalah sesuatu yang tidak dapat tergantikan oleh apapun juga. Tiada satu pengorbananpun yang senilai untuk melebur ‘Cinta.’ Memilikinya terkadang menjadikan manusia mampu melakukan apa saja dan bahkan mempercayainya dapat menghidupkan keberanian dan kekuatan yang luar biasa untuk memadamkan kobar segala rintangan yang menyala-nyala.

Dan cinta lah juga yang kemudian akan menunjukkan kuasanya, bagi mereka yang teguh dan setia membelanya.

Mungkin tak banyak orang mempercayai akan kekuatan cinta, dan mungkin banyak yang tidak mempedulikan akan hadirnya cinta. Namun itu tidak bagi ‘Tjan Tian Hong’, pemuda Bali berdarah Tionghoa ini, benar-benar meyakini, bahwa hidupnya berarti karena cinta.

Tjan Tian Hong dan masa kecilnya memang penuh dengan kisah getir, manis dan pahit yang memupuknya dewasa. Ia lahir di lubuk kota kecil Klungkung, Sabtu Kliwon, 3 Oktober 1953 silam, di tengah keluarga etnis keturunan yang hidup dari menjalankan usaha dagang suku cadang kendaraan di zaman itu.

Tjan Soen Yang ayahnya dan Tjoa Giok Swie ibunya memang tidak dalam kekurangan, namun keduanya sepakat untuk mendidik anak-anaknya dengan memperkenalkan kehidupan nyata yang menuntut kerja keras kendati itu harus dimulai sejak usia mereka terbilang sangat belia.

Di sinilah awal dari semua kisah itu bermula bagi Tjan Tian Hong.

Semenjak ia dilahirkan, seorang anak bernama ‘Rodet’, berusia sekitar 9 tahun yang dipekerjakan dan dipercaya ibunya sebagai pengasuh, lebih sering ia lihat mengurus dan menemani kesehariannya dibanding sang ibu yang tidak banyak mempunyai waktu karena harus turut bergelut dengan kesibukan ayahnya di toko yang menjadi tulang punggung keluarga.

Di kala itu Tian Hong memang anak pedagang yang cukup maju, namun itu tidak berarti memudahkannya mendapat uang jajan seperti anak-anak sebayanya.

Ayah ibunya tidak akan memberi uang dengan percuma tanpa melihat Tian Hong mengambil suatu pekerjaan yang dinilai pantas dengan jumlah uang yang dimintanya.

Bekerja adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh uang jajan bagi Tjan Tian Hong kendati saat itu ia baru duduk di awal sekolah dasar di SD Negeri 4 Klungkung.

Walau masih tergolong bocah, Tian Hong sudah mengerti benar bagaimana sulitnya mendapatkan uang.

Karenanyalah ia sering terlihat tergopoh mencuci mobil ayahnya atau membersihkan barang-barang di toko dengan kedua tangan mungilnya di waktu di mana ia seharusnya tengah bermain di luar sana.

Bahkan Tian Hong ingat benar bagaimana ia baru mendapatkan ganti sandal usangnya yang hanya tinggal tersisa 2/3 bagian saja setelah kakinya tertusuk pecahan kaca dan mendapat 27 jahitan.

Itu semua memang sebuah ironi, namun justru dari sanalah Tjan Tian Hong kemudian mulai terasah tekadnya untuk menghasilkan rupiah dengan bekerja.

Dengan tekad itulah, tanpa sepengetahuan ibunya, Tian Hong lalu mencoba menjadi penjaja es lilin di sekolahnya.

Tidak ada rasa malu dan canggung di benak Tian Hong menenteng termos melakoni niatnya sebagai penjual es, meski ia dikenal bukan anak dari keluarga miskin.

Saat lonceng tanda waktu istirahat terdengar nyaring, para anak berhamburan keluar untuk bermain, dan sebagian yang lain berlarian dengan gelak tawa yang ramai melepas rasa penat selama mengikuti pelajaran. Namun Tian Hong tak terlihat ikut dalam keramaian sorak sorai itu.

Saat itulah ia memanfaatkan kesempatan sempit ini untuk menjual es lilin kepada kawan-kawannya sendiri di sekolah.

Usahanya ini ternyata menghasilkan uang yang lumayan juga, apalagi esnya sering kali habis terjual hingga itu berarti Tian Hong dapat dengan lega mengantongi laba yang diperolehnya hasil dari tetes keringatnya sendiri.

Rutinitas ini berlangsung beberapa bulan lamanya, sampai pada suatu ketika, di mana siang itu, Tian Hong belum juga berhasil menjual habis es dagangannya dalam termos.

Tak merasa yakin pada tempatnya berjualan, Tian Hong memutuskan pindah mendekati keramaian anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan sekolah. Di sanalah, di lapangan itu, Tian Hong lalu duduk bersebelahan dengan termosnya menunggu kalau-kalau para pemain ada yang kehausan dan lalu tertarik membeli es yang ia bawa.

Belum lama di sana, sebuah bola yang ditendang keras meluncur ke arahnya, dan “Praaaang..!!!” nasib sial tak terhindarkan, termos yang dibawanya pecah.

Seketika itulah, dunia menjadi gelap dalam pandangan Tjan Tian Hong, harus bagaimana ia mempertanggung jawabkan termos dan es dagangannya pada pemilik usaha es yang sudah mempercayainya berjualan.

Tidak ada pengharapan apa-apa, selain ia hanya bisa tertunduk dengan isak tangisnya yang tak terhenti.

Air matanya terus berlinang, bahkan hingga saatnya pulang sekolah dan waktu menjelang senja tiba, ia masih tiada beranjak dari lapangan tempat di mana kemalangan menimpanya. Sementara di rumah, ibunya mulai gelisah menanti Tian Hong kembali.

Tak sabar dengan hanya menunggu, akhirnya iapun memutuskan untuk menanyai teman-teman sekolah Tjan Tian Hong yang tinggal tak jauh dari rumahnya.

Dari merekalah, ibunya tahu di mana Tian Hong berada dan bergegas mempercepat langkahnya menuju sekolah.

Akhirnya jangkah kaki sang ibupun terhenti tepat di lapangan sepak bola di mana terlihat seorang bocah tengah bersimpuh, tertunduk dan menangis seorang diri.

Tiada sedikitpun kemarahan, hanya uluran tangan yang lembut menuntun Tjan Tian Hong berdiri, seulas rasa bangga terlihat jelas dari tatap mata sang ibu yang baru menyadari anak lelaki mungilnya telah berani mencoba mencari uang sendiri walau hanya dengan berjualan es lilin di sekolah.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, ibunya segera menggandeng Tian Hong kembali pulang setelah sebelumnya mengganti kerugian es dan termos dengan senyum terkulum yang begitu mendamaikan hati Tjan Tian Hong hingga lekat dalam kenangannya kini.

Belum lama berselang dari kejadian itu, salah seorang bibinya mengajak Tian Hong untuk ikut bersamanya tinggal dan melanjutkan sekolah di Denpasar.

Atas izin ayahnya, Tian Hong yang baru berusia 10 tahun tak dapat menolak ikut bersama bibinya dan memulai satu babak kehidupan baru yang bahkan tak pernah ia bayangkan.

Pindah dari sekolah yang lama di SDN 4 Klungkung ke sekolah yang baru di SD Tionghoa Denpasar, membuat Tian Hong harus mengulang pendidikan dasarnya mulai dari kelas satu kembali.

Bagi Tian Hong, mengulang kembali tiga tahun pendidikannya yang sudah dijalani bukanlah hal yang mengguratkan kegetiran. Namun rasa getir itu justru muncul tatkala ia melewati hari-harinya selama tinggal bersama sang bibi yang kala itu memiliki usaha rumah makan di mana ini adalah awal dari derai tangis Tjan Tian Hong yang terpaksa harus sempat ia jalani dalam kisah perjalanan hidupnya.

Usaha rumah makan ini memang cukup laris dengan banyak memiliki pelanggan dan cukup dapat menghidupi keluarga bibinya termasuk Tian Hong yang tinggal menumpang di sana. Namun belakangan keadaan mendadak berubah setelah si bibi menikah kembali.

Suami bibinya yang kemudian menjadi paman Tian Hong ini lalu turut campur dalam pengelolaan rumah makan dengan melakukan upaya penghematan yang bahkan di luar batas kewajaran.

Bagaimana tidak, hanya demi untuk menghemat kayu bakar, nasi yang biasanya ditanak sedari sedikit disesuaikan kebutuhan, kemudian dibuat sekaligus dalam jumlah banyak.

Akibatnya setiap kali rumah makan ini menyisakan banyak nasi yang setelah lewat sehari tentu menjadi berair dan basi. Tapi ini tidak berakhir di sini, nasi basi yang telah lewat satu setengah hari itulah yang lalu menjadi hidangan makan untuk Tjan Tian Hong.

Mau tidak mau, Tian Hong harus dapat menelan masuk nasi ini demi mengganjal rasa laparnya.

Air mata ia biarkan begitu saja berderai satu persatu menetes dipiringnya, tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain hanya menaburkan gula pasir di atas nasi basi yang berbaur dengan basah air matanya.

Entah sudah berapa hari ia malakoni hidup dengan nasi basi dan sup air matanya sendiri, namun yang jelas derita ini kemudian seketika berakhir di saat ayahnya berkesempatan datang menjenguknya dan melihat sendiri apa yang dimakan Tjan Tian Hong anaknya setiap hari selama lebih dari dua tahun tinggal di Denpasar.

Demi melanjutkan sekolah, Tian Hong dipindahkan sang ayah ketempat tinggal baru dan memulai hidup normalnya kembali, meninggalkan tragedi nasi basi yang tak akan ia ulang kembali.

Memasuki kelas 5 sekolah dasar, Tjan Tian Hong pulang kembali ke Klungkung dan melanjutkan sekolah di sekolahnya dahulu di SD Negeri 4 Klungkung hingga lulus dan langsung  melanjutkan sekolah di SMP Swastiastu (sekarang SMP Santo Yosep) Denpasar di tahun 1970 dan tinggal bersama kakak kandungnya yang telah berkeluarga dan mengelola toko milik keluarga yang juga menjual suku cadang kendaraan di jalan Sumatra no: 47 Denpasar.

Sepulang sekolah Tian Hong langsung terlibat mengelola toko sambil mempelajari seluk beluk perdagangan suku cadang dari kakaknya.

Sementara itu di sekolah, Tjan Tian Hong yang sudah duduk di kelas dua, tak diduga terpikat oleh kecantikan ‘Yetty Minawati’ adik kelasnya yang duduk di kelas satu.

Dan siapa menduga justru karena cintanya pada Yetty Minawati inilah yang lalu merubah seluruh perjalanan hidupnya hingga menembus titik nadir kesuksesan.

Merebut cinta Yetty memang bukan hal mudah bagi Tjan Tian Hong, karena selain cantik, gadis ini sangat selektif dalam memilih kekasih.

Apalagi Tian Hong juga merasa, selama mendekati Yetty, ia seolah semakin ingin cepat mandiri dan ingin segera memberikan kepastian pada kekasihnya bahwa ia dapat menjadi pria yang bertanggung jawab bagi masa depan Yetty.

Atas nama cintalah, Tian Hong kemudian memutuskan untuk berhenti dari sekolah dan menerima tawaran ayahnya untuk dengan penuh mengelola toko suku cadang kendaraan di saat usianya baru mulai menginjak 17 tahun.

Berbekal apa yang dipelajari dari kakaknya dan semangat memenangkan cintanya, Tian Hong tanpa ragu lagi menekuni usaha penjualan suku cadang dan sekaligus langsung memasuki kemandirian hidupnya secara penuh tanpa bergantung lagi pada orang tua.

Di lain pihak, ayah Tjan Tian Hong sendiri memang tidak banyak membekali anaknya dengan berbagai macam prinsip dan kiat meraih sukses, yang ada hanyalah teladan sehari-hari yang disaksikan Tian Hong di kehidupan ayahnya serta apa yang selalu ditanamkan ayahnya untuk mencintai negeri Indonesia tanpa syarat dengan sepenuh jiwa.

Sebagai seorang ayah ‘Tjan Soen Yang’ diingat Tjan Tian Hong sebagai sosok yang sangat nasionalistis, jiwa patriotismenya terbilang luar biasa bahkan mungkin bila dibandingkan dengan penduduk pribumi Indonesia sekalipun.

Hal ini semakin kental terlihat manakala peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, di mana pada saat itu, selain membagi-bagikan bendera buatan tangan istrinya ke berbagai kantor instansi pemerintahan, ia juga selalu berada di garda terdepan dalam upacara bendera di kantor kabupaten dengan sikap tegap dan khidmat menghormat Sang Saka Merah Putih mulai dari pengibarannya hingga pada upacara penurunannya.

Dan karena alasan dedikasi dan sikap patriotisme itulah berbagai elemen masyarakat, pemerintah setempat bahkan dari jajaran militer acap kali memberikan penghargaan kepada Tjan Soen Yang.

Maka tak heran bila kemudian ‘Tjan Soen Yang’ hanya memerlukan waktu 6 minggu untuk mengurus kewarganegaraannya menjadi WNI (Warga Negara Indonesia).

 

Tjan Soen Yang saat mengikuti perayaan kemerdekaan 17 Agustus

Setelah resmi menjadi warga negara Indonesia, ayahnya; ‘Tjan Soen Yang’ merubah namanya menjadi ‘Candra Cahaya Surya’ dan di susul ‘Tjan Tian Hong’ yang juga turut mengurus kewarganegaraannya dengan mengukuhkan nama nasionalnya menjadi “Cahaya Wirawan Hadi”.

Dalam perjalanan hidup sang ayah, dengan kecintaannya yang luar biasa pada tanah air ini, baik sebelum atau sesudah sebagai Warga Negara Indonesia, memang patut dikenang bahwa dalam kondisi apapun, tidak ada satu alasan yang dapat menghalanginya untuk hadir dan memberikan penghormatan kepada bendera bangsa yang sangat ia cintai di manapun ia berada,  bahkan sampai akhir hayatnya ia hanya membisikkan satu wasiat terakhir menjelang detik-detik datangnya maut, untuk membungkus peti jenasahnya dengan bendera Indonesia. Barangkali inilah cinta sejati pada bumi pertiwi sampai mati.

Pada kisah yang lain, kendati tergolong masih remaja, Wirawan Hadi telah berhasil mengembangkan usahanya dari semula hanya berupa toko penyedia suku cadang kini mulai dapat membuka dealer mobil sendiri dan menjual mobil dengan merk ‘Dodge’, ‘Jeep Willis’ hingga ‘Toyota Kijang’.

Rupanya Cahaya Wirawan Hadi sungguh-sungguh bekerja keras, mengejar waktu untuk dapat segera membangun kesuksesan usahanya demi apa yang ia impikan untuk memberikan kebahagiaan hidup yang terbaik bagi Yetty Minawati  bila kelak bersanding dengannya.

Melihat kesungguhan cinta Cahaya Wirawan Hadi, lambat laun hati Yetty pun luluh juga, namun cinta mereka tidak begitu saja  terpaut dengan mudahnya. Ada sebuah penghalang yang nyaris membuat keduanya putus asa.

Kedua orang tua mereka menentang hubungan ini, apalagi sejak kecil Wirawan Hadi telah dijodohkan dengan gadis pilihan ibunya sedangkan Yetty Minawati sendiri juga langsung dipindahkan ke kota Surabaya oleh orang tuanya agar menjauh dari Wirawan Hadi.

Tapi cinta tak dapat di kekang dan tak kenal halangan, walau terpisah menyebrang lautan, Cahaya Wirawan Hadi tak gentar menyusul kekasihnya ke kota Surabaya.

Setiba di Surabaya, dengan mengendarai mobil ‘Fiat’ yang dipinjam dari pamannya, Wirawan Hadi mengajak Yetty berkeliling kota Surabaya melepas rindu setelah dipisahkan oleh orang tua.

Saat itulah, terdengar suara lirih lagu “Sealed With A Kiss” dari corong speaker mobilnya, seketika itu juga, kaki Wirawan Hadi menginjak pedal rem, menghentikan laju kendaraannya di tengah lalu lalang ramai jalan raya, dan spontan mencium Yetty Minawati untuk pertama kalinya di hari Kamis, Wage 10 Mei 1973 tepat pukul 22.00 WIB.

Sejak peristiwa ciuman pertama di malam itu, baik Wirawan Hadi dan Yetty berkeras untuk teguh mempertahankan cinta mereka kendati mereka sadar harus berhadapan dengan berbagai rintangan. Mereka yakin kekuatan cinta akan mempersatukan mereka walaupun itu nyaris tidak mungkin bagi keduanya.

Demi cintalah Wirawan Hadi dan Yetty bahkan rela mati untuk membuktikan kesuciannya, namun takdir rupanya berkehendak lain, karena akhirnya meski dengan berat hati, restupun diberikan pada hubungan mereka hingga pada tanggal 8 April 1976, Cahaya Wirawan Hadi dan Yetty Minawati berhasil mengukuhkan cinta mereka dengan tali pernikahan tepat di hari Kamis Pon dan mengawali bahtera hidup barunya dengan keagungan cinta.

 

Pernikahan Cahaya Wirawan Hadi dan Yetty Minawati

Bersama Yetty Minawati di sampingnya, Wirawan Hadi memacu laju usahanya dengan membeli beberapa lahan dikawasan premium Denpasar dan membangun gerai dealer dan show room – show room baru sebagai ujung tombak penjualan armada–armada yang dipasarkannya.

Setelah beralih dari memasarkan mobil Dodge, Jeep Willis dan Toyota Kijang, di tahun 1979 Cahaya Wirawan Hadi mulai memasarkan mobil dengan merk dagang Isuzu dan diteruskan dengan melebarkan sayap pembukaan sampai 27 show roomnya sebagai dealer pemasaran motor Suzuki berbendera ‘PT. Cahaya Surya Bali Indah’.

Kini apa yang diawalinya dengan cinta telah menunjukkan cahayanya, ia dengan seluruh kesuksesannya berhasil menebus cita-citanya untuk membahagiakan Yetty Minawati dan juga kedua buah hati mereka yang bahkan sekarang telah memberinya cucu.

Semua kebahagiaan itu memang berawal dari cinta, maka kini disepanjang hidup Cahaya Wirawan Hadi ia senantiasa berupaya menebar cinta, cinta yang dilandasi dengan kasih bagi sesama.

Lebih dari 1000 orang karyawannya di seluruh perusahaan yang ia dirikan kini hidup dalam naungan kepemimpinannya yang penuh cinta kasih, Wirawan Hadi selalu mengedepankan keterbukaan dan bahkan menempatkan diri dalam kebersamaan dan tampil memberikan teladan kepemimpinan yang santun untuk senantiasa memberi pengayoman hingga tidak sedikit dari 1000 karyawan itu telah puluhan tahun turut bekerja bersama Wirawan Hadi sampai dengan saat ini.

Berbagi limpahan cinta adalah satu sisi bagian kehidupan Wirawan Hadi dalam menunjukkan rasa syukurnya pada anugrah Tuhan.

 

PERESMIAN DEALER HINO “CAHAYA SURYA BALI INDAH”

Sibuk dalam dharma sosialnya pada masyarakat ia dedikasikan dengan aktif diberbagai kegiatan kemanusiaan termasuk memberi beasiswa pada para pelajar di Bali, memberi bantuan aneka perlengkapan di berbagai sekolah kejuruan, mendorong berbagai kegiatan kepemudaan, mengembangkan upaya kesehatan masyarakat, turut aktif dalam program pengentasan kemiskinan dan juga secara spontan dan langsung dengan inisiatifnya sendiri bergerak merangkul para MANULA (Manusia Lanjut Usia) yang jumlahnya ratusan orang untuk mendapat perhatian dari cinta kasihnya yang dengan tulus ingin membahagiakan para orang tua dan jompo yang seolah jemu dalam menjalani sisa hidupnya.

Dari kedua belah tangan Cahaya Wirawan Hadi bersama istrinya Yetty Minawati, para manula tersebut dihimpun dalam keanggotaan sebuah kelompok “Club Sehat Bahagia” yang secara berkala melakukan bermacam kegiatan secara bersama-sama, antara lain berwisata, pemeriksaan kesehatan oleh tenaga medis termasuk pemeriksaan laboratorium dan juga kegiatan olah raga ataupun acara-acara khusus yang diselenggarakan sebagai hiburan bagi mereka.

Memaknai hidup dengan kekhusukan cinta di berbagai kegiatan sosial adalah satu dari jadwal penting Cahaya Wirawan Hadi, hingga bisa diyakini bahwa keberadaannya kini seakan datang bagai cahaya bagi banyak manusia yang terangkat, terselamatkan dan terbahagiakan hidupnya oleh olah karyanya yang lahir karena cinta.

family picture

DATA PRIBADI

 

Nama        :     Cahaya Wirawan Hadi
Tempat/
Tanggal lahir   :           Klungkung, 3 Oktober 1953
Agama       :     Budha
Pekerjaan  :     Pengusaha
-Direktur Utama PT. Cahaya Surya Bali Indah
(Dealer Suzuki Bali s/d NTB)
(Dealer Hino & Charry QQ Indomobil)
-Komisaris BPR Sentral Ekonomi Nusantara (Tabanan)

Aktif sebagai               :
-Ketua INTI (Indonesia Tionghoa) Bali.
-Ketua Harian Pengurus Daerah Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Indonesia (Perbakin) Bali
-Ketua Klub Sehat Bahagia Bali
-Ketua Umum Yayasan Suka Duka Tulus Hati Klungkung
-Ketua Umum Yayasan Merpati Dana Mitra

Menikah    :     8 April 1976
Istri            :     Yetty Minawati
Anak                  :         2 orang
Lagu Favorit    :           “Sealed With A Kiss”
Hobby        :     Menembak
Warna
Favorit       :     Biru

Pesan        :      Kerja keras untuk meraih sukses.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>