I Wayan Winada

WINADA+ADAT

DARI INFERNO
KE PURGATORIO
MENUJU PARADISO


Hidup adalah lukisan Tuhan. Garis, lingkaran, segitiga,  trapesium, dan terakhir koma. Titik muncul ketika kehidupan berakhir.  Warna-warni yang tadinya gemerlap ikut memudar.  Yang tertinggal adalah makna dan jejak-jejak kehidupan, yang diberi tafsir para penerus.  Ada yang ditiru dan ada pula yang diingkari.

Filsafat hidup di atas itu, dijalani seorang anak manusia bernama I Wayan Winada yang dilahirkan 69 tahun silam di desa Serongga Gede Pangkung Karung, Kerambitan, Tabanan.  Dia terlahir dari pasangan suami-istri petani, I Wayan Kenak dan Ni Made Kodet. Karena menyadari kehidupan adalah lukisan yang  diciptakan “Pelukis”nya, Winada pasrah menjalani kehidupan. Dia tidak menolak menjadi garis, lingkaran atau sekadar titik-titik, juga tidak peduli dilahirkan oleh siapa pun.  Sebab dia sadar, meskipun orang-orang modern berkilah bahwa “hidup itu adalah sebuah pilihan”, namun  keputusan ada di tangan pemegang hak prerogatif kehidupan yakni Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sebagai anak petani, Winada menghabiskan masa kecilnya  di ladang dan sawah berlepotan lumpur dan terik matahari.  Ibunya mengajarkan kesederhanaan, sehingga nyaris tidak ada waktu terbuang percuma.  Sehabis waktu belajar di Sekolah Rakyat (kini Sekolah Dasar), kalau tidak membantu ayahnya di sawah, dia diajak ibunya menjajakan kain ke desa – desa lain sekitarnya atau menjual makanan dan minuman pada orang-orang yang menuai padi di sawah.   Di tengah-tengah rutinitas padat itulah, muncul pemahamannya akan hakikat perlunya pendidikan, sehingga sejak dini dia telah bertekad  “melanjutkan sekolah”.

Meskipun sedikit bertentangan dengan kemauan ibunya, yang berkehendak agar Winada terus membantu ayah dan ibunya mengerjakan sawah dan memadamkan niatnya untuk melanjutkan sekolah, namun setamat SR tahun 1963 dia melanjutkan  pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) I Tabanan. Entah karena faktor fisik atau ada kriteria lain yang tidak disadarinya, dia terpilih sebagai Ketua Korps Pelajar Serba Guna (Kojarsena)  SMP I Tabanan, yang saat itu terbentuk di seluruh Indonesia untuk konfrontasi  “mengganyang”  Malaysia.   Berkah lain yang juga diterimanya adalah tawaran dari seorang guru pengajar Aljabar, Ketut Susila, yang mengajaknya tinggal di  Mess Guru. Tentunya, kesempatan istimewa tersebut tidak ditolaknya, karena di samping tidak harus menggayung sepeda ke sekolah yang jaraknya cukup jauh dari rumah, dia pun bisa mendapat  pembimbing dalam hal belajar.

Satu pengalaman yang luar biasa yang dialaminya ketika duduk di kelas dua SMP, dia ditunjuk sebagai asisten pengajar untuk  program ekstrakurikuler pada sore hari.  Pengalaman ini menambah kematangan dan kepercayaan pada dirinya, sekaligus kesadaran bahwa dalam pribadinya tersembunyi bakat dan karakter kepemimpinan yang tidak dimiliki anak-anak seusia lainnya.  Hal itu terbukti tatkala dia terpilih sebagai Wakil Ketua Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) cabang Tabanan.  Jabatan sebagai asisten guru dan posisi pada struktur kepengurusan GSNI tidak membuat Winada mabuk dan lupa diri.  Justru semua berkah tersebut dia anggap karunia Tuhan dan statusnya sebagai pelajar yang punya tugas belajar tetap dia laksanakan sebaik mungkin, sehingga prestasi belajarnya bergerak paralel seiring jabatan dan posisinya.

Setelah tamat SMP, Winada diterima di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) I Denpasar pada tahun 1966, yang kala itu juga sudah berstatus sekolah favorit.  Di kota yang jarang dikunjunginya ini juga,  dia mendapat tawaran dari seorang mantan gurunya di SMP I Tabanan, yang  pindah tugas ke Denpasar. Selain menjabat sebagai Ketua Kojarsena sekolah, dia juga aktif bergerak di bidang kesenian dan kebudayaan Bali.

Selain mementas di kawasan Bali, Sekea Gong SMAN I Denpasar dimana Winada menjadi salah satu ketuanya, juga sempat melawat ke beberapa daerah di luar Bali dalam bentuk misi kesenian.   Ada kisah yang traumatis ketika dia harus terjun ke tengah ganasnya ombak laut perairan Sumba untuk menyelamatkan gong yang hampir terjatuh ke air saat hendak dinaikkan ke kapal.  Padahal menurut cerita orang-orang, laut dimana gong itu hampir jatuh, penuh dihuni hiu-hiu ganas.  Syukur, Tuhan melindunginya.

Seusai menamatkan pendidikan di SMAN I Denpasar, Winada bercita-cita melanjutkan studi ke fakultas kedokteran. Atau sebagai tamatan jurusan Ilmu Pasti Alam dia juga berniat melanjutkan ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Niat dan kehendak ini dihambat masalah biaya.  Karena sulit diatasi, dia  akhirnya  ingin melamar pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil di Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Denpasar. Namun keinginan tersebut juga tidak bisa terpenuhi, karena lamarannya ditolak.   Ironisnya, di tengah-tengah kegagalan itu, keunikan hidup terjadi.  Dia harus melangsungkan pernikahan dengan gadis pilihan yang telah diajaknya memadu cinta selama tiga tahun dan pada 4 Januari 1970 secara resmi menjadi  suami sah dari Ni Komang Winari.

Awalnya, dia sempat deg-degan menapaki hidup berumah tangga dengan status menganggur.

Namun Winari yang telah resmi menjadi istri Winada, ternyata menjadi motivator yang membangkitkan semangatnya, agar hidup jangan disia-siakan bahkan harus dimaknai.  Hidup yang seperti rakit terombang-ambing  di samudera luas semestinya  dianggap tantangan yang harus dihadapi dengan kebersamaan, solidaritas dan saling pengertian.  Tanpa lupa berdoa terus kepadan-Nya, jalan akhirnya terbuka.  Awalnya sebesar lubang semut, namun ketika diselusuri ternyata sebuah jalan raya yang di kanan-kiri tumbuh kembang-kembang sukses.  Perjalanan  hidup  Winada-Winari  seperti berawal dari “Inferno” melewati “Purgatorio” menuju “Paradiso”.

Sejak awal tahun 1970′an, tanpa pernah dibayangkan sebelumnya, dia terjun  di dunia pariwisata.  Bermula sebagai pramuwisata (guide) freelance, kemudian lulus sebagai Lisenced Greade saat PATA Travel Mart 1974  dan sejak tahun itu pula Winada beralih menjadi pramuwisata berbahasa Jepang. Dengan mencoba bisnis sampingan berupa usaha pabrik tegel, dia juga membeli tiga mobil untuk angkutan wisata dan usaha rumah makan di kawasan Kuta, serta membuka usaha penukaran uang atau Money Change yang pengelolaannya dipercayakan kepada istrinya Komang Winari.  Meskipun tidak semua bisnis yang dikelola sukses, namun setidak-tidaknya dari usaha banting tulang tersebut, keluarga Winada berhasil memasuki kondisi mapan. Dan tahun 1975 mencoba membeli sebidang tanah di kawasan Kuta, yang pada waktu masih minim dikunjungi wisatawan dibanding kawasan Sanur, sehingga tanah yang dibelinya tidak semahal harga tanah di Sanur.  Di atas tanah tersebut dia bangun rumah peristirahatan dan tanpa diduga rumah yang selesai tahun 1976 tersebut banyak diincar para wisatawan asing yang ingin menginap di sana.  Melihat peluang itu, pada tahun 1978 Winada kembali membangun delapan kamar di atas lahan yang tersisa dan semua bangunan tersebut dioperasikan sebagai penginapan pada 10 Agustus 1978, dengan nama Wina Cottage, dan mengangkat enam karyawan untuk membantu pengoperasian penginapannya.

Selanjutnya Winada terus menerus menambah jumlah kamarnya, karena minat wisatawan untuk menginap di penginapannya kian tahun semakin bertambah. Pada tahun 1980, dia telah memiliki 36 kamar. Karena kesuksesan terus menerus mengitarinya, pada tahun 1983 dia melirik sebidang tanah seluas 26 are yang berlokasi di sebelah penginapannya dan dibeli dengan uang pinjaman dari bank. Herannya, dalam waktu tiga bulan, dia berhasil melunasi utangnya di bank, sebaliknya berhasil membangun tambahan kamar sebanyak 65 buah.  Kembali karena tidak puas dan merasa jumlah kamar yang dimilikinya belum mampu mengimbangi animo wisatawan untuk menginap di tempatnya, dia lagi membeli tanah milik Desa Sanur yang berada dekat penginapannya seluas 21,5 are dan segera membangun di atasnya.  Hingga tahun 1987, Wina Cottage telah memiliki 127 kamar dengan jumlah karyawan sebanyak 110 orang. Karena usaha penginapannya memerlukan perhatian lebih serius, dengan berat hati Winada meninggalkan profesinya sebagai guide, selanjutnya berkonsentrasi pada usaha penginapan.

Pada tahun 1990, untuk menyambut seruan Direktorat Jenderal Pariwisata “Visit Indonesia Year 1991″ yang juga menyarankan agar hotel-hotel di Bali menambah jumlah kamar sebanyak-banyaknya, Winada menjalin kerja sama dengan sebuah  penginapan  untuk menambah bangunan atas naungan Hotel Wina. Sayang, setelah bangunan rampung dan menjadi 184 kamar, ternyata “mimpi indah” tentang kedatangan wisatawan tahun 1991 berubah menjadi “mimpi buruk” akibat meletusnya Perang Teluk. Dampak dari perang itu, menimbulkan kelesuan bisnis perhotelah di Bali yang berlangsung sejak tahun 1991-1993. Syukur, Tuhan masih berpihak pada Winada, sehingga  Hotel Wina tetap survive, meski banyak hotel lain gulung tikar. Seperti senandung Chrisye, “Tak selamanya, mendung itu kelabu”, memasuki tahun 1994 kondisi pariwisata mulai menggairahkan di Bali.  Jumlah wisatawan kian bertambah, termasuk yang menginap di Hotel Wina. Mengantisipasi perkembangan tersebut, Winada kembali melakukan renovasi terhadap bangunan hotelnya, juga membangun kamar berklasifikasi “Super Delux dan Junior Sweet”  untuk wisatawan berkantong lebih tebal.  Setelah melewati  wilayah “Purgatorio”, kini memasuki area “Paradiso”, Winada yakin kalau segala sukses yang diraihnya berkat karunia Tuhan yang melimpah, baik kepadanya maupun pada seluruh anggota keluarganya.

I Wayan Winada menerima penghargaan ASIAN BEST ECONOMIC  AWARD
tahun 2000 – 2001 ; Salah satu penghargaan di antara banyak lagi penghargaan
dari kesuksesannya sebagai pengusaha akomodasi di Bali.

Memasuki tahun 2007, kembali tangan Tuhan menghampiri Winada mendongkrak pesat kemajuan bisnis hotelnya,  dengan bertemu operator  akomodasi profesional berbendera “Holiday Villa” asal Malaysia yang kemudian menjalin kerjasama berperan sebagai operator mengelola Wina dan membawa hotelnya kini  jauh melesat di tengah persaingan bisnis akomodasi yang ketat.

WINA HOLIDAY VILLA  KUTA – BALI    

Sebagai hamba Tuhan, dia wajib berterimakasih dan rasa terima kasih itu diwujudkan dengan melaksanakan ajaran Dharma, yang berasaskan Tri Hita Karana. Menjalin hubungan lebih erat pada Tuhan, dengan sesama manusia dan alam beserta isinya. Mereka hanya bisa memohon pada Sang Pencipta, agar suasana “Paradiso” yang mereka nikmati sekarang tidak berubah lagi menjadi “Inferno“.

family picture

DATA PRIBADI

 

Nama                     : I Wayan Winada
Tempat/
Tanggal lahir        : Kerambitan, Tabanan, 24 Februari 1946
Agama                   : Hindu
Alamat                   :  Jl. Pantai Kuta
Profesi                   : Pengusaha Pariwisata
Menikah                : 4 Januari 1970
Nama Istri            : Ni Komang Winari
Jumlah anak        : 5 orang
Tokoh Idola         : Kresna
Hobby                   : Menyenangkan orang lain
Semboyan            : Belajar – Lupa dan Ingat
- Lupakanlah apa yang diberikan pada orang Lain haturkan pada Tuhan.
- Ingatlah budi dan apa-apa yang telah orang lain perbuat pada kita, terutama apa yang telah dianugrahkan Tuhan kepada kita.

Pesan                    :
- Syukurilah   apa  yang  telah   diterima   dari Tuhan Yang Maha Esa.
- Belajar baik-baik dan disiplinkan diri, karena dengan mendisiplinkan diri kita dapat berhasil dan sukses.
- Segala keberhasilan dan kesuksesan yang kita peroleh anggaplah itu bukan usaha kita semata – mata namun karena anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang juga kita perlu dharmakan kepada orang lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>