I Nyoman Sarya B.Sc
KISAH KEJAYAAN
NELAYAN BALI
Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Sebuah fakta kehidupan dari perjalanan hidup seorang pria kelahiran desa Sibang Kaja, 9 Oktober 1948 yang kini dikenal banyak orang sebagai tokoh pengusaha Bali di bidang perikanan.
Berawal dari sebuah angan-angannya sebagai nelayan sekolahan, ia bertekad memperjuangkan mimpi indahnya hingga semuanya kemudian berubah menjadi nyata.
Pergulatan hidupnya menuju sukses yang kini diraihnya memang luar biasa, melalui kerja keras mengeyam pahit dan getirnya ketabahan, keberanian dan kesabaran yang dihadapinya tanpa kenal menyerah untuk menjemput kejayaan.
I Nyoman Sarya anak ke tiga dari pasangan I Made Murti dan Ni Wayan Rapig, dibesarkan dalam lingkup keluarga petani di desa Sibang, pada mulanya, ia dan saudara-saudaranya hidup bersama di tengah kasih sayang ayah dan ibunya, namun kebersamaan itu tidaklah lama dapat ia nikmati, setelah Sarya berhasil menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Sibang Kaja, ia harus mengikuti ayahnya ke Denpasar yang saat itu telah menikah lagi dan tinggal bersama ibu tirinya yang selanjutnya mengasuh dan membesarkannya.
Ayahnya yang dulu petani, setibanya di Denpasar mulai merintis berdagang kecil-kecilan di pasar Kreneng, sementara Sarya melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri Denpasar, hingga kemudian tamat dan meneruskan di SMA Negeri 2 Denpasar dan memilih ilmu pasti dengan harapan dapat menjadi seorang dokter.
Berhasil dari studinya di SMA, Sarya bermaksud meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi, di cobanya ia mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Universitas Udayana dan memilih fakultas kedokteran.
Walaupun sudah keras upayanya untuk mempersiapkan diri menghadapi UMPTN, namun nasib menuntunnya ke arah lain, Sarya gagal menjadi mahasiswa Kedokteran Udayana.
Meski demikian semangatnya untuk terus sekolah masihlah menggebu, keinginan yang keras walau tanpa tunjangan biaya dari orang tua tidak menyurutkan harapannya untuk menjadi seorang sarjana.
Tahun 1967, berbekal informasi dari teman sekolahnya, Sarya yang baru berusia 18 tahun itu, pergi merantau ke Ibu Kota Negara, untuk mengikuti serangkaian ujian di Akademi Usaha Perikanan – Jakarta.
Kali ini ia berharap sekali untuk dapat diterima di sekolah yang memiliki ikatan dinas dengan menggaji muridnya sebesar Rp. 546,- (lima ratus empat puluh enam rupiah) ini. Syukurlah, Tuhan mengabulkan keinginannya, I Nyoman Sarya diterima sebagai mahasiswa di sana.
Masa-masa pendidikan di Akademi Usaha Perikanan (AUP) ini dirasakan kurang sekali memperoleh pendidikan teori, hal ini karena jarangnya dosen yang mengajar di sana, mungkin ini disebabkan oleh perekonomian dan politik Indonesia di saat itu sedang kacau-kacaunya pasca Gerakan September Tiga Puluh (GESTAPU), sehingga pendidikan yang diperoleh banyak mengarah kepada praktek dengan sistem semi militer yang diajarkan oleh para anggota Korps Komando Angkatan Laut (KKO-AL). Saat itulah Sarya mengenal laut dan mulai berlahan-lahan mengakrabi gelombangnya.
I Nyoman Sarya saat menjadi
Taruna Remaja Tingkat I
pada tahun 1968.
Akhirnya di tahun 1971, I Nyoman Sarya pun berhasil menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh gelar Bachelor of Science (B,sc) yang kemudian langsung membuatnya ditempatkan bekerja di PT. Misaya Mitra, sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang penangkapan udang.
Pertama bekerja, Sarya di tugaskan sebagai klasi di dalam kapal trawl (kapal dengan jaring / pukat harimau) berkapasitas 100 ton yang beroperasi di Kalimantan Selatan dan laut Arafura. Setelah satu tahun menjadi klasi, ia naik jabatan menjadi Juru Mudi yang satu tahun kemudian telah meluluskannya sebagai seorang Kapten Kapal dengan gaji sebesar tiga ribu rupiah, sebuah pendapatan yang lumayan melebihi gaji seorang camat di masa itu.
Tahun 1969, I Nyoman Sarya
sebagai Taruna Madya Tingkat II
“Setiap seratus hari aku dan awak kapalku menangkap tak kurang dari 30 ton udang, namun mengapa gajiku tak lebih dari 5 kilogram udang dan,…… andai saja ini adalah kapalku,……mungkin,….?!”, demikian I Nyoman Sarya berpikir melalui hari-harinya.
Lambat laun khayalan untuk memiliki kapal sendiri menjadi keinginan yang sulit untuk dibendungnya. Itulah yang membuatnya berniat untuk kembali ke Bali setelah satu tahun lamanya Sarya menjadi seorang Kapten.
Berbekal modal satu Vespa Sprint dan beberapa puluh ribu uang simpanan Tabanasnya, Sarya kembali ke Bali, ia ingin sedikitnya dapat menerapkan ilmu sekolahnya untuk membangun perikanan di bumi kelahirannya.
Ironisnya, niat Sarya harus kandas oleh penolakan Dinas Perikanan Provinsi Bali dengan alasan tidak adanya formasi, meskipun sebenarnya Sarya juga sudah membekali dirinya dengan membawa secarik nota dari seorang pejabat di Direktorat Jendral Perikanan.
Rupanya di saat itu memang tidak ada seorangpun putra daerah lulusan AUP bekerja di Dinas Perikanan di bagian manapun di seluruh pulau Bali.
Tidak menyerah begitu saja, I Nyoman Sarya mencoba mencari pekerjaan di perusahaan yang bergerak pada sektor-sektor perikanan, hingga sampailah ia bekerja pada PT. Bali Raya yang juga bergerak di bidang perikanan. Di perusahaan tersebut Sarya harus terlebih dahulu melalui tiga bulan masa uji coba untuk sebelumnya diangkat sebagai pegawai, namun setelah tiga bulan ia lalui, Sarya mendadak di rumahkan.
Apa mau dikata, Sarya harus menelan kenyataan untuk kembali menjadi tanggungan orang tuanya, dan mencoba mempelajari celah-celah pemasaran ikan di Denpasar.
Akhirnya sisa tabungannyapun menjadi kemampuan modalnya untuk ia pertaruhkan dengan memulai usaha menjual ikan di pasar-pasar dan hotel-hotel.
Setelah beberapa lama di Bali, pada bulan Oktober 1975, tibalah saatnya Sarya mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Ni Made Sukarsih yang terbilang masih kerabat dengannya. Dan dengan begitu ia merasa berkewajiban untuk dapat membahagiakan istrinya dengan kehidupan yang lebih baik dari apa yang selama ini telah ia jalani sebelumnya.
Jadilah sebuah tekad yang mendorong Sarya semakin giat mengembangkan usaha kecil-kecilan di bidang perikanan usaha mandiri yang telah dirintisnya.
“Di mana ada kemauan di situ ada jalan”, begitu I Nyoman Sarya meyakininya, dan alhasil, ia menemukan jalan itu manakala didapatinya sebuah kapal yang sudah sekian lama tidak terawat dan tak terpakai lagi, milik seorang pedagang keturunan Cina di kota Negara.
Setelah dibujuk-bujuk beberapa saat, akhirnya Sarya dapat membeli kapal purse seine itu dengan harga relatif murah.
Kali ini Sarya dan istrinya sungguh-sungguh menguras semua uang tabungannya dan menambahnya dengan uang pinjaman dari beberapa saudara untuk dapat membayar kapal purse seine (sebuah kapal penangkap ikan dengan jaring / pukat cincin).
Maka dibawalah kapal itu ke pesisir pantai Kedonganan salah satu tempat dari enam desa di Kecamatan Tuban, di Kabupaten Badung, Bali. Di sanalah sebuah kawasan yang tampak satu lintasan dari bandar udara Ngurah Rai, di mana terdapat enam ratusan kapal perahu nelayan yang tengah bersandar.
Memang tidak terlihat adanya bangunan tempat pelelangan ikan dan tiada pula ditemui dermaga berlabuh para nelayan, yang biasanya hanya menyeret perahunya untuk diikatkan pada salah satu pohon di pesisir pantai.
Di sinilah kemudian I Nyoman Sarya menyandarkan kapalnya untuk kemudian siap ia pakai melaut dan berburu ikan di Samudra yang luas, dan kali ini Sarya menjadi Kapten kecil di dalam kapalnya sendiri, dengan didukung awak kapal para penduduk nelayan di sekitar kawasan Kedonganan. Para nelayan itu kemudian diajaknya untuk bersama-sama menebar jaring dan memperbaiki taraf kehidupan.
Untuk lebih dapat mempersatukan para nelayan Kedonganan maka diajaklah mereka semua bergabung pada perkumpulan yang diberi nama Kelompok Nelayan Sumber Rejeki dengan anggota 28 orang.
Dalam kelompok itu diiusulkanlah nama Nyoman Sarya sebagai pelindung, setelah ketua dan sekretaris ditunjuk penduduk setempat. Namun usulan nama ‘Sarya’ itu tidak disetujui oleh Pak Camat, mengingat Sarya adalah penduduk desa lain.
Luar biasa memang, Nyoman Sarya tidak menjadi patah semangat, ia malah kemudian dengan modal sendiri membuat rumah istirahat kelompok sebelum melaut. Sebuah bangunan beton pertama di pantai Kedonganan, di mana juga terdapat bak penampungan ikan dan tempat untuk menjemur ikan.
Ikan Lemuru adalah hasil tangkapan kebanyakan para nelayan Kedonganan, mereka kemudian membawa ikan – ikan itu ke pasar Badung di Denpasar dengan keadaan apa adanya, tanpa es atau proses pendinginan, semuanya alami begitu saja. Ada yang menggunakan kendaraan roda empat, namun ada pula yang berjalan kaki dengan menjunjung keranjang ikan di atas kepalanya untuk menempuh jarak 10 km dari Kedonganan ke pasar Badung.
Namun semua dari para nelayan hidup bersahaja, dengan penuh syukur dan kedamaian atas perolehan dari hasil kerja yang cukup menentramkan kehidupan mereka.
Kapal purse seine yang di datangkan Sarya memang cukup efektif untuk menangkap ikan. Oleh nelayan Kedonganan, purse seine disebut jaring Kolor sebuah alat penangkap ikan – ikan permukaan, bentuknya terdiri dari selembar jaring yang tergabung dari beberapa helai jaring yang telah di sambung hingga panjangnya mencapai 200 m dengan lebar 40 m. Pada bagian atas diikatkan pelampung dan bagian bawahnya diberi pemberat, sehingga bila jaring itu ditebar dipermukaan laut sedemikan rupa, maka sebuah formasi akan terbentuk, tampaklah pelampung-pelampung di permukaan dan lembaran jaring tegak lurus pada permukaan air. Di bagian bawahnya telah diikatkan cincin-cincin yang di tengahnya telah dimasukkan tali yang nelayan menyebutnya ‘tali kolor’.
Cara memakainya dengan dukungan dua perahu berkapasitas 6 ton berawak masing-masing 12 nelayan, melingkarkan jaring pada gerombolan ikan, lalu para awak menarik tali kolor hingga cincin-cincin itu merapat, jadilah jaring bagian bawah bersatu dan lembaran jaring menjadi berbentuk kantong mengurung ikan-ikan di dalamnya.
Meski teorinya terlihat mudah, namun dalam prakteknya tidak semua nelayan bisa menggunakan purse seine, apalagi aktivitas penangkapan ikan selalu mereka lakukan pada tengah malam yang gelap gulita. Dalam kepekatan malam mereka harus menebar pandangan tanpa alat bantu untuk mencari gerombolan ikan dan setelah sasaran ditemukan, baru mereka siap untuk menghadang dengan purse seine.
Tingkat kesulitan inilah yang membuat Nyoman Sarya dalam dua bulan pertama menggunakan jasa tenaga ahli dari Negara, di mana di sana terdapat sekitar 100 purse seine yang sudah terbiasa dipakai para nelayan untuk menangkap ikan.
Lambat laun, Sarya dan kelompok Sumber Rejeki dapat mengoperasikan purse seine sendiri tanpa bantuan, sampai kemudian mereka berhasil mendapat 6 ton tangkapan ikan dalam sekali operasi, padahal perolehan ini sangat jarang terjadi meskipun bagi nelayan yang sudah lama juga terbiasa dan mahir memakai purse seine seperti di daerah Negara atau di desa Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur.
Ditemani istrinya tercinta, I Nyoman Sarya perlahan-lahan membangun kehidupan mapannya, meski ia harus berjuang keras untuk mewujudkannya.
Pagi hari di mana hasil tangkapan ikan telah terkumpul, Ni Made Sukarsih istrinya mulai memindang ikan dan selanjutnya di bawa Sarya ke pasar Badung untuk kemudian dilanjutkan Sukarsih dengan memulai berdagang pindang di sana.
Begitulah setiap hari, laku yang diperankan Sarya dan istrinya yang di kala itu telah dikaruniai seorang gadis mungil buah cinta mereka.
Di samping itu, kegiatan melaut terus berjalan sebagaimana biasa, malahan dapat dibilang memberikan harapan yang cerah bagi Sarya dan para nelayan lainnya.
Memang pada awalnya Sarya harus menanggung penuh biaya operasional seperti solar untuk bahan bakar dan minyak tanah, namun belakangan biaya itu diganti setelah uang hasil tangkapan ikan diperoleh dan sisanya Sarya memperoleh 40 persen dan bagi 27 orang anggota kelompok Sumber Rejeki memperoleh 60 % dari jumlah pendapatan yang diperoleh.
Adapun pembagiannya sesuai dengan point, seperti misalnya untuk 24 nelayan yang berangkat melaut, masing-masing memperoleh 1 point ditambah uang makan sebesar Rp. 250,- per orang yang atas kesepakatan bersama uang makan ini akhirnya dijadikan uang kas kelompok yang dapat dipinjam para anggota pada saat masa paceklik. Sedangkan untuk pengurus kelompok seperti ketua dan sekretaris / bendahara mendapat masing-masing 1 point, serta jasa bagi 2 orang penjaga bangunan masing-masing mendapat ½ point, hingga total keseluruhannya berjumlah 27 point. Jumlah inilah yang nantinya dibagi dengan 60 % perolehan hasil penjualan ikan.
Selain dari itu, kelompok juga mempunyai buruh yang mereka rata-rata adalah istri para nelayan itu sendiri. Tugasnya adalah memikul ikan dari kapal ke gudang di tepi pantai, menyusun ikan dalam box, merebus dan menjemurnya. Pekerjaan ini berlangsung sejak kapal baru tiba hingga pukul 10 pagi, dan untuk upahnya mereka masing – masing mendapatkan Rp. 400,-.
Benar saja, tidak berselang lama, para awak kapal yang ikut bersama Kelompok Nelayan Sumber Rejeki telah dapat mengenyam hasilnya, ada yang mulai merenovasi rumah dan ada pula yang sudah mampu membeli sebuah sepeda motor yang terbilang langka di kala itu, dan I Nyoman Sarya sendiri, dalam kurun waktu satu tahun telah dapat memiliki tiga buah kapal, tapi bukan hanya itu, iapun mulai dapat membeli beberapa are tanah di bibir pantai Kedonganan, yang semakin hari semakin bertambah luas yang digunakan untuk menjemur ikan hasil tangkapannya yang melebihi kapasitas beli pedagang di sekitar Kedonganan.
Memasuki tahun 1980, atas persetujuan bersama, pembagian hasil penjualan ikan berubah menjadi 50 % untuk Sarya dan 50 % untuk kelompok Sumber Rejeki, akan tetapi I Nyoman Sarya harus menanggung seluruh biaya operasional termasuk upah borongan untuk buruh yang memindahkan ikan tangkapan dari kapal ke gudang, sebesar Rp.1000 / ton dan juga upah buruh yang menggarap di gudang yang memperoleh tiap tonnya Rp. 8.000,-.
Dengan tekun Sarya terus meniti usaha dengan kerja keras dan tiada kenal waktu, namun belum kuat benar kaki usahanya berdiri, Sarya di usik oleh protes sebagian orang yang merasa iri atas keberhasilannya bersama Kelompok Nelayan Sumber Rejeki.
Nelayan tradisional dengan perahu dan jaring tabur tentu saja tidak mendapat hasil sebesar kapal purse seine yang Sarya miliki dan hasil ikan yang melimpah ruah yang Sarya peroleh bersama kelompok nelayan Sumber Rejeki dinilai merugikan pendapatan para nelayan tradisional di Kedonganan.
Sarya yang memang bukan penduduk Kedonganan tidak diperbolehkan untuk memiliki kapal, adapun yang boleh memilikinya hanyalah masyarakat yang tergabung dalam KUD Mina Segara Kedonganan, karena menurut pendapat mereka, kapal tidaklah boleh dimiliki perorangan saja.
Maka demi menuruti peraturan baru yang di buat dadakan ini, Sarya pun mengalah dan berusaha memahami keinginan masyarakat nelayan Kedonganan, namun meski demikian bukan berarti Sarya menjadi jatuh terpuruk tergilas peraturan yang sebenarnya jelas-jelas merugikannya, tapi justru sebaliknya, keadaan menjadi berbalik menguntungkan Sarya yang memang bukan seorang nelayan sembarangan yang tentu telah jauh menguasai lika-liku penangkapan ikan dan pemasarannya.
Benar saja, Masyarakat Kedonganan ternyata tidak siap untuk menjual ikan pasca panen dan kondisi inipun menjadikan Sarya sebagai penampung ikan hasil tangkapan nelayan Kedonganan hingga lambat laun semua nelayan jadi bergantung kepadanya dan Sarya secara tidak langsung telah menjadi pusat sandaran bagi mereka.
Lain daripada itu, I Nyoman Sarya tetap menggeluti aktivitasnya sebagai Nelayan, yang makin berkembang hingga mampu menyediakan lebih dari 100 ton ikan per hari.
Dan yang lebih menyenangkan, nelayan-nelayan di Kedongananpun kemudian turut nyata-nyata menampakkan kemakmuran, hingga nama Sarya lambat laun telah menyebar sebagai nelayan berhasil dan dihormati di sana.
Sebuah hal yang begitu sederhana, namun inilah awal yang akhirnya mewujudkan mimpi I Nyoman Sarya menjadi kenyataan.
Tahun 1986, datanglah seorang tamu berasal dari negeri Sakura yang telah lama mencari seorang petani ikan bernama I Nyoman Sarya, entah dari mana tamu itu mendapatkan namanya, yang jelas setelah Sarya tahu dirinya tengah dicari-cari orang Jepang, iapun kemudian menuruti untuk menemui tamu yang mengganjalkan beraneka tanda tanya di benak Sarya.
Hasilnya, pertemuan itu terjadi, akan tetapi sang tamu hanya tersenyum puas setelah dapat menjumpai orang yang dicarinya, untuk kemudian mempersilahkan Sarya untuk pulang.
Betapa heran Sarya dibuatnya, namun ia dapat memakluminya, karena ia pikir di antara keduanya sama-sama tidak mengetahui bahasa masing-masing, sehingga apa mau dikata, Sarya harus puas dengan kebingungannya itu.
Keesokkan harinya, sang tamu menemui Sarya di rumahnya, tapi kali ini dengan membawa satu bendel kertas yang disodorkan kepadanya untuk ditandatangani. Melihat hal itu, Sarya mulai sedikit memahami bahwa itu adalah ajakan kerjasama, walau sebenarnya ia masih belum sepenuhnya mengerti, namun ditandatanganinya juga berkas-berkas itu. Setelah semuanya selesai sang tamu pulang kembali ke negaranya.
Sekian lama berlalu, hari-hari dilewati Sarya tanpa memikirkan kejadian tamu Jepang itu lagi. Seperti biasa, istrinya memindang hasil tangkapan ikan, Sarya membawa ke pasar dan kemudian ditemani si kecil anaknya, istrinya menunggui dagangannya. Begitu waktu terlewatkan tanpa terasa, hingga tiba-tiba muncul kembali orang Jepang yang dulu memintanya menandatangani segepok surat yang ia tidak mengerti, dan kali ini tamunya membawa seorang juru bahasa yang mulai menjelaskan maksud dari semuanya sampai Sarya benar-benar mengerti, bahwa ia telah mendapatkan sebuah kesempatan emas berkat nama yang dikenal baik di masyarakat Kedonganan.
Atas dasar perjanjian itu, I Nyoman Sarya diminta menyediakan sebuah badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang kebetulan telah dirintisnya beberapa waktu sebelumnya dengan nama PT. Sari Segera Utama.
Selanjutnya ia diminta untuk mengurus persyaratan untuk mengimpor atau mendatangkan tiga buah kapal jenis Long line yang memiliki kapasitas muat lima puluh Gros Tonase (50 GT), dari Jepang ke Indonesia.
Dan untuk tugas yang satu ini, Sarya benar-benar menemui masalah besar, ternyata dalam peraturan di Indonesia tidak dibenarkan mengimport kapal dengan kapasitas muatan kurang dari seratus tonase (100 GT).
Menyikapi keadaan demikian, Sarya segera menghadap Kepala Kantor Dinas Perikanan Provinsi Bali dan menyampaikan tujuannya, tentu saja maksudnya mendapat penolakan tegas, tapi tanggapan itu tidak membuat Sarya menyerah, ia terus mendesak untuk tetap meneruskan niatannya.
Melihat kesungguhan itu, Kepala Kantor Dinas Provinsi Bali menyarankan untuk mencoba mengurus dan menanyakannya pada Direktorat Jenderal Perikanan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di Jakarta yang toh pada ujung-ujungnya tetap mendapat penolakan yang didasarkan atas surat edaran menteri perhubungan.
Alasan dan sebab penolakan yang sama itu malah seakan makin menggelitik jiwa petualangnya untuk dapat menerobos segala aral melintang.
Dan ditujulah Departemen Perhubungan sebagai tempat asal surat edaran itu untuk kemudian mencari celah yang memungkinkan dapat meluluskan maksudnya untuk mengimpor kapal.
Bukan saja ia harus memeras akal dan menguji kesabarannya, namun Sarya seperti tidak kenal lelah untuk bolak-balik dari kantor BKPM ke Departemen Perhubungan kemudian ke Kantor Dirjen Perikanan, lalu kembali lagi berputar-putar hampir di setiap harinya.
Dan untung saja Sarya telah lama mengenal liku seluk beluk kota Jakarta dan telah terbiasa pada kerasnya ibu kota di mana ia pernah digembleng sekian lamanya sebagai Taruna di Akademi Usaha Perikanan.
Selanjutnya usaha keras Sarya pun mulai menampakkan harapan manakala ia untuk kesekian kalinya menghadap pejabat Direktorat Jenderal Perikanan dan kali ini menegaskan maksudnya dengan penekanan yang lebih tegas, bahwa perlunya bangsa ini mencuri teknologi dari bangsa asing demi mencerdaskan bangsa kita dan mendukung olah kerja para nelayan di Indonesia, karena bagaimana tidak, di saat itu beberapa kapal berkapasitas muat tiga puluh tonase buatan Indonesia telah terbukti gagal uji dan walau demikian pemerintah tetap melarang pengiriman kapal sejenis buatan luar negeri untuk didaya gunakan nelayan tanah air yang jelas-jelas membutuhkannya demi memperbaiki taraf hidup anak-anak bangsa itu sendiri.
Permasalahan ini sendiri dianggapnya merupakan dilema bersama yang bukan untuk menentang peraturan yang telah berlaku, namun lebih merupakan kepedulian yang dasarnya berpulang pada kepentingan bangsa, yang dalam hal ini mencakup dua kepentingan sekaligus, yaitu dari sektor alih teknologi dan juga sektor kelautan, terutama di bidang perikanan.
Apa boleh buat, semua yang diutarakan I Nyoman Sarya sepenuhnya dapat dibenarkan dan diterima, maka akhirnya dicobalah usulan Sarya diajukan ke BKPM untuk dikaji dan diproses selanjutnya.
Tak terasa tiga bulan sudah Sarya bergelut dengan kakunya sebuah peraturan, dan hasilnya di luar dugaan. Permohonan nelayan sekolahan ini mendapat dukungan dan sambutan baik melalui ijin yang ditandatangani oleh R. Soeprapto selaku Direktur Jenderal Perikanan di saat itu yang dalam garis besar merestui dikirimnya tiga buah kapal yang menggunakan sistem pengawet ikan (brine chilling) yaitu pengaturan suhu secara otomatis di dalam kapal untuk dapat mempertahankan suhu 0°C, yang berarti dengan cara ini, ikan tuna yang ditangkapnya dapat dipertahankan sebagai ikan tuna kualitas Sashimi berbentuk segar yang harganya lebih tinggi dibandingkan ikan tuna beku, selainnya itu metode ini disebut sebuah hal baru di Indonesia yang dapat sebagai contoh pengembangan ikan tuna dengan nilai tinggi di tanah air.
Berdasar surat edaran tersebut Sarya bisa mengurus kembali kelengkapan surat-surat ke instansi-instansi sebelumnya seperti BKPM, Dirjen Perikanan, Departemen Perhubungan dan Dirjen Perhubungan Laut.
Ternyata pengurusan surat kelengkapan impor itu tidak kalah rumitnya dengan urusan sebelumnya, begitu banyak surat yang harus dipenuhinya termasuk gambar detail kapal yang rencananya akan diimport, sampai dengan pengurusan penentuan titik-titik koordinat.
Akhirnya dengan susah payah, Sarya mendapatkan ijin lengkap untuk mengimport kapal sebagaimana maksudnya, namun setelah sekian banyak perjuangan itu, pihak Jepang membatalkan pengiriman kapalnya kepada I Nyoman Sarya dengan alasan terlalu lamanya perolehan ijin dari pemerintah Indonesia dan kapal sebagaimana yang dijanjikan itu telah dikirimkan ke negara lain.
Mendengar hal demikian, Sarya tidak juga kehilangan akal, ia segera berangkat ke Jepang untuk mencoba menyatukan kembali jalinan kerja samanya. Dengan berbagai argumen yang diajukannya, akhirnya pihak Jepang pun bersedia untuk membuatkan kembali tiga buah kapal sebagaimana perjanjian sebelumnya.
Legalah hati Sarya mendapat kepastian itu, ia segera mendatangkan beberapa tenaga dari Indonesia untuk membantu sekaligus mempelajari pembuatan kapal tersebut, tidak hanya itu, Sarya pun mengundang beberapa pejabat dari Departemen Perhubungan dan Dirjen Perikanan guna meninjau sekaligus untuk turut menyaksikan pembuatan kapal modern pesanannya di Jepang.
Tidak lama dari itu, selesailah sudah ketiga buah kapal Long line kebanggaan Sarya ini, untuk kemudian dengan segenap awaknya di bawah kibar bendera Sang Saka Dwi Warna disertai iringan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Sarya memboyong kapal-kapal masa depan ini memasuki perairan Nusantara dan akhirnya sandar di pelabuhan Benoa, Bali.
Setibanya di Benoa, kapal-kapalnya tersebut mesti mangkrak selama tiga bulan, hal ini tidak lain menunggu urusan Pabean (Bea Cukai) yang memang harus dipenuhi sebagai syarat administrasi yang berlaku.
Selepas semuanya dinyatakan beres, dengan penuh keyakinan dan semangat baru, Sarya memimpin petualangan laut menyongsong gelombang bersama seluruh awaknya menembus masa depan pasti.
Seperti apa yang I Nyoman Sarya yakini, bahwa memang benar, ketiga kapal itu adalah pintu masa depannya. Dalam kurun waktu relatif singkat, Sarya telah dapat melunasi ketiga kapalnya itu yang senilai $ 1.800.000 US, dengan nilai masing-masing kapal tidak kurang sebesar $ 600.000 US, bahkan ia tidak hanya sekedar melunasinya namun dalam waktu singkat itulah, I Nyoman Sarya juga mampu menambah kapal ampuhnya dengan harga yang cukup ampuh pula.
Dalam sekian lama rintisan usahanya, sudah banyak hal-hal spektakuler ditemuinya, seperti hilangnya empat buah kapal miliknya di tengah lautan dan hancurnya perusahaan yang didirikannya di Biak, Irian Jaya karena tersapu badai Sunami, hingga rata dengan tanah, tak menyisakan apapun.
Sarya bersama kapal – kapal ampuh
“Long line” miliknya
Kejadian itu tidak mengherankan bagi Sarya pribadi yang sudah tentu mengalami kerugian materi yang tidak sedikit, namun ketenangannya lebih disebabkan kesadaran mendasar akan apa yang tengah dihadapinya, bahwa itulah perkasanya alam.
Dan dari itulah ia belajar dan dibesarkan, tiada yang tidak mungkin terjadi pada alam, ia harus selalu siap dan tegar berdiri menyongsong satu persatu cobaan dan menuai segala keberhasilan dengan ketenangan seperti takdir yang menggariskannya sebagai anak cucu seorang pelaut yang tiada gentar menyongsong badai hingga ia dapat berhasil berdiri dalam jajaran tokoh berhasil Bali dalam segala karya dan olah kerjanya.
Nasib nelayan ini banyak dibilang mujur oleh sebagian orang lainnya, namun mendengar itu semua I Nyoman Sarya hanya tersenyum simpul.
Bila orang lain melihat dirinya kini bergelimang kemewahan dengan tiga puluh kapal jenis Long line miliknya berikut villa-villa kecil yang diubahnya menjadi sebuah hotel berbintang lima yang didirikannya di atas tanah seluas seratus lima puluh are di kawasan Kedonganan Jimbaran dengan nama Sari Segara Resort and Spa serta cabang-cabang usahanya yang bertebaran di Jakarta, Bitung, Sulawesi Utara, Biak Irian Jaya, juga usaha cold storage (pendingin), bengkel kapal serta pabrik pembuatan kapal fiber dan segala atribut keberhasilan miliknya, terkadang membuat mereka lupa, bahwa itu diperoleh dari ketabahan, perjuangan dengan hati ikhlas dan pahit, getir kehidupan yang terkadang lebih kejam dibandingkan ganasnya gelombang yang menyimpan limpahan kekayaan.
Sari Segara Resort
Kini Sarya telah membuktikan dirinya dan telah mencapai cita-citanya untuk membuat kapal sendiri sejenis Long line seperti yang dibelinya di Jepang di mana alih teknologi telah benar-benar diserapnya dan diwujudkanya dengan sempurna di tanah air yang juga tidak kalah modern sebagaimana kapal buatan Jepang.
Itu semua bukan saja semakin menampakkan eksistensi kerajaan usahanya, namun sekaligus telah menggaungkan nama Sarya sebagai pengusaha besar Indonesia yang mampu menembus skala Internasional, namun sesungguhnya dalam benak I Nyoman Sarya tidak lebih dari sebuah pengabdian untuk mencerdaskan dan membangun bumi persada Indonesia.
Kemudian di tengah kehidupan serba ada ini, muncullah sebuah niatan yang tumbuh di hati kecil I Nyoman Sarya. Ia mulai ingin lebih lagi membagi cintanya kepada masyarakat lainnya, keinginannya untuk berbagi suka, menolong sesama dan makin mendekatkan diri pada Sang Hyang Widhi Wasa rupanya banyak mempengaruhi jalan hidupnya.
Sarya telah berhasil lulus dalam sekolah pendidikan pendeta beberapa waktu yang lalu dan selanjutnya ia mengaku belum sepenuhnya siap untuk mandito, itu disebabkan karena dalam keberhasilan karya nelayan sekolahan ini justru membuatnya harus turut membantu untuk mencetak generasi-generasi penerus yang handal, tangguh dan berjiwa besar sebagai cucu dari nenek moyang kita yang pelaut.
Begitulah Sarya, ia demikian sungguh pada dunia kelautan, kesetiaan pada janjinya untuk dapat menjadikan Indonesia mampu membuat kapal sendiri selain kapal Long Line yang telah berhasil diciptakannya sampai sekarang terus ia kembangkan.
Sebuah kapal bagi nelayan tradisional yang terbuat dari fiber yang digarapnya dapat dikatakan sebagai kapal yang murah dan awet.
Bagi nelayan, mereka cukup berinvestasi satu kali bila memilih kapal atau perahu berbahan fiber, hal ini disebabkan karena bahan fiber kuat dan tidak akan bocor, dan andaipun terjadi sesuatu sangat mudah untuk ditambal dengan hasil yang sama kuat dengan aslinya.
Inilah alasannya mengapa disebut daya tahan perahu berbahan fiber jauh lebih kuat dibandingkan kapal berbahan kayu. Perahu kayu yang dalam jangka dua tahun setidaknya sudah terjadi kebocoran dan bila ditambal dengan dempul terkadang menjadikan kita was-was dempulnya copot dihantam ombak di tengah lautan, atau lebih parah lagi terkadang perahu terpaksa harus dibuang.
Untuk dapat menjadikan sebuah kapal nelayan berbahan fiber, I Nyoman Sarya harus membuat cetakan besar yang menelan biaya Rp. 50 juta dan harga mesin senilai Rp. 25 juta, ditambah jaring dengan harga Rp. 25 juta, hingga keseluruhan biaya kapal nelayan baru dan siap dipakai melaut tersebut mencapai tidak kurang dari Rp. 100 juta.
Inilah upaya yang dimaksimalkan Sarya untuk dapat memproduksi kapal murah, berdaya tahan lama dengan inovasi–inovasi baru bagi kemajuan taraf hidup nelayan nusantara.
Sayangnya setelah begitu keras upaya Sarya membesarkan dan memajukan sarana dan prasaran nelayan tanah air agar mampu mandiri sebagai nelayan Indonesia, dengan jalan berbagai usaha alih teknologinya, pemerintah pusat malah mempromosikan bahwa ikan di laut Indonesia masih berlimpah ruah dan yang dikelola baru sebagian kecil oleh karenanya pemerintah mengundang para investor asing memberi izin untuk mengeruk ikan – ikan kita.
Akibatnya nelayan Indonesia menjerit, ikan – ikan kita menipis, hal ini ditakutkan akan seperti kisah lobster yang dahulu ada di sepanjang perairan kita, termasuk Klungkung, Jasi hingga ke Timur hingga kini terbukti telah habis total, kecuali sebagian kecil sisanya di daerah Canggu.
Juga ikan Lemuru yang di tahun 1970 sampai dengan 1990 begitu melimpah ruah di Kedonganan dan Pengambengan sekarang begitu susah diperoleh. Perbandingannya adalah bila dulu dalam satu hari nelayan bisa mendapat ratusan ton hingga 500 ton, sekarang paling banyak 1 sampai 2 ton saja.
Nasib ikan Tuna tidak jauh beda, ikan yang satu ini sungguh menjadikan nelayan dan pengusahanya menangis, mengingat kini demikian sulitnya mendapatkan ikan yang sudah bisa disebut langka itu.
Ikan–ikan di Indonesia pasti akan punah dan benar-benar habis bila pemerintah terus memberikan izin pada nelayan asing dan terus mengundang investor mengusung kekayaan laut kita dari tangan–tangan nelayan pribumi dan generasinya.
Apalagi tidak pernah ada tata cara dan perundangan yang pasti mengatur pengambilan ikan yang diperbolehkan baik ukuran, berat, jumlah dan klasifikasinya, hingga Sarya begitu takut bila kelak anak cucu bangsa Indonesia tidak tahu yang namanya Ikan Tuna, Lemuru dan lain-lainnya.
Selembar surat izin telah merubah nasib nelayan kita, bila kemudian bergulir lembar – lembar izin lainnya, apa jadinya ?
Kini yang banyak dijumpai adalah kapal – kapal asing berizin yang menguasai perairan laut kita, mengambil ikan dari pangkuan ibu pertiwi lalu membawa pergi, atau ada di antaranya yang kemudian mengolahnya juga di sini, dengan mempekerjakan buruh upahan yang baru di sanalah tampak wajah – wajah pribumi bangsa kita.
Apa bukan seharusnya mereka dapat menjadi tuan rumah di negaranya sendiri, membawa kapal, mencari ikan seperti dahulu di kala perahu – perahu nelayan berbendera merah putih perkasa mengarungi samudra menuai limpahan ikan di perairan Indonesia.
Pahit, sakit dan dramatis sebuah fenomena nyata nelayan tanah air kita.
Tinggal sebuah harapan; kapan, kapan dan kapan lagi ‘Nelayan Pribumi’ dapat kembali berjaya di lautan bangsanya.
Dalam kondisi demikian, mau tak mau, Sarya pun dengan berat harus mengambil alternatif efisiensi bisnis terhadap para nelayan yang bekerja padanya.
Krisis perikanan ini memang simalakama yang berdampak luar biasa, termasuk sandarnya puluhan kapal Long Line miliknya mengingat tangkapan ikan Tuna internasional menurun drastis, padahal kebutuhan pasar dunia sangat besar dan selalu terbuka.
Kapal–kapal itu menunggu musim ikan yang lebih baik yang mungkin datang satu, dua bulan atau tahun depan.
Toleransi ini terpaksa berimbas bagi 300 nelayan tuna, 100 nelayan penangkap ikan campur dan 100 karyawan di darat yang bergantung hidup padanya dengan dasar rasa kekeluargaan yang juga telah dengan sendirinya memahami betul kondisi krisis yang melanda semua nelayan dan pengusaha.
Apa mau dikata, Sarya harus bertahan dengan mengandalkan operasi perhau fiber dengan tangkapan ikan campur seperti Cakalang, Tongkol dan Baby Tuna yang dirasakan cukup membantu. Meski demikian daya beli masyarakat masih terbilang minim, dibandingkan dahulu yang sedikitnya di Bali dapat menjual cepat sedikitnya 10 ton, sekarang maksimal hanya 8 ton, itupun memerlukan beberapa waktu.
Tragedi ini semakin menyayat hati ketika bahan bukan minyak sekarang naik cukup tajam, yang menghunjam jantung nelayan kita. Bilapun nelayan kita sanggup membeli bahan bakar, hasil dilaut tidak lagi memberi jumlah yang cukup untuk mengembalikan modal apalagi untuk memenuhi hidup, hingga tiap kali kapal berlayar saat itulah kerugian menjelang dengan jumlah beban kerugian yang terhitung sangat besar.
Sebagian nelayan yang bertindak cepat dapat segera menjual kapalnya dan berhenti menjadi nelayan, namun sebagian besar lainnya, baik pengusaha dan nelayan sudah tidak lagi bisa menjual kapal milik mereka karena langkanya pembeli kapal di masa seperti ini.
Mereka hanya meratapi dan menunggu sebuah perubahan dari keajaiban yang dapat memberikan kemakmuran itu kembali.
Bagi nelayan sekolahan seperti Nyoman Sarya, ia segera bertindak mencoba membudidayakan ikan dengan berbagai cara, termasuk membeli lahan dan kesiapan teknologi untuk upaya budidaya melindungi ikan – ikan dari kepunahan.
Adapun untuk menghemat bahan bakar, Nyoman Sarya memilih cara memperpendek radius jelajah kapalnya dengan membuat titik-titik fokus penangkapan ikan.
Realisasinya adalah; di tahun 2004 Sarya membuat rumah ikan (rumpon) yang tidak tanggung– tanggung ia letakkan di tengah Samudra Hindia.
Rumpon itu berbentuk serupa pelampung yang terbuat dari plat baja dan di sekelilingnya diikati dengan daun kelapa / lontar atau tali rafia berdiamater ± 3,5 meter. Untuk menjaga posisi pelampung tetap pada tempatnya, sebuah jangkar yang terbuat dari beton seberat 500 kg ditancapkan ke dasar laut dalam kedalaman sedikitnya 3.000 meter.
Untuk membuat satu buah rumpon tersebut, Sarya menghabiskan tali sedikitnya 6.000 meter.
Rumah ikan buatan (rumpon) ini dibuat dengan asumsi bahwa pelampung yang dikelilingi rerimbunan daun kelapa akan menjadi tempat berteduh ikan – ikan kecil dari terik panas matahari. Dengan adanya kumpulan ikan-ikan kecil di sana dengan sendirinya akan mengundang ikan – ikan besar datang untuk memangsa ikan-ikan kecil tersebut, jadi para nelayan kemudian dapat mudah menanggap ikan-ikan besar yang sudah berkumpul di sekitar rumpon tanpa harus berputar-putar mengelilingi lautan yang berarti sebuah upaya sangat efisien untuk menghemat bahan bakar.
Namun di sisi lain, para nelayan yang tidak semapan Sarya tentu tidak dengan mudah dapat menemukan jalan keluar baik dalam persaingan dengan kapal-kapal modern milik asing hingga kondisi terburuk akibat kenaikan drastis harga bahan bakar.
Ketidakberdayaan sudah mulai terlihat di kehidupan para nelayan kecil seperti di Kedonganan, mereka (para nelayan) sudah banyak yang memilih alih profesi mencari jalan hidup di bidang lain.
Kondisi sulit ini bukan alasan bagi Sarya untuk tidak meneruskan cita-citanya dalam hal alih tehknologi di bidang dunia perikan. Dewasa ini ia telah berhasil membuat penemuan baru hasil alih teknologi Jepang yang disebut “aranger” yaitu berbentuk alat penarik tali utama (mine line) yang dapat menarik dan menggulung langsung masuk ke dalam box tanpa harus diatur secara manual.
Dengan adanya penemuan baru yang cenderung modern, I Nyoman Sarya segera mensosialisasikan pada para nelayan yang sebenarnya mudah tanggap dan cepat belajar menyesuaikan perkembangan teknologi.
Mesin cukup banyak membantu para nelayan dan meningkatkan efisiensi kerja dan hasilnya. Seperti bila sebelumnya dengan tanaga manusia para nelayan hanya bisa menebar jaring 1 km, sekarang dengan teknologi dapat melempar jaring sejauh 100 km. Di sinilah hasil yang diperoleh juga pasti akan lebih besar karena dikerjakan dengan mesin yang relatif cepat dengan daya jelajah yang luas, di samping tenaga para awak kapal dapat lebih dihemat.
Apa yang sudah dikembangkan I Nyoman Sarya ini adalah sekelumit dari teknologi maju yang belum mampu dikembangkan di Indonesia, menurutnya Jepang telah terlanjur jauh memimpin, dan meski kita hanya 0,1 % dari kemampuan mereka, namun ia memilih untuk berusaha mengejar 99,9 % sisa tehknologi mereka dibanding sama sekali tidak berbuat apa-apa, yang berarti menjadikan kita semakin primitif dan tertinggal.
family picture
DATA PRIBADI
Nama : I Nyoman Sarya B,sc
Tempat /
Tanggal lahir : Sibang Kaja, 9 Oktober 1948
Agama : Hindu
Alamat : Jl. Gunung Agung 205 A
Alamat Kantor : PT. Sari Sagara Utama
Jl. Pelabuhan Benoa
Profesi : – Pengusaha sektor perikanan
- Pengusaha Wisata/ Akomodasi
Pendidikan
Formal : – SD Negeri Sibang
- SMPN Denpasar
- SMAN 2 Denpasar
- Akademi Usaha Perikanan Jakarta
Menikah : Oktober 1975
Nama Istri : Ni Made Sukarsih
Jumlah Anak : 5 (lima) Orang Wanita
Hobby : Golf dan berenang
Warna Favorit : Biru laut
Lagu Kenangan : Nenek Moyangku
Semboyan : Kehidupan berasal dari laut dan kembali ke laut.
Pesan : Luas Lautan Nusantara, Pusaka perkasa ibunda menanti
kerja putra-putranya, kaum nelayan yang jaya.
TABAH SAMPAI AKHIR
Leave a Reply