Sang Bagus Made Renda

SORGA+ADAT

KISAH DI BALIK SORGA


Semua manusia di dunia tak dapat memilih takdirnya untuk dilahirkan dalam keluarga yang kaya, berkasta, sudra ataupun jadi anak miskin papa. Tak ada yang bisa menentukan sendiri nasibnya, semua terjadi begitu saja dipilih dan digariskan oleh Sang Pencipta.

Begitupula ‘Sang Bagus Made Renda’, ia tak pernah meminta dilahirkan menjadi anak ke dua dari enam bersaudara di tengah keluarga yang begitu akrab dengan kemelaratan.

Segalanya adalah takdir yang harus diterima dengan ikhlas, tabah dan penuh perjuangan kendati itu harus terlalui berkalang peluh dan kegetiran.

Namun justru dari sanalah, siapa menduga, pria kelahiran Kuta, 12 Februari 1950 ini kemudian mampu merangkak dari kemiskinan, meniti jalan hidup dan berhasil memutar roda nasib hingga mampu membangun sebuah ‘SORGA’ tempat di mana kehidupan berbuah indah baginya.

Lahir dari rahim ‘Sang Ayu Ketut Rapet’, dan ayah ‘Sang Bagus Made Riyuh’ seorang pekerja keras yang hanya menumpukan hidup sebagai buruh panjat pohon, adalah takdir bagi Gus Made yang menjadi cikal bakal seluruh kisah ini bermula.

Kala itu, jangankan sawah, kebun atau ladang garapan untuk bertani dan becocok tanam seperti umumnya masyarakat desa, rumah tinggalpun keluarga Gus Made masih menumpang di rumah kakek (ayah dari ibunya).

Bahkan karena kemiskinan itu juga, dalam satu minggu mungkin hanya satu atau dua kali saja orang tuanya mendapat keberuntungan bisa membeli dan menanakkan nasi untuk makan sekeluarga, selebihnya ketela, kelapa muda, atau apa saja yang disediakan alam asalkan dapat mengganjal rasa perih dan lapar tak pernah dirisaukan untuk dinikmati dengan syukur dan bahagia.

Ironisnya, dalam jerat kemiskinan jugalah sebuah kenyataan memaksa untuk membagi kakak dan beberapa adik Gus Made berpisah dengan kedua orang tuanya, demi dapat melanjutkan hidup dengan menumpang di rumah para sanak keluarga yang bersedia menampung dan merawat mereka.

Begitu realitas kemiskinan begitu sulit untuk digambarkan lebih dalam lagi, sampai-sampai untuk dapat mengenyam pendidikan sekolah dasarpun, Gus Made baru dapat rasakan setelah menerima kebaikan hati dari salah seorang kerabat ibunya yang iba melihatnya menangis terus menerus ingin ikut bersekolah seperti anak-anak sebayanya.

Selama sekolah di SD Negeri 2 Kuta, Gus Made memang tergolong anak cerdas dan terlihat menonjol khususnya di mata pelajaran berhitung, bahkan saat di kelas empat untuk bidang study khususnya setingkat matematika, Gus Made menjadi andalan para guru-guru dan wali kelasnya hingga karena kebisaannya itu ia lalu diikutkan masuk di pelajaran anak-anak di kelas lima.

Sepulang sekolah sudah menjadi kebiasaan rutinnya menggembala dua ekor sapi milik ayahnya yang juga adalah satu-satunya harta yang paling berharga milik mereka. Tapi anehnya kendati Gus Made merasa tak pernah lalai berpontang-panting mencarikan rumput memberi sapi-sapi ini makan dan merawatnya, namun kedua ekor sapi ini tetap saja kurus seolah tak terurus.

Sementara itu, berbeda dengan sapi-sapinya yang sudah bisa dipastikan tidak akan kelaparan, Gus Made sendiri tak jarang harus menahan rasa lapar bila sepulang sekolah didapatinya tidak ada yang bisa dimakan di rumah.

Kalau sudah demikian, ia lalu pergi ke kebun tempat orang usai memanen ketela atau umbi-umbian untuk sekedar dapat menggali tanah-tanah bekas panen mereka yang tak jarang masih menyisakan satu dua bongkah ketela yang tertinggal.

Di lain waktu, di setiap Sabtu dan Minggu barulah terlihat ia ikut membantu ayahnya di kebun untuk memanjati pohon Lontar atau mencari kayu api sekedar untuk kemudian bersama ibu atau ayahnya dijual ke pasar.

Ternyata perjalanan ke pasar pagi ini banyak memberi kesan bagi Gus Made, matanya merekam dengan baik segala macam pemandangan yang ia lewati selama perjalanan. Mulai dari para pekerja montir bengkel yang sedang memperbaiki kendaraan rusak hingga berfungsi kembali, sampai pada aktivitas sopir bemo yang sudah terlihat duduk di warung menyantap soto dan secangkir kopi sambil bersendau gurau dengan sesama sopir yang juga tengah melahap menu makanan yang lain.

Melihat itu semua, seketika muncul keinginan besar dalam hati Gus Made, ia sangat ingin kelak bila dewasa nanti dapat menjadi seperti para mekanik di bengkel tadi, yang terampil dan tampak ahli menghidupkan apa yang sudah mati.

Dan lagi apa yang direkamnya dari para sopir bemo itu juga tak kalah menarik cita-citanya untuk hidup seperti para sopir yang di pagi seperti itu sudah bisa santai menikmati soto, sate, nasi campur dan mengopi sambil mengumbar tawa seolah hidup mereka begitu bahagia.

Setamat SD, dengan alasan biaya Gus Made tidak mungkin dapat melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi lagi, dan selainnya itu iapun tidak ingin membebani orang tuanya lebih jauh lagi.

Karena alasan ini maka di saat salah seorang keluarganya membutuhkan kebisaan Gus Made dalam memanjat pohon untuk membantu membuat perlengkapan upacara ngaben di Bangli, maka iapun tidak menolak ikut terlibat di sana.

Seusai upacara ngaben, karena dianggap rajin, Gus Made diajak untuk terus ikut tinggal di Bangli, membantu keluarga ini mengasuh anak mereka.

3 tahun tinggal di Bangli, tepatnya tahun 1967 ia kembali pulang ke Kuta dan dua hari kemudian diajak ikut bersama ‘Bagus Sujaya’ seorang pelukis asal Kesiman dan hampir 1,5 tahun bekerja membantu sebagai tenaga kebersihan di rumahnya sampai dengan ia kemudian pindah bekerja ikut kakaknya salah seorang karyawan PT.Hutama Karya yang memasukkannya sebagai salah satu tenaga mekanik di bagian sub. perbaikan kendaraan mengurusi pemeliharaan armada proyek dan mobil dinas para insinyur di lingkungan bandara Ngurah Rai yang pembangunannya tengah dikerjakan oleh PT. Hutama Karya.

Di sini cita-cita pertamanya menjadi tenaga bengkel tercapai sudah, bahkan bukan saja ia kemudian dapat mengendarai mobil dengan fasih namun juga dengan cepat Gus Made mampu menguasai mekanisme mesin dan seluk beluk bongkar pasang onderdil kendaraan hanya dalam kurun waktu 1 tahun bekerja di sana.

Usai sebagai mekanik, Gus Made diajak untuk ikut Ny. Puoler seorang pengusaha asal Belanda yang mengelola PT. Jambru perusahaan penerbangan milik swasta di Bali, untuk membantu di tempatnya.

Bersama Ny. Puolep yang tinggal di Hotel Ina, Gus Made memang tidak mendapatkan gaji, ia hanya diberi makan dengan ganti harus bekerja sebagai tenaga cuci dan setrika seragam para Pilot.

Selain kebersihan mencuci, cara menyetrikapun sudah ditentukan harus rapi, necis dan harus sempurna mengikuti garis ataupun lipatan yang ditentukan. “Ini tidak boleh salah”, sedikit saja melakukan kesalahan, bukan saja teguran yang datang, tapi ia langsung dihukum tidak mendapat makan selama satu hari dan inilah yang menyayat hati.

Tetap harus bekerja keras mencuci dan menyetrika sebegitu banyak pakaian para Pilot tanpa diberi makan sedikitpun, adalah sanksi tanpa kompromi yang harus di jalani.

Kenyataan itu terpaksa membuat Gus Made harus mengkais sampah sisa-sisa makanan bekas para tamu hotel yang sebenarnya jatah makan anjing di sana, namun demi untuk menebus rasa lapar dan agar ia dapat memiliki tenaga untuk bekerja, maka di kumpulkanlah 2 atau 3 piring makanan sisa itu ke dalam piringnya dengan hati getir untuk ia makan sambil getar bibirnya berujar; “kali ini kamu tidak usah makan dulu, berikan ini untukku”,  begitu ia berujar pada seekor anjing yang terus menerus memandangi seolah memprotes Gus Made yang tengah mengambil makanannya.

Lebih dari 1,5 tahun pengalaman luar biasa dalam hidup ini ia lakoni bersama Ny. Puoled, sampai akhirnya ia bertemu dengan ‘Tony Poganic’pelatih sepak bola PSSI asal Cekoslovakia yang baru membangun rumah di Kuta tak jauh dari Hotel Ina.

‘Tony Poganic’ inilah yang lalu mengajak Gus Made untuk bekerja di rumah barunya sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji yang layak dan perlakuan yang sangat baik.

Meskipun cukup betah bekerja dan tinggal bersama ‘Tony Poganic’ namun karena mendengar ada salah seorang karyawan yang juga bekerja di sana mengharapkan posisi Gus Made untuk anaknya maka iapun memilih mengalah dan mengundurkan diri.

Tepat keesokan hari setelah pengunduran diri itu, sebuah kabar ia terima bahwa ayahnya jatuh dari pohon Lontar, setinggi 9 meter. Mendengar itu ia bergegas pulang, namun sesampainya di rumah ayahnya yang tidak sempat mendapat pertolongan medis ini, akhirnya meninggal dunia.

Seolah melengkapi rasa duka, belum lama setelah kematian ayahnya, sekitar 9 bulan kemudian, ‘Sang Ayu Ketut Raper’ ibunya menyusul pergi meninggal dunia setelah sakit-sakitan sekian lama.

Menjadi yatim piatu membuat Gus Made tidak lagi memiliki tempat bersandar, namun di kala itu, bersyukur ia sudah diterima bekerja di Mandara Pension di Kuta Beach.

Di Pension ini Gus Made bekerja mengurus 10 kamar, mulai dari bersih-bersih, mengisi air mandi hingga menyiapkan makan pagi menjadi tugasnya. Selebihnya itu dengan bahasa Inggris sebisanya dan berbekal kamus yang rajin ia baca, Gus Made memberanikan diri berkomunikasi bahkan lalu menawarkan diri untuk menemani para tamu yang kebanyakan hippes Australia untuk berwisata bersamanya.

Dari sanalah sedikit demi sedikit uang mulai dapat ditabungnya, bahkan secara tidak langsung Gus Made saat itu sudah terjun dan menekuni sebagai guide/pramuwisata.

Hingga tak terasa, apa yang diperolehnya dari hasil mengantar tamu itu mampu untuk membeli sebidang tanah di belakang Br. Pring, Legian, Kuta seluas 2,5 are dan lalu dibangun menjadi sebuah rumah tempat tinggalnya.

Setelah memiliki rumah, barulah, ‘Sang Bagus Made Renda’ mengakhiri masa lajangnya; 9 September 1971 dengan menikahi ‘Sang Ayu Ketut Serayu’ gadis Bali yang dikenalnya sejak kecil dan terbilang kerabat di desanya.

Bersama Sang Ayu Ketut Serayu inilah, Gus Made menyusun masa depan keluarganya, ia tidak ingin anak-anaknya nanti merasakan perihnya rasa lapar dan getirnya kemiskinan seperti masa kecilnya dahulu, untuk itulah Gus Made semakin giat bekerja, selain masih menjadi karyawan penginapan, ia lalu juga menyewa sebidang tanah banjar untuk dijadikannya Restaurant dan di waktu lainnya aktivitasnya sebagai guide tidak ia lepaskan, bahkan kemudian sebuah kendaraan bemo mampu ia beli mewujudkan cita-cita masa kecilnya.

Di hari-hari biasa bemo itu dioperasikan dengan mempekerjakan sopir, namun pada hari libur terutama Minggu, Gus Made menjalankan sendiri bemonya mencari penumpang dan menikmati aktivitasnya sebagai sopir ini dengan kebahagiaan luar biasa persis seperti yang ia bayangkan di waktu kanaknya.

Dengan penghasilan cukup lumayan, maka jadilah Gus Made mampu berkesempatan mencicil tanah di kawasan Poppies seluas 25 are di tahun 1973. Di mana lalu dibanguni 4 buah kamar penginapan kecil di tahun 1976.

Kali ini bintang terang mulai bersinar di kehidupannya, 4 kamar penginapan miliknya yang mulai beroperasi di tahun 1977 diminati para pelancong dan cicilan tanahnyapun dapat dilunasinya.

Dengan 4 penginapan tersebut, Gus Made memberanikan diri mengurus izin penginapan dengan bermodal uang hasil penjualan bemo miliknya dan mulai berharap dapat merintis usaha akomodasi berbentuk cottages sederhana.

Tiga nama ia sediakan untuk cikal bakal cottages tersebut, antara lain; Duwungan Indah (kata Duwungan dipilih terinspirasi nama dinasti keluarganya dari Satriya Luwungan), ‘Saren Indah’ (singkatan namanya Sang Renda) dan yang ketiga adalah ‘Sarga’ yang dipilih dengan makna kata Sang Renda dan keluarga. Ke tiga nama itu ia tulis di atas sepotong kertas lalu digulung dan diundinya.

Setelah di kocok dengan khusuk, keluarlah nama ‘Sarga’ untuk yang pertama, lalu karena masih belum yakin, ia mengulang kembali kocokan undiannya dan yang kedua kembali nama ‘Sarga’ yang terbuka.

Akhirnya karena belum cukup percaya, Gus Made kembali mengulangnya dan lagi-lagi nama ‘Sarga’ keluar dari tiga nama yang ada. Maka mantaplah sudah dipilih nama ‘Sarga’ untuk diajukan pada permohonan izin cottages miliknya.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya selesai juga izin dari kepemilikan cottages yang dinantikannya.

Tapi setelah diterima, ternyata terjadi kesalahan ketik nama yang tercantum di sana dengan tertulis; SORGA Cottages bukan Sarga seperti permohonannya semula.

Namun meski demikian nama Sorga ini tetap bermakna baik bagi ‘Sang Bagus Made Renda’ yang menganggap ini sudah menjadi ketentuan Sang Pencipta.

Maka benar saja, Sorga Cottages yang semula hanya memiliki 4 kamar saja, lalu di tahun 1980 berkembang menjadi  8 kamar dan terus memberi keberuntungan bagi Gus Made hingga ia lalu mendapat kepercayaan dari Bank Dagang Bali /BDB untuk menerima kucuran dana pinjaman sebesar 400 juta rupiah untuk mengembangkan cottagesnya menjadi 16 kamar lengkap dengan kolam renang dan Restaurant.

Dengan semakin besar usaha cottagenya, Gus Made lebih memfokuskan kiprahnya sebagai pengusaha bisnis akomodasi di kawasan Kuta dan mengelola penginapannya hingga tidak pernah surut dari kunjungan wisatawan.

Bahkan di kisaran tahun 1994, pinjamannya di Bank BDB telah tuntas dilunasinya, hingga kemudian tak di duga terbuka peluang lagi yang datang dari Bank BTN dengan kucuran dana segar sejumlah 1,5 Milyar di tahun 1997 untuk merombak cottagesnya menjadi bentuk gedung apartemen 3 lantai dengan kapasitas menjadi 45 kamar.

SORGA HOTEL

 

Persis seperti perhitungannya, dengan kamar semakin banyak, dan pendekatan maupun pelayanan yang memuaskan kepada para tamu, Gus Made mampu menampung semakin banyak wisatawan menginap di Sorga miliknya hingga industri bisnis penginapanya perlahan merayap menjadi semakin besar dan bahkan tidak mengalami kesulitan dalam melakukan pelunasan hingga di tahun 2002 pinjamannya dengan penuh telah ia lunasi jauh dari batas waktu yang ditentukan di kisaran tahun 2005.

Kini dengan memiliki Sorga sendiri, Gus Made sudah sangat menyukuri nikmat dan anugrah Tuhan yang diberikan kepadanya meski perjalanan menuju Sorga ini harus ia lalui dengan kepedihan, kegetiran, kerja keras, peluh dan air mata yang akan menjadi kisah dan kenangan hidup seorang ‘Sang Bagus Made Renda’.

family picture

DATA PRIBADI

Nama                  : Sang Bagus Made Renda
Tempat /
Tanggal lahir     : Kuta, 12 Februari 1950
Agama                 : Hindu
Profesi                 : Pengusaha
SORGA HOTEL

Menikah              :  9 September 1971
Nama istri           : Sang Ayu Ketut Serayu
Jumlah Anak      : 6 orang
Hobby                  : Megambel (Karawitan)

Pesan                   : Perjuangkan dan hadapi hidup dengan tabah, iklas, jujur dan  kerja  keras  untuk menyongsong masa depan yang jauh lebih indah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>