Made Madya
MENGENANG INSPIRATOR
PERBANKAN BALI “MADE MADYA”
SANG PERINTIS
MEMBIDIK TITIK TERANG
Menjadi orang tua yang bisa melindungi dan mendidik anak, agar menjadi baik dan berguna dalam hidup adalah impian setiap orang tua. Barangkali Ketut Tegirlah salah seorang yang telah mampu mewujudkan harapannya.
Meski ia hanya seorang petani, namun keinginan untuk menyekolahkan anaknya seakan adalah segala-galanya bagi Ketut Tegir. Ia rela bekerja keras siang dan malam, bahkan rela untuk harta benda, tanah garapan dan apapun yang dimilikinya dijual demi pendidikan anak-anaknya.
Pasangan Ketut Tegir bersama Nyoman Mudung istrinya hidup sederhana terlebih lagi dengan hadirnya empat orang anak buah perkawinan mereka.
Salah satu anaknya adalah Si Ruring, yang lahir di Banjar Bukit Bu’ung, Kesiman 16 Oktober 1940.
Tidak pernah sedikitpun terbesit dari benak mereka bahwa anak keduanya ini, kelak dikemudian hari akan menjadi seorang Bankir di Bali.
Dialah Made Madya, yang memang akrab dipanggil Si Ruring oleh nenek, ayah, ibunya di masa ia masih kanak-kanak.
Sejak kecil Si Ruring telah terbiasa membantu ibunya bekerja, walaupun pada mulanya ia lakukan karena menghindari sapu terbang sang ibu yang diarahkan padanya, namun lambat-laun kebiasaan untuk turut membantu orang tuanya manjadi suatu kesadaran dan rutinitas yang tidak lepas dari kegiatan sehari-harinya.
Sebagaimana anak seorang petani, Made Madya sangat menyadari akan betapa terbatasnya kemampuan orang tuanya, oleh sebab itu ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk dapat bersekolah yang semua itu telah dengan susah payah didukung penuh oleh ayah-ibunya.
Maka setelah ia duduk di bangku sekolah dasar, ketekunannya ia tunjukkan dengan semangat belajar, rajin dan patuh pada nasehat – nasehat guru dan orang tuanya, hingga ia bukan saja terasah menjadi anak yang tanggap dan cekatan, namun juga terbentuk menjadi sosok anak yang cerdas dan menonjol di sekolah.
Tahun 1954, selepas pendidikan dasarnya, Made Madya dititipkan untuk dapat mendukung kelancaran kegiatan bersekolah kepada I Gusti Ketut Gede yang berasal dari keluarga Puri Kedaton, suami dari kakak ibunya.
Hidupnya bersama paman dan bibinya tidak ubahnya tinggal bersama orang tua kandungnya, karena Madya merasa sangat diperhatikan dan disayang di sana, hingga ke manapun pamannya berpindah tugas sebagai Kepala Pendidikan Masyarakat, Made Madya selalu diajak serta, termasuk juga mengikuti kepindahan pamannya ke kota Singaraja di mana pamannya bekerja di tempat yang baru.
Tentu saja peristiwa itu berakibat pada pindahnya sekolah Made Madya dari SMP Pantiyasa Denpasar ke SMP Singaraja.
Namun meski bagaimanapun, Madya merasa mawas diri, ia tahu benar menempatkan diri sebagai orang yang menumpang, hal itu setidaknya membuat Made Madya harus semakin tanggap untuk dapat membantu mengerjakan pekerjaan rumah, apa saja yang dapat dilakukan anak seusianya dengan senang hati Madya lakukan untuk setidaknya dapat meringankan kesibukan bibinya yang telah dianggapnya sebagai orang tua kedua bagi Madya dalam mengurus rumah.
Masa cepat berlalu, Made Madya segera tumbuh menjadi pemuda yang energic dan penuh keyakinan. Bidikan bagi masa depannya ia arahkan ke Sekolah Guru Atas di Singaraja dan benar saja, setelah ia benar-benar menjadi siswa SGA Singaraja, Madya pun benar-benar mengejar prestasi belajarnya dengan sungguh-sungguh, hasilnya Madya pun dengan memuaskan dapat menyelesaikan pendidikan gurunya di tahun 1960.
Keinginannya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi tentu begitu besar menuntut semangat di hatinya untuk dapat terwujud.
Kali ini, Madya ingin pergi merantau ke Jawa untuk bersekolah di sana, namun sebesar apapun keinginannya itu, toh akhirnya Madya tetap patuh pada Paman dan Bibinya yang begitu mengkhawatirkannya. Sebagai gantinya ia disarankan untuk memilih kuliah di kota Denpasar.
Made Madya akhirnya menurut untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Udayana dan mengambil jurusan Sejarah dan Purbakala.
Setibanya di Denpasar, Madya bertemu seorang kawan lama semasa bersekolah di SMP Pantiyasa, Denpasar. Gadis bernama Luh Putu Sulandri ini ternyata sedang kecewa karena gagal menyelesaikan studinya di TGA.
Melihat kemalangan yang menimpa kawannya ini, Madya menyarankan untuknya mencoba mendaftarkan diri dan mengikuti kembali ujian di SGA Singaraja.
Namun masih ada kesan dari pertemuan ini, yaitu manakala Putu Sulandri mengajak Made Madya mengobrol di sebuah rumah makan untuk sekedar minum bersama, namun apa lacur, Madya tidak membawa uang sama sekali, sedang untuk menolak ajakan Sulandri ia tidak sampai hati mengatakannya, akhirnya setelah mereka asyik berbincang-bincang dan tiba waktu untuk membayar minuman, Putu Sulandrilah yang dengan rela mentraktir Madya, tentu saja berbagai macam perasaan malu dan lucu berbaur di hati Madya, hingga tanpa disadarinya benih-benih simpati mulai berbunga di hati mereka.
Seperti saran Madya, Ni Luh Sulandri pun berangkat ke Singaraja dan kembali mengikuti ujian sekolah di sana hingga berhasil lulus dan kembali ke Denpasar untuk bekerja.
Memasuki tahun 1962, Made Madya pun berhasil diangkat menjadi guru di sekolah dasar Sanur dan sempat pula menjadi tenaga pendidik di SD Lambing.
Tahun 1964 setelah merampungkan pendidikan dengan gelar sarjana muda, Madya langsung dipindahkan untuk mengajar di SGA Negeri Denpasar.
Sebagai seorang sarjana, dalam keluarganya, Madya dianggap memiliki pendidikan yang cukup tinggi, hingga Wayan Darti neneknya begitu menyayangkan keadaan Madya sebagai seorang guru yang tidak terlalu berada.
Karena besarnya rasa sayang sang Nenek kepadanya, maka Madya diajarkan cara berekonomi dagang secara sederhana, tidak hanya itu, Made Madya juga diberikan sejumlah uang untuk dibungakan kepada pedagang di kampung.
Ternyata setelah sungguh-sungguh Made Madya mengerjakannya, ia dapat memperoleh hasil dari uang yang dibungakannya.
Sebagian keuntungan yang diperoleh ia berikan kepada neneknya dan selebihnya ia kumpulkan untuk membangun rumah.
Di balik itu semua, selama ini pulalah kisah kasih Made Madya dan Ni Luh Sulandri terus berlanjut. Keinginannya untuk dapat mempersunting Sulandri semakin tak terbendung, maka bersamaan dengan selesainya pembangunan rumah miliknya di Kesiman, tanpa menunggu waktu lagi, Madya yang takut kehilangan bunga cintanya ini segera melangsungkan pernikahan pada tanggal 5 November 1962.
Serasa lengkap sudah hidupnya, dengan Sulandri di sampingnya seakan Madya telah siap mengarungi samudera kehidupan dan tanpa ragu lagi untuk melanjutkan langkah perjuangannya meniti hidup yang mapan dan dengan tiga orang anaknya yang kini masing-masing telah bekerja. Yang sulung sebagai dokter anak, yang kedua sebagai apoteker dan yang terakhir sebagai karyawan di kedutaan Australia.
Usaha membungakan uang kepada para pedagang di Kesiman ternyata semakin membuahkan hasil yang berarti; melihat perkembangan itu dan keinginannya untuk membidik pangsa yang lebih luas, Made Madya memutuskan untuk menjalin kerjasama bersama Ketut Molog.
Hasilnya, sesuai dengan perhitungan Madya, kerjasamanya mampu semakin memperluas jangkauan usahanya hingga sampai keluar dari daerah Kesiman.
Terpikirkanlah olehnya untuk tidak bekerja secara gelap-gelapan. Disertai dengan adanya kemudahan untuk mendapatkan izin pendirian Bank Pasar, maka di tahun 1970, Made Madya bersama Ketut Molog membuka Bank Pasar Sinar Harapan Bali (sekarang menjadi Bank Sinar Harapan Bali) yang waktu itu berlokasi di dalam pasar Kamboja dengan bermodalkan uang tiga puluh ribu rupiah dan mengambil tempat yang hanya cukup untuk satu meja di depan Ni Luh Sulandri istrinya berjualan.
Dari emper toko inilah tiga bulan kemudian Made Madya mampu untuk menyewa sebuah tempat kecil masih dalam lingkup pasar Kamboja. Tidak lama kemudian, Made Madya menyewa sebuah toko berlantai dua, bekas koperasi di pasar Kamboja yang berderetan dengan toko-toko di sana.
Titik terang dari sinar harapannya mulai tampak, hari-hari yang dilalui usahanya semakin membaik, hingga Made Madya telah dapat membeli sebuah toko di jalan Patimura.
Semua ini bisa dilaksanakan berkat adanya penambahan modal sedikit-sedikit ditambah keuntungan perusahaan yang tidak dibagikan kepada pemegang saham, sehingga keuntungan tadi dapat kembali memperkuat modal.
Sementara itu tahun 1984, Made Madya mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai direktur dari Bank Perniagaan Umum, di sinilah bukti dari kemampuannya memimpin laju perusahaan perbankan mulai tidak diragukan lagi.
Dan dalam kurun masa itulah Madya meneruskan pendidikannya untuk mencapai sarjana hingga ia mampu memboyong gelarnya di tahun 1986. Tidak cukup sampai di situ, Madya terus memperdalam ilmunya di bidang manajemen guna menambah pengetahuan untuk mengembangkan usahanya, dan di tahun 1999 Madya memperoleh gelar MBAnya disusul tahun 2000 ia juga telah berhasil melengkapi dirinya dengan bekal Magister Managemen.
Demikian pula dengan Bank Sinar Harapan Bali miliknya yang kian maju dan berkembang hingga akhirnya memiliki sebuah gedung di jalan Melati Denpasar.
Namanya sebagai seorang Bankir suksespun makin sohor bergaung di Bali, namun di sela kebahagiaan ini, Made Madya terpaksa menelan kepahitan yang teramat sangat, di saat ia mengetahui istri yang begitu ia cintai mengidap penyakit kanker.
Segala upaya telah ia lakukan, dengan berbagai macam cara pengobatan, baik di dalam negeri hingga sampai Tiongkok, namun Tuhan berkehendak lain, Made Madya harus mengalami perpisahan yang menyayat hatinya, di saat Ni Luh Sulandri berpamitan dan bermaaf-maafan di waktu – waktu terakhirnya untuk pergi selamanya.
Namun suatu hal yang membuat Made Madya merasa semakin sedih dan terharu, karena Ni Luh Sulandri istrinya walaupun telah meninggal masih sempat menyampaikan pesan agar nanti Made Madya mau menikah lagi, karena menurut istrinya, jalan yang akan ditempuh masih panjang, dan karena begitu besar rasa cintanya pada suaminya, Sulandri seakan tidak rela, Madya menghadapi gelombang hidup ini seorang diri.
Dua tahun setelah kepergian Sulandri yang meninggalkan tiga orang anak untuknya, meski belum lagi kering luka pilu di hatinya, Madya pun melaksanakan amanat istrinya untuk menikah lagi.
Hatinya berlabuh pada seorang gadis Bali bernama Ni Made Sudiasih salah seorang staf di Bank Sinar Harapan Bali, yang merupakan putri dari keluarga Veteran.
Harapannya untuk mempersunting Sudiasih pun dikabulkan Tuhan, Sudiasih yang di saat ini memimpin sebuah money changer dan sekaligus menjadi pemilik Bank dan Komesaris Utama dari BPR Dewata Candra Dana rupanya di saat itu bersedia menerima dengan tulus Made Madya dan pada tanggal 23 Juni 1997 berlangsunglah pernikahan ke dua bagi Made Madya, dan buah dari cinta mereka, pasangan ini kemudian dikaruniai dua orang anak.
Satu lagi gelombang hidup dilaluinya, dan Madya Bankir Bali yang telah menembus titik terang dalam dunia perbankan ini, kini mewujudkan harapan dan cita-citanya untuk dapat mendukung pendidikan anak-anaknya setidaknya sebagaimana ia dahulu didukung untuk memperoleh pendidikan.
Itupulalah sebabnya Madya begitu antusias terhadap program-program pendidikan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat luas, sebagaimana tampak pada vasilitas yang tersedia dalam bank yang ia kelola yang telah meramu suatu sistem untuk menjamin biaya sekolah anak – anak di masa yang akan datang, karena menurut Made Madya, pendidikan perlu diberikan karena apapun alasannya, pendidikan adalah faktor utama dalam mendukung pembangunan bangsa yang bagaimanapun juga harus tetap mendapatkan perhatian utama.
BPR Dewata Candradana, Bank yang juga rintisan mendiang “Made Madya” Sang Inspirator yang kini banyak dijumpai di berbagai daerah di Bali.
DATA PRIBADI
Nama : Made Madya
Tempat /
Tanggal lahir : Banjar Bukit Bu’ung, Kesiman, 16 Oktober 1940
Meninggal : 7 Desember 2006
Agama : Hindu
Profesi : Pengusaha Perbankan
Menikah : 23 Juni 1997
Nama Istri : Ni Made Sudiasih
Jumlah Anak : 5 (lima) orang
Pendidikan Formal :
- SD 1 Kesiman
- SMP Singaraja
- SGA Singaraja
- Universitas Udayana Denpasar
(Fak. Sejarah dan Purbakala)
- Magister Management (Jakarta)
Penghargaan : Guru teladan No. III se- Bali
Hobby : Membaca buku dan olah raga
Tokoh Idola : Bung Karno
Warna Favorit : Biru
Lagu kenangan : Aryati
Pesan :Untuk generasi muda, agar dapat berguna bagi Bangsa dan Negara, serta tuntutlah ilmu sebaik-baiknya, jangan pernah membohongi orang tua & hindarilah untuk mencoba Narkoba, sehingga kemerdekaan yang telah diraih oleh para pendahulu dan pejuang pahlawan bangsa dapat kita lanjutkan dan warisi dengan baik.
Leave a Reply