Kang Dharma Wijaya
HIDUP BAGAI MIMPI
Perjalanan hidup bergulir begitu saja, terasa cepat berlalu membawa pada pencapaian kini.
Segala yang manis, pahit, getir, jatuh bangun kerja keras dan perjuangan di sepanjang usia, adalah serangkaian kenangan yang baik buruknya diyakini sebagai guru pendewasaan diri, di mana pengajarannya telah membentuk seluruh dari rupa kita detik ini.Kegagalan, kesuksesan, miskin-kaya, puas dan kecewa hanyalah buah petikan saja yang diperoleh sebagai hasil upaya kita. Bak pepatah China; “Jika ingin melihat engkau di masa lalu, lihatlah ‘keadaanmu’ sekarang. Dan jikalau ingin tahu masa depanmu, maka lihatlah ‘tindakanmu’ sekarang”.
Maka jelaslah di sini, bahwa tidak ada keberhasilan tanpa sebuah upaya, kehakekatan hukum waktu berlaku tanpa menunggu kita, menit menjadi jam, jam berganti hari, hari berubah masa dan begitulah waktu terus berputar berjalan sesuai kodratnya membawa kita ke masa depan tanpa memberi celah untuk dapat memutar haluannya kembali.
Memperbincangkan tafsir keharfiahan waktu memang tepat menjadi sebuah prolog untuk mengawali pengkisahan tentang perjalanan hidup seorang ‘Kang Dharma Wijaya’.
Keberhasilan dan apa yang dimiliki sosok santun ini kini adalah sebuah potret bagaimana kiprahnya di masa silam.
Sedikitnya selain kebesaran CV. Kecak yang ia pimpin, tercatat sebuah industri real estate dan juga bisnis bergengsi pengelolaan lapangan golf dalam lambung utama hotel Grand Bali Beach menjadi cakupan usaha miliknya yang menggelinding sukses.
Namun menariknya, semua capaian ini ‘Kang’ tapaki zonder disertai target dan ambisi, ia bahkan merasa melakoni begitu saja arah arus perjalanan hidup membawanya; “Semua ini bagaikan mimpi, sekian tahun yang lalu saya masih di sana dan kini nasib membawa saya sampai di sini”, begitu ‘Kang’ lirih mengawali kisahnya selepas makan siang yang nyaman disebuah resto miliknya di Sector, Bali Beach Golf Course berlatar hamparan rumput hijau padang golf yang teduh, berpadu molek goresan realis kontemporer lukisan penari Bali karya ‘Ida Bagus Indra’ yang memenuhi ruang dinding dalam sudut pandang yang apik.
Sector Bar & Restaurant
Segala cikal bakal kisah ini bermula di Baturiti Tabanan, tepat pada tanggal 28 Februari 1949, di mana ‘Kang Dharma Wijaya’ terlahir dari rahim ‘Ni Made Tabanan’, ibunya yang lalu memberinya tanda nama; ‘Kang Sing Wie’.
Nama kecil inilah yang ia sandang setidaknya sampai ‘Kang’ duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Secara hirarki ‘Kang’ adalah anak ke 13 dari 15 bersaudara yang kesemuanya saling rukun dan dibesarkan dalam kesederhanaan kehidupan keluarga petani desa yang bersahaja.
Ayahnya; ‘Kang Kim Tok’, memang tidak kaya, namun di desa Baturiti, sosok pria oriental ini terbilang cerdas, ulet, tekun dan cukup disegani penduduk yang bahkan mengusungnya sebagai ‘pekaseh’ (Kepala Subak).
Sebagai petani ‘Kang Kim Tok’ menyumbangsihkan diri merintis pembuatan bendungan pengairan sawah tradisional di Baturiti. Ilmu pertanian yang ia pelajari selama di Negara China ia terapkan dengan baik untuk meningkatkan kualitas hasil tani bersama masyarakat desa.
Maka pantas bila meskipun ia seorang warga keturunan Tionghoa, namun warga Baturiti demikian mengakrabinya bagai saudara sedesa sedaerah dan malah kerap dilibatkan sebagai penengah bermacam permasalahan warga layaknya tokoh yang dituakan.
Dengan ayah petani dan ibu yang juga turut gigih membantu menopang kehidupan keluarga dengan berjualan minuman es cendol atau juga lempog nangka yang lumayan laris di Baturiti, kehidupan masa kanak ‘Kang’ terbilang tercukupi.
Namun meski demikian, untuk alasan mendidik, saat masih duduk di bangku sekolah dasar di SR Baturiti, sepulang sekolah ‘Kang’ kerap diharuskan ayahnya ikut bekerja membantu mengupas bawang merah dan bawang putih di tempat orang demi mendapat sedikit upah yang dapat dipakainya untuk sekedar jajan atau bekal sekolah.
Aktivitas ini tak lama berlangsung, setelah mulai naik di kelas 3 sekolah dasar, ‘Kang’ pindah tinggal di Tabanan ikut di rumah kakaknya dan meneruskan sekolah di sana sampai tamat dan langsung melanjutkan ke SMP Widyapura Denpasar (sekarang SMP Harapan) dan tinggal di dalam asrama pelajar yang ketat dengan kedisiplinan.
Sebagai anak lelaki terkecil dalam keluarga, wajar bila ‘Kang’ lebih terkesan manja karena terbiasa dengan banyak perhatian dan kasih sayang ayah ataupun kakak-kakaknya yang berlebih.
Sudah pasti manakala ia harus hidup dengan disiplin tinggi seperti dalam asrama, jiwa mudanya akan berontak dan menolak.
Sayangnya penolakan ‘Kang’ dalam masa adaptasinya itu malah diartikan sebagian pembimbing sebagai suatu kenakalan, jadilah untuk mengantisipasi berlarutnya masalah, ‘Kang’ pun dipindahkan ke SLUA Saraswati, Denpasar dan tinggal indekos hingga tamat dan langsung meneruskan di SMEA Tabanan.
1969, Kang Dharma Wijaya,
saat masih menjadi siswa SMEA
Selama tinggal bersama kakaknya di Tabanan, ‘Kang’ kerap meluangkan waktu bermain pingpong (tenis meja) di banjar tak jauh dari rumahnya. Kebiasaan main pingpongnya ini ternyata berbuah prestasi, ‘Kang’ yang mahir mengendalikan bola sempat mengikuti PORDA dan kejuaraan-kejuaran sekolah.
Selain tenis meja, ‘Kang’ juga menonjol di bidang atletik khususnya cabang lari dan sempat juga mencetak prestasi lomba tingkat daerah.
Setamat SMEA, ‘Kang’ melanjutkan pendidikannya ke AKABA (Akademi Perbankan) sembari ikut bekerja sebagai penyalur pupuk PUSRI yang disirkulasikan melalui KUD di seluruh Bali.
Karena aktivitas kerja yang kerap bersinggungan dengan pihak BRI (Bank Rakyat Indonesia) selaku pembayarnya, maka muncullah kemudian tawaran kepada ‘Kang’ untuk ditarik sebagai karyawan Bank BRI berstatus pegawai negeri.
Dalam hati kecil ‘Kang’ sangat tertarik tawaran itu, namun apa boleh buat, iapun akhirnya menolak kesempatan menjadi pegawai BRI ini karena patuh pada larangan keras kakaknya yang tidak yakin profesi pegawai negeri dapat ditekuni ‘Kang’ sampai posisi puncak.
Bersama kakak dan adiknya, Kang melakukan ritual memberi hormat kepada kedua orang tuanya yang bermakna simbolis menunjukkan tanda bakti dan kepatuhan seorang anak sebagaimana tradisi masyarakat China pada umumnya di saat merayakan Imlek.
Urung menjadi pegawai BRI, tak lama kemudian sebuah musibah besar datang, ‘Kang’ keracunan cairan soda api, tenggorokannya mengalami luka serius yang membuatnya tidak dapat menelan makanan ataupun minuman.
Ia dilarikan ke RS. Sanjiwani, dirawat hampir dua bulan lamanya dan ternyata tidak ada perkembangan berarti hingga ia harus dipindahkan ke RS. Cipto Jakarta dan dirawat tak kurang dari 2 tahun lamanya.
Selama dua tahun itu, sebuah tabung suntik berselang langsung tersambung menembus perutnya menuju lambung sebagai cara tunggal untuk memasukkan cairan makanan yang tidak mungkin masuk melalui mulut dan kerongkongannya.
Saat itu ’Kang’ sudah pasrah, masih seberapa lama sisa hidupnya tidak ada yang dapat memastikan. Dari sisi medis upaya maksimal seolah sudah seluruhnya ditempuh, namun toh hanya melalui tabung suntik dan selang yang selalu didekapnya itulah satu-satunya kenyataan yang ada.
Namun walau dalam keadaan demikian, ‘Kang’ tidak mau menjadi manusia yang sepenuhnya tidak berguna, ia bersama dengan tabung selang yang dibawanya ke mana-mana, membuktikan masih bisa ikut bekerja kendati hanya sebagai pengawas proyek bangunan milik kakaknya.
Begitu setiap hari ’Kang’ berupaya tabah menjalani hidup yang tersisa sampai tak terasa ia telah sampai di penghujung ujiannya manakala Tuhan mengirimkan Prof. Enfin, seorang dokter dari Belanda yang tergerak untuk melakukan tindakan medis lebih intensif dengan operasi selama 8 jam yang hasilnya memberi dampak kesembuhan di luar dugaan semua orang.
Sejak saat itu, walau harus dengan perlahan, ‘Kang’ dapat mulai memasukkan makanan dan minum secara normal melalui mulutnya yang hal ini merupakan kemukjizatan bagi ‘Kang’ dan keluarga.
Melalui rasa sakitnya lebih dari dua tahun itu, ‘Kang’ kembali pulang ke Bali sebagai pribadi yang jauh lebih santun dan dewasa.
Banyak hal yang menjadi perenungannya, seolah Tuhan menunjukkan kejadian itu sebagai perkenalannya untuk melihat suasana lain di luar ivoria senang-senang masa muda yang ia lakoni sebelumnya.
Peristiwa ini mengenalkan‘Kang’ pada sakit, kesedihan dan kepasrahan, bahkan ia juga mencermati, melihat dan mengalami langsung betapa banyak orang yang sakit tetapi tidak bisa mendapatkan pengobatan yang semestinya. (Dari sanalah terbentuk empati dan simpati seorang ‘Kang Dharma Wijaya’ pada segala aktivitas kemanusiaan seperti terlihat pada kesibukannya saat ini.)
Di kala itu, dengan raga yang mulai berangsur sehat, ‘Kang’ kembali lagi bekerja sebagai penyalur pupuk PUSRI di Bali yang digelutinya selama beberapa tahun hingga kemudian ia beralih kerja menjadi sopir di perusahaan pencelupan kain di kota Singaraja milik kakaknya.
Mulai pagi jam 8, Kang sudah meluncur menuju kawasan Kuta di Badung, mengantarkan kain-kain dan baru kembali ke Singaraja pada sore harinya.
Dari aktivitas itulah ‘Kang’ mulai mengenal usaha garmen dan juga suasana Kuta yang mulai ditumbuhi kesibukan pariwisata.
Berbekal pengetahuan itu, dikisaran tahun 1979, ‘Kang’ yang sudah berkeluarga dengan menikahi ‘Siauw Phwe Nio’ memberanikan diri menyewa sebuah kios kecil berukuran 3X4 di Kuta yang ia sekat menjadi dua ruangan.
Ruangan muka dijadikannya sebuah outlet pakaian jadi dan dibelakangnya ia sulap sebagai tempat tinggalnya bersama istri dan anak sulungnya yang masih bayi.
Hidup di kios kecil dilakoni ‘Kang’ dan istrinya dengan bahagia, mereka tidak terpikir membuat cita-cita atau harapan muluk untuk mereka-reka masa depannya kelak.
Saat itu yang ada hanyalah kerja dan berupaya, hingga suatu ketika datanglah sebuah jalan dari ketiga langganan mereka; Susan, Nency dan Tery asal Amerika yang biasa membeli beberapa retail potong pakaian padanya dan belakangan mulai memperbanyak pesanan dan semakin lama terus bertambah dalam jumlah besar.
1979, ‘Siauw Phwe Nio’ istrinya
terlihat sibuk melayani pembeli
di kios kecilnya.
Melihat peluang itu, ‘Kang’ merangkul kedua adiknya, menggabungkan modal dengan penyertaan masing-masing Rp.250.000,- dan sepakat membuka usaha garmen yang mereka beri brand; ‘CV. Kecak’ berkantor di jalan Gunung Agung 126, Denpasar.
Dengan berdirinya CV. Kecak, pada tahun 1983 ‘Kang’ sudah mulai memasuki pasar export dan terus berkembang pesat, bahkan dalam kurun waktu itu buyer-nya bertambah lagi datang dari Australia yang mendorong ‘Kang’ harus melakukan perluasan lahan industri dan membangun pabrik baru di jalan Soka yang lahannya secara beruntung diperolehnya atas kebaikan ‘Suratmaja’ sang pemilik tanah yang memberi jalan pembayaran secara bertahap.
Di pabrik baru ini sedikitnya ‘Kang’ menyerap lebih dari 1800 tenaga kerja dan tercatat sebagai pengusaha teladan yang banyak mendulang penghargaan baik dari pemerintah dan kalangan luas. Sedikitnya CV. Kecak yang ia pimpin telah dua kali mendapatkan Upakarti dari Presiden Soeharto dan Penghargaan Primaniarta berturut-turut pada tahun 1995 dan 1996 dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, di samping penghargaan sebagai Juara 1 Pengusaha Menengah Berprestasi Provinsi Bali dari Dinas Koperasi Provinsi Bali dan sempat tercatat sebagai pembayar pajak tertinggi di Bali.
Sukses dengan karir bisnisnya di Garmen, Kang Dharma Wijaya berekspansi menerjuni bisnis real estate dengan bendera ‘PT. Satria Graha Abadi Bhuana’ yang lebih berkonsentrasi untuk pembangunan RSS/pengadaan rumah sangat sederhana sebagai dedikasinya untuk masyarakat Bali berkaitan empati dan rasa simpatinya pada kemiskinan.
Sebagai pengusaha yang menaungi ribuan orang tenaga kerja, di awal krisis moneter Indonesia beberapa tahun silam, ‘Kang’ jelas mengalami pukulan berat. Dengan segala upaya ia berusaha bertahan dan menalangi seluruh kerugian yang timbul akibat keterpurukan moneter dunia waktu itu. Namun pada klimaksnya, ‘Kang’pun terpaksa melakukan efisiensi dalam kondisi pasar krisis yang lemah.
Setelah badai krisis berakhir, Kang Dharma Wijaya segera bangkit menggiatkan produksi garmennya dan kembali berekspansi pada tahun 2004 terjun dalam bisnis hobbynya di bidang olah raga golf dengan memanajemeni lapangan golf yang tak terawat di dalam lingkungan hotel Grand Bali Beach dan merombaknya menjadi arena padang golf yang bergengsi berskala internasional.
Kang menerima kunjungan Menperidag di CV.Kecak
yang dinilai sebagai Perusahaan berprestasi.
Dalam keberadaannya kini, ‘Kang’ menghela nafasnya kembali; “Sungguh ini seperti mimpi, …. dulu saya kerap berfikir kapan bisa masuk ke dalam hotel berbintang seperti Grand Bali Beach ini, ….. sekarang tak disangka setiap hari saya berada di sini,… sungguh hidup bagaikan mimpi…”, begitu Kang Dharma Wijaya menandai moment penuturannya dengan kerendahan hati yang polos.
Grand Bali Beach Golf Course
Bagi Kang Dharma Wijaya, sejatinya di manapun ia berada selalu berharap dapat memberikan makna dan arti bagi banyak orang.
Semangatnya ini kerap ia wujudkan dengan bermacam aktivitas sosial, pengobatan gratis mendatangkan pakar kedokteran dari luar negeri ataupun sebagai penyantun para jompo hingga kaum miskin di daerah tertinggal.
Namun anehnya, meski telah bersusah payah berkorban waktu, tenaga dan materi berlandasan niat baik, rupanya maksud itu tak selamanya diterima baik pula. Terkadang ada saja pihak-pihak tertentu berfikiran sinis dan bahkan ada yang congkak menolak ketulusan orang lain untuk berbuat sosial pada masyarakat.
Kendati realitas yang sulit diterima nalar ini menjadi bagian kendala, namun bukan berarti ‘Kang’ yang juga mengkomandoi organisasi sosial ‘Happy Group’ yang berdiri sejak 2003 ini lalu menyurutkan aksi kemanusiaannya.
Kang Dharma Wijaya tetap gencar bekerja, bukan untuk berbagi mimpi manis hidup ini, namun lebih ditandaskan untuk meringankan beban penderitaan mereka yang bahkan tidak sempat bermimpi karena terhimpit kesulitan dan sakit terabaikan di antara kerlap-kerlip Bali.
family picture
DATA PRIBADI
Nama : Kang Dharma Wijaya (Kang Sing Wie)
Tempat /
Tanggal Lahir : Tabanan, Baturiti, 28 Febuari 1949
Agama : Budha
Pekerjaan : Pengusaha
- CV. Kecak
- Grand Bali Beach Golf Course
- PT Satria Graha Abdi Bhuana Properti
Aktif sebagai :
- Ketua Happy Group (Organisasi Sosial)
- Dewan Penasehat INTI (Indonesia-Tionghoa) Bali
- Ketua PGI (Persatuan Golf Indonesia) Bali
Penghargaan :
- Upakarti dari Presiden Soeharto
- Upakarti dari Presiden Soeharto
- Primaniarta 1995 dari Menperindag
- Primaniarta 1996 dari Menperindag
Menikah : 21 Januari 1979
Istri : Siauw Phwe Nio
Anak : 3 orang
Hobby : Golf
Pesan : Mari bersama selamatkan Bali, memagari budayanya, memelihara warisan kearifan lokalnya, mempertahankan jati dirinya, membina kesantunan generasinya, agar Bali tetap Ajeg lestari dan seluruh anak-pinak generasi Bali di masa kini, mendatang dan seterusnya senantiasa bernurani luhur, berbudhi pekerti jujur dan membanggai dirinya sebagai orang Bali.
Leave a Reply