Ketut Englan
DI BALIK NIKMAT
SECANGKIR
KOPI BULELENG
Banyuatis Buleleng adalah sebuah kawasan yang terkenal sebagai pusat kopi berkualitas di Bali. Kesohorannya sudah cukup masyur dari zaman ke zaman, benar saja hal itu tidak lain karena aroma, kemurnian kopi dari desa sejuk ini mempunyai citarasa khas yang tidak mungkin dapat disamai oleh produk kopi lainnya.
Namun apakah sebenarnya kunci rahasia kenikmatan itu dan siapakah juru raciknya, di sinilah kemudian penelusuran itu mengungkap ikhwal ketenaran Kopi Banyuatis, Buleleng yang kini telah semakin sohor di dunia.
Sejak Abad 18, desa Banyuatis begitu rimbun dengan hamparan perkebunan kopi yang menjadi andalan sumber mata pencaharian warga desa di masa itu. Salah satunya adalah ‘Jro Dalang Gelgel’, seorang seniman Pedalang Wayang yang hidup di tahun 1800-an yang juga petani kopi tradisional yang merintis penanaman masal perkebunan kopi sebagai tiang utama penopang kehidupan keluarganya.
Dari kopilah, Jro Dalang Gelgel dapat membesarkan anak-anaknya dan sekaligus mewariskan hamparan perkebunan kopi yang subur itu kepada Putu Dalang anaknya di tahun 1950-an. Putu Dalang dengan tekun mengembangkan perkebunan kopi warisan ini menjadi lebih luas dan terarah.
Dengan pola lebih profesional, rapi, tertib dan pemeliharaan secara intensif, kebun kopi Putu Dalang berlipat-lipat meluas dari peninggalan yang dulu diperolehnya.
Keinginan Putu Dalang untuk maju berbekal keuletan berdagang menjadikan laki-laki ini bertekad mendirikan kedai kopi yang kemudian terwujud dengan sangat sederhana di desanya. Ia menjadi begitu piawai mengolah kopi hasil dari kebunnya hingga tersaji dan menjadi hidangan istimewa bagi masyarakat sekitar yang kebetulan bertandang atau mampir ke desanya. Suasana kedai yang ramah, akrab dan nyaman, menjadikan kedai kopi Putu Dalang cukup popular pada masanya di desa Banyuatis.
Semua cerita tentang ‘Jro Dalang Gelgel’ dan ‘Putu Dalang’ itu bukanlah kenangan dari akhir dongeng ketenaran kopi Banyutis di masa silam, namun justru ini menjadi kisah awal dari lahirnya legenda rasa yang membawa kopi Banyuatis Buleleng menjadi image product dari apa yang selalu orang pikirkan tentang kopi di Bali.
Semasa hidupnya, Putu Dalang memiliki 9 anak dari pernikahan bersama Made Suwandi. Semua anak-anaknya diberinya nama seperti nama-nama kota di dunia. Sebutlah Ketut Englan, anak ke enamnya yang lahir pada tanggal 18 Oktober 1945, yang tidak diduga dikemudian hari mengangkat pamor kopi Banyuatis ke permukaan dunia.
Sepanjang masa mudanya, Ketut Englan pernah mengenyam pendidikan di ITS jurusan arsitektur di kota Pahlawan Surabaya. Pendidikan itu hanya ia lakoni selama tiga tahun karena keinginan untuk bekerja jauh lebih besar dibanding harus kuliah, menggeluti buku dan perhitungan eksak yang membuatnya jenuh dengan rutinitas itu.
Dengan semangat kerjanya yang luar biasa, di tahun 1968 Ketut Englan kembali ke Buleleng dan di tahun 1970-an mulai menekuni usaha pembuatan kopi bubuk secara tradisional.
Gebrakannya cukup berani di masa itu, Englan tanpa ragu mengemas dan memberi label kopi bubuknya dengan nama “Kopi Banyuatis”.
Di mulai dari lingkungan desanya, Englan menghimpun pelanggan satu demi satu dengan keyakinan bahwa usaha yang ditekuni itu bakal maju.
Racikan dan kualitas kopi bermutu, dengan rasa yang khas, menjadikannya cepat dikenal dan dicari-cari pelanggan. Pecinta kopi Banyuatis terus bertambah banyak dan meluas sampai pelosok-pelosok daerah di luar desanya.
Kenyataan pasar yang menggembirakan itu disambutnya dengan mengembangkan industri kopi secara total dan melakukan pembenahan dan penyempurnaan di sana-sini untuk meningkatkan kualitas mutu kopi dari perkebunan kopi yang ditinggalkan kakek dan ayahnya.
Di tangan Englan, penanaman kopi sang ayah dilanjutkan lebih teratur lagi dan bertambah jauh lebih luas dengan pengembangan lahan kopi berikut pendirian pabrik pengolahan kopi bubuk dengan peralatan modern sebagai penampung produksi kopi perkebunannya.
Manajemen pemasaran kopi yang sederhana ia tekuni dengan cermat hingga menciptakan jaring pasar yang solid dan berhasil mencakup di seluruh Kabupaten Buleleng. Kesuksesannya ini berbuntut pada lahirnya bidang-bidang usaha lainnya seperti Hotel Bali Taman, Ngiring Wedang Kopi Shop, Restaurant Gitgit dan Panggung Terbuka Lovina di mana ia ingin mengabdikan keberhasilannya ini dengan mengangkat kesenian Wayang Wong Buleleng yang hampir punah.
Berbagai hal telah dirintis dengan penuh pengabdian dan dedikasi tinggi. Dengan seiring waktu kepercayaan demi kepercayaan terus mengalir dalam hidupnya, atas kepedulian serta loyalitasnya menjadikan Englan terpilih sebagai ketua PHRI Buleleng pada tahun 1995 s/d 1999.
Selama empat tahun masa bakhtinya, karya nyata yang bisa dilihat dan menjadi kebanggaan masyarakat Lovina adalah terwujudnya konsep dan gagasan untuk mendirikan patung lumba-lumba di pantai Binaria dan menjadikannya sebagai maskot pariwisata Lovina.
Berhasil pada kesetiaan, dedikasi dan pengabdiannya sebagai Ketua PHRI Buleleng, Ketut Englan kembali dipercaya insan Pariwisata dalam komponen pelaku usaha Restaurant dan perhotelan di Bali Utara untuk duduk kembali sebagai ketua PHRI periode 1999 s/d 2003.
Sedikit bicara dan banyak bekerja adalah semboyan dalam hidupnya, banyak hal positif yang kemudian dikembangkan untuk mendukung pariwisata Buleleng. Salah satunya, ia wujudkan untuk memenuhi inisyatif misi sosialnya dengan membuka lahan strategis yang berada di pusat Lovina menjadi panggung terbuka untuk pementasan seni dan kebudayaan, yang salah satunya dikenal dengan sebutan Festival Tahunan Joged Bumbung se-Kabupaten Buleleng.
Open stage Lovina kini dikenal semua orang sebagai tempat satu-satunya kawasan sentral Lovina yang khusus mementaskan pagelaran seni dan budaya.
Berhasil dengan kiprahnya, Ketut Englan ingin membangkitkan tontonan ‘Bull Race’ atau Sapi Gerumbungan yang lama telah terlupakan oleh masyarakat Buleleng. Tontonan yang ia yakini mampu menjadi objek andalan yang menarik wisatawan itu ia pahami akan berbenturan dengan banyak permasalahan di lapangan, dari berbagai kepentingan yang berseberangan.
Sekian waktu bahkan tahun lamanya, upaya pembenahan dan pendekatan tanpa kenal lelah dibangun Ketut Englan dengan sabar untuk sebuah keyakinan terwujudnya atraksi Bull Race di Buleleng.
Dari kerja keras dan ketekunan Ketut Englan lah, akhirnya atraksi ‘Bull Race’ atau Sapi Gerumbungan benar-benar terwujud dan telah menjadi tontonan mingguan di Buleleng, hingga menjadi salah satu objek andalan pariwisata yang sangat diminati wisatawan.
Demikian juga kiprahnya dalam bidang apresiasi seni untuk dapat berkolaborasi dengan seniman, masyarakat dan pemerintah, Ketut Englan membuat sebuah Yayasan pada tahun 2000 bernama Yayasan Budaya Den Bukit yang berkonsentrasi melestarikan, mempopulerkan dan mengembangkan kebudayaan khas Bali Utara khususnya kesenian Wayang Wong yang hampir punah.
Kiprah laku sosial dan semua kepedulian itu, tak lepas dari buah akan keberhasilan usaha produksi Kopi Banyuatis.
Maka tak salah bila lalu diibaratkan, secangkir kopi Banyuatis memiliki makna mendalam, di mana dari balik kenikmatan kopi ini, Bali Utara kemudian dapat tersohor di penjuru dunia dan lebih dari itu, dari kenikmatan kopi inipulalah, sebuah kebudayaan yang sekian puluh tahun terlelap tidur, kini bangkit di tangan putra daerahnya, seorang “Ketut Englan”.
DATA PRIBADI
Nama : Ketut Englan
Tempat/
Tanggal lahir : 18 Oktober 1945
Agama : Hindu
Profesi : Pengusaha
Riwayat
Organisasi :
- Ketua PHRI Buleleng (1995 – 1999)
- Koordinator dan penanggung jawab, pembangunan
patung lumba-lumba di Lovina (1998)
- Pelopor Acara Pertemuan Budaya 2 Minggu di Senggol Lovina (1998 – 2002)
- Ketua PHRI Buleleng (1999 – 2003)
- Pendiri atraksi mingguan Bull Race (1997 – 2002)
- Panitia Buleleng Fly Inn (2001)
- Pendiri Yayasan Budaya Den Bukit Lovina (2000)
- Penanggung jawab Festival tahunan Joged Bumbung
se-Kabupaten Buleleng (1999 – 2003)
- Pendiri Open Stage Lovina (1997 – 2002)
- Pelopor pengembangan alternatif wisata berupa atraksi
harian pengolahan kopi bubuk secara tradisional di desa Munduk yang terkenal dengan nama “Ngiring Ngewedang Kopi Shop”
- Anggota Rotary Club
- Pengurus HIPMI Buleleng
Hobby : Berburu, berkebun
Pesan : Peliharalah Ajeg Bali untuk Bali Lestari, namun tidak
untuk menjadi fanatik kedaerahan, melainkan tetap
dalam koridor NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Leave a Reply