Djuwito Tjahjadi
KOPI BALI KHAS TRADISI BALI
YANG MENDUNIA
Satu hal yang tidak terpisahkan dari image Bali yang kondang adalah cita rasa kopi Balinya yang khas istimewa. Popularitas brand Kopi Bali hingga seidentik ini melekat pada pulau Dewata adalah bagian dari sebuah proses perjalanan sang perintis dalam 3 generasi yang telah berhasil mengakarkan ekslusivitas kopi Bali dalam sebuah rangkaian tradisi.
Menyeduh Kopi memang telah menjadi suatu bagian dari prosesi hidup sehari-hari masyarakat Bali, realitas inilah yang kemudian dikisaran tahun 1935 ditangkap menjadi sebuah peluang oleh ‘Bian Ek Hoo’ pemuda asal negeri tirai bambu Cina yang memapak keberhasilan membuka usaha perdagangan rempah-rempah di Bali.
Kisah rantau Bian Ek Hoo di mulainya saat ia baru berusia 18 tahun menempuh perjalanan laut meninggalkan kepulauan Tiong Kok menuju pesisir Nusantara untuk mencari ayahnya di Kediri, Jawa Timur.
Nasib baik kemudian mempertemukan Bian Ek Hoo dengan ayahnya yang menjadi saudagar besar di Kediri dan bahkan juga memiliki 8 gerobak pengangkut barang dan terlihat cukup mapan kehidupannya.
Namun pertemuan itu bukanlah jalan akhir bagi Bian Ek Hoo, ayahnya di Kediri rupanya telah memiliki keluarga baru dan kedatangannyapun bukan hal yang diharapkan bagi keluarga baru ayahnya.
Sebab alasan itulah Bian Ek Hoo melanjutkan perantauannya ke Surabaya, tinggal dan bekerja bersama salah seorang Paman yang memiliki toko kain di sana.
Belum lama di Surabaya, Bian Ek Hoo mendengar bahwa salah seorang pamannya yang tinggal di pulau Bali tengah sakit dan tidak ada yang merawat.
Nuraninya yang polos tersentuh untuk membantu hingga ia kemudian bertekad berangkat melanjutkan kisah rantaunya menuju Bali.
Setiba di Bali setelah merawat sekian lama, akhirnya pamannyapun meninggal, dan sebagai satu-satunya kerabat yang ada, Bian Ek Hoo lah yang kemudian harus mengurus pemakaman termasuk menanggung hutang pembelian peti mati sang paman.
Dan semenjak itulah kemudian babak sesungguhnya dari kisah perantauan Bian Ek Ho untuk hidup di Bali dimulai.
Sepeninggal pamannya dengan beban hutang pembelian peti mati yang harus ia bayar, membuat Bian Ek Hoo mau tidak mau bekerja keras menjadi tenaga kasar di pelabuhan sebagai pemberi makan ternak babi dan sapi yang akan diekspor ke luar negeri.
Selama itu kemudian Bian Ek Hoo berkesempatan turut ke Singapura dalam rangkaian ekspor ternak tersebut.
Dari Singapura itulah Bian Ek Hoo lalu membawa semua buangan kulit sapi dan babi yang tidak terpakai di sana untuk dibawa ke Bali dan dikeringkan lalu diolah menjadi kerupuk rambak yang ternyata laku keras hingga mendatangkan keuntungan besar baginya.
Bermodal keuntungan itu, Bian Ek Hoo mulai menjajaki berbagai usaha niaga mulai dari jual kain, kebutuhan rumah tangga hingga perdagangan hasil bumi dan rempah-rempah di Denpasar (jalan Kartini sekarang).
Ketekunan, kejujuran dan kejeliannya melihat peluang adalah faktor utama yang menjadikan kerja keras Bian Ek Hoo cepat menghasilkan kemajuan pesat.
Trobosan-trobosan dagangnya yang cerdas seperti membawa Ketumbar dari Bali di jual ke Surabaya, mendatangkan Bawang Putih dari RRC untuk di jual di Bali, ataupun membawa Kedelai dari Jawa untuk dipasarkan di Bali ternyata menjadi langkah usaha yang merubahnya dari seorang buruh pakan ternak menjadi saudagar rempah-rempah yang terpandang.
Di tengah kesuksesannya itulah, Bian Ek Hoo berkesempatan pulang ke RCC untuk menikah dan kemudian kembali ke Bali melanjutkan usaha dagangnya setelah kelahiran anak pertamanya.
Dan sejak saat itu usaha dagang Bian Ek Hoo terus berkembang hingga merambah pengolahan dan perdagangan kopi bubuk yang seketika kondang dengan trad mark Kopi Bali Bian Ek Hoo.
Perkembangan usaha pengolahan kopi ini kemudian berlanjut ke anaknya ‘Tjioe Hong Djoe’ / Djuwito Tjahjadi yang lahir tahun 1923 di mana di tangan Djuwito inilah kelak kemudian industri rumahan kopi ini berkembang pesat dikelola dengan cara yang jauh lebih modern.
Sejak masih sekolah setingkat Sekolah Dasar, Djuwito Tjahjadi telah terlibat aktif dalam pengelolaan usaha orang tuanya. Waktu itu ia sudah keliling mengumpulkan hasil bumi, berjualan di toko dan menggoreng biji kopi dengan peralatan serba sederhana.
di depan toko ayahnya.
Dan setelah tumbuh dewasa, Djuwito dipercayai menahkodai bisnis keluarga itu dan ia memutuskan untuk fokus hanya menekuni usaha kopi saja.
Dalam sudut pandang Djuwito Tjahjadi, industri kopi masih memiliki celah-celah peluang untuk dikembangkan menjadi lebih besar, karena berdasar pengalamannya saat mencicipi kopi di berbagai negara, Djuwito dengan cermat membandingkan kenikmatan aneka rasa kopi itu dan mempelajari industri kopi mereka untuk diadopsi di Bali.
Di bandingkan kopi di negara manapun di dunia, Djuwito telah memperoleh kunci bahwa kopi Bali memiliki cita rasa yang tersendiri.
Biji kopi yang diolah pabriknya berasal dari kebun kopi di Kintamani, Singaraja, Baturiti, dan Pelaga.
Masing-masing kopi memiliki rasa yang berbeda, tergantung pada tanah tempat ia ditanam. Sedari awal Djuwito menekankan bahwa mutu di atas segalanya. Prinsip ini dijalankan untuk mencapai dua target utama, yakni membidik pasar turis yang mulai ramai memasuki kancah pariwisata Bali dan ambisinya untuk dapat menyuguhkan kopi kualitas terbaik produksi Bali sebagaimana ia sadari bahwa kopi telah menjadi tradisi orang Bali.
Setelah bahan bakunya, Djuwito kemudian memikirkan prosesnya. Oleh karena itu ia me-ninggalkan proses tradisional warisan ayahnya, Bian Ek Hoo dengan gaya usahanya sendiri dengan memutuskan mengambil gebrakan berani membeli mesin penggorengan kopi dari Jerman seharga Rp. 250.000,- dengan memanfaatkan fasilitas pinjaman yang diperoleh ayahnya sebesar Rp. 1,1 Juta di zaman pemerintahan Nica.
Langkah itu dipilih Djuwito demi untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi industi kopinya.
Kopi yang digoreng sendiri menggunakan kompor dan peralatan dapur sederhana ia ganti dengan mesin modern yang sangat besar memenuhi ruangan.
Berbekal mesin itulah Djuwito mempercayakan kematangan kopi dan juga berobsesi membangun masa depan industri kopi produksi Bian Ek Hoo dengan standart mutu yang baik karena Djuwito tidak mau menanggung risiko moral dan bisnis bilamana nantinya kopi bikinannya tidak higienis.
Berkat mesin modernnya yang didatangkan sekitar tahun 1950-an itulah, di kisaran tahun 1966, saat hotel Bali Beach sebagai hotel berbintang pertama di Bali dibuka. Djuwito berhasil meyakinkan manajer hotel berkebangsaan asing itu untuk mencoba produksi kopi pabriknya.
Sebelumya manajer hotel Bali Beach ini meragukan semua produksi kopi lokal dengan alasan, kopi lokal tidak terjamin kebersihannya, maka karena itulah Djuwito lalu mengajak manajer hotel Bali Beach untuk berkunjung langsung ke pabriknya dan melihat mesin miliknya. Dan setelah itu untuk pertama kalinya hotel berbintang ini bersedia memakai kopi produksi Djuwito.
Malah kemudian manfaat lain Djuwito peroleh dengan dididik langsung oleh para manajer asing itu tentang bagaimana cara mendapatkan dan mengolah kopi berkualitas prima.
Hingga berkat pendidikan itu, Djuwito berhasil menjadi pioneer yang menghasilkan produk bubuk kopi baru dengan warna kecoklatan dalam komposisi rasa yang pas dari semula hasil bubuk kopi yang dihasilkan seluruh pabrik kopi di Indonesia berwarna hitam pekat akibat persepsi keliru bahwa biji kopi yang hangus dalam proses penggorengan dianggap lebih matang.
Soal mutu kopi keluaran pabriknya, Djuwito Tjahjadi meyakinkan bahwa kualitas produksi kopinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena itulah ia meminta para petani supaya memetik biji kopi saat buahnya benar sudah masak karena akan mempengaruhi mutu biji kopi dan nilai jualnya.
Secara prinsip, kopi yang ia pilih adalah yang besarnya merata dan dipetik ketika merah atau matang, karena bila biji Kopi masih terlihat hijau, cita rasa kopi yang dihasilkan menjadi tidak enak setelah diolah.
Kemudian petikan Biji kopi pilihan dijemur sampai kering di bawah sinar Matahari. Dengan terus dibolak-balik agar memperoleh kering yang merata.
Selain itu, ia tidak menjemur biji kopinya beralas terpal di atas permukaan tanah, tapi ditempatkan di semacam bale-bale yang lebih menjamin mutu dan kebersihan produk karena Kopi yang dijemur di atas permukaan tanah akan menyisakan bau tanah dan merusak aroma kopi.
Selanjutnya biji kopi dikemas dan disimpan dalam karung dan diletakkan dalam gudang khusus dengan posisi kira-kira 20 cm dari permukaan tanah. Masa penyimpanan ini berlangsung selama 1 – 3 tahun baru kemudian diolah menggunakan mesin modern terbaru yang mampu mengurai dan memisahkan serbuk ampas atau limbah kopi dari hasil produksi dan inilah yang menjamin mutu kopi buatan Djuwito Tjahjadi memiliki standart mutu tinggi.
Pada awalnya kopi produksi Djuwito ini ia beri cap merk ‘Kopi Rahwana’ selain nama Bian Ek Hoo tetap tercantum menunjukkan jejak cikal bakal sejarah yang dipertahankan Djuwito Tjahjadi sebagai spirit industri kopinya.
Sempat berapa lama Kopi Rahwana ini beredar di Bali dalam kemasan kaleng yang di cat warna merah sebagai ciri produksi pabriknya, akhirnya belakangan Djuwito baru menyadari bahwa nama ‘Rahwana’ adalah tokoh pewayangan yang berkarakter jahat, maka seketika itu Djuwito Tjahjadi membuat konsep nama merk dagang kopinya berikut desain seluruh logo dan simbol-simbol dalam kemasannya melalui perenungannya sendiri.
Lahirlah sebuah trad mark ‘Butterfly Globe Brand’, Kopi Bali merek Kupu-Kupu Bola Dunia di bawah PT. Putra Bhineka Perkasa, di mana nama Bhineka ini adalah akronim dari nama Bian Ek yang menjelma dalam penggabungan huruf-huruf menjadi bermakna Bhineka yang juga Djuwito artikan sebagai gambaran keragaman Nusantara Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Kini Djuwito Tjahjadi memiliki pabrik seluas 1,5 ha yang berdiri sejak 1984 di jalan Thamrin, Denpasar setelah memindahkan pabrik sebelumnya dari jalan Gunung Agung yang atas keputusan pemerintah daerah ditetapkan tidak menjadi kawasan industri..
Pabrik barunya inipun sempat dikunjungi ‘Dr. Hubert S. Koehler’, direktur Worldwide Coffee Research, pada 1995. Dalam kunjungannya ‘Koehler’ sangat terkesan dengan kebersihan pemprosesan Kopi Bali.
Lantai pabriknya selalu dalam keadaan bersih dengan para pekerja yang sudah terprogram untuk bekerja secara higienis dan juga karena alasan inilah, pabrik Djuwito Tjahjadi dianugerahi penghargaan untuk keselamatan dan kesehatan kerja dari Departemen Tenaga Kerja RI oleh menteri Abdul Latief.
Perkembanganpun terus berjalan pesat, mesin penggorengan biji kopi yang tadinya hanya satu ditambah menjadi empat. Desain bangunan pabrikpun teratur mengikuti alur kegiatan, mulai dari areal pengeringan, gudang penyimpanan, gedung produksi, gedung pengemasan, hingga ruang pelatihan teratur tata letaknya.
Contoh tanaman kopi Robusta dan Arabika serta kandang Luak pun tertata rapi di halaman pabrik. Seiring dengan kemajuan pesat yang dicapai Kopi Kupu-kupu Bola Dunia dan menyadari pentingnya regenerasi, Djuwito mulai menyiapkan anak bungsunya; Wirawan Tjahjadi sebagai penerus setelah kembali dari pendidikannya di Amerika.
Di tangan Wirawan Tjahjadi Kopi Bali cap Kupu-kupu Bola Dunia berhasil diposisikan sebagai produk ciri khas Bali dan bahkan memperoleh ISO 9001-2001 ditahun 2004 dan sukses menembus pasar ekspor ke Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Hongkong dan Malaysia.
Wirawan Tjahjadi pun melakukan trobosan penting dengan membeli mesin-mesin kopi modern untuk kapasitas hotel dan mesin itu di tempat nyaris di seluruh hotel di Bali dan tidak hanya itu ia juga merambah bisnis entertainment berekspansi membuka Jazz Bar and Grill tahun 1999 dan Kopi Bali House di tahun 2004 serta kini mulai fokus mengembangkan beraneka macam souvenir dan handycraft yang kesemuanya berbahan dasar kopi, seperti Lukisan Kopi, Aroma terapi dari Kopi, Dupa Kopi, Parfum Kopi dan segala pernak-pernik lainnya.
Satu langkah penting yang diambil Wirawan Tjahjadi adalah dengan membuat Sekolah pelatihanan untuk menguasai seni terbaik cara membuat kopi yang pertama di Indonesia dan mencetak para Barista-barista (peracik kopi) bertaraf internasional.
Dalam 3 generasi mulai dari Bian Ek Hoo, Djuwito Tjahjadi dan Wirawan Tjahjadi, Kopi Bali berkembang menjadi sebuah produk mutu yang masyur dan bahkan menjadi varietas cita rasa tersendiri yang memiliki khas dan diburu untuk dinikmati para penggemar kopi di seluruh dunia.
DATA PRIBADI
Nama : Djuwito Tjahjadi
Tempat /
Tanggal Lahir : Denpasar, 7 Februari 1923
Agama : Budha
Pekerjaan : Pengusaha
PT. Putra Bhineka Perkasa
Alamat : Jl. Gajah Mada
Menikah : 19 Maret 1944
Istri : Tjindra Yap
Anak : 6 orang
Hobby/
Kegemaran : Bergaul
Semboyan
hidup : Sederhana
Pesan : Jujurlah serta jangan menyakiti hati orang
lain dan sebagai warga negara yang baik
wajib taat membayar Pajak.
Leave a Reply