I Gede Dharma Wijaya, SE, MM, M.Kes

1111dw

SATRIA PANDAWA
ABAD 21

 
Wiracarita Mahabharata telah  mengisi inspirasi manusia dalam falsafah ajaran baik, buruk, benar, salah atau bahkan titah berlakunya hukum karmapala dalam laku kehidupan.
Di sanalah dalam babat Mahabharata hidup kelima sosok ‘Pandawa’ putra ‘Pandu’ mulai dari yang tertua Yudistira, kemudian adiknya Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Kelimanya hidup rukun, saling bela, asuh dan asih hingga memenangkan Barata Yuda dan berhasil memperoleh haknya atas tahta Hasitinapura.
Ilustrasi kisah Pandawa ini mungkin tak jauh berbeda dengan kehidupan sosok 5 bersaudara yang lahir dan dibesarkan di pusat Ibu Kota Sunda Kecil sekian puluh tahun yang silam.

Masa kecil kelimanya terbilang cukup bahagia. Sang ayah ‘Made Oka Nurdjaja’ adalah seorang perintis usaha yang tekun, ulet dan cukup maju, sedang ibu mereka; ‘I Luh Padmi Ariani’ adalah seorang bidan kondang di kala itu yang juga sosok wanita yang tiada hentinya membina keutuhan dan kerukunan kelima putranya sebagaimana Dewi Kunti mempersatukan kelima Pandawa.
Sulung dari lima bersaudara ini adalah I Gede Dharma Wijaya, ia lahir di kala fajar menyingsing menebar cahaya kehidupan di bumi Bali tepat di pukul 04.15 WITA, hari Rabu Kliwon, 17 Januari 1951 yang beberapa tahun kemudian disusul kelahiran ke empat adik-adiknya mulai dari; Made Dharma Tanaya, Nyoman Dharma Kusuma, Ketut Dharma Putra dan si bungsu; Gede Dharma Sanjaya.

I Gede Dharma Wijaya bersama kedua orang tuanya

Bagi Gede Dharma Wijaya, ia merasa sangat bersyukur lahir dan dibesarkan dari apa yang ia sebut sebagai keluarga pengusaha pribumi yang bersehaja.
Kedua orang tuanya bukan saja telah menperkenalkan dunia wirausaha sejak ia masih belia, namun juga tanpa menggurangi keceriaan masa kanak-kanak telah memberikan kesempatan untuk turut terlibat dengan banyak hal yang barangkali tak banyak anak-anak lain seberuntung dirinya.

Sepulang sekolah di SD N 2 Singaraja,  Dharma Wijaya selalu sempat untuk membantu kesibukan di toko “JAYA”, toko kelontong milik orang tuanya yang menjual aneka kebutuhan sehari-hari di bilangan jalan Diponegoro, Singaraja, sebisa tangan mungilnya bekerja.

Sedangkan ketika libur sekolah, Dharma Wijaya acap kali turut mengawal truk ayahnya ke Surabaya untuk membeli segala macam kebutuhan toko mereka di Singaraja.
Selain itu, dalam hal lain yang berkaitan dengan kesehatan, Ibunya sebagai seorang tenaga medis, sangat teliti pada pemenuhan gizi anak-anaknya, maka tak heran bila Dharma Wijaya dan adik-adiknya tak pernah lalai tercukupi kebutuhan akan berbagai vitamin, buah, susu dan makanan sehat yang menjadi rutinitas makanan pokok sehari-hari.

Namun sesungguhnya di samping kepedulian sang ibu pada gizi dan kesehatan anak-anaknya, tersimpan satu kekaguman dalam benak Dharma Wijaya pada sang ibu akan peranan sosial dan rasa welas pada sesama.

Satu peristiwa yang tak pernah ia lupakan adalah ketika sebuah musibah mengguncang Bali di tahun 1963 di kala meletusnya Gunung Agung  di mana saat itu, ia bersama ibunya yang sibuk sebagai tenaga para medis yang diperbantukan turut mengantar para pengungsi korban Gunung Agung bertransmigrasi sampai daerah tujuan mereka di Lampung.

Di sela kesibukan ibunya kala itulah, Dharma Wijaya secara jelas melihat langsung beragam kemalangan, kemiskinan, penderitaan, dan bahkan kepiluan dari anak-anak sebayanya yang kehilangan keluarga, saudara atau orang tua mereka.

Situasi ini mengguratkan kesedihan yang teramat dalam di hati Dharma Wijaya, hingga ia lalu berikrar bahwa “kelak di kemudian hari bila aku tumbuh dewasa, aku akan selalu peduli pada nasib orang-orang yang menderita seperti mereka”. Dan siapa sangka inilah cikal bakal kelahiran sosok Satria Pandawa di masa kemudian di Abad ke 21.

Sekian tahun berlalu begitu saja dan tak terasa Dharma Wijaya telah berhasil menamatkan  sekolah lanjutan pertamanya di SMP Negeri 1 Singaraja dan memulai sekolah di SMA N 1 Singaraja.

Sedangkan di tahun-tahun itu, ayahnya juga telah mulai merintis usaha transportasi dengan armada Bus berbahan bakar bensin yang masih menggunakan kerangka body  kayu dan mengangkut penumpang tujuan  Singaraja dan sekitarnya.

Kendati masih sangat konvensional, namun usaha transportasi ini ternyata menarik perhatian Dharma Wijaya bahkan mulai memandang ini sebagai peluang usaha yang jauh lebih prospektif dibanding toko kelontong yang ia yakini suatu ketika akan mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

Di kelas 2 SMA, Dharma Widjaya pindah melanjutkan ke kota Surabaya, melatih kemandirian dan mengadaptasikan dirinya pada kurikulum pendidikan di sana demi nantinya dapat melanjutkan ke ITS.

Selama di Surabaya terilhami program pemerintah yang mencanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), Dharma Wijaya menyambut dengan membuat usaha kontraktor berbendera CV Adi Karya dan CV. Adi Mas  di tahun 1968 dan sempat mengerjakan pekerjaan renovasi dan membangun beberapa rumah dan kantor.

Setamat SMA, memasuki tahun 1970, Dharma Wijaya mengurungkan niatnya untuk melanjutkan ke ITS dan memilih merantau lebih jauh lagi ke Jerman dan menempuh beberapa pendidikan singkat khususnya di bidang mesin disel.

Pendidikan ini dipilih Dharma Wijaya karena selain gratis juga mengingat pada saat itu, teknologi Mesin disel dengan bahan bakar Solar mulai diperkenalkan dan gunakan pada  armada Bus di Indonesia, sedangkan tenaga ahli untuk menangani mesin baru ini masih sangat langka dijumpai.

Setelah 3 tahun 8 bulan tanak menimba ilmu di negeri orang, Dharma Wijaya kembali ke Bali, tahun 1974 dan mengamalkan ilmunya sekaligus menghimpun kekuatan untuk membangun usaha barunya di bidang transportasi.

Tanpa kenal lelah, Dharma Wijaya melakukan survey dan mematangkan rencana usahanya termasuk belajar pada para pelaku usaha transportasi yang berpengalaman di Jawa Timur sampai dengan mengenali dengan baik satu-persatu kompetitornya.

Setelah 2 tahun menggalang kesiapan manajemen dan modal, akhirnya pada hari Sabtu Paing 7 Februari 1976, dengan memilih nama “Puspa Sari”, I Gede Dharma Wijaya membuka usaha transportasi pertamanya dengan 5 Bus modern  bermesin disel dengan mengangkut penumpang jurusan Singaraja-Surabaya PP, sekaligus menjadi pelopor Bus Malam di Bali.

 

PO. PUSPASARI ,   beroperasi sebagai salah satu pioneer armada transportasi masal di Bali sejak tahun 1976

Tahun 1977 merintis rute Bus, Denpasar – Surabaya dan di tahun 1978, tepatnya pada  tanggal 26 Desember, I Gede Dharma Wijaya mengakhiri masa lajangnya pada hari Selasa Kliwon dengan menikahi ‘Tuti Kusuma Wardani’ gadis yang masih kerabatnya dan telah saling mengenal akrab lebih dari 4 tahun lamanya.

Ekspansi usahapun mulai ia lakukan tepatnya pada tanggal 7 Februari 1980 dengan menambah 4 Bus baru dan membuka rute Denpasar – Yogjakarta dengan me-lounching beroperasinya PO. Restu Mulya, diteruskan di tahun 1982 dengan menjadi perintis dibukanya rute menuju Lombok, Sape, Bima, Mataram dengan jumlah armada tidak kurang dari 15 unit bus.

 

PO.  RESTU MULYA, beroperasi ejak tahun 1980
dan hingga kini masih terdepan sebagai armada  antar provinsi.

Dan di tahun-tahun berikutnya, I Gede Dharma Wijaya terus menambah jumlah armadanya dan memperluas jelajah rute termasuk ke Blitar, Malang bahkan kemudian memiliki armada bus yang menembus rute  hingga pulau Komodo.

PO. WISATA KOMODO, mulai beroperasi sejak tahun 1996.

Tak terelakkan lagi, kesuksesan besar menjadi bagian dari perjalanan hidup I Gede Dharma Wijaya, di sinilah apa yang dikisahkan Pandawa juga dilakoni Dharma Wijaya.

Bila konon dulu, Pandawa datang dari sayembara di kerajaan Panchala membawa hadiah kemenangannya seorang putri bernama Drupadi (Panchali), dan mendengar perintah dari Dewi Kunti ibunya; “Bagi saja secara rata apa yang kalian dapat”, hingga menjadikan kemudian Drupadi bersuamikan ke lima satria Pandawa demi menjunjung rasa patuh pada titah Dewi Kunti dan juga demi eratnya tali persaudaraan ke lima Pandawa.

Dharma Wijaya bersama adik-adiknya

Maka kini yang terjadi pada Gede Dharma Wijaya setelah dari kesuksesannya, atas pesan sang ibu yang selalu menekankan;  “Jangan kalian kelima bersaudara saling membuat perbedaan”, maka Dharma Wijaya pun dengan penuh rasa tanggung jawab, mempersatukan ke empat adiknya, menopang dan mendukung bagi semuanya hingga satu-persatu berhasil sukses menempuh cita-citanya masing-masing bahkan juga memfasilitasi usaha demi kemajuan bersama hingga tidak akan terjadi perbedaan dan ketimpangan hidup antara satu saudara dengan ke empat saudara lainnya.

Bila  dibandingkan dengan satria Pandawa, sosok Yudistira sebagai saudara tertua bagi Pandawa tak ubahnya dengan perwatakan Dharma Wijaya.

Yudhistira juga mendapat julukan ‘Dharmasuta’ (putra Dharma) karena memiliki moral yang tinggi, sangat bijaksana dan tak pernah berdusta di sepanjang hidupnya, terlebih lagi Yudistira tidak menyukai kekerasan dalam perang, ia sangat welas terhadap seluruh makhluk hidup termasuk lawannya bahkan ia tidak kehilangan keluhuran budhinya di saat ia menjadi seorang Maharaja di dunia dan mempersatukan kerajaan-kerajaan di bawah pengaruhnya.

Mungkin dari figur I Gede Dharma Wijaya, sosok satria Pandawa dapat ditemui di abad 21 ini, bagaimana tidak; setelah berhasil dalam karirnya, Dharma Wijaya tidak melupakan ikrar kanak-kanaknya untuk selalu peduli bagi mereka yang tertimpa kemalangan.

Dari kedua belah tangannya telah mengalir banyak kepedulian bagi yatim piatu, anak-anak putus sekolah, dunia pendidikan dan kaum miskin.

Mulai dari memberi beasiswa, santunan, sumbangan, membangun perpustakaan di pelosok-pelosok desa, sampai mendirikan Rumah Sakit yang ditujukan agar ia lebih dapat membantu mereka yang tidak mampu.

Setidaknya selain pertanian Organik yang telah berhasil digalakkan, saat ini (tahun 2012) telah terbentuk 22 kelompok pemuda yang dibantu untuk sektor perikanan dan 16 kelompok di sektor peternakan dan jumlah kelompok inipun  akan terus meningkat melihat antusiasme masyarakat Singaraja akan program sosial I Gede Dharma Wijaya.

Dharma Wijaya berinisyatif dan menjadi pelopor tampil memberdayakan para pemuda di Kabupaten Buleleng, dengan membuat  puluhan kelompok pemuda dari berbagai desa untuk diberi pelatihan sebagai peternak dan kemudian diberikan modal ternak baik Sapi, Kambing,  Babi dan Lele Dumbo termasuk kelenkapan pakan dan pemasarannya, secara cuma-cuma demi merangsang semangat kerja kaum muda Buleleng.

Jiwa sosial dan kepedulian Dharma Wijaya inipun berpadu sempurna dengan semangat welas asih Tutik Kusuma Wardhani istrinya yang tak kalah gigih berkiprah di berbagai kegiatan sosial dan pergerakan pemberdayaan potensi wanita dalam upaya pengentasan kemiskinan. Maka tak mengherankan manakala  kedua pasangan ini terlihat mengemban mandat partai Demokrat sebagai calon anggota dewan, sontak warga Singaraja yang  terkenal sangat fanatik pada salah satu partai yang selalu mendominasi perolehan suara di Kabupaten Buleleng / Singaraja,  kali ini terpecah suaranya berbalik memberi dukungan suara mendukung Dharma WIjaya duduk di kursi dewan demi untuk memberi ruang berkiprah lebih luas bagi Dharma Wijaya dan istri dalam memperjuangkan nasib rakyat Buleleng.

Beberapa foto dokumentasi kesibukan aktivitas sosial yang rutin dilakukan
di keseharian Dharma Wijaya yang kini lebih banyak menyita waktunya.
“Membantu mereka yang yatim, miskin dan meringankan penderitaan atau kesusahan mereka terlanjur saya anggap sebagai profit dari keuntungan perusahaan yang  saya cari dan itu lebih membahagiakan saya dibanding keuntungan materi”.

 

 

RUMAH SAKIT UMUM  KERTHA USADA,

yang kini tercatat sebagai Rumah Sakit terdepan
dan terkemuka di kota Singaraja dengan
kelengkapan alat-alat medis modern termasuk
CT Scan dan peralatan medis lainnya yang terus
dilengkapi rumah sakit Kertha Usada mengikuti
kemajuan teknologi kedokteran abad ini.

Sebagai pengusaha besar yang santun, prinsip  dan laku hidupnya yang setia pada kebenaran adalah cerminan keluhuran dharma yang tidak ia tukar dengan apapun termasuk jabatan, pangkat dan kedudukan, Hal ini terlihat jelas manakala ia menunjukkan sikap lurus memegang teguh kejujuran kendati dalam kompetisi di kancah politik yang sarat dengan kecurangan. Karena bagi Dharma Wijaya cenderung menganggap politik hanyalah sebagai sarana tak ubahnya dengan kendaraan, yang merupakan salah satu wadah untuk pengabdian. Ia tidak mencari fasilitas negara, karena bila itu yang dia harapkan, tanpa berpolitikpun, sebagai pengusaha sukses ia bahkan telah lama sudah menikmati fasilitas yang setara bahkan lebih mewah dari standar fasilitas yang disediakan negara untuk para anggota dewan. Namun ribuan pengharapan rakyat miskin yang kerap dijumpainya di Buleleng yang mendorongnya masuk dalam pusaran politik untuk dapat berbuat lebih optimal bagi mereka, karena bagaimanapun kuatnya pijakan kaki Dharma Wijaya dan istri sebagai pengusaha tentu tidak akan cukup kuasa dan mampu mengentaskan kemiskinan penduduk bila jumlahnya sudah mencapai angka ribuan orang dan berkelanjutan.

Keteguhan tekadnya pada pengentasan kemiskinan ia tunjukkan dengan olah kerja nyata tanpa henti  dan saling berbagi peran bersama Tutik Kusuma Wardhani istrinya baik dalam mengoptimalkan kiprah pengabdian mereka sebagai wakil rakyat maupun dalam berbagai aktivitas sosial dan organisasi termasuk mempelopori pemberantasan kemiskinan dan memangkas angka pengangguran dengan langsung memberi pelatihan dan modal usaha baik bagi petani dan peternak sekaligus membekali masyarakat dengan kecakapan kemampuan diberbagai bidang dengan mendatangkan tenaga-tenaga pendidik termasuk menyediakan toko obat bagi ternak dan kebutuhan tani, juga melatih dan memperkenalkan masyarakat  pada inovasi optimalisasi pengolahan limbah menjadi Bio Gas.

Selanjutnya, Dharma Wijaya telah mempersiapkan terobosan di bidang pendidikan dengan merintis berdirinya sekolah perawat setingkat SMK dan Akademi Kebidanan di Singaraja, hal ini ia maksudkan untuk meningkatkan kwalitas Sumber Daya Manusia masyarakat Singaraja dan Bali secara utuh agar memiliki daya saing dan siap menjawab tantangan kebutuhan pasar tenaga kerja medis profesional  di seluruh dunia.

Namun di balik itu semua, sesungguhnya tidak ada ambisi apapun dalam hidup I Gede Dharma Wijaya selain terus membahagiakan sesama, berdhama sosial dan berupaya berbuat semaksimal mungkin dari apa yang dapat ia bhaktikan bagi nusa dan bangsa.

Dan mungkin inilah sosok pilih tanding yang bersyukur telah dimiliki Bali di abad 21.

family picture

DAFTAR PRIBADI

Nama              :           I Gede Dharma Wijaya, SE, MM, M.Kes
Tempat/
Tanggal lahir   : Singaraja, 17 Januari 1951
Agama                : Hindu
Pekerjaan        :
*  Wakil Ketua DPRD Kabupaten Buleleng di Singaraja
*  Sekretaris Yayasan Kertha Usada – Singaraja
*  Pengusaha / Pemilik :
-  PT. Puspasari Perdana
-  PO. Puspa Sari
-  PO. Wisata Komodo
-  PO. Cipta Dharma Perkasa
-  PO. Restu Mulya
-  RSU Kertha Usada
-  PT. Tata Alam Sari Inti Developer
-  Bali Puspa Sari Collection (Melbourne)
Taxi Wahana Dharma
-  Puspa Sari Travel
- Niki Diagnostic Centre (Niki Laboratorium, Denpasar)
- Koperasi Pandawa Mandiri

Organisasi       :
-  Ketua ORGANDA Buleleng  (1987 – sekarang)
-  Ketua HPPI Buleleng  (1999 – sekarang)
-  Ketua Kompartemen Jasa Perhubungan KADIN Buleleng  (1996 – Sekarang)
-  Anggota Indonesia Junior Chamber
-  Wakil Ketua HIPMI NTB  (1985-1990)
-  Wakil Ketua ORGANDA NTB (1990- sekarang )
-  Ketua Partai Demokrat – Kab.Buleleng (2006 – 2011)
- Ketua Dewan Penasehat DPC  Partai Demokrat Kabupaten Buleleng (2011-sekarang)

Penghargaan       : – Penghargaan atas Jasa & Usaha Bidang
Transportasi & Angkuan Umum, 2006 oleh
Menteri Perhubungan dan DPP ORGANDA.
- Penghargaan Dirjen Perhubungan Darat masalah
dampak transportasi perkotaan, 2006
Menikah          : 26 Desember 1978
Istri                  : Tutik Kusuma Wardhani
Jumlah anak    : 3 orang
Hobby/
Kegemaran     : Membaca
Semboyan
Hidup               : Berbuat baik sepanjang hidup

Pesan               : Hidup bagai air mengalir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>