Ketut Dharma Eka Putra Siadja
KEMBANGKAN EKSPOR
DI TANGAN GENERASI KE TIGA
Ubud sebagai sentra seni dan kerajinan Bali telah dimulai jauh sejak sebelum Indonesia merdeka.
Dalam sejarahnya Ubud menjadi kawasan emas pusat budaya seperti saat ini tidak terlepas dari peranan penting berdirinya Pita Maha di sekitar tahun 1936 yang melibatkan tokoh Puri Ubud ‘Tjokorda Gde Agung Sukawati’ sebagai pemrakarsa, Walter Spies dan Rudolf Bonnet sebagai penasehat dan di dukung para pelukis Bali senior seperti I Gusti Nyoman Lempad, Made Poleng, I Gusti Ketut Kobot dan Gusti Made Deblog serta tidak ketinggalan seniman patung ‘Ketut Rodja’ yang duduk sebagai koordinator di perkumpulan Pita Maha itu, di mana kesemuanya lalu bekerja keras mengembangkan seni, menjaga kualitas karya dan mencegah kemerosotan mutu seni yang dihasilkan para seniman Ubud.
Bersama Pita Maha, para seniman sepakat hanya menjual karya di pasar umum setelah diperiksa dan dinyatakan layak oleh tim ahli perkumpulan ‘Pita Maha’.
Di samping itu Pita Maha sendiri berperan sangat besar dengan secara rutin mengadakan pertemuan untuk membimbing dan menilai hasil pekerjaan anggotanya di samping mengadakan penerangan secara luas di seluruh pelosok desa Ubud untuk menjaga dan meningkatkan mutu karya seni pengrajin dan seniman hingga kini berkat keberadaan mereka segala olah karya seni di Ubud kondang tersohor di seluruh dunia.
Pasca kemerdekaan Indonesia, para seniman anggota Pita Maha semakin tersohor sebagai maestro yang sangat dibanggakan dengan maha karya yang mengagumkan.
Salah satunya adalah pematung ‘Ketut Rodja’ seniman tradisional yang tuntas mengadopsi ilmu seni pelukis Belanda Rudolf Bonnet itupun menjadi seniman favorit Presiden Soekarno.
Beberapa kali Proklamator bangsa ini datang ke rumah ‘Ketut Rodja’ masuk ke dalam perkampungan desa untuk sekedar membeli patung bermutu buah ketrampilan seni karya ‘Rodja’, hingga karena terlalu bangganya ‘Pak Karno’ menyarankan Ketut Rodja untuk membuka gallery di pinggir jalan agar mempermudah Pak Karno mengajak para kolega dan para tamu negara untuk mengunjunginya.
Karena saran Presiden, kemudian dibukalah ‘Rodja’s Gallery’ di tahun 1955 di tepi jalan Raya Mas, Ubud.
Ketut Rodja
Memasuki tahun 1967, setelah Ketut Rodja meninggal, gallery itu kemudian dilanjutkan anak lelakinya ‘Wayan Gede Siadja’ dan mengganti namanya dengan nama Fa. Siadja.
Dengan bendera nama baru di bawah pengelolaan Wayan Gede Siadja, usaha penjualan handycraft / kerajinan tangan ini mengalami perkembangan pesat.
‘Gede Siadja’ bersama istrinya ‘Nyoman Ariani’ bahkan mampu menembus pasar ekspor di tahun 1984 di samping penjualan secara retail yang juga turut meningkat tajam.
Kendati sukses dengan bisnis ekspor yang ia pimpin, namun Wayan Gede Siadja senantiasa meneladani hidup sederhana pada keluarganya yang telah dikaruniai 5 orang anak, termasuk ‘Ketut Dharma Eka Putra Siadja’, anak ke empat laki-laki pertamanya yang dapat dengan gamblang melihat sosok santun sang ayah dalam perilaku kesehariannya.
Potret kanak-kanak
Ketut Dharma Eka Siadja
Dan mungkin dari sanalah kemudian jiwa kepemimpinan itu lalu tumbuh dan mengalir dengan sempurna di diri Ketut Dharma Eka Putra Siadja yang kini tercatat tampil sebagai eksporir sukses di Bali mengusung nama besar dinasty Siadja ke kancah perdagangan International dan suskes membesarkan usaha keluarga ini di bawah kepemimpinannya sebagai generasi ke tiga.
Bakat kepemimpinan pria kelahiran Ubud, 30 Oktober 1968 ini memang sudah terlihat menonjol sejak ia masih kecil. Kendati hanya dikalangan teman-teman sepermainan Ketut yang baru mulai sekolah di English Class SD 3 Saraswati, Denpasar, sudah mulai fasih mengkoordinir anak-anak yang lain untuk ikut menabung bersamanya demi untuk membeli seragam tim sepak bola atau sekedar baju baru di hari Galungan. Untuk itu sebuah kotak ia buat dilengkapi nama masing-masing kawannya dan mengajak untuk menabung dengan menyisihkan uang jajan bekal sekolah mereka setiap hari.
Dan berkat itulah kemudian, group sepak bola bocah ini akhirnya mampu membeli seragam sepak bola lengkap dan juga baju baru untuk hari raya, hasil dari tabungan sendiri.
Cikal bakal kebiasaan menabung memang telah dibudayakan ayahnya sedari Ketut masih kecil. Setiap kali petugas keliling Bank Perniagaan Umum (BPU) datang kerumahnya, Ketut selalu tidak mau ketinggalan ikut menabung sebisanya meniru apa yang dilakukan para orang tua.
Dari hasil tabungan jugalah kemudian Ketut mampu memulai bisnis pertamanya dengan membeli satu dua ekor babi yang ia titipkan di peternakan neneknya. Alhasil dalam waktu singkat, bisnis babi ini beranak pinak menambah tebal pundi tabungan Ketut di bank, apalagi ia juga tekun mengumpulkan hasil penjualan pisang goreng atau es buatan ibunya di kala-kala tertentu, yang laris dijajakan kepada para pekerja di pabrik ayahnya.
Barangkali inilah sebuah tanda alam yang muncul pertama kali akan adanya talenta entrepreneur dalam naluri Ketut Siadja.
Setamat SD, Ketut Dharma Eka Putra Siadja melanjutkan pendidikan ke Denpasar di SMP N 1 hingga tamat di tahun 1984 dan langsung meneruskan pendidikan atasnya di SMA N 1 Denpasar di mana di sinilah ia mengenal ‘Luh Putri Dewi Sinthayani’ yang diakrabinya sebagai teman spesial yang mengisi masa remaja Ketut Dharma Eka Putra Siadja.
Tahun 1987, selulus SMA, Ketut langsung dikirim ke Melbourne, Australia untuk melanjutkan pendidikan di jurusan ekonomi yang telah menjadi minatnya demi untuk dapat menembus harapan menjadi sumber daya manusia yang dapat diandalkan dalam membesarkan usaha perniagaan Fa. Siadja kelak bila tongkat estafet itu jatuh padanya.
Ternyata selama di Australia, kebiasaan tidur larut membuat Ketut selalu kesiangan bangun dan telat waktu untuk mengikuti jadwal kuliah. Situasi itu akhirnya ia atasi dengan jalan bekerja sebagai loper koran yang mengharuskannya bekerja pagi tanpa mengenal alasan terlambat.
Benar saja, karena pekerjaannya sebagai loper koran itu, Ketut berhasil tidak lagi terlambat mengikuti kuliah karena kesiangan, walau sebenarnya di Bali ayahnya pernah berpesan melarang Ketut untuk bekerja yang dikhawatirkan dapat mengganggu konsentrasinya belajar selama di Australia.
Memang bila dilihat dari sisi finansial, keluarganya di Bali sudah mengirim bekal sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup Ketut selama belajar di Australia, namun kendati demikan ia akhirnya berhasil meyakinkan kedua orang tuanya bahwa aktivitas bekerjanya ini tidak berkaitan dengan hal keuangan, namun justru cenderung sebagai cara yang membuat ia membiasakan diri mengusir kantuk agar tidak lagi terlambat mengikuti jam kuliah.
Seiring waktu berlalu, di samping kuliah yang terus ia tekuni dan kegiatan loper korannya setiap hari, Ketut juga tidak menolak pekerjaan sebagai tenaga kebersihan mini market 24 jam, yang dilakoninya dua kali dalam seminggu setiap pukul 03.00 pagi, dan juga sempat menjadi tukang cuci piring, hingga berjualan rokok buatan Indonesia hasil titip dari para teman yang datang ke Australia dan juga sesekali berbisnis jual beli mobil bekas yang ia dapat dari para mahasiswa Indonesia yang akan pulang ke tanah air.
Sebenarnya upah yang diperoleh Ketut dari pekerjaannya itu memang tidak banyak, namun karena ia nyaris jarang sekali memakai uang tersebut untuk berbelanja selain untuk menelpon kekasihnya ‘Luh Putri Dewi Sinthayani’ di Denpasar saat rindu sudah tidak tertahankan, lama kelamaan jumlah uang yang selalu ditabungnya itu mengumpul menjadi nilai yang lumayan besar.
Berbekal modal dari uang tabungan yang ada dan komunikasi yang terus dijalin bersama Dewi Sintha, Ketut pun memberanikan diri ngawali debut bisnis pertamanya dengan membuka arcade/stand kerajinan tangan di Bali Galeria Nusa Dua, Bali yang dikelola oleh Dewi Sintha dan kakaknya sementara ia masih di negeri kangguru.
Memasuki tahun 1993, Ketut Dharma Eka Putra Siadja kembali setelah berhasil merampungkan pendidikannya dan langsung mengembangkan usaha arcade kerajinan di Bali Galeria Nusa Dua disusul arcade-arcade yang lain seperti di Bali Beach Hotel tahun 1994 dan juga di Gelael Kuta serta kembali membuka 3 buah arcade di areal Bali Galeria Nusa Dua.
Sementara usahanya berjalan, Ketut Siadja juga mulai dilibatkan membantu usaha Fa. Siadja milik orang tua yang pada saat itu telah berkembang memiliki dua divisi antara lain divisi retail yang dipimpin ibunya dan divisi ekspor yang diurus sang ayah.
Di divisi ekspor lah bersama ayahnya, Ketut langsung dilibatkan terjun mengurus segala hal di pabrik dari hulu ke hilir hingga produk kerajinan rampung dan siap kirim ke para buyer di luar negeri.
Sementara Ketut bersemangat menggebu mengelola divisi ekspor, ayahnya cenderung terlihat mulai banyak mengurangi aktivitas bisnis dengan lebih banyak menghabiskan waktu di kegiatan spiritual religius dan sosial.
Jumlah buyer yang relatif tetap, membuat Ketut Siadja merasa perlu melakukan gebrakan promosi menjemput bola di kancah internasional dan melakukan pemetaan pasar ekspor termasuk mengenal satu persatu kompetitor berikut melakukan super visi menggelar Tour promo bisnis ke Amerika dan Eropa.
Hasilnya dalam waktu singkat mampu meningkatkan produksi perusahaan ke arah yang menggembirakan.
Keberhasilan Ketut ternyata menggugah keyakinan orang tuanya pada potensi besar yang mampu dilakukan Ketut Siadja dalam mengembangkan bisnis industri ekspor di kemudian hari.
Sejak itu hampir penuh seluruh kegiatan operasional divisi ekspor telah berhibah ke tangan Ketut Dharma Eka Putra Siadja, dan peranan ayah sudah tidak lagi banyak terlibat di segala urusan bisnis, selain masih melakukan regenerasi pengenalan ke relasi dan kolega lama untuk mengenal keberadaan Ketut Siadja sebagai penyambung pengelolaan Fa. Siadja.
Setelah semakin mapan menjalankan roda usaha dengan usia yang telah matang dan dewasa, Ketut Dharma Eka Putra Siadja dan Luh Putri Dewi Sinthayani meneruskan mengakhiri masa lajangnya setelah sekian lama keduanya berhasil membina dan mempertahankan cinta SMA mereka melewati banyak kisah dan cerita hingga menjalani masa saling rindu saat harus terpisah demi pendidikan di Australia yang akhirnya membawa mereka ke jenjang pernikahan pada tanggal 5 April 1995.
Ketut Siadja, Luh Putri Dewi bersama orang tua
Dalam semangat menempuh lembar baru hidup berumah tangga, Ketut Siadja bersama istrinya mulai memandang penting upaya usaha mandiri demi menjaga keutuhan imperium dagang keluarga di bawah bendera Fa. Siadja.
Atas dasar pemikiran itulah kemudian dibangun sebuah gedung sekaligus pabrik berbadan usaha CV. Dharma Siadja, sebagai perusahaan yang secara utuh merupakan milik Ketut Siadja dan bergerak khusus di bidang ekspor yang mulai beroperasional sejak tahun 1998.
Dalam kendali operasional CV. Dharma Siadja, peran Luh Putri Dewi Sinthayani sebagai istri nyaris juga tampil seolah sebagai tulang punggung dalam mengendalikan industri ekspor ini. Hal tersebut tidak mengherankan mengingat semenjak pernikahannya bersama Ketut Siadja, Dewi Sintayani sempat beberapa lama mendapat bimbingan strategi bisnis langsung dari ayah dan ibu mertuanya.
Karena itulah pasangan Ketut Siadja dan Dewi Sinthayani tidak mengalami kendala yang berarti dalam memacu laju perusahaan yang padat pesaing itu.
Belum lama sempat melihat kesuksesan Ketut Siadja dan menantunya membesarkan pasar ekspor, di tahun 1999, sang ayah; ‘Wayan Gede Siadja’ meninggal dunia.
Seketika rasa kehilangan sosok panutan dan sahabat memang tidak dapat terelakkan, namun di balik kepergiannya, Ketut Siadja menyimpan rasa bangga bahwa selama hayat ayahnya telah berhasil merampungkan seluruh dharma hidup dengan banyak kebaikan dan prestasi yang membanggakan keluarga.
Kini tongkat estafet telah benar-benar tertuju padanya sebagai generasi ke tiga yang harus berkiprah jauh lebih baik menyempurnakan olah karya dari dua generasi sebelumnya.
Karenanyalah dengan tekhnik manajemen profesional didukung kiprah promosi yang terarah ditambah lagi kejelian menangkap selera dan peluang pasar, dalam waktu sangat singkat CV. Dharma Siadja melejit menembus angka gemilang yang belum pernah dicapai sebelumnya, hingga untuk mendukung tuntutan pasar perusahaannya harus melakukan beberapa ekspansi pengembangan pembangunan pabrik baru di desa Lod Tunduh, Ubud, desa Tengkulak Ubud dan di Yogjakarta, Jawa Tengah yang didirikan sejak tahun 2004.
Jumlah buyer yang meningkat pesat dan kwantitas ekspor yang luar biasa besar membuktikan bahwa sebagai regenerasi pimpinan, Ketut termasuk entrepreneur muda yang memimpin dengan tidak dibayang-bayangi oleh manajemen konfensional yang berhasil memberikan bukti pencapaian kesuksesan oleh para pendahulunya.
Ketut Dharma Eka Putra Siadja memiliki cara tersendiri mengikuti zamannya untuk mengolah sebuah industri dan berhasil membuktikan bahwa setiap generasi mengahadapi persaingan dan situasi pasar yang berada dari generasi sebelumnya.
Kekokohan pilar bisnis yang ia bangun kilat tersebut ternyata juga terbukti handal menghadapi goncangan. Hal ini teruji di tahun 2006 di saat pabrik utama produksinya di jalan Raya Mas ludes terbakar beserta seluruh peralatan, bahan baku dan puluhan container siap kirim disusul sebulan kemudian pabrik dan gudangnya di Yogjakarta rata dengan tanah diguncang gempa.
Musibah besar ini sedikitnya menimbulkan kerugian yang sangat besar namun dalam saat itu juga mampu ia pulihkan untuk terus melanjutkan dan menggenjot produksi.
Hasilnya setelah bencana tahun 2006 itu, Ketut memetik manisnya di tahun 2007 dengan meledaknya order dan ekspor melebihi segala tahun yang pernah dicapai CV. Dharma Siadja.
Maka jelaslah sudah, kerajaan dagang yang kini terlihat merajai pasar ekspor tersebut berdiri melalui peran berarti 3 generasi yang tiap di antaranya membuat kejutan dan kebanggaan yang ditinggalkan bagi generasi berikutnya.
Pada saat ini, tinggallah tugas Ketut Siadja mendidik dan membesarkan regenerasi baru, anak-anak buah cinta bersama Luh Putri Dewi Sinthayani untuk menjadi generasi berikutnya dengan mengajarkan banyak hal sebagaimana Ketut Rodja kakeknya dan Wayan Gede Siadja ayahnya telah menularkan banyak teladan dan ajaran yang mampu membentuk sosok Ketut Dharma Eka Putra Siadja menjadi seorang generasi penerus dengan prestasi luar biasa seperti mereka.
DATA PRIBADI
Nama : Ketut Dharma Eka Putra Siadja
Tempat /
Tanggal lahir : Ubud, 30 Oktober 1968
Agama : Hindu
Profesi : Pengusaha
Menikah : 5 April 1995
Nama istri : Luh Putri Dewi Sinthayani
Anak : 2 orang
Aktif sebagai :
1994 – 2000 : Ketua Kompartment Luar Negeri HIPMI Bali
1997 – 1999 : Director JCI Lom Bali
1999 – 2000 : Vice President JCI Lom Bali
2002 – 2005 : Pengurus Asephi Bali (Sub Kerajinan Kayu)
2005 – 2011 : Pengurus Asephi Bali (Sub Keramik)
2003 – 2008 : Pengurus Kadin Gianyar (Sub Kerajinan Kayu)
2005 – 2010 : Pengurus APKKG (Asosiasi Pengusaha Kerajinan
-Kayu) Kab.Gianyar
2005 – 2010 : Wakil Ketua Apindo Gianyar
2008 – 2013 : DPP Kadin (Komite Produk Krya)
2009 – 2013 : Ketua Umum PBSI Gianyar
2009 – 2011 : Pengprov PBSI Bali
2010 – 2015 : Wakil Ketua Umum Kadin Bali
(Sub Ekonomi Kreatif & Jasa Lainnya)
Penghargaan :
Oktober 2009 : Penghargaan Primaniyarta dari Presiden RI
(Creative Economic Exporter)
Desember 2009 : Penghargaan dari Gubernur Bali
(Perusahaan Pembina Terbaik Tenaga Kerja
Wanita Prov. Bali)
Pesan : Lakonilah dengan senang bidang usaha apapun
dengan tekun dan serius untuk memperoleh
keberhasilan.
Leave a Reply