Ketut Budiarsa, SKM

budiarsa1crop

MENGGERGAJI  ANGIN
MENUMPUK TABUNGAN
DI BANK UNIVERSAL

 

Tiada jalan pintas menjadi sukses, tempaan waktu, pahit getirnya perjuangan dan lika-liku pengalaman adalah titian tangga yang harus dilalui menuju keberhasilan.
Bagi yang pantang bersurut asa, semua rintangan dan jatuh bangunnya upaya hanya dianggap sebagai ujian diri untuk menjadi lebih hebat lagi menyambut kesuksesan besar dibelakang hari.

Dan jauh sebelum kata ini dirangkai menjadi sebuah motivasi, beberapa dasawarsa lalu ‘Ketut Budiarsa’, lelaki pribumi Bali yang kini bertengger sukses dengan puluhan imperium dagangnya, telah terlebih dahulu membuktikan betapa tapak demi tapak perjuangan untuk sukses harus dilakoninya dengan penuh keyakinan kendati harus menggergaji angin yang nyaris dianggap mustahil bagi sebagian orang.

Ketut Budiarsa, lahir dari rahim ‘Ni Made Rapit’, di Tabanan, 15 Mei 1957, anak ke delapan dari sembilan bersaudara ini hidup  sederhana di desa Sandan, Wanasari, Tabanan tempat ia menghabiskan masa kanaknya yang ceria.

Ayahnya; ‘I Wayan Mura’  memang hanya seorang petani tradisional desa, namun dari kedua tangan taninya yang ulet dan tekun itulah, ia kemudian berhasil mengelola lahan garapan hingga mampu menghidupi kesembilan anak-anaknya tanpa merasa terbeban untuk menopang kesemuanya.

Sebagai anak petani, Ketut Budiarsa pantas berbangga, ayahnya terbilang cukup mapan di desa, selain memiliki perkebunan kelapa dan ternak sapi, sang ayah juga menguasai bentang luasan lahan persawahan yang sebagian dipercayakan pada para petani penggarap agar dapat berbagi hasil saat musim panen tiba. Dengan begitu petani desa yang tidak mempunyai lahan sendiri tetap bisa hidup dan bekerja.

Selain santun dalam berusaha, rupanya ‘I Wayan Mura’ juga berhati welas, bahkan karena rasa welas itu, anak bayinya Ketut Budiarsa yang baru berusia beberapa tahun dengan ikhlas diserahkan adik misan istrinya ‘Pan Satra’ yang tinggal tak jauh dari rumahnya untuk diasuh hingga mereka dikaruniai anak di saat Ketut Budiarsa pun sudah duduk di kelas IV sekolah dasar di SDN 3 Wanasari.

Ketut Budiarsa  memang tergolong anak bertalenta cerdas,  bahkan kendati ia tidak banyak meluangkan waktu di rumah untuk belajar, tetap saja prestasi pendidikannya sejak awal kelas selalu menunjukkan nilai memuaskan dan predikat juara kelaspun tidak pernah lepas dari genggamannya.

Prestasi itu semakin sempurna manakala Budiarsa menamatkan pendidikan dasarnya dengan nilai sempurna sekaligus merebut Juara 1 sekecamatan Tabanan  dan langsung dengan mudah diterima di SMP Negeri Tabanan, sekolah favorit di kala itu.

Selama menempuh pendidikan di SMP ini, karena jarak dari rumah menuju sekolah terbilang cukup jauh, Budiarsa terpaksa harus indekos di rumah  ‘Bu Rapi’ dan memulai kehidupan mandirinya. Tapi beruntung untuk keperluan makan sehari-hari, ‘Ni Ketut Arini’ saudara sepupunya yang tinggal selingkup di tempat kosnya, dengan ringan hati membantu memasakkan nasi dan sekedar lauk sampai Budiarsa tamat dari pendidikan menengah pertamanya di sana.

Setamat SMP, masih dengan prestasi membanggakan,  Budiarsa terus melanjutkan sekolah di SMA Tabanan. Kali ini kendati berjarak sekitar 6 kilometer dari tempat tinggalnya, namun Budiarsa menolak diindekoskan dan memilih menempuh perjalanan ke sekolah setiap hari dengan mengayuh sepeda.

Ketut Budiarsa yang meremaja rupanya mulai larut dalam pergaulan dan kesukaan berkumpul bersama teman-temannya yang akrab menjulukinya ‘Bancuk’, sebuah predikat untuk  menggambarkan kesan kenakalan Budiarsa yang mulai kondang.

Dengan pergaulan komunitas baru ini, hampir di malam, setiap kali ada tontonan Drama/Arja, ia dan segerombolan temannya datang menonton kendati harus bergadang semalaman dan keesokannya menjadi terkantuk-kantuk di sekolah.

Bahkan di saat sekolah, Ketut Budiarsa hanya membawa sebuah pulpen di saku tanpa buku, lalu memilih menyobek atau mencuri kertas di kelas untuk mencatat semua mata pelajaran yang toh pada akhirnya, catatan inipun hanya akan lebur di dalam saku celana sekolah yang tercuci ibunya.

Begitu kacau keseharian Budiarsa, ditambah seringnya terkantuk saat pelajaran di kelas, hingga pernah suatu kali ia tak lagi terhindar dari murka guru pelajaran Kimia yang merasa terabaikan saat mengajar. Dampak peristiwa ini ternyata tidak terselesaikan di hari itu saja, tapi terus berlanjut sampai pada penghujung masa SMA, di mana Ketut Budiarsa harus menerima kenyataan tidak lagi lulus dengan nilai sempurna sebab satu nilai mata pelajaran Kimia jatuh anjlok jauh dari harapan.

Setamat SMA, atas pertimbangan ‘I Made Wasita’; kakaknya yang ingin menjauhkan Budiarsa dari lingkar pergaulan yang kurang menguntungkan di desa, maka iapun diajak untuk ikut merantau ke kota Malang–Jawa Timur dan meneruskan pendidikan perguruan tinggi di sana. Padahal sebelum ia setuju berangkat ke Jawa, Budiarsa sudah terlebih dahulu diterima dan telah melunasi pembayaran uang pangkal kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana, Bali.

Namun karena yang meminta untuk sekolah di Jawa adalah kakak yang juga penyandang dana pendidikannya, maka tanpa harus berdebatpun, Ketut Budiarsa dengan bekal uang pas-pasan, akhirnya berangkat menaiki bus antar propivinsi menuju Malang.

Dengan hanya menjinjing sebuah tas usang yang dicancang ikat-ikatan tali menyerupai buntelan menggantikan fungsi resletingnya yang rusak, Budiarsa pun dengan yakin menginjakkan kakinya di tanah rantau.

Sebagai kakak, ‘I Made Wasita’ berkeinginan keras agar adiknya; ‘Budiarsa’ tetap mendapat pendidikan setinggi-tingginya kendati saat itu kondisi ekonomi kedua orang tua mereka tengah diguncang masa sulit setelah usaha yang dikomandoi kakaknya yang lain, jatuh pailit sampai turut menyeret harta keluarga dalam kebangkrutan.

Mawas akan keadaan keluarga dan hormat pada harapan sang kakak, maka Budiarsa pun menyegerakan mendaftarkan diri dan mengikuti serangkaian ujian masuk di Fakultas Teknik Sipil, Universitas Brawijaya dan Institut Teknologi Surabaya.

Dasar berbakat cerdas, Ketut Budiarsa lulus diterima di kedua Universitas bergengsi itu. Tapi kemudian selembar pengumuman mencantumkan nominal Rp 300.000,- untuk sumbangan kampus atau uang gedung yang bagi Budiarsa dianggapnya terlalu besar dan tidak pantas dibebankan pada anak-anak pandai dan cerdas segolongan dirinya.

Dengan membayar uang pendidikan sebesar itu, seolah pendidikan yang ditempuhnya nanti tak ubahnya seperti sekolah karena suap atau sogakan yang menodai perjalanan riwayat hidupnya dan sangat memalukan.

Karena alasan idealis ini, Ketut Budiarsa memutar haluan dan memilih masuk di Akademi Pemilik Kesehatan (APK), Surabaya. Sekolah yang masih memiliki mata rantai dengan Depkes dengan hanya membebankan bea Rp. 35.000,- dan uang pendidikan Rp. 1.500,- sampai dengan lulus inilah yang kemudian dipastikan sebagai tempat untuk Budiarsa menggali ilmu.

Di Surabaya, Ketut Budiarsa tinggal di sebuah Asrama Bali di Jl. Karang Benjangan Gg VI, No. 30 dan tidur satu kamar bersama Made Mandra (Sekarang Direktur PT. (persero) BTDC Nusa Dua).

Selama sekolah di APK Surabaya dan tinggal di asrama itulah, Budiarsa mendapatkan banyak hal, bukan saja gemblengan kemandirian yang mematangkan kedewasaannya, namun juga di sekolah ini ia dipertemukan Tuhan dengan ’Sri Wahyuni’, jodohnya.   Gadis lugu berambut panjang sebetis, anak sulung Lurah Singgahan Pulung, Ponorogo yang juga satu kelas dengannya di APK.

Gadis inilah yang seketika menjadi cinta mati Budiarsa, tempatnya bercita-cita, tempat saling membangun harapan di kehidupan mendatang.

Sri Wahyuni bukan saja kekasih yang penyayang, tapi juga motivator sekaligus sosok manager di kehidupan Budiarsa. Ia sangat sabar me-maintain segala macam keperluan dengan teliti mengenakan bahasa hati tanpa menunggu diminta untuk peduli.

Bahkan termasuk upaya merintis memperkenalkan Budiarsa agar dapat dengan mudah diterima ke dalam keluarganyapun, telah tuntas ia atasi.

Dengan begini tak heran bila berdampingan dengan Sri Wahyuni, Ketut Budiarsa merasa teramat nyaman dan jauh lebih tenang berkonsentrasi menata masa depan.

Meski masih berupa asa tanpa tanda realita, tapi tidak sedikitpun Sri meragukan keyakinan Budiarsa yang mengumbar mimpi menunjukkan sebuah bangunan mewah berlantai dua di perumahan baru di kawasan Kertajaya Indah, Surabaya. Kala itu setengah berjanji Ketut Budiarsa meyakinkan Sri Wahyuni bahwa itulah kelak model rumah mereka yang akan dibangun persis seperti yang mereka lihat, hanya saja ditambah kemegahan ukir-ukiran Bali memenuhi detail arsitekturnya.

Khayalan yang dilontarkan Budiarsa sebagai calon sarjana muda APK dikisaran tahun 1978 di atas motor bebek ’Kawasaki keluaran tahun 1974’ miliknya yang  diamini Sri Wahyuni sebagai tanda sepakat pada optimisme kekasihnya.

Selanjutnya waktu berjalan begitu saja, tak terasa keduanya telah lulus dan diwisuda sebagai lulusan Akademi Penilik Kesehatan pada tahun 1980. Dan akhirnya Ketut Budiarsa dan Sri Wahyuni membulatkan niat memasuki jenjang pernikahan pada tanggal 1 November 1980.

Meskipun harus menyaksikan anak gadisnya beralih keyakinan, namun kedua orang tua Sri Wahyuni mengiklaskan dalam pernikahan ini dan selanjutnya Sri Wahyuni mengikuti agama yang dianut suaminya.

Setelah menikah, mematuhi ketetapan SK Kedinasan yang menempatkan Ketut Budiarsa menjadi PNS yang ber SK sebagai Pimpro Proyek Sarana Air Bersih dan Jamban Keluarga di Karangasem-Bali, maka berangkatlah Budiarsa dan Sri ke tanah baru harapan tempat dinas mereka.

Sesampainya di Karangasem, rupanya kenyataan tak sesuai harapan. Posisi Ketut Budiarsa sebagai Pimpro ternyata harus berhadapan dengan konspirasi sistematis staf-staf lama yang menangani proyek sebelumnya.

Konspirasi ini rupanya semakin hari semakin dipertegas dengan berbagai aksi yang memicu terjadinya konflik kepentingan hingga berujung dengan pemindahan tugas Budiarsa masuk dalam jajaran staf di bagian lain menangani program Deman Berdarah.

Sebagai pegawai negeri, Ketut Budiarsa dan istrinya memulai karir pengabdian di Karangasem bergaji masing-masing tidak lebih dari Rp. 36.000,-

Di sana dengan hanya berbekal selembar tikar, pengantin baru ini mengontrak sebuah rumah kecil, dua kamar di belakang Grya Pendem Karangasem persis bersebelahan dengan sungai yang konon dipercaya penduduk sebagai tempat angker dan berbahaya dalam pandangan mistis.

Namun meski tahu tempat tinggalnya ’tenget’ kata orang Bali, Budiarsa yakin dengan berserah diri pada Ida Shang Hyang Widi Wasa, ia dan istrinya akan baik-baik saja.

Dan benar, dengan rasa pasrah tulus pada Tuhan itu, Budiarsa dan istrinya mampu melewati hari-hari mereka di sana dengan baik, bahkan kemudian ayah Sri Wahyuni dari Ponorogo menyempatkan datang membawa beberapa perkakas kebutuhan rumah tangga, kasur dan berbagai perbekalan untuk mengisi rumah mungil putri sulungnya yang baru mulai merangkak mandiri.

Semestinya dengan adanya tempat tinggal kontrakan yang murah dan hasil gaji keduanya yang total bila digabung tak kurang dari Rp. 72.000,- ini, pasangan baru seperti Ketut Budiarsa dan Sri Wahyuni sudah dapat cukup untuk membiayai hidup sederhana mereka. Tapi kenyataannya, setiap bulan sisa uang gaji yang diterima mereka hanya sekisar Rp. 22.000,- setelah dipotong iuran arisan sebesar Rp. 50.000,- yang diikuti Sri di lingkungan Pertokoan Gajah Mada Kasem.

Dihitung dengan cara dan rumus apapun uang sejumlah itu tidak akan pernah cukup menopang segala kebutuhan dan beban hidup mereka, jadi tidak ada pilihan lain bagi Budiarsa selain harus mencari tambahan penghasilan.

Satu-satunya usaha yang mungkin dilakukannya tanpa mengganggu jam kerjanya saat itu adalah berjualan Es Mambo. Maka dengan bermodal sebuah freezer, Ketut Budiarsa memulai bisnis pertamanya membuat es dan kemudian menitip-nitipkannya di warung.

Hasilnya di luar dugaan, dari sekedar hasil Es Mambo saja, roda hidupnya mulai dapat berputar tanpa terkendala lagi permasalahan uang. Malahan dari es itu juga, Ketut Budiarsa berhasil membeli sebuah kendaraan ’Bemo’ merk Suzuki lengkap dengan izin trayek memuat penumpang, yang di pagi harinya dijalankan oleh sopir setoran dan saat sore harinya dijalankan Ketut Budiarsa sendiri sepulang kantor.

Usaha Budiarsa tidak hanya sampai di situ, dengan dana pinjaman Bank BPD, ia memberanikan diri membuat peternakan Babi di kampungnya Tabanan, peternakan yang telah dikalkulasinya matang inipun sesungguhnya memang ia niatkan untuk membantu saudaranya di desa agar dapat berkembang dengan stimulus usaha peternakan darinya.

Di saat yang sama, melihat kerja keras Budiarsa, Sri Wahyuni tidak hanya tinggal diam, ia meminta ditemani suaminya dan lagi diantar sang ayah dan ibunda dari Ponorogo berangkat ke Solo, Jawa Tengah untuk mencari barang dagangan di pasar Klewer, khususnya batik, bermacam kain dan aneka perhiasan bermata berlian.

Dari usaha inilah, tidak sedikit hasil yang mampu di dapat Sri Wahyuni untuk turut mengisi pundi-pundi tabungan mereka berdua sembari menanti kelahiran anak pertama yang ingin dilahirkan dengan exclusive ditangani dokter terbaik di Denpasar kala itu.

Harapan Sri Wahyuni akhirnya terlaksana, meski ia dan suami adalah pegawai negeri setingkat staf biasa, namun saat kelahiran buah hati mereka yang pertama, semua dapat berjalan sangat sempurna; sebuah kendaraan khusus mereka carter membawa Sri didampingi Budiarsa ke Denpasar dan segera langsung mendapatkan  penanganan dari dr. Suanda Duarsa Spog, (dokter kandungan terbaik saat itu – sekarang pendiri RSB Kasih Ibu), hingga si bayi terlahir dengan lengkap dan sehat.

Sejak resmi menjadi seorang ayah, Ketut Budiarsa semakin giat membangun potensi dirinya, ia bertekad untuk dapat memberikan kehidupan yang jauh lebih baik dari apa yang bisa dibayangkan seorang pegawai negeri sepertinya.

”Walau harus menggergaji angin, aku harus berhasil”, semangat itulah yang lalu membuka wawasan dan pergaulan Budiarsa dengan berbagai kalangan tanpa mengenal rasa canggung.

Kepribadian yang terus terang dan terbuka kemudian justru banyak menarik simpati para pejabat termasuk ’I Ketut Mertha, SMIK’, Bupati Karangasem kala itu yang juga turut akrab bergaul bersamanya.

Rupanya di sini, menjalin Networking adalah jurus pertama Ketut Budiarsa dalam menggergaji angin, di mana ia sadar tak banyak orang meyakini dengan menjalin pergaulan yang positif adalah suatu keniscayaan terbentangnya jembatan menuju sukses.

Dan karenanya ia tidak pungkiri, bahwa karena kedekatannya dengan petinggi-petinggi itulah banyak kemudahan dan manfaat singgah menghampirinya termasuk kesempatan saat ia dipromosikan menempuh pendidikan lanjutan setingkat Strata Satu di Fakultas Kesehatan Masyarakat di UNAIR pada tahun 1986 sampai lulus tahun 1988 atas biaya negara.

Di UNAIR inilah, Ketut Budiarsa menjalin persahabatan bersama R. Moertjahyo, yang kemudian hubungan ini menjadi akrab bagaikan saudara. Keduanya saling dukung diberbagai hal, bahkan karena begitu saling percayanya, R Moertjahyo tak was-was mengucurkan modal sebesar Rp. 50 juta untuk merintis bisnis jual beli mobil untuk dikelola Ketut Budiarsa yang berjalan sukses dan terus berkembang diberbagai usaha.

Setamat dari pendidikannya di UNAIR, Ketut Budiarsa mengencarkan usaha dengan terlipat  pada Proyek Gerakan Penghijauan yang dari sana mengilhaminya untuk menjadi profesional sekaligus entrepreneur dengan mendirikan perusahaannya sendiri di tahun 1989 sebagai perusahaan yang bergerak di bidang kontraktor sipil dan langsung dipercaya menggarap proyek pertamanya merehab bangunan Puskesmas.

Berikutnya Ketut Budiarsa SKM kembali menunjukkan kedigdayaannya menggergaji angin, kali ini kendati masih terkendala permodalan, namun menuruti ketajaman intuisi bisnisnya ia menjadi rajin membidani kelahiran usaha-usaha baru yang sedikitnya dalam setahun ada 5 perusahaan dengan spesifikasi berbeda ia dirikan.

Hasilnya dengan berbagai perusahaan itu Budiarsa mulai banyak menjaring proyek-proyek diberbagai sektor termasuk menuntaskan beberapa proyek yang sebelumnya harus ditangani dengan perusahaan lain karena terbentur izin tingkat kualifikasi perusahaan, kini semuanya mulai dapat ditangani sendiri.

Itu semua adalah hal-hal yang dianggap orang mustahil dilakukan, apalagi oleh pegawai negeri setingkat staf seperti Ketut Budiarsa yang tidak berbekal latar belakang ilmu rancang bangun atau pengalaman sipil sebelumnya. Tapi di tangan Budiarsa ternyata semua yang tidak mungkin dapat menjadi nyata bahkan mulai menjelma menjadi sebuah imperium kerajaan dagang yang menggurita.

Dalam keberhasilannya mengelola usaha, tepat pada tahun 1994 Ketut Budiarsa berhasil membeli sebidang tanah di Karangasem seluas 10,9 are dan kemudian dibangun menjadi sebuah rumah megah berlantai dua yang tanpa ia sadari nyaris persis dengan rumah yang dilihat bersama Sri Wahyuni di Kawasan Kertajaya Indah tahun 1978 lalu.

Dan persis dengan ucapan Budiarsa dulu, rumah inipun sungguh-sungguh terwujud bertatah detail ukir-ukiran Bali sebagaimana bayangannya kala itu. Seolah membenarkan dalil Law Of Attraction (LOA)/keyakinan akan hukum ketertarikan oleh alam yang dapat mewujudkan semua angan manusia menjadi nyata, Ketut Budiarsa pun merasa peristiwa ini adalah kebetulan yang luar biasa.

Karir suksesnya sebagai entrepreneur jelas menuntut waktu, konsentrasi dan perhatian Budiarsa lebih banyak lagi. Karena alasan inilah ia berniat mengundurkan diri sebagai pegawai negeri. Namun meski telah berulang kali dicoba mengajukan permohon pengunduran diri, tetap saja ’Pak Bupati’ tidak mengizinkannya untuk berhenti.

Terpaksa suatu carapun ia tempuh, tanpa ada maksud mengacuhkan perhatian Bupati Karangasem, Ketut Budiarsa memohon mutasi dinas ke Kabupaten Tabanan.

Untuk permohonan mutasi ini tanpa kendala dapat disetujui Bupati Karangasem hingga tidak lama kemudian Budiarsa pun sudah berdinas di Tabanan.

Maka barulah setelah di Tabanan inilah upaya Budiarsa untuk berhenti sebagai PNS dapat terlaksana. Dengan waktu penuh dan fokus Ketut Budiarsa sebagai pengusaha seutuhnya, perusahaan di bawah kepemimpinanya segera berhasil menjelajah seluruh pelosok Bali, menyasar segala sektor, mulai pengadaan bibit tanaman, perdagangan hasil tani, peternakan, perikanan dan segala macam sarana-prasarana alat dan keperluan pertanian yang tersebar seluruh Bali dan juga telah berekspansi menembus pasar Jawa, juga pendirian usaha farmasi yang semula dipusatkan di Karangasem dan kemudian juga menggurita menembus lombok setelah optimalisasi pemasaran di Bali dikuasainya.

Tak cukup dengan itu, Ketut Budiarsa tampil sebagai pengusaha pribumi Bali yang berani terjun ke dalam bisnis otomotif dengan membuka pemasaran motor Korea merk ’Kanzen’ di Bali di susul dengan pendistribusian Kendaraan Matic Kymco untuk kawasan Gianyar dan Ubud.

Langkahnya yang berani ini memang terkadang tak luput dari iklim untung rugi dan buka tutup usahanya dalam trend peralihan investasi ke lahan-lahan baru yang ia anggap lebih menguntungkan.

Bagi Ketut Budiarsa, kerugian dalam sebuah investasi adalah kewajaran dalam dunia bisnis, pada situasi demikian seorang profesional sepertinya tidak akan jera untuk memulai investasi baru. Ini karena kegagalan dalam suatu bidang akan menjadi pengalaman berharga untuk mendulang sukses di bidang lainnya.

Dan dalam waktu kurang dari tiga windhu tercatat, Ketut Budiarsa berhasil merambah berbagai lini bisnis dengan puluhan perusahaan.

Dengan seabrek sumber bisnis yang dibukanya tak teralakkan lagi Ketut Budiarsa berhasil memanjat tahtanya menjadi seorang milyarder di Bali dan hingga kini ia tetap aktif membuka lahan investasi di berbagai bidang termasuk membeli gerai-gerai usaha franchise seperti Mini market ‘Circle K’ yang dimilikinya di 4 lokasi di Denpasar, masing-masing di Waturenggong, Marlboro, Renon dan Ahmad Yani, ditambah lagi dengan investasi serupa berupa retailer dengan bendera ‘Indomart’ di Nusa Dua dan siap diguritakan.

Memasuki tahun 2012, Ketut Budiarsa, SKM makin menggiatkan titik titik fokus usahanya seperti mengambil peran dalam pengadaan barang dan jasa, memasok kebutuhan yang diperlukan PT NNT (Newmonth Nusa Tenggara) di NTB, Maluku, dan juga berkonsentrasi pada bidang usaha yang kali ini cenderung didominasi kepentingan peran sosial dalam sektor pendidikan.

Kali ini Ketut Budiarsa ingin memperbanyak timbunan investasinya di Bank Universal, ia mempertajam usaha yang banyak memberi poin sosial dan ini ia pilih disektor pendidikan, mencerdaskan anak-anak bangsa dengan membeli master kemitraan Sekolah Menengah Kejuruan Teknologi Informasi Indonesia wilayah Bali dan Jawa Timur bekerjasama dengan PT. Widya Dharma Shanti yang dimotori oleh Drs. H. Dadang Hermawan, Ak, MM yang juga salah satu pendiri STKOM Bali.

Di tengah gelimang kemakmurannya Ketut Budiarsa tidak lalai pada jati dirinya sebagai orang Bali, filosofi kearifan dan tradisi untuk berdharma menjadi satu kemawasan hati yang ia lakoni dalam wujud investasi di jalan Tuhan. Selain telah menjadi sandaran lebih dari 50 orang tenaga kerja yang bernaung di bawah usahanya, Ketut Budiarsa mengalokasikan 20% dari seluruh penghasilan pribadinya untuk segala macam kegiatan sosial baik di lingkungan tempat tinggalnya, keluarga, kerabat, sahabat dan aktivitas kemasyarakatan yang ia temui memerlukan uluran tangannya. Dari sinilah ia berharap keseimbangan itu akan selalu terjaga, di mana sebagai seorang pengusaha yang praktis pragmatis terhadap hukum ekonomi kemudian berhasil terlepas dari simpul-simpul materialistis dan lebur dalam nurani sosial untuk berbagi dengan sesama.

Dari rangkaian perjalanan Ketut Budiarsa ini dapat ditarik sebuah benang merah, bahwa berani  menghadapi kehidupan dengan kerja keras, jeli melihat peluang kendati itu dianggap tidak mungkin oleh kebanyakan orang dan senantiasa lapang dalam dharma dan derma adalah tiket yang yang membawa Budiarsa bermetamorfosa menjadi sosok milyuner sukses berinvestasi ganda di Bank Universal dengan kedua anak yang siap meneruskan tongkat estafet keberhasilannya.

DATA PRIBADI
Nama                     : Ketut Budiarsa, SKM
Tempat/
Tanggal Lahir         : Tabanan, 15 Mei 1957
Agama                   : Hindu
Pekerjaan              : Pengusaha PT DUTA KARYA PERKASA
Menikah                 : 22 Oktober 1980
Istri                         : Sri Wahyuni
Anak                       : 2 orang
- I Wayan Yuddi Satria Nugraha, SE
(menantu) Amanda Paramitha Jalil, MM

(cucu) I Putu Gede Devendra Sankara Nugraha

- dr. Ninni Angga Rani
(menantu) dr. I Wayan Rusdiarna Eka Putra, SpOG

(cucu) Ni Wayan Ranysha Putri Belva Nalini

(cucu) Made Ranu Putra Narindra

Hobby /
Kegemaran            : Traveling dan Berkebun
Semboyan              : Lakukan apa yang orang lain tidak bisa
lakukan

Pesan                     : Jadilah diri sendiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>