Drs. Dewa Made Beratha

GUBERNUR+DEWA1

MEMIMPIN BALI
MEMASUKI GERBANG REFORMASI

 

Low profil, demikian kesan mendalam bagi siapapun yang sedikitnya pernah mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan Dewa Made Beratha yang sejak 28 Agustus 1998 merupakan pribadi nomor satu di provinsi Bali setelah masa jabatan gubernur Ida Bagus Oka berakhir.

Tepat dengan ungkapan “bak batang padi, makin berisi makin merunduk”, dengan gaya hidup apa adanya, Dewa Made Beratha adalah “the right man on the right place” yang berhasil mengelola Bali, memimpin pulau Dewata keluar dari berbagai krisis dan gejolak dengan aman sentosa dan tetap dalam satu kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tekadnya menjadikan Bali aman, tentram, dan damai, langsung di uji dalam tahun pertama masa jabatannya. Di mana masa itu merupakan titik kulminasi panasnya suhu politik di tanah air. Gelora reformasi menuntut pergantian kekuasaan nasional dan fanatisme masyarakat Bali yang kala itu mendukung penuh perjuangan tokoh PDIP Megawati Soekarnoputri.

Dalam situasi itu, di tengah kekuatan orde baru yang berkuasa, Dewa Made Beratha harus mempertaruhkan jabatannya demi menjaga ketentraman Bali dengan memberi ijin sekaligus menjamin keamanan berlangsungnya kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Denpasar Bali dan sebaliknya menolak apel akbar Partai Golongan Karya yang direncanakan diselenggarakan di Denpasar, demi untuk menjaga keselamatan peserta.

Keputusan ini bukan di latari atas kecondongan kepentingan terhadap partai-partai tertentu, namun lebih dikarenakan karena keberpihakan Dewa Made Beratha menangkap aspirasi masyarakatnya kala itu, yang tengah terbangun opininya atas dasar perkembangan situasi masa pergerakan reformasi yang begitu sensitif dan mudah tersulut oleh provokasi yang dapat merugikan kepentingan bersama.

Tidak lama kemudian timbul gejolak lagi, unjuk rasa di mana-mana akibat pernyataan AM. Syaefudin, salah seorang menteri pada masa pemerintahan Orde Baru, yang menyinggung perasaan masyarakat Bali khususnya masyarakat pemeluk agama Hindu.

Setelah ternyata perjuangan Dewa Made Beratha meneruskan aspirasi masyarakat kepada presiden RI waktu itu mendapat jawaban bahwa presiden tidak bersedia memecat dan mengadili menteri Am. Syaefudin, sebaliknya permasalahan dikembalikan  kepada mayarakat Bali untuk menyelesaikan sendiri secara hukum, Dewa Made Beratha merangkul seluruh masyarakatnya untuk berjuang melalui jalan Tuhan, bersama-sama sembahyang dengan dukungan penuh darinya.

Pada 20-21 Oktober 1999 muncul satu ujian lagi, masyarakat ternyata tidak berhasil mengendalikan emosi sewaktu tokoh idolanya, Megawati Soekarnoputri, kalah dalam voting pemilihan presiden RI IV, kali ini Dewa Made Beratha sangat kecewa dan benar-benar meminta kesadaran masyarakat Bali untuk tidak mengulangi lagi, karena citra Bali tidak boleh rusak dengan rusaknya keindahan dan keamanan.

Kecuali itu dampak lain yang perlu diperhatikan masyarakat adalah lumpuhnya administrasi pemerintah dan yang terparah di Singaraja karena hangusnya dokumen-dokumen penting akibat pembakaran gedung-gedung pemerintah oleh massa. Dalam mengatasi ujian di masa jabatannya Dewa Made Beratha melandasi pengabdiannya dengan bekerja baik dan selalu mendengar aspirasi masyarakat dan tokoh keagamaan.

Dan dalam kurun masa pemerintahannya pula, Dewa Made Beratha harus mengeratkan tali persatuan, menjaga keutuhan kerukunan umat beragama pasca serangan teroris, Bom Bali 1 dan 2, yang situasi ini nyaris membangkitkan bara amuk massa. Sekali lagi Bali beruntung dipimpin seorang Dewa Made Beratha, yang arif merangkul seluruh komponen masyarakatnya untuk bangkit kembali, dengan mengedepankan kerukunan dan bersama menata keamanan Bali, mengembalikan citra pariwisata hingga tumbuh berkembang pesat sebagaimana kita lihat dewasa ini.

Bali untuk pertamakalinya mendapat gubernur dengan program yang mantap karena Bali menjadi pelopor di dalam pemilihan gubernur melalui proses debat program di antara bakal calon gubernur, dan ini merupakan tradisi baru bagi Provinsi Bali dan yang mungkin untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia.

Dewa Made Beratha yang sering mengatakan bahwa dirinya bukan orang pandai alias bodoh memulai karirnya dari bawah pada satu jalur yaitu pemerintahan. Lulus dari Fakultas Sosial Politik jurusan Administrasi Negara, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada tahun 1965 sebelum meletusnya peristiwa G 30 S/PKI. Ia merasa beruntung dan bersyukur atas karunia keselamatan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa karena beberapa bulan setelah lulus, meletuslah peristiwa G 30 S/PKI dan menewaskan teman-temannya yang berangkat bersama-sama dari Bali 4,5 tahun sebelumnya dan belum dapat menyelesaikan kuliah seperti dirinya.

1 Maret 1966 Dewa Made Beratha kembali ke Bali dan mengawali karirnya di Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Bangli.

Sebagai pemegang ijazah sarjana muda pertama di lingkungan Pemerintah Daerah waktu itu, Ia ditantang dengan tugas-tugas berat untuk usianya yang relatif sangat muda. Setelah hampir 6 bulan menjabat selaku Pejabat Sekretaris Daerah Kabupaten Bangli, 19 Maret 1968 dilantik sebagai Pejabat Bupati Kepala Daerah tingkat II Kabupaten Bangli selama dua tahun.

Saat itu Dewa Made Beratha baru berusia 26 tahun delapan bulan tetapi karena jabatannya sebagai yang dituakan di kabupaten Bangli, ia harus berusaha keras untuk dapat bergaya tua dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan itu berarti iapun perlu untuk berpenampilan lebih dewasa dari usianya meski dirasakannya peranan ini begitu susah dan merepotkannya.

Namun akhirnya lambat laun, Dewa Made Beratha pun dapat menyesuaikan diri sampai kemudian ia mengakhiri jabatan di panggung peran sebagai Pejabat Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bangli pada tanggal 12 Maret 1970.

Selanjutnya Dewa Made Beratha diangkat menjadi anggota DPRD tk. I Provinsi Bali dari Fraksi Golongan Karya dan bermukim di Denpasar.

Sebagai anggota DPRD ia melandasi tugas pekerjaannya dengan pola “Apa yang dapat dilakukan untuk daerah”, dengan tetap berpegang pada prinsip kejujuran dan keterbukaan serta saling menerima dan saling memberi.

Sebelum mengakhiri tugas sebagai anggota DPRD tk. I Provinsi Bali pada 11 April 1971, 1 April 1970 Dewa Made Beratha diangkat sebagai Kepala Bagian Perencanaan pada BAPPEDA tk I Provinsi Bali sampai dengan 12 September 1973. Lima bulan sebelum tugasnya di BAPPEDA tk I Provinsi Bali berakhir, mulai 1 April 1973, ia bertugas di Pemerintah Daerah tk I Porpinsi Bali sebagai Kepala Direktorat Pembangunan.

Karir Dewa Made Beratha di pemerintah Daerah tk I Provinsi Bali selanjutnya adalah sebagai kepala Biro Pembangunan, kepala Biro Kepegawaian, ketua BKPMD tk I, Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setwilda tk I, Sekwilda tk I dan menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah tk I Provinsi Bali pada 28 Agustus 1998.

Jabatan lain yang pernah dipangkunya adalah sebagai pimpinan KPA Negeri Bangli tahun 1967, Anggota Badan Pengawas BPD tahun 1981, 1984, 1990, 1997, Dekan Fisipol Universitas Warmadewa 1984 sampai dengan sekarang.

Selancar karirnya, lancar juga mutasi kepangkatannya, hal ini terlihat dalam sejarah kerir kerjanya yang mencatat bahwa Dewa Made Beratha telah tiga kali mendapat kenaikan pangkat percepatan.

Berbagai tanda penghargaan ia terima, antara lain dari Presiden RI berupa Satya Lencana Karya Satya kelas I tahun 1994, Bintang Jasa Pratama tahun 1995 serta piagam penghargaan Duta Besar RI di New Delhi tahun 1997.

Sukses Dewa Made Beratha yang dicapainya saat ini merupakan hasil kerja keras dan kesungguhannya sejak ia masih kecil, laki-laki yang lahir pada 12 Juli 1941 di banjar Samuan, Gianyar ini adalah anak kedua dari sebelas bersaudara yang terdiri dari tujuh laki-laki dan empat wanita, hasil perkawinan Dewa Made Jambe dan Desak Putu Jawi, dalam keluarga yang tidak tergolong mampu tetapi menyimpan cita cita tinggi agar anak-anaknya kelak menjadi orang yang berhasil.

Dalam kepapaan, Dewa Made Beratha kecil, tahun 1952, meniggalkan Gianyar untuk tinggal bersama tantenya melanjutkan sekolah dan duduk di kelas lima Sekolah Rakyat Kayumas Denpasar.

Di sela-sela kesibukan sekolahnya, Dewa Made Beratha tidak pernah absen dalam urusan membantu pekerjaan rumah tangga, ia tidak canggung untuk berbelanja ke pasar, merapikan tempat tidur, menyapu lantai, mengisi bak kamar mandi, mencari kayu bakar, hingga memberi makan ayam di setiap usai pulang sekolah, bahkan pada setiap minggu, Made Beratha telah memiliki jadwal khusus untuk pergi ke pasar Badung dan membeli kepala Babi yang sudah menjadi tugas rutinnya.

Knip, yaitu sepatu sandal bertali yang diinginkannya baru dapat dimiliki pada waktu ia telah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, dan tentu saja dengan “knip” itu, Made Beratha seolah telah tampak gagah untuk melanjutkan hari-harinya di sekolah.

Setelah menjadi siswa Sekolah Menengah Atas di SMA Saraswati, satu-satunya SMA di Denpaasar kala itu, Dewa Made Beratha barulah mulai bersepatu dan bercelana panjang sebagaimana layaknya siswa SMA lainnya.

Masa pendidikannya pada tingkat menengah atas itu, ia lalui dengan mulus hingga lulus pada tahun 1960, dan ia lanjutkan dengan dukungan orang tuanya yang rela menjual tanah warisan, demi memenuhi pendidikan Made Beratha ke jenjang Perguruan Tinggi.

Dengan kesempatan yang terbuka di depan matanya ini, membuat Dewa Made Beratha kemudian bertekad merantau ke Pulau Jawa, hal tersebut mengingat saat itu universitas di Bali hanya memiliki Fakultas Sastra yang kebetulan tidak sesuai dengan keinginannya.

Akhirnya, berangkatlah Made Beratha menuju rantau tepatnya di ujung timur pulau Jawa untuk mendaftarkan diri pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya yang dilanjutkannya dengan perjalanan ke kota pelajar di Jawa Tengah dengan mendaftarkan diri pada Fakultas Sosial Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Berkat kecerdasannyalah kemudian kedua jurusan pilihannya tersebut siap menerima Made Beratha sebagai mahasiswanya, namun dengan pertimbangan yang telah matang, ia  memutuskan untuk lebih memilih Fakultas Sosial politik UGM dengan perhitungan antara lain mengenai biaya hidup dan lingkungan sosial yang dirasakan lebih sesuai, seperti lingkungan masyarakat Bali.

Selama di Yogyakarta inilah, setiap bulan ia menerima kiriman sebesar  enam ratus rupiah (Rp. 600,-) untuk biaya kuliah dan hidupnya di kota Gudeg-Yogyakarta.

Uang tersebut berasal dari hasil penjualan tanah warisan orang tuanya kepada Pande Sira hingga suatu ketika uang tersebut habis sebelum kuliahnya selesai.

Namun ia beruntung muncul seorang dermawan bernama Dr. Ida Bagus Oka, Dokter ahli Paru-paru yang banyak membantu mahasiswa berbakat yang terancam drop-out karena kekurangan biaya seperti dirinya.

Keadaan tersebut lebih membulatkan tekad Dewa Made Beratha untuk secepatnya dapat menyelesaikan kuliahnya.

Demi niatan itulah kemudian Made Beratha seakan semakin menggigih semangat belajarnya, di samping rajin kuliah dan mengikuti dengan sungguh-sungguh, iapun dengan tekun menyelesaikan soal-soal ujian dari tahun-tahun sebelumnya yang dikumpulkannya dengan semangat kesadaran seorang pelajar yang terlanjur bulat mengedepankan pendidikannya.

Dengan usahanya itu ia tidak pernah mengalami kesulitan sewaktu menempuh ujian karena pada dasarnya soal-soal ujian selalu mempunyai persamaan dari waktu ke waktu. Dewa Made Beratha yang ke mana-mana selalu bersepeda, akhirnya menuai keberhasilannya dengan berhasil menyelesaikan kuliah dalam waktu paling cepat untuk angkatannya, yaitu hanya dalam waktu 4,5 tahun.

Prestasi ini sangat bagus untuk sistem perkuliahan waktu itu yang belum mengenal Sistem Kredit Semester seperti sekarang ini.

Sebuah rumah yang terletak di Banjar Samuan, Gianyar, merupakan tempat kenangan bagi Dewa Made Beratha, meskipun kini rumah tersebut berubah dari wujud aslinya karena telah mengalami berbagai renovasi, tetapi bentuk rumah dan susunanya masih dapat diingatnya dengan jelas inci demi inci.

Di sanalah ia hidup rukun meski dalam kesederhanaan bersama  saudara – saudaranya, pola hidup yang terbina sejak masa kanak-kanak itu tidak merubah citra dirinya yang terbawa dan berbaur dengan kewibawaan alami.

Itulah mungkin yang menyebabkan Mede Beratha menjadi sosok pemimpin masa kini yang elok dan santun, ia tidak pernah silau oleh materi, kedudukan ataupun pangkat, hal itu tentu saja semata-mata karena  baginya kesehatan dan kerukunan sudah merupakan karunia Tuhan, melebihi limpahan harta kekayaan.

Sejak kecil ia dan saudara-saudaranya kompak bersatu, ada sama dimakan, tidak ada sama ditahan, begitu luar biasa mereka menjaga persaudaraan yang akrab dan utuh. hingga setelah mereka beranjak dewasa, setiap ada yang berhasil menyelesaikan studinya dan kemudian mulai mendapat penghasilan, mereka telah merasa berkewajiban untuk harus membiayai adik-adiknya yang masih belajar, dan apabila beban yang dipikul secara bergotong-royong ternyata di luar kemampuan mereka sehingga tidak dapat mencukupi demi kelangsungan pendidikan adik-adiknya, maka merekapun rela memenuhinya dengan berhutang.

Hutang yang tidak akan pernah sia-sia, karena digunakan untuk meraih cita-cita tinggi demi kehidupan yang lebih baik di masa datang, dan bahkan lebih dari itu, karena apa yang Made Beratha terapkan dalam kebersamaan bersaudara ini adalah satu bahasa di mana mencerminkan satu bentuk kerukunan dan cinta kasih di antara sesama saudara.

Kenangan Dewa Made Beratha yang lain adalah sebuah sepeda merk Philip yang sampai sekarang masih dirawat dengan baik sebagai salah satu saksi pengalaman di hidupnya yang penuh perjuangan. Sepeda yang dibeli dengan harga enam ribu rupiah itu  selalu tampak mengkilat sesuai dengan penampilan Dewa Made Beratha yang memang menyukai kerapian dan kebersihan.

Saking sayangnya dengan sepeda itu, Made Beratha sangat rajin membersihkannya di setiap hari, hingga sampai lekuk-lekuk dan sela-sela jerujinya tidak luput dari perhatiannya untuk dirawat hingga tetap tampak seperti baru di matanya.

Adapun yang terindah dalam hidup Dewa Made Beratha adalah manakala bayangannya mampu kembali mengenang sebuah nuansa beberapa puluh tahun silam di waktu ia tinggal dalam satu lingkup rumah di Banjar Bun 18 Denpasar  (saat ini menjadi kantor Kepala Desa Dangin Puri Denpasar). Karena di saat ia tinggal di rumah itulah, pada saat masih bersekolah di tingkat Sekolah Rakyat, Dewa Made Beratha mengenal ’I Gusti Agung Ayu Mas’ yang usianya setahun lebih muda dari dirinya, di mana di kemudian hari, gadis kecil temannya bermain itu menjadi pendamping hidup dan juga memberi tiga putra baginya.

Tempaan hidup yang dialaminya ternyata telah mengajarkan begitu banyak arti bagi Made Beratha dan itu semua akhirnya berbuah pada terbentuknya falsafah hidup bijaksana yang mempengaruhi gaya kepemimpinan selama menjabat sebagai Gubernur Provinsi Bali, di mana di setiap langkah dan keputusannya, Dewa Made Beratha selalu mengutamakan pendekatan dengan cara kekeluargaan, mengedepankan norma tradisi, adat keagamaan.

Pribadi santun, teguh dan bijaksana berlatar tekad gigih memakmurkan masyarakat Bali yang dilakoni  dengan Dewa Made Beratha di dalam kepemimpinan yang jujur, terbuka dan tanggap mendengar aspirasi masyarakat, adalah alasan di balik terpilihnya kembali Dewa Made Beratha sebagai Gubernur Bali periode ke dua, masa bakhti 2003-2008.

Sebagai seorang Gubernur Bali, Dewa Made Beratha adalah soko guru sejarah penting yang telah berhasil menghantarkan masyarakat Bali memasuki babak baru babat reformasi bangsa, mengawal Bali dari berbagai gejolak masa peralihan sistem pemerintahan pusat dan juga membimbing Bali keluar dari berbagai situasi sulit, prahara keamanan akibat teror bom dan berdiri di garda terdepan memimpin kebangkitan Bali menjadi kawasan aman, tentram dan bersinar kembali sebagai kawasan primadona pariwisata dunia.

Drs. Dewa Made Beratha bersama I Gusti Agung Ayu Mas

DATA PRIBADI

Nama                :  Drs. Dewa Made Beratha

Tempat/

Tanggal lahir   :  Gianyar, 12 Juli 1941

Agama              :  Hindu

Hobby               :  Berkebun

Nama Orang tua

      -  Bapak :   Dewa Made Jambe

      -  Ibu       :   Desak Putu Jawi

Menikah          :   4 Oktober 1965

Nama Istri       :   I Gusti Agung Ayu Mas

Jumlah Anak  :   4 (empat) orang

Pendidikan     :

-  SR. Tahun 1954

-  SMPN Tahun 1957

-  SLTA  Tahun 1960

-  Fakultas Sosial Politik UGM Tahun 1965

Riwayat Karir   :

-  1-10-1967 s/d 19-3-1968 Pj. Sekda Tk II Kab. Bangli, bertempat di Pemda Tk II Bangli

-  19-3-1968 s/d 12-3-1970 Pj. Bupati Kdh Tk II Bangli, bertempat di Pemda Tk II Bangli

-  2-3-1970 s/d 11-4-1971 Anggota DPRD Provinsi Bali, bertempat di DPRD Tk I Bali

-  1-4-1970 s/d 12-9-1973 Kabag. Perencanaan Bappeda Tk I Provinsi, bertempat di Pemda Tk. I Bali

-  1-4-1973 s/d 1-10-1974 Pj. Kadit Pembangunan bertempat di Pemda Tk. I B

-  1-10-1974 s/d 13-7-1977 Kadit Pemb. bertempat di Pemda Tk. I Bali

-  1-12-1981 s/d 1-2-1984 Badan pengawas BPD Bali, beertempat di Pemda Tk. I Bali

-  1-1-1982 s/d 1-1-1984 Kepala Biro Kepegawaian bertempat di Pemda Tk. I Bali

-  1-4-1984 s/d 1-1-1989 Ketua BKPMD Tk I Bali, bertempat di Pemda Tk I Bali

-  31-10-1989 s/d 18-8-1990 Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setwilda Tingkat I Bali

-  24-7-1990 s/d 28-8-1998 Sekwilda Tk I Bali bertempat di Pemda Tk I Bali

-  1998 s/d 2003 Gubernur Bali

-  2003 s/d 2008 Gubernur Bali

Riwayat Kepangkatan :

-  Ahli Tata Praja (F/II) Tahun 1966

-  Penata Muda Tk. I (III/B) Tahun 1968

-  Penata (III/C) Tahun 1971

-  Penata Tk. I (III/D) Tahun 1975

-  Pembina (IV/A) Tahun 1977

-  Pembina Tk. I (IV/B) Tahun 1981

-  Pembina Utama Muda (IV/C) Tahun 1985

-  Pembina Utama Madya (IV/D) Tahun 1989

-  Pembina Utama (IV/E) Tahun 1993

Riwayat Jabatan      :

-  Dipekerjakan sebagai Pegawai Bulanan Tahun 1966

-  Pimpinan KPA Negeri Bangli Tahun 1967

-  Pejabat Sekretaris Daerah Kab. Bangli Tahun 1967

-  Pjs. Bupati Kepala Daerah Kab. Bangli     Tahun 1968

-  Anggota DPRGR Provinsi Bali Tahun 1970

-  Kepala Bagian Perencanaan     Pembangunan Daerah Tahun 1970

-  Pj. Kepala Direktorat Pembangunan Tahun 1973

-  Kepala Direktorat Pembangunan Th. 1974

-  Kepala Biro Pembangunan Tahun 1977

-  Anggota Badan Pengawas BPD Bali Th. 1981

-  Kepala Biro Kepegawaian Tahun 1982

-  Kepala BKPMD Provinsi Bali     Tahun 1984

-  Dekan Fisipol Universitas Warmadewa  s/d sekarang

-  Anggota Badan Pengawas BPD Tahun 1984

-  Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setwilda Tingkat I Tahun 1989

-  Anggota Pengawas BPD Bali Tahun 1990

-  Sekwilda Tinkat I Bali Tahun 1990

-  Pejabat Kepala Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Daerah Tingkat I Bali Tahun 1991

-  Ketua/Anggota PUPN Cabang Bali Th. 1991

-  Anggota Badan Pengawas BPD Bali Th. 1994

-  Anggota Badan Pengawas BPD Bali Th. 1997

-  Gubernur Kdh. Tk. I Provinsi Bali Tahun 1998 (dua periode)

Tanda Jasa       :

-  Piagam Penghargaan Gubernur Kdh Tk I Bali Tahun 1971

-  Piagam Penghargaan Menteri Kesehatan/Ketua BKKBN Tahun 1982

-  Piagam Penghargaan DPP Golkar Th. 1987

-  Satya Lencana Karya Satya Kelas I dari Presiden RI tahun 1994

-  Bintang Jasa Pratama dari Presiden RI tahun 1995

-  Piagam Penghargaan Duta Besar RI di New Delhi tahun 1997

Pesan        :

Lestarikan budaya yang telah kita  warisi dan miliki    janganlah cepat meniru budaya asing. Pikirkanlah akibat negatifnya, untuk tidak melupakan budaya agama  yang selalu kita junjung  tinggi, walaupun tetap mengikuti pesatnya  kemajuan teknologi   dalam  batas kewajaran tertentu.

slot gacor 2024

agen bola

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>