I Gede Ardika

ARDIKA

TUNTUNAN TANGAN TUHAN

 

Manusia memang hanya perencana dan Tuhan tetaplah penentunya. Demikian mungkin lebih tepat untuk mengisyaratkan betapa besar kuasa Sang Pencipta.
Namun di balik itu semua pastilah Tuhan memilihkan apa saja yang terbaik bagi hambanya, terlebih lagi yang melakoni hidup dengan kesatuan iman yang utuh kepada-Nya.

Dan kisah hidup tokoh inilah yang barangkali layak dipaparkan, tidak untuk sekedar melihat akan keberhasilannya kini, namun dapat mengajak kita sejenak melarutkan rasa akan begitu pengasihnya tuntunan tangan Tuhan merentangkan benang kuasa-Nya dalam memandu kehidupan makhluk-Nya di dunia.

I Gede Ardika, yang pernah tercatat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dalam Kabinet Gotong Royong di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri ini, ternyata menyimpan sebuah kisah cikal bakal yang mengesankan.

Itu semua bukan saja disebabkan karena ia kini adalah salah satu tokoh putra Bali yang membanggakan, namun lebih dari itu, dalam perjalanannya melakoni cerita hidup ini, seakan memang telah dikhususkan Sang Kuasa untuk mengemban nama bangsa, masa depan budaya dan pariwisata, tidak saja untuk Bali namun untuk seluruh tanah air di masa kemerdekaan reformasi bangsa kita ini.

15 Februari 1945, di Banjar Dukuh, Desa Sudaji, Singaraja, Bali, seorang Sedan (perwakilan pemungut pajak untuk sawah di Bali) I Made Arka dan istrinya Ni Made Sandat mendapat karunia lahirnya bayi laki-laki pertama mereka yang kemudian diberi tanda nama I Gede Ardika.

Seperti halnya anak yang lain, I Gede Ardika tumbuh ceria di tengah kehidupan keluarga desa yang sederhana dalam rangkulan tumbuh kembang ramahnya suasana pedesaan di Ibukota Provinsi Sunda Kecil di kala itu.

Sebagai anak pertama, I Gede Ardika tentu saja berkewajiban untuk turut membantu ibunya menjaga adik-adiknya. Namun itu tidak berarti ia kehilangan masa kanak-kanaknya yang ceria, malah mungkin inilah tanggung jawab pertama yang dipercayakan kepadanya di masa itu dan siapa sangka kelak di kemudian hari, bocah Ardika itu terpilih dari dua ratus juta penduduk Republik ini untuk memangku tugas sebagai menteri negara.

Sejak kecil Ardika telah mulai menampakkan kecintaannya terhadap dunia seni khususnya cerita-cerita pewayangan Bali yang memang acap kali diceritakan neneknya hampir di setiap hari menjelang ia tidur, dan setelah terlelap terkadang kisah-kisah pewayangan itu terekam menjadi sebuah rangkaian bunga cerita di dasar hati Ardika yang turut pula menghiasi alur-alur mimpi indahnya.

Kesukaannya terhadap dunia seni ini seperti sebuah talenta yang semakin hari menggelitiknya untuk dapat lebih menyelami tiap-tiap kesenian yang ada, inilah barangkali yang membuat Ardika tidak pernah melewatkan untuk menyaksikan pertunjukan wayang ataupun drama tari Arja yang tidak jarang jaraknya cukup jauh untuk ditempuh dari desanya. Dan untuk memastikan berapa jarak tempuh itu, Ardika hanya beracu pada beberapa ikat sundih (obor yang dibuat dari daun kelapa kering), bila jaraknya menghabiskan lima atau sepuluh ikat sundih, maka dapat dibilang jaraknya tidaklah terlampau jauh, namun bila sundih yang dihabiskan mencapai dua puluh ikat, berarti ia dan teman-temannya dapat membayangkan betapa mereka harus melewati beberapa desa dengan jarak yang dapat dipastikan jauh. Namun berapa sundihpun nanti akan dihabiskannya, Ardika tidak akan absen untuk melewatkan pertunjukan itu begitu saja, apalagi bila siang harinya, sepulang dari sekolah, ia telah dapat mengumpulkan putik bunga Jati yang bila ditekan akan menyemburkan air. Bekal beberapa putik bunga Jati ini tentu membuatnya makin bersemangat untuk segera berangkat ke arena tontonan itu digelar. Sambil mengulum senyum, ia sudah membayangkan wajah-wajah temannya yang akan disemprot air putik bunga Jati itu manakala terkantuk-kantuk di tengah pertunjukan.

Saat dan suasana desanya yang sedemikian inilah yang dirasakannya telah membentuk figur diri I Gede Ardika yang terisi nilai moralnya lewat akrab dan guyubnya tiap sosok masyarakat polos dalam ikatan adat, budaya di tengah alam yang hijau subur menandakan kemakmuran dalam kesederhanaan yang bersahaja dan juga lewat tiap-tiap penggal kisah pewayangan yang menularkan berjuta filsafat hidup kepadanya.

Memasuki dunia pendidikan dasarnya, Ardika memulai di sekolah Rakyat desa Sudaji yang ditempuhnya selama tiga tahun.

Meski sekolah rakyatnya terbuat dari dinding bambu dan beratap daun kelapa, tetapi tetap tidak mengurangi antusias warga desanya untuk mengenyam pendidikan di kala itu.

Namun suatu ketika, pernah terpaksa Ardika dan kawan-kawannya pindah belajar di bawah lumbung padi kakeknya hanya karena sekolah tempat ia dan kawan-kawannya menimba ilmu roboh disapu angin kencang.

Sampai dengan kelas tiga yang merupakan tingkat akhir di Sekolah Rakyat desa Sudaji, Ardika kemudian meneruskan bangku kelas empatnya di Sekolah Dasar Negeri 2 Singaraja hingga tamat dan melanjutkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Singaraja dan kemudian melanjutkan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Singaraja. Selama itu pulalah ketertarikannya pada dunia seni seakan sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kali ini ia sungguh – sungguh ingin mempelajari ilmu seni rupa, seni lukis ataupun seni ukir yang membuatnya berniat untuk lebih mendalaminya di perguruan tinggi nantinya.

Benar saja, setelah lulus dari SMA, Ardika mengikuti serangkaian ujian di Singaraja untuk dapat masuk di Institut Teknologi Badung dengan jurusan Fakultas Seni Rupa.

Meski ia belum lagi tahu apakah ia diterima atau tidak di perguruan tinggi itu, namun berbekal restu dari ayahnya, Ardika memberanikan diri merantau meninggalkan desanya dan berangkat menuju Bandung dengan kereta api.

Tentu saja sepeda kesayangannya tetap setia ikut serta menemani petualangan perjalanan Ardika kali ini.

Dan pada tanggal 28 Agustus 1963, I Gede Ardika turun dari kereta api yang juga merupakan pertama kalinya ia menginjakkan kaki di bumi Pasundan.

Setibanya di Bandung, Ardika tidak melihat tanda-tanda bahwa sepedanya telah sampai di tujuan seperti halnya dirinya, padahal ia sangat memerlukannya dalam misi mengenali dan mengakrabi sudut-sudut kota kembang yang pada nantinya akan sering ia lalui, namun yang paling penting dari itu semua sebagai langkah awal adalah mengantarnya untuk melihat pengumuman penerimaan mahasiswa baru dari tempat di mana I Gede Ardika kost di saat itu hingga kampus ITB Bandung.

Apa boleh buat, akhirnya Ardika harus meminjam sepeda tetangganya untuk sekedar melihat dan memastikan apakah ia diterima di Fakultas Seni Rupa ITB ataukah kedatangannya ke Bandung hanya untuk sekedar berjalan-jalan.

Dengan hati berdebar, satu persatu gerak kakinya mengayuh sepeda pinjaman itu mendekati kampus yang telah diidam-idamkannya sejak lama. Satu-satu keringat menetes dan disekanya tak terasa. Dengan nafas yang terengah-engah setelah mengayuh sepeda, ia mendekati papan pengumuman dan matanya mulai menyelidiki satu-satu nomor-nomor yang tertera di hadapannya. Syukurlah pada akhirnya ia temukan juga nomor miliknya yang turut tertera sebagai mahasiswa yang diterima di Institut Teknologi Bandung.

Rasanya sesegar udara pagi pegunungan Ardika menghirup nafas dalam-dalam meluapkan kelegaan hatinya, bahkan letihnya mengayuh sepeda di perjalanan pulangpun tak lagi terasakan olehnya. Hari itu seakan terjawab sudah semua teka-teki di hatinya yang memastikan bahwa perjalanan jauhnya ini tidaklah sia-sia, ia sungguh-sungguh menjadi mahasiswa fakultas seni rupa sebagaimana yang ia inginkan.
Bagaimana tidak, Ardika memanglah seorang pencinta seni dan kecintaannya itu pulalah yang membawanya merantau jauh menimba ilmu agar kelak ia dapat pulang sebagai seorang seniman sekolahan yang bisa jadi membuatnya mahir mengekspresikan seni di dalam jiwanya dalam wujud karya-karya seni terkenal di masa yang akan datang, atau setidaknya ilmu yang diperolehnya dapat bermanfaat bagi kelestarian dan perkembangan seni budaya di tanah kelahirannya.

*) I Gede Ardika, dengan pakaian wanita,
saat mengikuti mapram / OSPEK di Akademi Perhotelan Bandung

Kegembiraannya seakan bertambah sempurna dengan didapatkannya kembali sepeda yang dibawanya dari Bali yang ternyata turut terbawa kereta berputar-putar melewati Blitar dan setelah beberapa hari lamanya baru tiba di Bandung untuk kemudian bertemu kembali dengan pemiliknya.

Maka resmilah Ardika sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung dan dengan antusias ia mulai mengikuti tiap-tiap mata kuliah di fakultas seni rupa yang ternyata menuntut dukungan finansial yang tidak sedikit jumlahnya, maklumlah pada angkatan Ardika, subsidi pemerintah untuk sarana peralatan kuliah telah dihapuskan, jadi mahasiswa harus menyediakan sendiri perlengkapan belajarnya seperti cat, kuas, kanvas dan pemenuhan alat-alat seni rupa lainnya yang hal demikian di luar dugaan I Gede Ardika sebelumnya, sehingga jadilah pendidikan kali ini merupakan sekolah yang cukup mahal baginya.

Rupanya permasalahan biaya sekolahnya inilah yang akhirnya membenturkan Ardika pada sudut kenyataan bahwa ia harus rela mengundurkan diri dari fakultas yang telah lama ia ingini dan telah sekian lama pula ditekuninya dalam satu semester perkuliahan.

Namun tentu saja tidak berarti Ardika kemudian menjadi pengangguran di sana. Misi untuk sekolah tetap menjadi prioritas utamanya, karena sebelum ia memutuskan untuk mundur dari fakultas Seni Rupa ITB ia telah terlebih dahulu mendaftarkan diri pada Akademi Perhotelan di Bandung.

Walaupun tidak sesuai dengan kehendak hatinya, namun sekolah ini memiliki ikatan dinas, di mana ia mendapatkan asrama berikut makan beserta keperluan hidupnya dan uang saku.

Maka sekolah perhotelan yang tanpa biaya ini sungguh-sungguh ditekuninya, dan dengan hasil memuaskan berhasil diselesaikannya pada tahun 1967 hingga kemudian melihat kemampuan dan prestasi Ardika, pihak Institut langsung memberikan kepercayaan kepadanya sebagai asisten dosen.

Sebagai asisten dosen ternyata banyak menyisakan waktu luang yang memungkinkannya untuk menyibukkan diri dengan mengikuti kursus bahasa Perancis yang ditempuhnya sampai tahun 1969, di mana di tahun ini juga tiba-tiba muncul kembali hasrat yang demikian besar untuk kembali mempelajari seni rupa, mengingat Ardika merasa kali ini ia telah cukup mampu untuk memenuhi biaya pendidikan seni rupa yang dahulu tidak mampu ia penuhi.

Maka dengan keyakinan bulat dan didukung kemampuan finansialnya dari hasil gaji seorang asisten dosen, Ardika mendaftar kembali di ITB Bandung pada Fakultas Seni Rupa yang kehadirannya kali ini disambut dengan panggilan “anak yang hilang” oleh dosen pembimbingnya di ITB. Sebuah pertemuan akrab yang menyenangkan bagi Ardika, hingga ia seakan merasa telah menemukan jalan kembali untuk siap menimba segala ilmu seni rupa seperti yang pernah ia cita-citakan dulu.

Namun setelah Ardika menyiapkan segala-galanya untuk mulai kembali di fakultas Seni Rupa, ternyata Tuhan berkehendak lain, entah bagaimana prosesnya, ternyata di bulan Juni 1969 ia mendapatkan berita, bahwa dirinya lulus dari ujian seleksi untuk beasiswa dari pemerintah guna menempuh pendidikan di Akademi Perhotelan, Institut International Glion, Swiss. yang pernah diikutinya beberapa waktu lalu dan akan segera diberangkatkan ke sana.

Apakah rupanya rencana Tuhan kepada dirinya, hingga kedua kali sudah Ardika harus mengurungkan niatnya kembali untuk mengenyam ilmu seni rupa di Institut Teknologi Bandung yang sepertinya telah menjadi sebuah misteri kehidupan yang mungkin terjawab dua puluh atau tiga puluh tahun mendatang dalam perjalanan hidup I Gede Ardika.

Kecewa memang dirasakannya, namun kesempatan baik ini tidak mungkin ia sia-siakan begitu saja, dan demi tugas juga bagi masa depannya, berangkatlah Ardika ke negeri Swiss meninggalkan hijaunya bumi persada ke sebuah tempat asing di mana dalam mimpi sekalipun tiada pernah terbayangkan.

Tak terasa tiga tahun sudah Ardika berada di Swiss, sebuah pengalaman yang mengesankan di negara yang begitu maju dan menyenangkan, namun seindah apapun di negeri orang tentu tak dapat sebanding untuk memendam kerinduan pada bumi pertiwi yang semakin hari seakan semakin dicintainya.

Di tahun 1972, surat perpanjangan tugas pendidikannya di Swiss belum juga ia terima dari pemerintah Indonesia, meskipun pemerintah Swiss sendiri masih mengharapkan Ardika untuk tetap tinggal di sana, namun mengingat sampai dengan bulan Desember di akhir tahun itu surat persetujuan dari pemerintah RI masih belum juga tiba di Swiss dan Ardika tidak ingin menyalahi perintah dari pemerintah Indonesia, maka dengan inisiatifnya, ia memutuskan untuk kembali pulang ke tanah air.

Setibanya di Ibu Kota Jakarta. Ardika dengan masih membawa koper besarnya langsung menemui duta besar Swiss di Indonesia melaporkan perihal kepulangannya. Ternyata memang Ardika belum waktunya pulang kembali, karena surat perpanjangan pendidikannya di Swiss sebenarnya sudah siap untuk segera dikirimkan kepadanya, namun apa boleh buat, berhubung ia sudah terlanjur tiba di Indonesia, maka akhirnya dengan bekal segepok ilmu dan pengalaman yang diperolehnya di Swiss, Ardika ditugaskan untuk bekerja sama dengan beberapa tenaga ahli dari Swiss di APN Bandung sebagai Kepala Seksi Pengajaran sekaligus dosen dalam mata kuliah house keeping yang juga di Akademi Perhotelan Nasional Bandung

Tahun 1973 adalah tahun yang memiliki warna tersendiri bagi I Gede Ardika, karena di waktu itu, dalam rangka melaksanakan salah satu tugasnya untuk melakukan ujian wawancara kepada calon pegawai di Akademi Perhotelan Nasional Bandung, tanpa disangkanya, ia menambatkan hati pada salah seorang gadis pelamar di APN Bandung.

Wawancara bersama Indriati gadis asli Bandung itu berjalan lancar dan begitu mengesankan, sampai-sampai setelah Indriati berhasil diterima sebagai sekretaris di sana, Ardika tanpa menyerah mendekati, berteman, bersahabat dan akhirnya berpacaran. Tidak heran bila Indriati pun tertarik pada sosok akrab Ardika yang memang menyenangkan di balik kecerdasan putra Bali satu ini.

Prestasi kerja luar biasa Ardika dapat dikatakan sepadan dengan peningkatan karirnya, dedikasi dan tanggung jawab pada pekerjaannya seakan telah merupakan karakter tersendiri bagi Ardika yang di tahun 1976 telah menjabat sebagai Pjs. Direktur National Institute Bandung sampai dengan tahun 1978, di mana ia dipindah tugaskan untuk menjabat sebagai Direktur Pusat Pendidikan Perhotelan dan Pariwisata di Nusa Dua Bali, di mana di tahun ini pulalah genap sudah lima tahun Ardika dan Indriati berpacaran. Setelah melalui kurun waktu yang cukup lama saling mengenal selarasnya kepribadian mereka berdua, dan setelah meyakinkan dirinya siap akan segalanya untuk berumah tangga, akhirnya I Gede Ardika tanpa ragu lagi meminang dan kemudian mempersunting Indriati pada tanggal 7 Agustus 1978 di dalam waktu dan tempat yang telah begitu tepat dipilihkan Tuhan kepadanya setelah sekian lamanya dalam perantauan.

Pernikahan I Gede Ardika dan Indriati

pada tanggal 7 Agustus 1978

Dan sejak saat itulah mereka telah terikat untuk menyongsong hidup bersama sebagai suami istri yang sekaligus memberikan jabatan baru bagi Ardika sebagai kepala rumah tangga dengan tanggung jawab dalam keluarga kecil yang ia bina.

Selama di Bali, selain turut terlibat dalam pendirian Sekolah Tinggi Pariwisata dan keanggotaan Komisi Pendidikan pada International Hotel Association, I Gede Ardika juga mempelopori diadakannya program diploma IV untuk mempersiapkan calon-calon pimpinan untuk bidang perhotelan yang memberikan pendidikan teknis keahlian ke arah managerial dan bekal kepemimpinan dalam wawasan yang menyeluruh setingkat S 1 / Sarjana.

Tahun 1985, Ardika berpindah tugas sebagai Pelaksana Tugas Kepala Sub Direktorat Perhotelan dan Penginapan Ditjen Pariwisata di Jakarta hingga ia diangkat sebagai Kepala Bagian Perencanaan Ditjen Pariwisata pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1991 manakala Ardika mendapatkan tugas baru untuk kembali ke Bali dan menjabat sebagai Kakanwil Departemen Parpostel Provinsi Bali.

Karirnya terus menanjak dan bagaikan air mengalir, Ardika tidak pernah memilih sebuah tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya, selain mengikuti dan mengerjakan dengan sebaik-baiknya, ia juga tetap setia pada kewajiban yang diembannya.

Bagaimana tidak, sudah banyak perusahaan swasta yang melihat kepiawaian Ardika dan mengajaknya untuk bergabung dengan penawaran pendapatan yang jauh lebih besar dari apa yang didapatkannya selama ini, namun Ardika tetaplah Ardika, yang telah kenyang dengan ajaran tingkah lakon penari Arja yang terisi mata nuraninya dengan kisah-kisah pewayangan dan terasah kesetiaannya pada cita-cita seni, budaya dan luhurnya norma kemasyarakatan di bumi Bali, membuatnya tetap teguh untuk melangkah pasti dengan keyakinan sebagaimana pemilik talenta seni dalam idealismenya yang tiada akan pernah ia ingkari yang ternyata begitu mengakar pada dirinya.

Meski harapannya dahulu sebagai sarjana seni rupa telah kandas, namun setidaknya ia masih memiliki bara dari semangat itu untuk dapat berarti tidak bagi satu, dua atau tiga kepentingan, namun bagi banyak rasa, masyarakat dan bila mungkin, ia ingin berguna atau sedikitnya dapat berbuat untuk bangsanya, negaranya, Indonesia.

Tahun 1993, I Gede Ardika kembali ke Jakarta dan diangkat sebagai Kepala Pusdiklat Departemen Parpostel hingga selanjutnya tahun 1996 duduk sebagai Sekretaris Ditjen Pariwisata masih dalam Departemen Parpostel sampai dengan tahun 1998 di saat ia kemudian menjabat sebagai Direktur Jendral Pariwisata pada Departemen Pariwisata Seni dan Budaya.

Memasuki Millenium ke-II tahun 2000 dalam pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, I Gede Ardika ditunjuk untuk mengemban tanggung jawab yang begitu besar sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, yang pada saat diumumkannya di salah satu stasiun televisi, Ardika sendiri tidak sedang menyaksikan siaran itu dan sungguh sebelumnya tidak ada pemberitahuan ataupun kabar perihal akan dipilihnya ia sebagai menteri negara.

Pada hari itu, di saat Ardika sedang bekerja di ruangan kantornya, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan riuh dan kegaduhan di salah satu ruang stafnya yang kemudian disusul berhamburannya para karyawan dan staf kantor memasuki ruangannya untuk mengucapkan selamat atas terpilihnya Ardika sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, tentu saja Ardika menjadi kebingungan dan tidak begitu saja mempercayai kesaksian sekian banyak orang yang mengucapkan selamat kepadanya. Tidak lama berselang dari itu, disusul dering telepon dan faximille yang tidak henti-hentinya yang kesemuanya senada mengucapkan selamat kepada Ardika.

Barulah Ardika kemudian mencoba menghubungi Sekretariat Negara menanyakan perihal kebenaran berita yang ia terima dan ternyata semua ucapan selamat itu tidak salah alamat ditujukan kepada I Gede Ardika.

Inilah mungkin saatnya misteri kehidupan itu perlahan terungkap, ia dibimbing dalam tuntunan tangan Tuhan untuk memikul tugas mulia sebagai duta budaya bangsa ini, dan dengan rasa syukur yang mendalam Ardika menerima dengan ikhlas dan penuh kesadaran untuk memberikan yang terbaik dalam dirinya sebagai putra bangsa, yang hal ini bukan saja sekedar slogan ataupun kiat yang dapat berubah seiring waktu dan keadaan, namun Ardika membuktikannya dengan nyata dan sungguh-sungguh untuk memegang sumpah jabatan yang diucapkannya dengan menyebut nama Sang Hyang Widi Wasa Tuhan Yang Maha Esa, hal ini tercermin di saat Presiden Megawati Soekarno Putri dipercaya rakyat melalui Sidang Istimewa MPR RI duduk sebagai Presiden RI ke V pada tahun 2001 dan memastikan berakhirnya pemerintahan Presiden Gus Dur yang kemudian kabinetnya dinyatakan domisioner oleh Presiden Megawati yang membuat ketidak tentuan politik dalam detik-detik di kala itu yang juga menggambarkan keadaan dalam masa peralihan nampak kacau, banyak menteri negara di saat itu telah mulai nampak jarang ditemui di kantornya, bahkan ada yang turut larut dalam kebingungan politik dan sibuk menentukan nasibnya di era pemerintahan baru ini.

Namun keadaan demikian tidak akan dijumpai ataupun nampak pada figur setenang dan sematang Ardika, ia telah tahu akan kewajibannya dan meski telah dinyatakan sebagai menteri domisioner, ia tetap bekerja seperti sedia kala menunggu perubahan Kabinet oleh Presiden Megawati dan tetap menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai Menteri meskipun ia sadar bahwa masa tugasnya sudah tidak lama lagi.

Seperti biasa, sepulang dari tugas rutin sebagai menteri, Ardika melepaskan rasa lelah di dalam cerianya keakraban sebuah keluarga. Dan malam itu, ia menemani Indriati istrinya, menyaksikan serial kisah Cecep yang diperankan oleh Anjasmara dalam sinetron “Wah Cantiknya” yang memang selalu diikuti oleh ibu dua putri ini. Di saat itulah tiba-tiba terdengar dering telepon yang kebetulan langsung diterima oleh Ardika sendiri yang ternyata telepon itu berasal dari Kolonel Sutarto ajudan Presiden yang menyampaikan bahwa Presiden Megawati ingin berbicara. Tak lama kemudian terdengar suara Ibu Negara, tokoh masyarakat nomor satu di Republik ini yang dalam pembicaraan singkatnya, menanyakan kesediaan I Gede Ardika untuk membantu kembali dalam kabinet yang dipimpinnya.

Setelah menangkap makna yang disampaikan oleh Presiden, Ardika dengan rendah hati dan kesadaran untuk mengemban tugas negara, menjawab kesediaannya untuk dipilih apabila masih mendapatkan kepercayaan dari Ibu Presiden Megawati sebagai kepala Negara.

Maka diangkatlah kembali Drs. I Gede Ardika sebagai menteri Kebudayaan dan Pariwisata dalam kabinet Gotong Royong yang selanjutnya membuatnya bekerja keras untuk mewujudkan bangkitnya kembali dunia pariwisata di tanah air dan berkembang serta terpeliharanya budaya bangsa yang telah sekian lama kita junjung bersama dan sekali lagi meskipun ia bukanlah seorang sarjana seni, tetapi ia dapat begitu banyak berbuat bagi kemajuan dunia seni bukan saja bagi Bali namun bagi seluruh bangsa di bawah naungan kepak sayap sang Garuda Pancasila.
Dengan begitu benarlah kata pepatah, bahwa “Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda”.

family picture

DATA PRIBADI

Nama : Drs. I Gede Ardika
Tempat /
Tanggal lahir : Singaraja, 15 Pebruari 1945
Agama : Hindu
Alamat Rumah : Jl. Percetakan Negara No. 34
Cempaka Putih Indah Jakarta Pusat

Aktif dalam
kegiatan : Yayasan yang berkecimpung di bidang Pendidikan,
Kebudayaan, Pelestarian Lingkungan Sosial dan Agama Hindu.

Menikah : 7 Agustus 1978
Istri : Dra. Indriati
Jumlah anak : 2 (dua) orang

Kegemaran /
Hobby : Menggambar dan Mengukir
Warna Favorit : Biru Muda
Tokoh Idola : Dharmawangsa

Pendidikan Formal :
- SDN No 2 Singaraja, Bali 1957
- SMPN I Singaraja, Bali 1960
- SMAN Singaraja, Bali 1963
- Jurusan Seni Rupa ITB 1963-1964
- APN Bandung 1964-1967
- Manajemen Perhotelan,IIG, Swiss 1969-1972
- STIA-LAN, Bandung 1974-1977
- AKTA IV, IKIP Malang 1984

Pendidikan Non Formal (Kedinasan) :
- SESPASUS 1992
LEMHANNAS (dengan predikat Wibawa Seroja Nugraha) 1995

Riwayat Karir :
- Kepala Peraga, APN, Bandung 1968
- Asst Dosen untuk mata kuliah Restoran Operasional APN, Bandung 1968-1969
- Ka. Sekte Pengajaran APN Bandung 1972-1973
- Dosen mata kuliah House keeping APN Bandung 1972-1973
- Pelaksanaan tugas Direktur National Hotel Institute Bandung 1973-1976
- Dosen untuk mata kuliah Hotel Planing APN Bandung 1973-1976
- Pjs Dir. National Institute Bandung 1976-1978
- Direktur Pusat Pendidikan Perhotelan & Pariwisata Nusa Dua Bali 1978-1985
- Anggota Komisi Pendidikan International Hotel Association 1974-1984
- Pelaksana Tugas Kepala Sub Direktorat Perhotelan dan Penginapan Ditjen Pariwisata 1985-1986
- Kepala Sub Bagian Direktorat Perhotelan & Penginapan Ditjen Pariwisata 1986-1988
- Kabag. Perencanaan Dit. Pariwisata 1988-1991
- Kakanwil Dep. Parpostel Prop Bali 1991-1993
- Ka. Pusdiklat, Dep Parpostel 1996-1998
- Sekretaris Ditjen Pariwisata 1996-1998
- Dirjen Pariwisata, Dep Parseni Bud 1998-2000
- Waka Badan Pengembangan Pariwisata & Kesenian 2000
- Menteri Kebudayaan dan Pariwisata 2000-2004

Penghargaan/
Bintang Jasa : Satya Lencana Karya Satya (XX) 1997
Satya Lencana Pembangunan 1999
Pesan : Tantangan adalah kunci keberhasilan & kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.

slot gacor 2024

https://www.gpfarmasi.id/

agen bola

slot gacor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>