I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya
KISAH KEBERANIAN ANAK DARI DESA DALUNG
DALAM KIPRAH MEMBANGUN PARIWISATA
NYALAKAN PIJAR PARIWISATA
TERANGI BALI MEMBANGUN
BANGSA
Thomas J. Stanley, Ph.D dalam bukunya The Millionaire Mind, menulis hubungan signifikan antara keberanian dan keberhasilan. Dalam meraih kekayaan yang besar diperlukan keberanian mengambil resiko.
Seorang penemu berhasil karena keberaniannya terus mencoba ide-ide baru. Mereka tidak takut percobaannya gagal, di lain bidang, seorang pemilik bisnis yang kini sukses berawal dari keberanian menginvestasikan kekayaannya, berani meminjam uang dan berani menerima tanggung jawab dari para investor, mereka juga berani memunculkan inovasi-inovasi produk baru yang tidak ada jaminan akan laku dipasaran.
Begitu juga latar seorang anggota bisnis jaringan yang berhasil meraup penghasilan besar. Mereka memiliki kualitas keberanian yang cukup untuk terus menawarkan produk, jasa, atau bisnis mereka. Mereka tidak takut ditolak atau mendapat ejekan dari prospek mereka. Tidak ada kesuksesan tanpa keberanian bertindak. “Just do it”. Hidup ini penuh dengan kepastian, selalu ada hasil dari tindakan yang benar.
Dalam kehidupan nyata, kisah inspiratif kesuksesan buah keberanian luar biasa itu dapat kita temui dari perjalanan hidup seorang anak desa Dalung yang kini tampil mengemuka di jajaran pengusaha sukses I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya pemilik bisnis akomodasi bergengsi berbendera Respati Hotel di Sanur dan The Batu Belig Hotel and Spa di kawasan Kuta, selain juga tercatat dalam beberapa ladang usaha lain baik sektor kontraktor hingga property.
Meruntut kisah keberhasilan I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya tak terlepas dari kisah masa kecilnya yang permai. Ia lahir pada tanggal 17 Mei 1960 dari rahim I Gusti Ayu Mas sebagai anak ke dua dari enam bersaudara. Ayahnya I Gusti Rai Senin menopang beban hidup keluarga dari gaji sebagai sekretaris lurah yang tak seberapa namun cukup bagi kebersahajaan mereka.
Di sanalah kebersamaan dan kehangatan keluarga yang sempurna dijalani Rai Suryawijaya hingga tiba suatu anugrah baru yang menghampirinya, manakala I Gusti Putu Naya kakak kandung ibunya yang seorang kepala desa terpandang dan berada, memilih Rai Suryawijaya menjadi anak angkat mereka.
Sejak saat itu, Rai Suryawijaya yang baru berusia 5 tahun seketika menjadi bungsu dari keluarga baru di mana kakak-kakak angkatnya semua telah tumbuh dewasa dan sukses dalam studi dan karirnya. Ada yang menjadi dokter, akuntan pajak dan jaksa. Dari sanalah potret kesuksesan itu mulai memotivasi Rai Suryawijaya kecil untuk dapat menjadi sesuatu seperti kakak-kakaknya.
Rai Suryawijaya belia memang sungguh termotivasi potret keberhasilan saudara-saudaranya, ia tumbuh menjadi anak yang tekun, disiplin dan bahkan mandiri sejak usia kanaknya. Rai Suryawijaya sedari kecil biasa tidur sendiri, mandi dan bahkan mencuci baju sendiri. Kesadaran untuk terlibat membantu usaha milik orang tuanya di ‘selip’ penyosohan atau penggilingan beras sudah ia lakoni sejak Rai Suryawijaya duduk di bangku sekolah dasar. Untuk anak seusianya, Rai terbilang cermat dan teliti, ia sudah fasih mencatat berat timbangan para konsumen yang menggiling beras di tempatnya, bukan hanya itu, Rai pun juga ringan tangan membantu transaksi di toko kelontong ibunya di samping penyosohan beras yang dilakukannya setiap hari sepulang sekolah.
Di sekolah tak jarang Rai Suryawijaya si anak kepala desa ini tak minder membawa beberapa barang dagangan dari toko kelontong ibunya seperti buku, pensil, plastik sampul buku dan bermacam alat tulis untuk ditawarkan ke teman-temannya. Hasil keuntungan setelah dipotong harga pokok barang yang disetor kembali ke ibunya, ia masukkan dalam celengan untuk nanti membeli sesuatu hal istimewa yang diinginkannya di kemudian hari.
Begitulah cara ayah dan ibunya mendidik Rai Suryawijaya menabung, mengenalkan kegigihan dan upaya untuk mendapat sesuatu yang diinginkannya, memberikan Rai Suryawijaya sebuah ‘kail bukan ikan’ atau ‘cara bukan capaian’, sehingga Rai Suryawijaya sedini mungkin telah mawas bahwa untuk mencapai tujuan ada nilai tukar yang harus dilaluinya dengan perjuangan.
Setamat dari SDN 1 Dalung, Rai Suryawijaya melanjutkan di SMP Swastiastu tak jauh dari rumahnya. Di bangku SMP inilah Rai Suryawijaya mulai menunjukkan ketertarikannya pada bahasa asing khususnya Inggris yang merupakan salah satu materi mata pelajaran pokok kala itu. Entah mengapa, meski cita-cita Rai ingin menjadi ekonom untuk berkarir sebagai pegawai Bank namun kecenderungan ketertarikannya pada bahasa lebih dominan dan bahkan cenderung menjadi hobby yang juga didalami melalui berbagai kursus bahasa di luar sekolah.
Rai Suryawijaya sendiri dalam menjatuhkan minat dan cita-cita sepenuhnya mendapat kebebasan tanpa campur tangan orang tua, hanya saja ayahnya selalu berpesan bahwa menjadi apapun Rai Suryawijaya kelak setelah dewasa, ia haruslah dapat bermanfaat bagi nyama braya, sesama dan lingkungannya. Ucapan inilah yang selalu Rai Suryawijaya ingat bahkan kuat melekat terobsesi dari contoh perilaku hidup ajaran ayahnya yang tak segan menolong, memberi dan membantu tanpa pamrih.
Setamat SMP, Rai Suryawijaya meneruskan di SLUA Saraswati dan tetap pada cita-citanya untuk menjadi pegawai bank, bahkan setelah tamatpun ia menunjukkan keseriusannya dengan memilih jurusan Ekonomi pada program D3 di Universitas Udayana. Namun di lain sisi, ketertarikannya pada bahasa juga tidak ia surutkan, sedikitnya sudah 5 sertifikat lulus bahasa Inggris ia kantongi dengan kecakapan komunikasi lisan dan tertulis dalam kategori sempurna.
Rai Suryawijaya yang beranjak remaja semakin matang menggambarkan masa depannya, fokus Rai Suryawijaya tetap pada target sebagai professional perbankan, tapi meski demikian ia tidak lantas kehilangan moment kisah manis masa remajanya. Cerita cinta bersama I Gusti Ayu Astiari gadis sebaya asal Penebel, Tabanan mahasiswi STIMI Bali yang mulai mengisi hatinya semenjak lulus SMA adalah bagian manis romantisme masa muda yang penuh warna namun sarat motivasi untuk mendorong maju bersama menjemput masa depan.
Bersama Astiari lah Rai Suryawijaya kemudian menggambar masa depan mereka, ia yang nanti bekerja di bank akan semakin mantap berkolaborasi dengan Gusti Ayu Astiari kekasihnya yang saat itu sudah mulai kerja di kantor PU (Pekerjaan Umum).
Namun manusia memang tak pernah tahu kemana arah hidup dibawa Sang Pencipta, begitu juga Rai Suryawijaya, setelah rampung pendidikan diploma ekonominya, belum lagi sempat Rai Suryawijaya menenteng ijazah sarjana mudanya ke kantor-kantor perbankan, ternyata langkahnya terlanjur melamarkan diri sebagai karyawan di Nusa Dua Beach Hotel gara-gara optimismenya akan kemampuan bahasa Inggris yang ia kuasai menjadi tiket emas masuk sebagai pegawai hotel berbintang lima itu.
Benar saja, Rai Suryawijaya yang buta pariwisata dengan berbekal bahasa Inggris dan ijazah diploma diterima di Nusa Dua Beach Hotel sebagai front office (FO). Dan siapa sangka ini adalah awal debut lahirnya seorang I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya pendekar pariwisata yang di kemudian hari menjelma menjadi sosok dengan sederet prestasi yang digariskan Ida Shang Hyang Widhi berkiprah membangun dunia kepariwisataan Bali.
Sebagai FO yang baru memulai kerja beberapa minggu di hotel bertaraf internasional, lagi-lagi Rai Suryawijaya mengumbar mimpi tingginya namun kali ini dibarengi dengan sesumbar di depan teman-taman sesama pegawai baru di sana, “Lihatlah kelak, suatu hari nanti, aku juga bisa menjadi General Manager”, ucapnya optimis, di tengah tatapan ragu kawan-kawannya.
Tapi siapa sangka, itu bukan hanya bualan asal ucap Rai Suryawijaya, ia justru seolah menunjukkan keberaniannya untuk bermimpi dan keberaniannya untuk kemudian mengejar mimpi itu. Hal ini ia buktikan dengan langkah-langkah besar mengarah pada mimpinya menuju kursi general manager pada hotel bertaraf international hotel kendati ia bukan bule (orang asing yang biasa menduduki jabatan general manager).
Rai Suryawijaya sadar bahwa di dunia industri khususnya sektor pariwisata, gelar kesarjanaan bukanlah hal utama menentukan posisi seseorang. Menurut analisanya, kemampuan dan kecakapan adalah penilaian vital yang diperlukan untuk mendongkrak posisi menuju tingkat yang lebih tinggi.
Karena itulah, Rai Suryawijaya membulatkan tekad mengembangkan potensi diri khususnya dalam bidang bahasa yang ia harapkan dapat kembali menjadi ‘golden ticket’ menuju posisi prestisius.
Kebetulan sesuai hobby, Rai Suryawijaya tak menunda waktu lagi mengembangkan kemampuan bahasa. Ia memilih memulai belajar bahasa Perancis dan hanya dalam kurun waktu dua tahun Rai Suryawijaya yang baru saja mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi I Gusti Ayu Astiari pada 1984 sudah sangat fasih berbahasa Perancis. Diteruskan dengan mempelajari bahasa Italy selama 1,5 tahun hingga tahap mahir dan kemudian bahasa Jepang yang ditekuninya hingga lancar yang kesemua itu di tempuh dalam pendidikan di Nusa Dua Beach Hotel, sembari melanjutkan kuliah S1 nya di STIMI.
Kesungguhannya meningkatkan kualitas diri ditambah dedikasi kerja yang luar biasa, mendorong karir Rai Suryawijaya di Nusa Dua Beach Hotel merangkak naik dengan cepat.
Sejak masuk di Nusa Dua Beach Hotel tahun 1982 Rai Suryawijaya hanya memerlukan waktu 1 tahun untuk naik posisi sebagai Night Auditor setahun kemudian menjadi Income Auditor tahun 1985 dan terus menuju Acting Credit Manager 1986, Management Training tahun 1987, Duty Manager, Assisten Front Office Manager di tahun 1992.
Saat itulah nama Rai Suryawijaya sebagai jawara dunia pariwisata mulai berkibar-kibar. Banyak investor asing juga para pemilik bisnis akomodasi di Bali yang kemudian mengajaknya bergabung, namun Rai Suryawijaya tetap berkarir di Nusa Dua Beach Hotel, hingga ia merasa bahwa posisinya di hotel yang kemudian di take over Sultan Brunai ini sudah berada pada puncaknya.
Jabatan dan posisi Rai Suryawijaya di Nusa Dua Beach Hotel sudah terbilang strategis apalagi dari pihak owner menjanjikan bahwa setelah dua tahun pasca renovasi Nusa Dua Beach Hotel, telah disiapkan posisi khusus untuk Rai Suryawijaya. Namun atas semua tawaran itu, Rai Suryawijaya dengan analisa bahwa dirinya mampu berkiprah lebih hebat bila memiliki cukup keberanian untuk meloncat ke hotel lain yang memberi ruang karir lebih luas, membuatnya lebih memilih untuk berani mengundurkan diri dari Nusa Dua Beach Hotel dan pindah ke Travelodge Hotel atau Surya Beach Hotel sebagai Sales & Front Office Manager pada tahun 1993 dan kemudian masuk sebagai Senior Front Office Manager di Hotel Sahid Bali pada tahun 1994 dan kembali meningkat posisinya sebagai Room Division Manager yang masih di Hotel Sahid sebelum kemudian memutuskan bergabung dengan international chain hotel di bawah jaringan Sol Elite Paradiso pada tahun 1996 dan duduk sebagai Executive Assistance Manager Sol Elite Paradiso dan 1 tahun kemudian diangkat sebagai General Manager Sol Inn Legian selama satu tahun kemudian menjabat sebagai Group General Manager untuk seluruh Property Sol Elite membawahi lebih dari 700 orang karyawan, yang menunjukkan keputusannya untuk berani melangkah adalah tepat membawa karir Rai Suryawijaya lebih maju dan membuatnya bisa lebih banyak berkiprah untuk masyarakat.
Di bawah arahannya setidaknya Sol Elite Paradiso telah di sasarkan penyaluran Corporate Social Responsibility (CSR) nya untuk kepentingan pembangunan Bali secara tepat guna dan multi manfaat seperti pembagian kendaraan bermotor masing-masing dua unit untuk seluruh banjar di Kuta yang diperuntukkan bagi dinas dan adat, serta sumbangan puluhan juta untuk tiap rumah ibadah baik pura, gereja, masjid, wihara dan masih banyak lagi kucuran yang langsung menyentuh pada masyarakat kita.
Namun di sebuah bisnis akomodasi international chain hotel yang managemennya dikelola oleh orang asing dengan petinggi-petinggi setingkat general manager ditangani para bule yang bahkan hanya menguasai satu bahasa, itupun bahasa Inggris sebagai bahasa ibu di negara mereka, Rai Suryawijaya sebagai professional dengan kecakapan dan pengalaman melebihi mereka sekalipun, diyakini sulit berada diposisi puncak yang setara berikut secara finansial, meski bagi Rai Suryawijaya jumlah upah yang diterimanya sudah cukup besar, tetapi porsi itu jauh lebih kecil dibanding expatriate dengan kemampuan yang biasa saja.
Situasi tersebut sesungguhnya membuat Rai Suryawijaya tak nyaman, bukan untuk kepentingannya sendiri yang secara kedudukan dan penghasilan sudah lebih terbilang memadahi. Namun keprihatinannya tertuju pada tertahannya karir para generasi pekerja pariwisata professional Bali yang muda, handal dan berkualitas yang harus puas tertahan karirnya di level bawah dan menerima upah yang relatif kecil disebabkan hotel harus menanggung bayaran mahal untuk para pekerja bule yang memenuhi posisi-posisi elite.
Kesangsian Rai Suryawijaya pada kemampuan managemen asing dengan petinggi-petinggi bule itupun akhirnya terjawab manakala target Gross Operational Profit (GOP) yang ditentukan owner sejumlah 40 % tidak dapat dipenuhi oleh pihak managemen Sol Elite yang hanya mencapai 38%. Dampaknya pemilik hotel meminta pendapat Rai Suryawijaya atas rencana keluar dari ikatan franchaise international hotel dan beralih mempercayakan kepada kemampuan putra-putri lokal Bali, pribumi Indonesia untuk mengembangkan hotel.
Meski sangat berat, namun usulan full out dari international chain hotel ini dengan berani Rai Suryawijaya dukung dan menyanggupi untuk memasang dirinya berdiri di garda depan bertanggung jawab dalam kendali.
Sungguh mengerikan, Rai Suryawijaya dengan keberaniannya kali ini harus membuktikan kehandalannya mengelola sebuah hotel di mana international chain hotel sekelas Sol Elite yang memiliki net work seluruh dunia dan pengalaman di sektor perhotelan internasioanal selama puluhan tahun sudah terbukti gagal dengan menunjukkan angka maksimal capaian GOP mereka yang diyakini sulit lebih baik lagi meski segala upaya telah mereka lakukan beserta jaringannya.
Seolah ini pertarungan profesionalitas antara international chain hotel versus I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya anak desa Dalung yang memenuhi segenap kemampuannya dengan pengalaman di dunia pariwisata.
Rai Suryawijaya tak gentar dengan bayang-bayang itu, ia tetap yakin mampu mengemban tanggung jawabnya sebagai General Manager Kuta Paradiso Hotel, Legian Paradiso Hotel dan BBC dengan baik menunjukkan hasil yang membanggakan sejak ia ambil alih di tahun 1998.
Rai Suryawijaya mengawali kepemimpinannya dengan memberikan kabar baik ke seluruh jajaran dan staf hotel bahwa dengan tidak adanya managemen asing, hotel akan dapat berbuat lebih banyak untuk kesejahteraan karyawan. Persentasi, gaji, tunjangan, fasilitas dan bonus bule-bule itu kini dapat dengan optimal dinikmati para pengelola, staff, managemen dan karyawan yang semua adalah putra bangsa sendiri, asalkan mereka mau bekerja sungguh dan bersinergi membuktikan bahwa kita semua mampu lebih baik.
Rupanya pernyataan Rai Suryawijaya di awal tugasnya ini berhasil membakar semangat berprestasi seluruh jajarannya. Dan dapat diprediksi bahwa dengan kemampuan Rai Suryawijaya yang luar biasa di bidang pariwisata ditambah kedigdayaannya membangun net working di berbagai kalangan di seluruh dunia, ditunjang iklim kunjungan wisata yang dinamis, Rai Suryawijaya seolah tengah beratraksi di atas panggungnya menunjukkan siapa dirinya yang kini mampu berlaga mendulang kunjungan wisatawan dari segala penjuru hingga menembus target Gross Operational Profit (GOP) 58% jauh meninggalkan kemampuan group super raksasa di bawah bendera Sol Elite yang berbayar mega mahal.
Kesaktian Rai Suryawijaya segera mengemuka di dunia pariwisata, seketika namanya menjadi tranding topic, mengalahkan capaian sol elite itu bukan hanya luar biasa, itu ajaib untuk menajemen lokal. Bahkan sosoknya kemudian masuk dalam kelas GM berkelas yang melampaui sesumbarnya di tahun 1985 saat menjadi FO di Nusa Dua Beach dengan mimpi menjadi General Manager.
Di tengah sukses besar Paradiso Hotel di bawah kepemimpinan I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, SE, MBA menggelar Romantic Night dengan mengundang artis ibu kota Kris Dayanti yang tengah naik daun beserta presenter kondang Indra Safera.
Seketika figur Rai Suryawijaya menjadi bagian penting sebagai muara pemecahan permasalahan pariwisata khususnya di pulau Dewata.
Sadar bahwa dunia pariwisata Bali membutuhkan pemikiran-pemikiran cerdas dan terobosan-terobosannya yang mengarah pada perbaikan pembangunan pariwisata, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya kemudian terngiang wasiat ayahnya yang menandaskan untuk dapat selalu memberi manfaat bagi nyama braya, sesama dan masyarakat, yang karenanyalah Rai Suryawijaya menyegerakan bersedia mengabdikan diri dan ikut berkiprah di berbagai organisasi kepariwisataan di Bali seperti PHRI, Kadin Bali, Bali Tourism Board (BTB) dan lain-lain.
Di tengah karir yang gemilang, fasilitas sebagai general manager yang luar biasa mewah, sedikitnya dua buah mobil berkelas Mercedes S-Class di tambah dengan penghasilan berstandar US dollar adalah bagian hidup Rai Suryawijaya sebagai Group General Manager, “Ini adalah puncak dan ujung karir”, pikir Rai Suryawijaya yang telah 10 tahun mengabdi sebagai komandan di Kuta Paradiso Hotel, Legian Paradiso Hotel dan BBC yang menyadari pangkatnya merupakan jabatan tertinggi bagi pelakon karir perhotelan di mana posisinya itu adalah bagian dari mimpi indah yang diidamkan jutaan pekerja hotel di seluruh dunia.
Tapi Rai Suryawijaya seolah memiliki mimpi yang jauh lebih indah, ia ingin melangkah lebih maju dari karyawan besar mengelola hotel orang lain menjadi owner dari bisnis dan hotel miliknya sendiri.
Sayangnya untuk mewujudkan mimpi itu, Rai Suryawijaya harus berani meninggalkan seluruh kepastian dan segala fasilitas mewah yang diperolehnya kini demi sesuatu yang belum jelas nanti. Dan hal tersebut nyaris tak masuk akal di lakukan karena pertaruhan yang terlalu besar dan vital untuk karir dan pemenuhan kelangsungan hidup keluarga.
Sebagai pakar pariwisata I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, SE, MBA memberikan pandangan dan informasi langsung terkait perkembangan sektor pariwisata kepada para awak media di Bali
Tapi Rai Suryawijaya yakin “Kesuksesan adalah milik mereka yang berani”, ia enggan menggadaikan mimpinya demi semua fasilitas dan kemewahan prestisius sebagai general manager yang ia artikan bakal memasung masa depannya menjadi pemilik bisnis akomodasi di Bali, apalagi ia tahu persis dari nilai sirkulasi uang dari dunia pariwisata sebesar Rp. 700 triliun, hanya kurang dari 5 % yang dimiliki oleh pengusa lokal Bali. Karena itulah dengan izin istri dan anak-anaknya, Rai Suryawijaya mantap memutuskan pengunduran diri di tahun 2004 dan bersama kakaknya dan teman kakaknya, Rai Suryawijaya berhasil membeli Respati Bougenville Village Hotel di Sanur yang nyaris gulung tikar di tahun 2006.
Di tangan Rai Suryawijaya, Respati Bougenville Village Hotel yang semula mengedepankan konsep garden village dirubah menjadi Respati Beach Hotel dan beberapa restorasi dilakukannya termasuk pembenahan managemen yang menyulap Respati menjadi hotel bergengsi di kawasan Sanur.
Dalam proses memorfosa hotel tersebut tak satupun karyawan yang diberhentikan, Rai Suryawijaya telah berkomitmen pada dirinya untuk tetap mempertahankan seluruh karyawan. Malahan dalam managemen baru, Rai Suryawijaya bukan saja meningkatkan upah kerja karyawan, namun juga melengkapinya dengan bonus, tunjangan dan service charge yang bagus dari sebelumnya yang itu tak terbayangkan oleh mereka.
Dalam waktu singkat Respati beach hotel segera tumbuh dan berkembang, tingkat hunian yang tinggi hingga sampai menembus 90% dari tamu-tamu berkualitas semakin mendorong kemajuan Respati yang semula hanya memiliki 8 bungalow menjadi 46 kamar dengan perombakan total.
Keberhasilan Respati hotel adalah pintu gerbang bagi Rai Suryawijaya masuk dalam jajaran pengusaha Bali yang sukses. Ia kini adalah pemilik dari hotelnya sendiri yang bertumbuh melahirkan usaha-usaha baru berikutnya.
Sebagai entrepreneur dalam industri pariwisata, Rai Suryawijaya kembali berkiprah melebarkan sayap bisnisnya dengan 100% investasi pribadi mendirikan The Batubelig Hotel and Spa yang berkapasitas hunian mencapai 30 kamar pasca pengembangan dari 14 kamar sebelumnya.
Selain itu, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya juga mengembangkan usaha di sektor property sebagai developer berbendera PT. Puri Lokasa Dewa dengan mendirikan berbagai unit lingkungan perumahan di berbagai daerah yang makin memposisikan hidupnya dalam pusaran sukses.
Di tengah kesuksesan itu, semangat dari pesan sang ayah untuk dapat berguna bagi nyama braya memang tak pernah luntur dari benak Rai Suryawijaya. Alasan inilah yang mendorong Rai Suryawijaya ikut masuk ke kancah politik bergabung dalam partai Golkar dan sempat terjun sebagai calon legslatif pada tahun 2009. Namun walau berhasil mendulang suara yang sangat signifikan, nama besarnya sebagai praktisi pariwisata ternyata masih belum cukup kondang di telinga plural society atau masyarakat Bali yang majemuk kala itu. Sehingga meski kiprah pengabdian yang ia usung telah didesain menyentuh segala lapis kepentingan dan mengentaskan problematika di segala lini dan bidang kemasyarakatan, tapi tetap saja harus diakui bahwa kurang maksimalnya sosialisasi menjadikan sosok sekualitas I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya harus mengalah pada aktor politik lain yang lebih gencar dalam promosi diri.
Wadah parlemen bukan satu-satunya tempat tujuan bagi Rai Suryawijaya untuk bersumbangsih bagi nyama braya/sesama, ia berkeyakinan dapat berkiprah dan berbuat di manapun tempatnya asalkan tetap berakar dari niat tulus untuk meninggalkan budi luhur bagi Bali dan masyarakat tanpa harap balas jasa.
Untuk itulah Rai Suryawijaya tidak menolak saat didaulat memangku kepercayaan rakyat sebagai Pamucuk Desa Adat Dalung dan di tempat lain dalam paguyupan religius ia menerima manakala didaulat sebagai Ketua Umum Pasemetonan Nayaka Ratu Gde Meliling. Bukan hanya itu I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya juga aktif menjadi pakar, pembicara, narasumber dan sekaligus pemerhati pembangunan Bali khususnya di bidang pariwisata di mana sektor ini merupakan penyumbang Penghasilan Asli Daerah (PAD) terbesar di kabupaten Badung tempat di mana I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya dilahirkan, berkiprah, berkarir dan bertekad untuk berbakhti persis seperti wasiat ayahnya.
Rai Suryawijaya beranggapan bahwa kabupaten Badung saat ini memiliki pendapatan dari pariwisata di kisaran Rp. 2,4 Triliun yang bila dikelola oleh orang yang memahami benar nadi dunia pariwisata akan mampu meningkatkan sedikitnya menyentuh angka Rp. 3 Triliun.
Sebagai praktisi pariwisata, Rai Suryawijaya melihat pemerintah sangat minim investasi di bidang promosi pariwisata kendati Bali dan Kabupaten Badung adalah jantung pariwisata yang hidup dan makmur dari pariwisata. Sayangnya masih ada saja pemimpin yang kurang memahami potensi industri pariwisata dan puas hanya dengan memungut pajak, ibarat memetik hasil buah dari pohon yang tidak ditanam dan dirawatnya.
Para pengusaha dan pelaku pariwisata berkeringat, bersinergi dan berupaya sendiri melakukan promosi-promosi pariwisata di tengah minimnya promosi yang dilakukan pemerintah kita, padahal promosi adalah instrumen penting bagi pariwisata untuk menunjukkan eksistensi keberadaannya.
Rai Suryawijaya menyayangkan seperti pada ajang Internasionale Tourismus Burse (ITB) di Berlin yang merupkan pagelaran promosi terbesar di eropa, Bali sebagai primadona kerap dan nyaris tak pernah terlihat mempromosikan dirinya di sana.
Maka tak heran, karena seringnya Bali absen di pentas pameran bertaraf internasioanal semacam inilah, Bali yang tersohor itu jauh tertinggal dari nilai jumlah kunjungan wisata dibanding kota-kota wisata lain di dunia yang dikelola dengan baik oleh pemerintahnya seperti Singapura, Malaysia, China dan Thailand sesama negara Asia.
Semestinya kita dapat belajar dari hal sederhana seperti pada produk soft drink dengan merk dagang Coca Cola. Produk yang sudah mendunia ini, dikenal dan popular di seluruh belahan bumi, namun walau demikian Coca – Cola tidak lantas puas dengan ketenaran itu, melainkan justru sebaliknya, mereka semakin gencar melakukan promosi menunjukkan eksistensinya. Itulah pelajaran gampang yang bisa ditiru oleh pemerintah kita dalam mempromosikan Bali di ajang internasional untuk menunjukkan ke mata dunia bahwa pariwisata Bali masih ada.
Bila ditelaah lebih jauh, nilai investasi untuk kepentingan promosi Bali jumlahnya tak seberapa dan tidak sebanding dengan nilai keuntungan yang berlipat-lipat bisa diraup masuk sebagai devisa dan digunakan untuk pembangunan Bali dan Badung sebagai pilot objeknya.
Ini adalah sebagian kecil dari solusi yang menjawab pertanyaan banyak kalangan mengapa kunjungan wisatawan ke Bali tak mampu meningkat secara signifikan di tengah melonjakknya tingkat wisata warga dunia. Pemikiran-pemikiran cerdas itulah yang terkadang membelalakkan mata kita semua betapa memang sangat diperlukan good will dan kecakapan pemerintah dalam mengelola sumber devisa terbesar dari Bali yang berasal dari pariwisata.
Pemimpin yang tidak memiliki latar kemampuan mumpuni mengelola industri pariwisata jelas akan sulit memahami lika-liku dalam menarik wisatawan dan mengembangkan dunia pariwisata. Andaipun bila kemudian si pemimpin tanpa rekam jejak kemampuan di dunia pariwisata ini dalam orasinya menyampaikan program-program besar berkaitan pengembangan pariwisata, promosi, pengadaan berbagai ifrastruktur, pastilah itu hanya lips service atau sebagai janji yang tidak mungkin bisa terpenuhi pada masyarakat.
Lalu sampai kapan kita akan lagi-lagi memilih pemimpin dan mendapat pemimpin yang hanya bisa menengadahkan tangan menunggu durian runtuh, memerah pajak dari para penggiat pariwisata yang bekerja pontang-panting dan kemudian memakai semua hasil uang yang menjadi PAD itu untuk membuat proyek-proyek hanya demi tujuan keuntungan pribadi yang secuil dari dana itu dialokasikan atas nama pengembangan pariwisata, itupun karena ketidak tahuan pemimpin akan strategi pengembangan pariwisata, akhirnya anggaran yang jumlahnya sudah minim tersebut justru kembali menjadi proyek yang tak tepat sasaran, tak fungsi guna dan tak berarti dalam upaya mendorong dan menciptakan pertumbuhan pembangunan pariwisata.
Sebagai putra Bali yang lahir di Badung, Rai Suryawijaya merasa terpanggil untuk mengambil peran dalam pembenahan managemen kabupaten Badung ke depan. Keprihatinannya melihat potensi Bali yang diabaikan karena salah garap, pembangunan tumbuh dengan brutal mengabaikan estetika Bali dalam konsep Tri Hita Karana dan yang paling menyedihkan adalah jurang ketimpangan antara Badung utara dan selatan. Sebab itu I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, SE, MBA memantapkan langkah menuju suksesi pemilihan kepala daerah kabupaten Badung yang didukung para profesional, cendikiawan, pelaku pariwisata dan rakyat Badung tentunya, di mana rakyat mengidamkan pemimpin yang terjun langsung, mengerti apa yang dipimpin dan mampu membawa kemajuan besar bagi kesejahteran masyarakat.
Pikiran-pikiran cerdas Rai Suryawijaya yang ajaib diperlukan untuk mengelola suatu kawasan wisata dengan potensi mendatangkan devisa dengan jumlah luar biasa. Di mana hasil dari itu semua yang bertumbuh dan berlipat dari angka-angka capaian sebelumnya dapat diserap untuk pembangunan di seluruh Badung secara merata, mendorong pertanian modern, pendidikan, kesehatan, kecukupan income, kemapanan pangan, terciptanya lapangan kerja dan potensi industri pedesaan yang terorganisir, terarah dan terpadu, pengelolaan sumber daya alam, energi dan tekhnologi, pengolahan limbah, sampah dan penguraiannya, serta yang paling mendasar adalah penghargaan terhadap budaya, adat dan ruang gerak pelestarian, di mana sudah saatnya para pelaku seni budaya termasuk sekaa-sekaa di seluruh Badung khususnya dan Bali secara luas mendapat perhatian dan perlakuan yang patut sebagai pelaku nyata, pengemban eksistensi budaya Bali di mata dunia.
Foto dokumentasi | I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, SE, MBA bersama PHRI Bali
mendampingi Drs. I Gede Ardika, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI.
Untuk semua cita-cita itu, masyrakat sendiri harus berani mengambil sikap, sikap untuk memilih pemimpinnya dengan rasio akal sehat untuk kepentingan masa depannya sendiri.
Rai Suryawijaya sudah menunjukkan pada kita semua melalui kisah jalan hidupnya. Dengan keberanian mengambil sikap, kesuksesan akan datang dan berhasil mewujudkan semua mimpi.
Bagi Rai Suryawijaya sendiri, di anugerahi keberanian bertindak tepat dan karunia berkat hidup, sukses, mapan dan terpandang yang diberikan Tuhan kepadanya, menjadi tidak adil bila wujud dari syukur itu hanya ia sampaikan dengan ucap dalam doa setiap hari tanpa bergerak dalam pengabdian.
Rai Suryawijaya merasa tidak ada lagi simpul-simpul matrialistis yang ia buru di dunia ini, semua telah dicukupkan Tuhan dalam hidupnya. Hingga mungkin kinilah waktu yang tepat bagi I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, SE, MBA pendekar pariwisata dengan segala prestasi-prestasi yang mengesankan untuk berbuat, tampil mengabdi mengambil kendali, menyalakan pijar terang kepariwisataan Bali hingga benderang menarik mata dunia untuk datang ke Bali, mengalirkan pundi-pundi income yang dapat memakmurkan rakyat, memberdayakan seluruh sendi-sendi industri di Bali dan membenahi sistem birokrasi, memberantas korupsi, permainan kolusi yang menjadi penghambat pembangunan Bali yang bermuara pada kepentingan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat madani.
Leave a Reply