Yunasril Anga
MENEMBUS MIMPI
Banyak orang bermimpi indah di tengah kehidupan fana mereka yang teramat sulit, namun tak banyak yang lalu berkeras hati, menguatkan upaya memburu mimpi itu menjadi nyata.
Yunasril Anga, sosok pengusaha besar di Bali ini yang mungkin paling pantas untuk menggambarkan fenomena menembus mimpi di dalam sebaris kehidupan masa lalunya.
Pahit, getir dan kerasnya tertatih dalam hidup telah kenyang ia nikmati di separuh usianya yang penuh kisah perjuangan untuk dapat mengusir rasa lapar dalam kepapaan dengan irama kemelaratan yang masih fasih dikenangnya.
Segalanya berawal dari dalam lubuk kota Padang, Sumatera Barat, Jumat, Wage, 13 Juli 1956 silam.
Hari itu, ‘Yuliana’ melahirkan bayi yang lalu diberinya nama ‘Yunasril Angah’, sebagai anak ke 2 dan kemudian disusul 8 orang adiknya yang lahir beruntun di tahun-tahun berikutnya.
Angah atau Anga dan semua saudaranya hidup bersama tertopang dari hasil kerja keras ‘Mansyur Malintang’ ayahnya sebagai pedagang daging sapi keliling di pasar-pasar dalam satu kecamatan di kota Padang.
Beberapa tahun kemudian, tepat di tahun 1962, ia dan keluarganya pindah ke kota Duri, Riau dan membuka lembar baru kehidupan untuk mengadu nasib di kawasan yang nyaris sejauh mata memandang terhampar rerimbunan kelapa sawit di atas lahan 1,34 juta hektar dalam provinsi yang memiliki 116 pabrik pengolahan kelapa sawit yang beroperasi dengan produksi ‘coconut palm oil’ (CPO) 3.386.800 ton per tahun ini.
Di kota Duri ini, ayahnya membuka warung kelontong sembari dengan tekun berkeliling ke perumahan penduduk dan pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit untuk mengumpulkan botol-botol bekas minyak persis seperti layaknya pemulung yang bekerja menguangkan barang-barang yang tak lagi terpakai di masyarakat.
Sedang ibunya di rumah, sembari mengurus anak-anak, menunggu warung dan merampungkan pekerjaan rumah tangga, tak tinggal diam turut membantu menambah penghasilan keluarga dengan membuat rempeyek kacang.
Di sinilah Anga yang baru berusia 6 tahun dan mulai duduk di bangku sekolah dasar di SD Imam Bonjol ini, mulai tanggap membantu ibunya membawa rempeyek karya sang ibu untuk di titipkan di toko dan warung-warung di sekitar kampungnya.
Dan bukan hanya itu, selepas pulang sekolah, Yunasril Anga dengan kemauannya sendiri tak canggung turut andil mengumpulkan rupiah dengan ikut mengambil satu termos es dari pedagang tionghoa untuk dijajakannya berkeliling kampung hingga waktu menjelang sore tiba.
Tidak ada rasa keluh, tidak ada sedih dan beban bagi Anga menjalani hidup yang dilakoninya dengan cucuran keringat yang terkadang tak sempat terseka oleh kedua tangan mungilnya.
Yunasril Anga hanya menjalaninya dengan rasa mawas yang mengiringinya hingga tumbuh dewasa.
Waktu berlalu begitu saja, Anga pun telah berhasil menamatkan sekolah dasarnya dan langsung masuk pendidikan setingkat SLTP di Pendidikan Guru Agama yang hanya sempat ditekuninya tak lebih dari satu tahun saja.
Kendati harus putus sekolah namun Anga dapat mengerti, semua adik-adiknya memerlukan biaya untuk hidup yang sudah sangat sulit terpenuhi mengandalkan pendapatan yang ada.
Maka demi untuk kelangsungan hidup keluarga dan adik-adiknya, Yunasril Anga menerima saran neneknya untuk pergi merantau ke Jakarta menemui salah seorang paman di Bandung, Jawa Barat yang membuka wirausaha kios sepatu di sana.
Akhirnya tiba hari keberangkatannya, di pelabuhan Teluk Bayur, Yunasril Anga melangkahkan kaki menaiki kapal ‘Bagowonto’ dan meninggalkan kota Padang dalam perantauan seorang diri menuju kota Jakarta dengan berbekal kata ‘Bismillah’ dan rasa pasrah pada Sang Pencipta.
Setiba di Jakarta, Anga langsung dibawa ke Bandung oleh pamanya dan menumpang tinggal bersama di sana sekaligus diberi tugas untuk membantu segala pekerjaan di kios sepatu di pasar kembang persis seperti harapan neneknya.
Hampir penuh waktu Anga menjaga kios sepatu ini, hingga lambat laun iapun dikenal oleh lingkungan barunya sebagai sosok bocah yang rajin, jujur dan ramah.
Setelah hampir 5 bulan berlalu, Anga yang telah berupaya sebaik mungkin menempatkan diri, namun tetap saja keberadaannya tak dapat dipungkiri menjadi beban baru bagi keluarga pamannya yang sebenarnya belum cukup mapan untuk menanggung biaya hidupnya secara penuh.
Lagi-lagi perasaan mawas diri membuat ia harus mengalah, Anga yang belum lagi genap berusia 13 tahun lalu memutuskan untuk pamit dari rumah pamannya dan memilih merantau ke Jakarta mengadu nasib dalam hiruk pikuk ibu kota yang sama sekali tak pernah terbayangkannya.
Untunglah, salah seorang teman yang ia kenal di Bandung, bersimpati dan mengijinkannya untuk membantu berjualan bermacam rempah-rempah, seperti bawang putih, bawang merah, cabe dan sejenisnya di pasar Jati Negara sekedar untuk dapat menebus makan demi mengganjal rasa lapar selama hidup di Jakarta.
Setelah malam datang, Anga dengan badan terbeban letih mulai mencari-cari tempat yang tepat untuk membaringkan badannya.
Beratap langit lepas, beranjang emper-emper toko dengan segulung baju dalam kresek yang setia menjadi bantal tidur menghantar Anga memejamkan mata melepas penat sampai pagi tiba.
Saat pagi itulah waktunya bagi Yunasril Anga harus bersabar mengantri menunggu giliran memakai kamar mandi umum yang menebarkan aroma menyengat hidung, yang seolah menyadarkan beginilah aroma kerasnya kehidupan yang mesti ia jalani di setiap hari.
4 bulan kemudian, tepat di tahun 1970 barulah Anga mulai bisa mandiri.
Dengan modal 10 kilo bawang yang dibelinya di pasar induk Senen, Yunasril Anga mulai berjualan menggelar bawangnya sendiri di pasar Jati Negara kendati dengan masih harus meminjam timbangan pedagang lain di saat ada yang membeli bawang dagangannya.
Lumayan juga hasil kerja Anga berdagang 10 kg bawang ini.
Bila semuanya laku, ia dapat makan 2 kali sehari plus masih menyisakan sedikit uang lagi untuk membayar karcis tontonan film layar tancap yang menjadi hiburannya menghabiskan sisa malam sebelum nanti kembali meringkuk di dinginnya lorong dan emper toko yang masih menyisakan tempat untuknya tidur.
Di sanalah tempat Anga menjemput mimpi yang terkadang membawanya menerawang berada dalam rasa bahagia, menjadi orang kaya, hidup cukup makan, tidur di kasur empuk yang nyaman, mandi tanpa antrian, punya rumah dan cukup uang hingga ia dapat memboyong bapak, ibu dan adik-adiknya di kampung untuk hidup enak bersamanya tinggal di kota.
Mimpi itu begitu indahnya, hingga tak terasa sebuah tekad menjadikan Anga semakin kuat untuk berjuang menghadapi hidup yang ia yakini masih membentangkan harapan untuk merubah nasib menembus mimpinya menjadi nyata di kemudian hari.
Dan enam bulan kemudian, persis di tahun 1971, dengan niat menyongsong peluang, Yunasril Anga meninggalkan Jakarta dan hijrah ke kota Magelang, Jawa Tengah untuk berjualan sandal di emperan toko di sepanjang jalan Pemuda.
Usahanya kali ini cepat berkembang, dalam waktu beberapa bulan saja, Anga sudah menambah melengkapi dagangannya dengan menjual segala macam pakaian dalam wanita.
Meski terbilang lancar dan sempat juga berdagang sampai Yogjakarta, namun kemudian di awal-awal tahun 1972 Anga mendengar kabar adanya peluang baru dari para perantau yang konon dapat mendulang untung lumayan setiap kali berdagang di Bali di saat menjelang hari raya Galungan dan Kuningan.
Berbekal informasi inilah, Yunasril Anga memantapkan diri berangkat ke pulau Bali yang kebetulan salah seorang saudara misannya telah terlebih dahulu merintis usaha dagang di sana.
Sesampai di Bali, Anga langsung dilibatkan untuk ikut membantu berjualan kaca mata dan ikat pinggang. Namun tak berselang berapa lama, ia kemudian dipercaya untuk berjualan sendiri dengan barang dagangan bermodal kepercayaan.
Memasuki tahun 1976, Yunasril Anga kembali mengadu peruntungannya pindah ke Mataram NTB, tepatnya di Cakra Negara Lombok untuk berjualan kaset tape obralan 1000 tiga (Rp. 1000,- mendapat tiga).
Usahanya ini memang laku keras dan bahkan perantauannya kali ini membuka wawasannya pada pasar baru tentang barang-barang antik seperti gading dari Ruteng, Manggarai Flores Nusa Tenggara Timur, perak, kain-kain dan pernak-pernik kerajinan tangan yang laku untuk dijual di Bali.
Melihat adanya peluang ini, di tahun 1978 Anga akhirnya memutuskan untuk datang lagi ke Bali setelah sebelumnya menyempatkan diri pulang ke Sumatera melepas rindu menjenguk ayak, ibu, adik-adik dan kerabatnya.
Setiba di Bali, persis seperti prediksinya, barang-barang antik yang ia bawa cukup diminati art shop dan gallery antik yang juga biasa membeli beragam kerajinan yang dibawa kawan-kawan seperantauan Anga yang datang dari Kalimantan.
Nyaris dua tahun usaha memasok toko-toko seni dan antik ini Anga geluti, namun lambat laun dengan semakin banyaknya pedagang serupa, akhirnya banyak toko yang tidak lagi hanya membeli darinya, atau andaipun ada mereka menentukan pembayaran mundur satu dua bulan lamanya.
Kondisi ini tentu menyulitkan Anga dan kawan-kawan, apalagi lambat laun barang kerajinan dan seni yang belum laku itu semakin tertimbun menumpuk sementara para pemasok terus menagihnya.
Dilema ini akhirnya Anga rundingkan bersama kedua rekannya, dan merekapun sepakat untuk patungan bekerja sama membuka toko sendiri dengan menyewa sebuah bangunan di Legian, Kuta Bali yang diberi nama ‘Timor Art Shop’ pada tahun 1980.
Di ‘Timor Art Shop’ ini, Yunasril Anga bertugas mengelola toko di Bali sementara kedua rekannya memasok barang dari Kalimantan dan NTT.
Kerja sama itu ternyata membuahkan hasil luar biasa, dalam waktu singkat Timor Art Shop berhasil mengumpulkan keuntungan yang besar dan seketika menjadi kabar gembira bagi para perantau asal Padang yang seolah memperoleh tempat bersandar di Bali untuk berkumpul dan merintis usaha.
Anga bukanlah manusia yang lupa akan asalnya, kedua tangannya terbuka lebar bagi kawan, kerabat, teman atau para pemuda dari kampungnya yang datang menumpang, banyak dari mereka yang mengharap berbagai bantuan, dari yang tengah mengalami kesulitan sampai yang memerlukan uluran modal untuk berdagang. Kepeduliannya untuk membantu ini seolah keluar dan mengalir begitu saja dari kedua belah tangannya.
Ia tidak bisa lupa bagaimana pahitnya hidup menggelandang tanpa sanak-saudara yang mempedulikan dan mengurusnya, bayangan inilah yang selalu meluluhkan hati Yunasril Anga untuk sesegera mungkin merangkul mereka walau sesungguhnya ia sendiri masih belum cukup kuat untuk menjadi sandaran sekian banyak permasalahan ditambah di saat itu Anga juga telah mengajak adik-adiknya ikut tinggal dan membiayai pendidikan mereka di Bali.
Jadi walau apa yang dihasilkan Timor Art Shop cukup besar, namun ia tidak mempunyai cukup tabungan untuk membangun masa depannya.
Di saat itulah, Yunasril Anga bertemu Hiromi Miyashiro, seorang gadis Jepang yang membangun motivasinya untuk bangkit dan berani melangkah maju.
Persahabatannya dengan Hiromi, menyisakan kekaguman Anga pada dedikasi, kedisiplinan dan semangat putri negeri Sakura ini yang pantang menyerah dan selalu optimistis dalam menghadapi permasalahan apapun.
Tak terasa lambat laun perasaan kekaguman ini berkembang semakin dalam, hingga akhirnya Anga yang telah matang dalam usia 31 tahun mengutarakan isi hatinya untuk meminang Hiromi Miyashiro.
Di luar dugaan Hiromi menerimanya dan merekapun kemudian melangsungkan upacara pernikahan pada hari Sabtu, Wage 1 Februari 1986.
Setelah menikah, Yunasril Anga memutuskan mengundurkan diri dari Timor Art Shop dan bersama Hiromi istrinya mulai merintis sendiri sebuah toko kerajinan yang mereka beri nama ‘Orient Art Shop’.
Pada awalnya selain pernak-pernik kerajinan, Orient Art Shop juga menjual batik dan barang-barang kerajinan dari Tegallalang, namun lambat laun Anga mengembangkan kreasi koleksinya dengan mengambil batik-batik bekas dari Pekalongan, Jawa Tengah.
Rupanya usaha batik bekasnya ini sangat diminati wisatawan asing dan pasar manca negara, apalagi belakangan Anga mulai menyortir batik-batik bekas yang tidak utuh, terdapat noda atau robek dan lubang di bagian-bagian tertentu untuk disulap menjadi berbagai baju dengan beragam kreasi.
Kali ini ide cerdasnya tersebut benar-benar meledak oleh antusias pasar yang mengalir besar-besaran memesan product pakaian batik ala Orient.
Akibatnya dengan membludaknya pesanan, kapasitas garment di Bali tidak lagi memadai untuk menangani pesanan pakaian batik untuk kepentingan ekspor ini.
Walau demikian, Anga tidak putus asa, ia dengan segera menyewa pabrik garment besar di Surabaya selama 6 bulan dan kemudian setelah itu ia segera mendirikan sendiri perusahaan garment yang juga diberi nama ‘Orient Garment’ di tahun 1988 dan menyerap sedikitnya 150 orang tenaga kerja. Inilah awal mimpi indahnya mulai sungguh-sungguh menjadi nyata.
Kehidupannya kini telah berlimpah dengan kemakmuran dan bahkan apa yang diperolehnya telah jauh berlipat lebih indah dari semua yang pernah ia khayalkan sebelumnya.
Kedua orang tua dan seluruh adik-adiknya telah sungguh-sungguh dapat ia kumpulkan di Bali dalam sebaik-baiknya keadaan, ditambah lagi Tuhan menambah kesempurnaan hidup bagi Yunasril Anga dengan kelahiran anak semata wayangnya.
Tapi kesuksesan Yunasril Anga tak berhenti sampai di sini, ia kemudian membuka cabang toko Orient di Legian, Kuta di tahun 1989 dan mulai mencoba mengikuti pameran kerajinan ke Singapura untuk pertama kalinya.
Tak terduga seluruh barang yang dibawanya dalam pameran itu laku keras tak tersisa, hingga pengalaman inilah yang menjadi cikal bakal debut Anga dalam pameran tahun berikutnya di Singapura.
Merasa memperoleh kesuksesan yang sama dari tahun sebelumnya, Anga pun segera membidani lahirnya PT. Mitra Duta Solindo sekaligus menghimpun kekuatan dan koordinasi dengan berbagai pihak untuk mengadakan pameran di Singapura atas prakarsanya sendiri dengan menggandeng para pengrajin di tanah air.
Demikian matangnya persiapan yang dikomandoi langsung oleh Yunasril Anga sehingga pameran yang diselenggarakan di Singapura pada tahun 1993 meraih keberhasilan besar yang kemudian disusul pameran-pameran berikutnya dan diikuti ratusan pengusaha dan pengrajin di seluruh Indonesia dengan menjelajah berbagai negara seperti Jepang, Australia, Singapura dan Malaysia.
Dan masih di tahun 1993, Yunasril Anga melengkapi kesuksesannya sebagai pengusaha di Bali dengan membuka satu buah cabang toko baru ‘Orient Art Shop’ di Nusa Dua dengan fokus tetap pada handycraft dan batik.
Kesuksesan beruntun ini dengan berbagai perusahaan yang dimilikinya berikut aset–aset investasi dalam bentuk property baik di Bali, Jakarta, Padang, Batam, Jepang dan Australia membuat sosok low profile ini semakin menengadahkan syukurnya dengan menggiatkan dharma sosial termasuk membuat sebuah Masjid bergaya Minang di kawasan Monangmaning, Denpasar yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada tahun 1998 oleh Prof. dr. Ida Bagus Oka selaku Gubernur Bali dan berhasil rampung dalam kurun waktu dua tahun ditandai dengan peresmian oleh Menteri Agama Republik Indonesia sebagai Masjid terbesar di Bali.
Karena bagi Anga kesuksesan dan kejayaan hidup haruslah dapat memberi arti bagi masyarakat luas dan banyak orang di luar sana yang membutuhkan, karena sama sekali tiada berarti kekayaan itu bila tidak memberi manfaat untuk sesamanya dan inilah sejatinya kemiskinan itu.
1. Yunasril Anga mengomandoi digelarnya Sumatra Barat Fair di Jakarta pada tahun 2000
2. Yunasril Anga sebagai pelopor dan penyelenggara Bali Exp di Singapura berfoto bersama Azwar Anas (mantan Menkokesra) Duta Besar Indonesia di Singapura dan Ketua PHRI Bali tahun 2005.
Masih dalam kisaran tahun 1998 jugalah, Yunasril Anga kembali melakukan ekspansi usaha dengan membuka sebuah bisnis rumah makan dengan nama Café Lumut di kawasan exclusive Sanur, disusul pendirian PT. Agam Cargo dan kiprah beraninya bekerja sama dalam bisnis real estate dengan membangun 900 unit perumahan di Batam serta berbagai perusahaan lainnya yang kesemuanya ditangani dalam sistem manajemen profesional.
Al Muhajirin, Ikatan Keluarga Minang Saiyo (IKMS) Daerah Bali, yang berlokasi di Monangmaning, Denpasar.
Dalam kiprah kerjanya Yunasril Anga layak disebut sebagai inspirator pembangunan Recovery Bali kendati ia tidak terlahir sebagai pribumi Bali namun olah karyanya senantiasa berkonsentris pada kesinambungan perekonomian di Bali seperti di saat fase keterpurukan pariwisata pasca ‘Bom Bali I dan II’.
Pada situasi itu, Yunasril Anga lah satu-satunya pengusaha yang melakukan trobosan berani dalam penyelenggaraan promosi Bali ke luar negeri secara mandiri di saat organisasi himpunan para pengusaha, pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat belum berani menentukan langkah untuk mengambil peran spontan yang efektif mengembalikan denyut nadi pariwisata Bali.
Promosi Bali itulah yang kemudian terbukti memberikan manfaat besar bagi rombongan pengusaha Bali peserta pameran dalam memasarkan produk-produknya sekaligus menjadi bukti eksistensi Bali sebagai daerah kunjungan wisata di mata dunia.
Keberaniannya berdiri di garda terdepan mengusung Bali dalam pameran mandiri itu bukanlah dilandasi kalkulasi keuntungan bisnis diri pribadi melainkan atas dorongan keprihatinan pada lemahnya upaya yang dilakukan untuk membangun citra Bali di kancah International dengan hanya beralasan pada minimnya anggaran yang ada.
Bukti keberhasilan Yunasril Anga dalam promosi luar negerinya termasuk upayanya memberikan warta informasi yang benar dan akurat tentang situasi Bali langsung pada pasarnya diharapkan dapat menggugah niatan instansi terkait untuk turut tampil aktif mengakomodasi kepentingan pertumbuhan ekonomi dan pariwisata Bali dengan berbagai upaya yang pasti dan tepat sasaran tidak hanya dalam bentuk wacana demi kepentingan Bali di masa depan.
Dan inilah sosok perantau dari Padang yang dulu berdagang bawang dengan hanya bermodalkan harapan. Harapan yang telah berhasil menuntun seorang ‘Yunasril Anga’ menembus mimpinya dengan alunan doa, cucuran keringat dan semangat kerja keras yang kini menjelma nyata menjadikan ia sebagai figur pengusaha berhasil di tengah gerai kerajaan dagangnya yang tetap eksis dalam kancah kompetisi global.
Yunasril Anga bersama Hiromi Miyashiro istrinya
DATA PRIBADI
Nama : Yunasril Anga
Tempat/
Tanggal Lahir : Padang, 13 Juli 1956
Agama : Islam
Profesi : Pengusaha
- 1985 Orient Art Shop
- 1988 Orient Garment
- 1998 PT. Mitra Duta Solindo, Jakarta
- 1999 Lumut International Café & Gallery
- 1999 PT. Agam Benoa Cargo
- 2000 PT. Century Promosindo Padang
- 2001 PT. Cipta Karya Nusindo, Batam
- 2001 PT. Radio Gema Ujung Timur, Banyuwangi
- 2004 BPR ASABA, Padang
- 2005 PT. Bali Expo Indonesia
- 2006 PT. Wahana Kreasi Promosindo
- 2006 PT. Bali Promosindo International
Menikah : 1 Februari 1986.
Istri : Hiromi Miyashiro
Anak : Aderina Aisyah
Semboyan
Hidup : Hidup harus di jalani sebaik mungkin dan harus berguna bagi orang banyak.
Tokoh Idola : Agus Salim
Warna
Favorit : Orange
Organisasi :
- Ketua Umum IKMS (Ikatan Keluarga Minang Saiyo) Masa bakhti 1998 s.d 2005.
- Anggota Dewan Penasehat ASPERAPI Bali.
- Koordinator Bidang Ekonomi GEBU Minang di Jakarta.
- KADIN Bali
- API Bali
- Ketua Korwil Bali Forum Bisnis Sejahteralah Anggotaku.
Pesan : Bali dalam kondisi seperti dewasa ini hendaknya telah mampu untuk mandiri dan mengelola arah pariwisatanya sendiri termasuk dengan secara penuh dan optimal meningkatkan konsentrasi keamanan, menggiatkan promosi kepariwisataan dan meningkatkan segala sumber dayanya dan berupaya untuk secara sungguh-sungguh bersama memberantas kemiskinan di seluruh Bali.
Leave a Reply