Putu Supadma Rudana, MBA
THE LIGHT OF
A LITTLE CANDLE
Tersebut kisah tentang lilin kecil yang dibawa oleh penjaga mercusuar menaiki tangga sebuah menara. Dalam perjalanan menapaki tangga, lilin kecil bertanya ke mana penjaga mercusuar akan membawanya?. “Sang penjaga menyahut hendak menaiki puncak menara untuk memberi petunjuk kapal-kapal besar di tengah lautan yang luas”.“Apa !?!, ….. Mana mungkin lilin kecil bisa memberi petunjuk pada kapal-kapal besar dengan cahayanya yang sangat kecil?, kapal-kapal besar dan jauh tidak akan bisa melihat cahaya lilin kecil yang lemah”.
Mendengar keraguan lilin kecil, penjaga menara arif itu tersenyum menjawabnya; “Jika nyalamu memang kecil, biarlah, yang harus engkau lakukan hanyalah tetap menyala dan lakoni kodratmu dengan ikhlas”.
Lalu sampailah mereka di puncak menara di mana di sana terdapat lampu mercusuar besar dengan kaca pemantul di belakangnya. Tak lama kemudian penjaga mercusuar menyalakan sumbu lampu besar itu dengan memakai nyala lemah lilin kecil yang dibawanya. Seketika dalam sekejap, seluruh ruang berlumur sinar benderang, terang membelah kegelapan, menembus hingga jauh tertangkap pandang kapal-kapal besar di seberang lautan.
Cahaya tularan lilin kecil yang lemah telah menjelma sorot terang sinar mercusuar yang cemerlang, sinarnya kini bukan lagi sekedar sebagai penerang jalan sepasang tapak langkah penjaga mercusuar namun bahkan telah menjadi sumber petunjuk bagi kapal-kapal untuk menemukan arah dan haluan.
Fiksi sederhana The Light Of A Little Candle, menjadi apik untuk mengilustrasikan pengejawantahan makna bahwa “Siapapun bisa menjadi Siapapun”, sebuah conviction yang didengungkan ‘Putu Supadma Rudana, MBA’, seorang cendikiawan muda Bali, entrepreneur yang melejit sukses membangun karir dan sekaligus diakui sebagai sosok inspirator seni budaya yang aktif berperan serta dalam pembangunan jati diri bangsa.
Pria kelahiran Denpasar 23 April 1974 ini, memang masih terbilang muda untuk jelajah kiprah luar biasanya. Super visi ke depan, gagasan-gagasan inovatif cerdas dan keberaniannya mengomandoi event-event besar berbalut kemegahan budaya yang mengagumkan jelas menjadi jawaban bahwa memang “Siapapun bisa menjadi Siapapun”, persis apa yang diyakini dan dibuktikan Putu Supadma Rudana dalam capaiannya kini.
Bagi sebagian orang, mungkin untuk mencapai olah karya seperti Supadma akan memerlukan waktu berpuluh tahun atau bahkan menghabiskan rentang di sepanjang usia. Tapi sungguh jalan Tuhan bila seorang pemuda yang baru lulus dari study S2 program master in business administration di Webster University of St.Louis Amerika Serikat ini melesat cepat mematahkan semua kendala, membangun networking luas dengan singkat lengkap dengan keakraban yang dalam dan bahkan oleh para tokoh bangsa dikenal sebagai ‘person with many surprising ideas’
Setidaknya karena itu beberapa julukan lalu terlontar mencitrakan dirinya tercetus dari para tokoh seperti Mr.Excellent dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Mr.Synergy dari Joop Ave (Mantan Menteri Parpostel) dan panggilan Mr. Brilliant sebagai pengakuan pada gagasan-gagasan Supadma Rudana yang visioner di sudut pandang Jero Wacik (Menteri Kebudayaan dan Pariwisata) di mana keduanya kerap berdiskusi membahas pengokohan akar budaya negeri ini.
Menelusur ‘Siapa’ dan menjadi ‘Siapa’ sosok Putu Supadma Rudana, sebuah moment opname akan menggulung kembali kenangan lebih dari tiga dasawarsa silam di saat ia lahir dari rahim ‘Ni Wayan Olasthini’ dan dibangun kemandirian jiwanya oleh sang ayah, seorang ‘Nyoman Rudana’ sosok budayawan Bali, pelakon pemberdaya seni lukis yang santun dan hidup sebagai pengabdi seni yang konsisten.
Masa kanak Putu Supadma banyak dihabiskan di rumah kecilnya ‘Sanur’, Denpasar.
Kehidupan anak pantai dan keramahan alam desa yang baru ditumbuhi fenomena pariwisata sempat ia lakoni dengan wajar sembari menekuni sekolah di SD 3 Saraswati, Denpasar yang berjarak lumayan jauh dari tempat tinggalnya.
Dalam kurun masa itu, ayah dan ibunya sudah merintis usaha gallery lukisan di Ubud yang seiring waktu berjalan gallery kecil ini lalu berhasil bermetamorfosa menjadi sebuah pusat wahana karya lukis dalam rupa sebuah gallery lukis yang berjaya dengan bendera ‘Rudana Fine Art Gallery’ dan belakangan di tengah kesuksesan imperium seni itu kedua orang tua Putu Supadma dengan idealisme budaya yang kental membidani lahirnya Museum Rudana yang dibuka dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1996 dan sedikitnya memamerkan koleksi lukisan pelukis kondang seperti I Gusti Nyoman Lempad, I Gusti Ketut Kobot, Ida Bagus Made, Wayan Bendi, Wayan Djudjul, Affandi, Basuki Abdullah, Soepono, Dullah, Fadjar Sidik, Abas Alibasyah, Srihadi Soedarsono, Roedyat, Kartika Affandi, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Made Budhiana, Wayan Darmika, Antonio Blanco, Yuri Gorbachev (Rusia), Jafar Islah(Kuwait), Iyama Tadayuki (Jepang) dan banyak lagi lainnya.
Mawas dengan situasi kedua orang tua yang harus mengelola gallery di Ubud, Supadma Rudana memilih menyesuaikan diri dengan sikap mandiri.
Sepulang sekolah dengan masih berseragam SD lengkap dengan rasa letihnya, ia langsung menumpang angkot menuju gallery ayahnya di Peliatan Ubud yang sedikitnya harus ditempuh satu jam perjalanan dengan dua kali berganti angkutan.
Di Rudana Fine Art Gallery, nuansa berkesenian begitu kental memenuhi seluruh dimensi ruang pandang Supadma. Sesungguhnyalah dunia seni khususnya seni lukis itu memang telah diakrabinya jauh lebih awal sebelum Supadma mengenal angka dan huruf di bangku sekolah, bahkan mungkin semenjak ia masih di dalam kandungan.
Gallery lukisan ayahnya di Ubud yang telah dirintis sejak ia dalam buaian, rupanya berandil besar memberi ruang edukasi alami dan media interaksi bagi Supadma kecil untuk mengenal karya seni lukis dan para pelukis maestro di awal usia kanaknya yang ceria.
Bercengkrama dengan Affandi seolah sentuhan wajar layaknya hubungan cucu dan kakeknya sendiri, sedang di lain kala berkunjung ke rumah Basuki Abdullah, Dullah dan para maestro seni lukis Indonesia adalah silaturahmi yang kerap dan biasa terjadi seperti umumnya kunjungan ke kerabat atau saudara dekat.
Semua begitu akrab dan tulus terjadi begitu saja, bahkan prosesi interaksi seni ini juga terjadi manakala ia duduk di serambi rumah yang dengan mudah dapat menangkap gerak dinamis para seniman lukis dalam berekspresi dengan cat dan kanvas. Benang merah dari semua itu diyakini ikut andil dalam mempertajam mata raga dan rasa Putu Supadma Rudana mengenal tata ragam rupa seni lukis yang kaya gaya, corak dan warna lengkap dengan penjiwaannya.
Putu Supadma Rudana bersama
adiknya Ari Putra Rudana.
Berfoto bersama ayah (Nyoman Rudana),
adik dan seorang sahabat dari
Italia.
Menyempurnakan pertalian dunia batinnya pada kehidupan seni, beberapa olah kesenian di luar seni lukis juga sempat ia pelajari. Malahan kala masih terbilang bocah, Supadma sempat berguru tari dengan ‘Pak Jimat’ dari desa Batuan salah seorang maestro tari Bali legendaris.
Ulasan perjalanan masa kecil ini bisa saja menjadi satu jawaban realistis untuk mengungkap bagaimana mungkin dengan seketika muncul sosok figur budayawan modern yang visioner di usia semuda Supadma.
Tahun 1986, setelah merampungkan Sekolah Dasar dengan baik, Supadma melanjutkan pendidikannya di SMPN 1 Denpasar hingga tamat tahun 1989 dan meneruskannya di SMAN 1 Denpasar sampai lulus tahun 1992.
Supadma remaja akhirnya mendewasa, pikirannya jernih membumi, sikap budayanya lekat layaknya putra Bali yang membanggai jati dirinya sebagai orang beradat ketimuran yang ramah.
Pola pikirnya berkelas, jauh dari kesan pemuda srampangan yang kala itu banyak menggandrungi pesta pora kaum hippies, drug, free sex dan gaya hidup hedonisme disertai habit consumtive memburu kehidupan gemerlap dalam ‘bling-bling’ sihir pariwisata Bali yang menggoda.
Kepribadian unggul ditambah kecerdasan yang menonjol dengan kematangan mawas budaya yang tinggi menjadikan kedua orang tua Supadma Rudana semakin yakin untuk menyekolahkan anak lelakinya ini ke pusat dunia di negeri Paman Sam kendati bersama diyakini memiliki dampak contrasting cultures yang sama sekali berbeda dengan Bali asal mereka.
Di Amerika, Putu Supadma tinggal seorang diri di sebuah apartemen dan harus mengenyam kehidupannya yang mandiri. Di sana ia memilih menempuh pendidikan ‘Business Administration’ pada major Business Management & Information System di Maryville University.
Kendati sempat mengalami gegar budaya (cultural shock) baik karena perbedaan bahasa, makanan dan gaya hidup, namun Putu Supadma mampu mengatasi dengan baik dalam waktu relatif singkat.
Tahun 1998 setelah merampungkan pendidikannya, bersandang gelar MBA di Webster University, Supadma pulang ke tanah air dan langsung tanpa kecanggungan membaurkan diri pada budaya Bali dan aktivitas dunia seni lukis dan langsung memegang kendali operasional di Museum Rudana. Langkah awal yang dilakukannya dengan pembenahan manajemen museum dan gallery Rudana.
Di awal kiprahnya, tak dipungkiri bila sebagian orang memandang sebelah mata pada rencana-rencana Putu Supadma Rudana yang muluk dan berbatas tipis dengan hayalan. Tapi Putu Supadma Rudana terus berkeras menata rencana-rencana besarnya, bekerja dan menjadikan setiap kritikan menjadi sebuah tantangan untuk mendorongnya maju.
Ide besarnya yang mencengangkan adalah merealisasi hasratnya untuk memamerkan seniman terbaik Indonesia dalam satu kancah pameran.
Putu Supadma Rudana merasa yakin, ia mampu menyatukan para maestro seni untuk bersinergi bersamanya, dalam benaknya ia sudah melihat visi ke depan bahwa benefit yang timbul dari acara tersebut akan luar biasa untuk bangsa Indonesia, kendati mempersatukan para maestro lukis dengan idealismenya masing-masing yang kontras adalah hal yang diyakini tidak mudah dan belum pernah dalam sejarah peradaban dunia lukis kita.
Namun luar biasa, di penghujung tahun 2007, Putu Supadma Rudana berhasil membuktikan obsesinya menjadi nyata dengan mengumpulkan 8 maestro seni Indonesia: Srihadi Soedarsono, Sunaryo, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, Made Djirna, Made Budhiana, Wayan Dharmika, untuk berpameran dengan tajuk Modern Indonesia Masters di Museum Rudana & Rudana Fine Art Gallery, Ubud, Bali, Indonesia.
Keberhasilannya merangkul para maestro negeri ini sontak memamerkan kepiawaian Putu Supadma mengejawantahkan bahasa nonverbal para seniman dalam aneka filosofi sehingga dengan sentuhannya gunung-gunung idealisme dalam berbagai aliran dan penilaian dapat apik bersinergi untuk bersama menampilkan keindahan karya.
Langkah Putu Supadma Rudana dikemudian semakin diperhitungkan dan menjadi sorotan banyak media, bukan saja dalam kiprah mengolah budaya, namun karir suksesnya mengusung imperium dagang keluarga menerobos bisnis industri perminyakan juga tidak luput dari serangkaian kesuksesannya yang berhasil ia raih dalam waktu singkat.
Untuk menaungi jaring usaha yang semakin meluas, jauh sebelumnya Putu Supadma telah mempersiapkan sebuah wadah berbendera ‘GRP’ (Group Rudana dan Putra) Corporation di tahun 2000 untuk memayungi rantai bisnis di segala lini termasuk Museum Rudana, Rudana Fine Art Gallery, Rudana Art Foundation, Genta Fine Art Gallery dan The Candi Fine Art Gallery, GRP Trading Company dan GRP Consulting, Resort dan juga GRP Investment Enterprises yang bergerak di industri ritel bahan bakar minyak.
Di usianya yang tergolong muda ini juga, Putu Supadma Rudana sudah malang melintang membangun persahabatan dengan tokoh-tokoh negarawan dan bahkan turut mengecimpungkan diri dengan terlibat dalam partai politik dan terjun sebagai salah satu kandidat calon anggota DPR-RI dari partai Demokrat dalam kancah Pemilu 2009.
Meski meraup suara yang signifikan, namun Supadma mengakui perolehannya tidak mencukupi untuk meloloskannya melenggang menuju Senayan Jakarta. Tapi dengan realitas ini setidaknya Supadma Rudana telah menggugah banyak generasi muda Bali untuk berani tampil dan menunjukkan peran.
Keberanian Supadma Rudana dan kecerdasannya melontarkan visi-visi cerdas rupanya bukan saja mulai dicium potensi oleh masyarakat Bali, namun lebih nyata lagi keberadaannya sebagai generasi muda Indonesia yang visioner ini juga diakui berbagai kalangan dan ini terlihat manakala ia dipilih sebagai salah satu dari 100 tokoh Indonesia untuk beropini tentang Presiden SBY dalam buku ENERGI POSITIF yang dieditori Dr. Dino Patti Djalal. Dalam buku tersebut Supadma memberi tajuk tulisannya “Sentuhan Keindahan Seorang Negarawan”, di mana dari judulnya jelas terlihat bagaimana Putu Supadma dalam membawakan pemikiran dan pendapatnya selalu tidak terlepas dari sudut pandang keindahan yang merupakan roh seni dan budaya.
Dedikasinya pada seni dan budaya semakin menonjol dan menjadi perhatian para tokoh, selain tercatat sebagai penggagas pemberian Ksatrya Award (sebuah penghargaan seni tertinggi kepada mereka yang betul-betul mendedikasikan hidupnya di bidang seni budaya), Supadma Rudana juga penyeru dan motor dibalik menggaungnya AMI (Asosiasi Museum Indonesia) dan HIMUSBA (Himpunan Museum Bali) yang saat ini mulai terpublikasi dengan lahirnya ‘MUSEA’ media HIMUSBA yang dikomandoinya.
1. Putu Supadma Rudana menjadi satu di antara tokoh-tokoh bangsa yang berkesempatan menerima langsung buku ’Indonesia Unggul’.langsung dari tangan Presiden SBY di Jakarta.
2. Bersama Wakil Presiden Boediono & para tokoh nasional
3. Akrab bersahabat bersama kedua tokoh pakar Pariwisata Indonesia; Ir. Jero Wacik (Menbudpar RI) & Joop Ave (mantan Menparpostel).
4. Putu Supadma Rudana tampil menggarap event berskala internasional sebagai Ketua Koordinator Pelaksana ”Indonesia Open 2009 Golf Tournament”…dalam acara tersebut, Supadma Rudana memberi sentuhan keramahan budaya dengan menghadiahkan. cendramata lukisan bercorak Bali pada para tokoh antara lain; Mangku Pastika (Gubernur Bali), Fauzi Bowo (Gubernur Jakarta) dan tokoh-tokoh lainnya.
5. Joged bersama penari Bali di acara Pagelaran Seni Budaya Joged di Museum Rudana yang juga dihadiri konsulat duta besar negara sahabat & Ir.Jero Wacik (Menbudpar RI).
Komitmennya menggairahkan seni budaya bangsa dalam usia muda ini digencarkan Supadma Rudana dengan terus menyelenggarakan pameran-pameran di bidang seni, menyelenggarakan Ksatrya Seni Award II, pameran seni seperti pameran seni lukis Made Wianta “The Retrospective art by Made Wianta“, “THE ART EXHIBITION“, Srihadi Soedarsono, Sunaryo, Nyoman Gunarsa, Made Wianta dan empat seniman muda Wayan Darmika, Wayan Karja, Krijono dan Wayan Setem, membuat pameran seni bertajuk “PAHLAWAN SENI”, sebagai konseptor dan promotor “Modern Indonesia Masters“, sebagai konseptor dan promotor dan ketua penyelenggara presentasi seni lukis dan tari Joged yang menampilkan karya Ida Bagus Indra, tampil sebagai konseptor dan menampilkan pameran “SINERGI SENI MEMBANGUN INDONESIA”, pameran seni “TRISAKTI” dan bahkan Sebagai Ketua Panitia INDONESIA OPEN 2009 Golf Tournament, (turnamen golf internasional terbesar dan prestesius di Indonesia) ia selenggarakan dengan sentuhan seni budaya yang mengesankan.
Melukis di tengah
kesibukannya yang padat
Sebagai tokoh budaya yang vokal dan kritis menyikapi perkembangan dunia global, Putu Supadma Rudana melontarkan sebuah gagasan penting yang menjadi embrio dan cikal bakal diresmikannya Visit Museum Year 2010 oleh Menbudpar; Jero Wacik di awal Januari 2010.
Dari dalam kepalanyalah gagasan Visit Museum Year ini lahir dan dicetuskan kepada MENBUDPAR beberapa waktu yang lalu.
Dengan adanya gerakan ini, Supadma berharap seluruh museum yang menyimpan sejarah dan rekaman kekayaan budaya bangsa Indonesia dapat menyampaikan misi pentingnya menjembatani zaman kepada para generasi bangsa.
Sekecil apapun museum itu, Supadma yakin dapat menjadi penerang menelusur sejarah sebagaimana cahaya lilin kecil yang dapat menularkan terang menerangi lautan.
Sejauh ini, setidaknya untuk satu generasi ke depan, Bali dan bahkan Indonesia, telah memiliki seorang ksatrya budaya yang kaya akan visi dan dalam usia mudanya tengah berjalan menuju visi sempurna membawa sinergi yang harmonis untuk bangsa ini.
Putu Supadma Rudana Bersama ‘Putu Diah Chandra Dewi’, istrinya.
DATA PRIBADI
Nama : PUTU SUPADMA RUDANA, MBA
Tempat /
Tanggal lahir : Denpasar, 23 April 1974
Agama : Hindu
Profesi : Pengusaha
Pengalaman Organisasi :
- Ketua IV AMI (Asosiasi Museum Indonesia)
- Ketua III HIMUSBA (Himpunan Museum Bali)
- Wakil Ketua HISWANA MIGAS BALI (Himpunan Pengusaha Minyak dan Gas Bumi)
- Ketua III PGI Pengda Bali (Persatuan Golf Indonesia)
Menikah : 1 November 1991
Nama istri : Putu Diah Chandra Dewi, SH, MKn
Hobby : Golf, Pencinta seni dan investor seni, membaca literatur bisnis, pariwisata dan seni budaya.
Pesan : Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar bila kita mampu mencintai, menjiwai dan membangun segala aset bangsa ke depan dengan kekuatan jiwa yang tulus tanpa melupakan akar budaya Indonesia.
Leave a Reply